Utilitarianisme adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa semua tindak tanduk mestilah bertumpu pada asas kemanfaatan. Bahwa yang asas kemanfaatan ini tidak selamanya seiring, bahkan lebih sering bertabrakan dengan Hak Asasi Manusia, itu banyak terjadi dalam pergolakan dunia.
Sebelum lanjut akan ditulis sedikit catatan pinggir yang menyangkut ejaan. Yaitu huruf A dalam HAM. Sering-sering kita dengar ataupun baca ucapan ataupun tulisan yang hiperkorek: azas, adakalanya azaz, sekali-sekali ajas. Tidak percaya? Bacalah makalah, reportase, artikel, dengarlah ucapan pemakalah, peserta diskusi dan the man on the street. Itu namanya hiperkorek,
keliwat korek. Dikiranya karena asas itu dari bahasa Arab, maka s itu mesti dikoreksi, menjadilah ia z. Padahal dalam bahasa Arab sendiri bukan z, melainkan terdiri atas akar kata yang dibentuk oleh huruf-huruf alif, sin, sin. Maka pakailah bahasa Indonesia yang baik dan benar. Bukan azas, bukan pula azaz dan lebih-lebih lagi bukan ajas, melainkan asas.
Semua mengatakan bahwa perbuatan etnik barbar Serbia itu biadab, melanggar HAM, bahkan kita yakin dalam hatinurani orang Serbia sendiri akan mengakui bahwa perbuatannya itu sesungguhnya biadab, melanggar HAM. Kita tentu sepakat jika mengatakan bahwa tindakan Amerika Serikat berbaju PBB berupa boikot ekonomi terhadap Iraq dan Libia, tindakan rejim Saddam Husain menganeksasi Kuwait bertentangan dengan HAM. Lalu mengapa mesti terjadi juga? Sebabnya ialah oleh karena terjadi benturan antara HAM dengan utilitarianisme yang dikemas dengan atau berbaju kepentingan nasional.
Jadi harus ada hirarki tata-nilai, yang apabila terjadi bentrokan, yang dimenangkan adalah hirarki yang lebih tinggi. Dalam ajaran Islam hirarki tata-nilai itu dapat kita simak dari Firman Allah, S. Al Hjura-t, 13:
Ya-ayyuha nNaasu innaa Khalaqna-kum min Dzakarin wa Untsaa wa Ja'alna-kum Sy'u-ban wa Qabaaila li Ta'aarafuw Inna Akramakum 'inda Lla-hi Atqaakum, ... artinya: Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempun dan kujadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling mengenal. Bahwa sesungguhnya yang paling mulia di antaramu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa, ...
Jelaslah bahwa dalam hirarki tatanilai menurut Al Quran, nilai kemanusiaan lebih tinggi kedudukannya dari nilai kebangsaan. Dalam nilai kemanusiaan kedudukan laki-laki dan perempuan sejajar.
Nilai kebangsaan lebih tinggi kedudukannya dari nilai etnik. Namun yang paling tinggi dalam hirarki tatanilai itu adalah nilai Tawhid. AlhamduliLlah para perumus Piagam Jakarta mengikuti hirarki tatanilai Al Quran. Piagam Jakarta yang terdiri atas 4 alinea, yang merupakan konsep Pembukaan UUD-1945, memperbaiki hirarki tatanilai yang dikonsepakan Mr Moh. Yamin (1-3-2-4-5),
memperbaiki yang dikonsepkan Ir Soekarno (3-2-4-51).
Maka dengan hirarki tatanilai itu jika terjadi bentrokan antara kepentingan kemanusiaan dengan kepentingan nasional, yang dimenangkan haruslah nilai kemanusiaan. Yang berarti apabila terjadi bentrokan antara HAM dengan doktrin utilitarianisme, yang dimenangkan ialah HAM.
***
Lalu apa hubungannya dengan judul di atas, Air Mengalir Sampai Jauh? Dunia periklanan memakai asas kemanfaatan ini. Promosi tentang pipa PVC (poly-vinyl-chlorid) memanfaatkan kalimat Air Mengalir Sampai Jauh dari Bengawan Solonya Gesagng. Saya tidak tahu apakah perusahaan periklanan yang membuat reklame promosi pipa PVC itu memberikan imbalan kepada Gesang? Kalau tidak, itu berarti pembajakan atau sekurang-kurangnya bertentangan dengan Hak Asasi Seniman, bagian dari Hak Aasasi Manusia.
Padahal kalau kita simak lagu Bengawan Solo gubahan Gesang ini intinya bukan pada Air Mengalir Sampai Jauh, melainkan lebih luas wawasannya, yaitu pada Lingkungan Hidup. Gesang adalah seorang seniman yang sadar, yang berwawasan Lingkungan Hidup. Dengarlah:
Bengawan Solo
Riwayatmu ini
Sedari dulu jadi
Perhatian insani
Di musim kemarau
Tak s'brapa airmu
Di musim hujan
Air meluap sampai jauh
Mata airmu dari Solo
Terkurung Gunung Seribu
Air mengalir sampai jauh
Akhirnya ke laut
Itu perahu
Riwayatnya dulu
Kaum pedagang lalu
Slalu naik itu prahu
Cobalah perhatikan bait maupun bagian-bagin bait yang dicetak tebal. Gesang meratapi keadaan Bengaan Solo di masa kini, riwayatmu ini. Keadaan Gunung Seribu sekarang yang sudah gersang menyebabkan hulu Bengawan Solo tidak lagi mampu menyerap hujan. Kalau musim kemarau air Bengawan Solo sudah kurang karena pada waktu hjan air di hulu Bengawan Solo itu lebih banyak mengalir dari yang diserap Gunung Seribu, sehingga di musim hujan air Bengawan Solo banjir, meluap sampai jauh.
Tidak seperti dahulu riwayatnya dulu. Bengawan Solo menjadi lalu-lintas air, karean sepanjang tahun keadaan air Bengawan Solo, perbedaan antara permukaan air sungai pada waktu kemarau dengan di musim hujan tidak seberapa. Demikianlah Analisis Lingkungan Gesang yang dituangkan dalam syair lagu Bengawan Solo. Kasihan Gesang, apa yang dicoba diungkapkannya tentang perubahan lingkungan Bengawan Solo antara riwayatmu ini dengan riwayatnya dulu terpupus oleh doktrin ultilitarianisme dunia periklanan.
Itu baru sebuah contoh bagaiamana dunia periklanan dengan doktrin asas kemanfaatan itu. Yang paling memuakkan tubuh perempuan untuk promosi, dan juga tak terlepas dari ucapan berselera rendah: "Cowok-cowok pada menempel kaya' perangko".
Lagi-lagi catatan pinggir, mengenai istilah perempuan yang saya pakai di atas, mengapa saya tidak memakai istilah wanita. Perempuan adalah istilah asli Melayu, Batak, Jawa, Luwu, Selayar. Asal katanya empu. Empu jari bagian jari yang utama. Tanpa empu jari kita tidak mampu memegang. Empu dalam bahasa Melayu berarti tuan, perempuan berarti yang dipertuan. Ompu adalah gelar kemuliaan orang Batak. Si Singa Mangaraja juga bergelar Patuan Ompu Pulo batu. 'Mpu adalah gelar kehormatan orang Jawa, seperti 'Mpu Tantular. Opu adalah gelar bangsawan orang Luwu dan Selayar. Jadi perempuan bermakna yang dipertuan, yang dihormati, yang utama, yang memegang peranan. Sedangkan wanita? Berasal dari bahasa Sangsekerta vanita, artinya yang dimiliki. Vanita, wanita, banita lalau terjadi gejala pertukaran konsonan n dengan t, menjadilah betina, yang hanya khusus untuk binatang. Sayangnya makna milik dari vanita ini jadinya merasuk ke dalam empu, yang sekarang sudah bearti milik.
Jadi tidak mesti kebudayaan Hindu (baca Sangsekerta) lebih beradab dari kebudayaan asli Indonesia. Bahasa menunjukkan kemuliaan, keberadaban bangsa.
*** Makassar, 31 Oktober 1993
31 Oktober 1993
[+/-] |
101. Air Mengalir Sampai Jauh |
24 Oktober 1993
[+/-] |
100. Tradisi Keilmuan Ummat Islam |
Sebenarnya saya ingin sekali turut berpartisipasi secara pasif, yaitu menguping, dalam seminar yang berlangsung di auditorium Aljibra UMI Kampus Baru, Selasa 12 Oktober 1993, utamanya ingin sekali menguping sajian Nurkhalis Majid. Sayang sekali keinginan menguping itu tidak terlaksana, karena waktunya berimpit dengan kegiatan akademik, yaitu ujian meja mahasiswa. Yang sempat saya berpapasan adalah dengan kendaraan pemakalah Mattulada memakai songkok, suatu penampilan yang agak langka baginya, yang dalam penampilan keseharian biasanya tidak berpeci. Demikian pula perihal kendaraan yang dikendarai oleh sahabat lama saya ini sejak di Sihan Gakko di Nengo dahulu, sayang untuk tidak direkam dalam media cetak. Kendaraan itu tersesat di lapangan parker sebelah Barat. Itu adalah peristiwa langka, tersesat dalam Kampus Baru UMI yang relatif kecil itu pada waktu menuju ke auditorium Aljibra di pingir lapangan parker Timur.
Terakhir sekali saya bertatap muka secara langsung dengan Nurkholis Majid dalam permulaan tahun 70-an di Perpustakaan Umum Makassar yang gedungnya sudah dibongkar disulap menjadi hotel di Jalan Kajao (DR) Laliddo, dalam majelis yang sangat terbatas, hanya berjumlah 5 orang: Nurkholis Majid, M.Quraisy Syihab (sekarang Rektor Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, tempat Nurkholis Majid menjadi dosen), A.Rahman Rahim (sekarang Koordinator Kopertis, mantan Atase Kebudayaan di Arab Saudi), Halide (sekarang Atase Kebudayaan di Arab Saudi) dan saya sendiri. Yang dibicarakan dalam majelis terbatas itu adalah gagasan sekularisasi Nurkholis yang menghebohkan itu.
Sekularisasi Nurkholis Majid menyimpang dari pemahaman yang dianggap mapan, namun Nurkholis pandai berkelit dengan senjata pamungkas: "bukan begitu maksud saya. Sekularisasi bukanlah sekularisme", demikian kelit Nurkholis Majid. Tidak ada kesimpulan yang disepakati dalam perbincangan itu, oleh karena saya tetap bertahan, bahwa menduniakan yang dianggap sakral (sekularisasi) dengan pemisahan dunia dengan akhirat (sekularisme), keduanya berasal dari sumber yang sama: "Geeft dan den Keizer wat des Keizers is, en Gode wat Gods is (Marcus 12:17)", berikanlah kepada Kaisar yang milik Kaisar, dan berikanlah kepada Tuhan apa yang miliknya Tuhan. Dari Marcus (12:17) ini diturunkanlah paradigma sekularisme yang terkenal dalam sejarahnya orang barat: "Scheiding tussen staat en kerk", pemisahan atau dikhotomi antara negara dengan gereja.
Maka apa yang dapat saya peroleh yang saya anggap menarik dibicarakan dalam kolom ini hanya berasal dari sumber informasi sekunder, melalui media cetak. Ketika Nurcholis Majid berada di Iran ia mengagumi keadan para Mullah di negeri itu, oleh karena tradisi keilmuan di negeri itu sudah lama terbentuk. Menurut Nurholis dalam dialog terasa nampak sekali perbedaan yang menyolok antara Ahlussunnah dengan Syi'ah, tetapi tidak menimbulkan ketegangan. Sebabnya ialah para Mullah itu walaupun menghadapi perbedaan paham, mereka tetap menghargai pendapat orang lain. Sikap keterbukaan menghargai paham orang lain adalah akibat para ulama Syi'ah itu memiliki perlengkapan ilmiyah yang bagus, produk tradisi keilmuan yang telah lama terbentuk itu. Nurkhalis menganjurkan agar ummat Islam di Indonesia yang Ahlussunnah ini harus mempersiapkan perlengkapan keilmuan yang bagus agar dapat maju dalam pemikiran yang kontemporer.
Pada waktu kecil saya banyak mendengar ucapan yang negatif tentang Syi'ah. Namun dalam hati kecil saya kurang senang mendengarkannya, karena tidak sesuai dengan Pau-Pauanna Bagenda Ali, Hikayat Baginda Ali, yang diperdengarkan dengan gaya sinrili', dalam arti lagu dan irama, namun tanpa kesokkeso', dihikayatkan oleh penghikayat dalam sikap terlentang menengadah berbantalkan kedua telapak tangan, dengan lengan yang dilipat di belakang. Adapun yang saya kurang senangi, yang tidak seirama dengan Pau-Pauanna Bagenda Ali itu, utamanya dua hal yang berikut: Pertama dikatakan bahwa Al Qurannya Syi'ah 31 juz, yang kedua bahwa Jibril salah alamat, mestinya risalah kenabian itu ditujukan pada Ali, tetapi yang menadahnya adalah Muhammad. Setelah saya dewasa dan membaca Mahabharata versi Walmiki, saya melihat bahwa sumber inforamasi salah alamat itu berasal dari utusan dewa yang salah memberikan senjata pamungkas. Mestinya dialamatkan kepada Harjuna, tahu-tahu utusan itu memberikannya kepada Karna. Jadi rupanya cerita salah alamat itu tidak bersumber dari israiliayat, melainkan bersumber dari sastra Hindu. Bagaimana dengan Al Qurannya Syi'ah yang 31 juz? Sekarang ini di rumah saya di antara koleksi buku saya kalau itu terlalu menterang untuk dikatakan Perpustakaan Pribadi yang kecil, ada sebuah Kitab Al Quran cetakan Qum, Iran, terdiri atas 30 juz, 114 Surah, tidak berbeda dengan Al Quran hadiah umum dari Al KHadamu lHaramain, pelayan dua kota suci, Raja Fahd dari Kerajaan Arab Saudi yang dihadiahkan melalui portir lapangan udara King Abdul 'Aziz, di Jeddah. Jadi kedua cerita yang negatif tentang Syi'ah itu tidak mengandung kebenaran sama sekali.
Kembali pada apa yang dikemukakan oleh Nurkholis Majid agar ummat Islam di Indonesia mempersiapkan perlengkapan keilmuan yang bagus, maka dalam kolom ini saya telah menyumbangkan sekelumit pemikiran dalam Seri 099 hari Ahad yang lalu tentang Metode Pendekatan Qawliyah-Kawniyah. Yaitu antara lain dalam yatafaqqahu fi ddiyn tidak berhenti dalam tahap ijtihad di bidang hukum atau penafsiran di luar bidang hukum. Tidak berhenti dalam keadaan status quo yang tidak memecahkan permasalahan, mengendap dalam qala wa qiyla. Tradisi keilmuan ini harus berlanjut dalam metode pendekatan. Tahap ijtihad dan penafsiran itu harus dilanjutkan ke tahap ujicoba, seperti telah diuraikan sedikit teperinci dalam Seri 099, dengan mengambil contoh SDSB.
Sebenarnya apa yang dipertentangkan oleh Ahlussunnah dengan Syi'ah dalam lapangan politik-kenegaraan sudah kadaluarsa sekarang. Seperti diketahui yang dipertentangkan itu adalah hal penerus RasuluLlah sebagai kepala negara, yang Ahlussunnah berdasarkan atas pemilihan dengan musyawarah, sedangkan yang Syiah atas dasar washiyat. Bukankah itu sudah kadaluarsa, Syi'ahpun sekarang ini sudah memakai asas pemilihan dengan musyawarah yang contoh empirisnya adalah Republik Islam Iran. Dengan kadaluarsanya silang sengketa dalam bidang politik-kenegaraan ini, tentulah elok kiranya jika itu ditingkatkan dalam bidang tradisi keilmuan di kalangan ummat Islam. Upaya ini hanya dimungkinkan dengan menanamkan sikap keterbukaan, sehingga suara sumbang yang biasa didengar menjadi merdu. Seperti misalnya suara sumbang yang ditujukan kepada Jalaluddin Rahmat bahwa dia itu sudah menjadi Syi'ah, atau sekurang-kurangnya dia sudah bukan Ahlussunnah lagi, namun belum sampai menjadi Syi'ah. Mudah-mudahan upaya keterpaduan tradisi keilmuan ummat Islam itu kiranya dapat terwujud, insya-Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 24 Oktober 1993
18 Oktober 1993
[+/-] |
098. Allah Mencipta lalu Menyempurnakan |
Dalam S.Al A'la 1-3 Allah berfirman: Sabbihisma Rabbika lA'la. Alladzie khalaqa fasawwa-. Walladziy qaddara fahada-. Sucikanlah nama Maha Pengaturmu Yang Maha Tinggi. Yaitu Yang mencipta lalu menyempurnakan. Yaitu yang mentaqdirkan dan mengarahkan.
Allah mengatur hasil ciptaanNya dengan TaqdiruLlah yang dapat dipelajari oleh manusia dalam batas tertentu. Yaitu proses alamiyah yang dapat ditangkap oleh pancaindera dan instrumen. Ayat yang dikutip di atas itu menunjukkan makhluk itu sesudah diciptakan Allah dimulai dari tidak sempurna kemudian berproses menjadi sempurna menurut Taqdir Allah, TaqdiruLlah.
Makhluk ciptaan Allah yang paling sempurna adalah manusia, fiy ahsani taqwiym, sebaik-baik kejadian. Artinya manusia itu adalah akhir dari proses makhluk menjadi sempurna. Ini dapat kita lihat dalam S.Al Hijr ayat 29 dan 30. Wa idzqaala rabbuka li lmala-ikati inniy khaaliqun basyaran min shalshaalin min hamain masnuwn. Faidzaa sawwaytuhu- wanafakhtu fiyhi min ruwhiy ..., dan ingatlah ketika Maha Pengaturmu berkata kepada para malikat sesungguhnya Kuciptakan manusia dari tanah kering dari tanah hitam yang berubah. Ketika telah Kusempurnakan dia Kutiupkan ruh ciptaanKu kedalam tubuhnya...
Dapatkah teori evolusi dipakai sebagai ilmu bantu dalam memahami proses penyempurnaan makhluk ciptaan Allah menjadi manusia yang fiy ahsani taqwiym, sebaik-baik kejadian?
Ada dua keberatan. Yang pertama, Adam dan Hawa tinggal dalam jannah, bersuka-ria di dalamnya, makan buah-buahan apa saja yang mereka inginkan (S.Al Baqarah 35). Bagaimana mungkin proses evolusi dapat menjangkau ke sana. Keberatan yang kedua adalah jika diperhadapkan pada kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam. Kedua substansi tersebut, yaitu Adam dan Hawa tinggal dalam jannah, dan Hawa dari tulang rusuk Adam, insya Allah akan dibahas tersendiri.
Allah berfirman dalam S. Al Baqarah 30: Wa idz qaala rabbuka li lmala-ikati inniy ja-'ilun fi l.ardhi khaliyfatan, qaluw ataj'alu fieha man yufsidu fieha wa yasfiqu ddima-a ..., ingatlah ketika Maha Pengaturmu berkata kepada para malaikat, sesungguhnya akan Kujadikan khalifah diatas permukaan bumi, berkatalah para malaikat, apakah Engkau akan menjadikan di atasnya, yang merusak dan menumpahkan darah, ...
Dari manakah malaikat dapat tahu bahwa bakal khalifah itu dari jenis makhluk yang suka merusak dan menumpahkan darah? Pada hal malaikat tidak diberi pengetahuan oleh Allah tentang hal itu? Nama-nama atau identitas benda-benda saja para malaikat tidak tahu, malahan Allah menyuruh menanyakan identitas benda-benda itu kepada Adam. Adapun malaikat dapat mengetahui sifat jelek itu dari apa yang telah disaksikannya. Artinya sudah ada makhluk yang seperti Adam postur tubuhnya. Bedanya makhluk pra-Adam itu dengan Adam dan Hawa adalah makhluk pra-Adam hanya diberi naluri saja. Sedangkan Adam dan Hawa di samping naluri sudah diberi nafs (jiwa, kedirian, personality) dan ruh oleh Allah SWT, dan inilah akhir dari proses penyempurnaan fiy ahsani taqwiym, manusia terdiri atas tataran jasmani, nafsani dan ruhani Dengan ruh itu Adam dan Hawa mempunyai tenaga batin dan menjadi makhluk berakal. Adam dan Hawa serta keturunannya apabila mati naluri dan nafsnya berhenti bekerja dan ruhnya berpindah ke alam barzakh seterusnya ke alam akhirat. Sedangkan makhluk pra-Adam yang hanya punya naluri saja seperti binatang yang lain, jika mati nalurinya berhenti bekerja, dan karena tidak punya ruh, tidak mempunyai hari kemudian.
Adam dan Hawa diciptakan dari tataran nafs (diri) yang satu seperti firman Allah dalam (S. An Nisa-, 1): Ya-ayyuha nna-su ittaquw rabbakumu lladzie khalaqakum min nafsin wa-hidatin wa khalaqa minha- zawjaha- wa batstsa minhuma- rija-lan katsiyran wa nisa-an (S.AnNisa-u,1). Hai sekalian manusia bertaqwalah kepada Maha Pengaturmu yang telah menciptakan kamu dari diri (jiwa) yang satu dan dari padanya menciptakan jodohnya dan dari pada keduanya memperkembang-biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Nafsun wahidatun (gender perempuan) dalam ayat itu jelas tidak menunjuk kepada Adam, melainkan menunjuk kepada tataran nafsani Adam, karena Adam itu mudzakkar (gender laki-laki). Lalu bagaimana pula tentang Hawa itu berasal dari salah satu tulang rusuk Adam? Itu tidak ada disebutkan dalam Al Quran. Yang disebutkan dalam Al Quran, ya seperti dalam (S. An Nisa-, 1) di atas itu, keduanya diciptakan dari diri (jiwa) yang satu. Seperti telah termaktub di atas, insya-Allah perkara tulang rusuk ini akan dibahas dalam seri tersendiri.
Karena berakal itulah Adam dapat menerima pelajaran bahasa dari Allah SWT, dan anak keturunannya mampu berkebudayaan, karena salah satu faktor penting dalam menumbuhkan kebudayaan adalah bahasa. Orang berdzikir dan berpikir memerlukan bahasa. Makhluk pra-Adam itu belum mengenal bahasa yang berstrukur, yah hanya berbahasa dengan bunyi, seperti bahasa binatanglah. Karena itu makhluk pra-Adam itu tidak dapat berbudaya, sehingga tidak mampu struggle for existence, akhirnya punah, seamsal makhluk pra-Adam Neanderthal. Yang mampu bertahan adalah makhluk keturunan Adam dan Hawa, yaitu kitalah ini manusia yang berakal.
Ada TaqdiruLlah yang berlaku umum yaitu aturan Allah yang "ditanam" di universe. TaqdiruLlah yang ditanam itu dapat dikaji oleh sains, termasuk proses evolusi yang diprogramkan oleh Allah hingga manusia pra-Adam, manusia purba yang disebutkan "banu jan" . Perkara penciptaan Adam dan Hawa memalui TaqdiruLlah yang tidak ditanam di universe. TaqdiruLlah yang tidak ditanam ini seperti: Nabi Muhammad SAW diisra/mi'rajkan oleh Allah, dari sela-sela jari beliau keluar air, Nabi Ibrahim AS tidak dimakan onggokan api, tongkat Nabi Musa AS membelah L. Merah, Nabi Isa AS dilahirkan tanpa ayah serta beliau dapat menghidupkan orang mati dengan seizin Allah SWT. Demikianlah Adam dan Hawa diciptakan langsung dari tanah, tidak mengalami proses evolusi. Postur tubuhnya diciptakan Allah dengan "model" berupa duplikat makhluk pra-Adam atau manusia purba (banu jan), sehingga menurut penelitian dengan Serelogi secara experimental didapatkan bahwa reaksi serum menunjukkan adanya hubungan kekerabatan sedikit antara manusia dengan kera berhidung pesek, hubungan kekerabatan yang lebih nyata antara manusia dengan orang utan, dan yang paling dekat kekerabatannya dengan manusia adalah chimpanze.
Jadi apabila teori evolusi itu benar, maka hanya terbatas hingga manusia purba. Namun teori evolusi itu perlu disempurnakan dengan nilai tawhid: Bukan blind evolution by chance, melainkan evolusi yang terarah, menurut TaqdiruLlah yang umum yang ditanam di universe, diarahkan oleh Allah SWT sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, khalaqa fa sawwa, mencipta lalu menyempurnakan melalui proses evolusi dan secara lompatan. Maksudnya dengan "lompatan" itu artinya tidak sinambung, yaitu terputus antara manusia purba dengan Adam. Sekali lagi diingatkan bahwa penciptaan Adam dan Hawa melalui TaqdiruLlah yang tidak ditanam di universe, jasmani Adam diciptakan langsung dari tanah dengan tidak melalui proses evolusi. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 18 Oktober 1993
17 Oktober 1993
[+/-] |
099. Memerdekakan Sains dari Atheisme dan Agnostisisme. |
Menuju Satu Sistem Pendekatan Ayat Qawliyah-Kawniyah
Atheisme adalah faham yang menolak tentang adanya Tuhan. Lembaga pendukungnya berupa negara komunis USSR, yang sekarang sudah mantan, selama sekitar 70 tahun tampil di panggung dunia dan sempat menjadi salah satu raksasa. Sebelumnya di Indonesia lembaga pendukung atheisme yaitu PKI telah hancur 28 tahun lalu. Sungguhpun lembaga pendukung itu sudah lenyap, namun atheisme ini masih kuat kukunya mencengkeram sains tanpa disadari betul oleh para pakar apa lagi yang bukan pakar.
Agnostisisme adalah faham yang tidak mau pusing tentang Tuhan. Bagi mereka yang menganut faham ini adanya Tuhan ataupun tidak adanya Tuhan bukanlah masalah yang harus diseriusi. Faham ini tidak didukung oleh yang melembaga tetapi secara sporadis didukung oleh para filosof seperti misalnya Betrand Russel. Sama dengan atheisme, agnostisisme ini juga erat mencekik sains.
Pokok kepercayaan dalam dunia ilmiyah disebut dengan postulat. Keseragaman di alam raya ini adalah sebuah postulat dan itu merupakan asas filsafat dalam dunia ilmiyah. Postulat tentang keseragaman di alam raya ini dalam dunia ilmiyah yang tidak mau tahu tentang Tuhan, yang diwarnai oleh atehisme dan agnostisisme, sama sekali tidak ada dasarnya, karena diterima begitu saja, tanpa alasan apa-apa.
Sebagai ilustrasi, kalkulasi matematis Einstein tentang gravitasi dengan aljabar tensor, ada 20 koefisien gravitasi yang disebut koefisien kelengkungan (coefficients of curvature). Kalau semua koefisien itu nol berarti geometri ruang-waktu datar, gravitasi tidak ada. Kalau semua harga koefisien kelengkungan itu sembarangan maka gravitasi juga akan bekerja sembarangan, artinya tidak ada keteraturan di alam ini. Einstein memilih tengah-tengahnya, 10 koefisien yang nol, dan 10 koefisien yang sembarangan. Ini memberikan hasil geometri ruang-waktu tidak datar dan gravitasi diikat hukum tertentu dan berlaku di mana-mana di dalam geometri ruang-waktu. Kita mempunyai asusmsi bahwa Einstein percaya akan adanya Allah Yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. Namun Einstein tidak mengaitkan suatu apapun kepada Allah tentang keseragaman dan keteraturan hasil ciptaanNya dalam Teori Relativitas Umumnya, karena Einsteinpun taat pada warna ilmu yang memihak kepada golongan atheist agnostik, tidak boleh menyebut-nyebut Allah dalam sains.
Jika sains itu berasaskan tawhid, Allah Maha Esa dalam zatNya, Maha Esa dalam oknumNya, Maha Esa dalam sifatNya dan Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka prinsip keseragaman, keuniversalan dan keteraturan alam semesta di alam raya ini kuat dan logis landasannya. Artinya Allah SWT Yang Maha Esa, sebagai Al Khaliq sebagai Maha Pencipta dan Ar Rabb, Maha Pengatur, Maha Esa dalam perbuatanNya, membawa konsekwensi logis kuatnya landasan tentang keseragaman dan keteraturan alam semesta. Jadi Pendekatan Ilmiyah itu barulah kuat landasan dan titik tolaknya, apabila Pendekatan Ilmiyah berpangkal tolak dari Tawhied. Dunia ilmiyah harus dimerdekakan dari cengkeraman faham-faham atheist dan agnostik.
Pada kutub yang lain pemahaman Al Quran, yatafaqqahu fi ddiyn, sudah berhenti dalam tahap ijtihad di bidang hukum atau penafsiran di luar bidang hukum. Hanya berhenti dalam keadaan status quo, menurut qaul si fulan begini dan menurut qaul si fulan yang lain begitu. Sebagai contoh yang sangat sederhana ialah kasus SDSB. Sudah berhenti dalam tahap perumusan status quo: Ada faqih (pakar di bidang fiqh), yaitu Prof.DR. K.H.Ibrahim Hosen, yang Ketua Komisi Fatwa MUI mengatakan SDSB itu bukan judi, jadi tidak haram. Namun sejumlah faqih lain mengatakan SDSB itu judi, jadi haram. Inilah suatu keadaan status quo, yang tidak memecahkan permasalahan, mengendap dalam qala wa qiela. Di sinilah kelemahan pendekatan yatafaqqahu fi ddiyn dalam Ilmu Fiqh, yaitu tidak melanjutkan tahap ijtihad itu ke tahap ujicoba. Buat penelitian dari segala segi oleh lembaga yang independen dari lembaga pengelola SDSB itu. Penelitian itu harus menyangkut dari banyak segi seperti misalnya antara lain pengaruhnya terhadap prestasi oleh raga, kesehatan mental masyarakat dari penyakit pola pikir spekulatif dan khurafat, peredaran uang, etos kerja keras, kriminalitas dan lain-lain. Kemudian hasil penelitian itu dirujukkan pada kriteria Al Quran. Kalau mudaratnya lebih banyak dari manfaatnya maka itu adalah judi dan dalam hal ini haram hukumnya.
Al Quran tidak membedakan pengertian ayat, baik yang dimaksud dengan isi Al Quran, yang disebut dengan ayat Qawliyah (terucap), maupun yang dimaksud dengan alam, yang disebut dengan ayat Kawniyah (kosmologik). Dalam kedua ayat di bawah ini jelas Al Quran tidak membedakan pengertian ayat, baik sebagai ayat menyangkut isi Al Quran, maupun ayat tentang alam.
-- Wa laa tasytaruw bia-ya-tiy tsamanan qaliylan, dan janganlah engkau menjual ayat-ayatKu dengan harga murah (S. Al Baqarah, 2:41) Wa yunazzilu mina ssama-i ma-an fayuhyiy bihi l.ardha ba'da mawtihaa inna fiy dza-lika laa-ya-tin liqawmin ya'qiluwn, dan diturunkanNya hujan dari langit, dan dengan itu dihidupkanNya bumi sesudah matinya, sesungguhnya dalam hal ini adalah ayat-ayat bagi kaum yang mempergunakan akalnya (S. Ar Ruwm,24).
Jadi baik isi Al Quran maupun alam semesta adalah sumber informasi, suatu fakta yang tak boleh diragukan. Kedua sumber informasi itu berasal dari Allah SWT, Sumber dari segala sumber. Dalam bahasa Indonesia dan juga bahasa lain kata ayat ini tetap dipakai, tidak usah diterjemahkan. Maka orang akan memfokuskan minatnya menghilangkan polarisasi pendekatan terhadap ayat Qawliyah dengan yang Qawniyah, melebur keduanya menjadi satu sistem, yaitu Pendekatan Qawliyah-Kawniyah, seperti berikut:
a. berlandaskan tawhid,
b. bertolak dari sikap ragu terhadap pemikiran manusia,
c. pengamatan,
d. penafsiran,
e. ujicoba.
Hasil pengamatan ditafsirkan. Penafsiran membuahkan teori. Teori adalah hasil pemikiran manusia, dan itu perlu diragukan, artinya belum tentu benar. Jadi harus diujicoba, yaitu dengan jalan merujukkannya pada sumber informasi, yaitu ayat Qawliyah dan Kawniyah. Ujicoba penafsiran Al Quran dirujukkan pada ayat-ayat Al Quran yang lain dan bila mungkin dirujukkan pula pada ayat-ayat alam. Demikian pula ujicoba terhadap penafsiran alam dirujukkan kepada ayat-ayat alam yang lain, dan bila mungkin dirujukkan kepada ayat Al Quran.
Hari Ahad lalu kita sudah tuliskan bagaimana teori evolusi itu diberi nilai tawhid, itu artinya kita sudah memakai metode Pendekatan Qawliyah-Kawniyah tahap awal, berlandaskan tawhid. Juga dalam tulisan tersebut, teori evolusi itu dijadikan ilmu bantu dalam memahami S.Al A'la, 2. Dari sisi lain itu berarti teori evolusi itu diujicoba dengan merujukkannya pada sumber informasi ayat Qawliyah S.Al A'la: Alladziy khalaqa fa sawwa-, yaitu Yang mencipta lalu menyempurnakan.
Namun perlu ditekankan di sini, bahwa tentu tidak semua ijtihad dan penafsiran itu dapat diujicoba, baik itu terhadap sumber informasi wahyu, yang Qawliyah, maupun terhadap sumber informasi alam, yang Kawniyah. Dalam hal ijtihad yang tidak dapat diujicoba merujuk pada ayat Qawliyah dan Kawniyah, maka ijtihad yang berbeda itu ibarat pakaian, dipakai dalam situasi yang cocok, ibarat pakaian tebal dipakai pada musim dingin, dan pakaian tipis dipakai pada musim panas.
Catatan: Seri ini adalah lanjutan dan sasaran akhir dari kedua seri sebelumnya, yaitu Teori Evolusi dan Allah Mencipta lalu Menyempurnakan. Maka eloklah kiranya ketiga seri tersebut dibaca berkesinambungan. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 17 Oktober 1993
3 Oktober 1993
[+/-] |
097 Teori Evolusi |
Apabila teori evolusi menyangkut bumi atau benda-benda langit yang lain misalnya, tidak ada masalah. Akan tetapi apabila menyangkut dunia binatang barulah ada masalah. Mengapa? Teori evolusi mengatakan bahwa binatang bersel satu sebagai awal evolusi dan manusia sebagai akhir evolusi. Bagaimana mungkin evolusi menyangkut manusia itu dapat diterima, jika diperhadapkan pada kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam. Lagi pula dalam S.Al Baqarah 35 dapat kita baca: Wa qulna ya adamu skun anta wa zawjuka ljannata wa kula minha raghadan haytsu syi'tuma,... dan Kufirmankan ya Adam tinggallah engkau dan pasanganmu dalam jannah dan makanlah yang ada di dalamnya buah-buahan, bersenang-senanglah sekehendakmu berdua,...Kalau Adam dan Hawa diciptakan dalam jannah, bagaimana mungkin proses evolusi itu menjangkau ke sana?
Secara common sence teori evolusi ini menghina manusia yang diciptakan Allah sebaik-baik kejadian. Sampai hatilah Darwin mengatakan bahwa manusia itu berasal dari monyet. Itu menghina nenek moyang kita Nabi Adam dan Hawa. Betulkah menurut teori evolusi Darwin manusia itu berasal dari monyet?
Di kepulauan Galapagos, yang terletak di Pasifik, sebelah barat Amerika Selatan, Charles Darwin (lahir dalam tahun 1809 di Shrewsbury, Inggeris) mendapatkan di sana burung pekicau bentuknya menyimpang dengan yang di daratan Amerika. Pada setiap pulau terdapat bentuk yang berbeda dari jenis yang sama. Kepulauan ini sudah lama terisolasi, sehingga burung-burung itupun juga sudah lama terisolasi. Begitupun keadaannya dengan penyu-penyu laut, terdapat pula penyimpangan dengan yang sejenisnya di pesisir Amerika Barat. Ia tiba kepada kesimpulan, bahwa burung-burung ataupun penyu-penyu yang berbeda itu berasal dari jenis yang sama, terjadinya perbedaan itu karena mengalami proses evolusi, menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya.
Maka mulailah ia menarik kesimpulan dengan generalisasi, bahwa setiap binatang yang sekarang ada persamaannya berasal dari jenis yang sama. Dengan mempergunakan hasil penelitian tentang fosil oleh Cuvir, lahir 1769, berkebangsaan Perancis, jadi lahir sebelum Darwin, generalisasi itu ia tarik terus, lalu tiba kepada kesimpulan bahwa binatang itu dimulai dari bentuk yang paling bersahaja, berangsur-angsur menjadi bentuk yang lebih komplex hingga yang paling komplex, manusia. Manusia dan monyet itu berasal dari jenis yang sama. Jadi Darwin tidak mengatakan bahwa manusia itu berasal dari monyet.
Sebenarnya Darwin tidak sendirian, karena sebelumya secara terpisah Chevalier de Lamarck, lahir 1744, berkebangsaan Perancis juga tiba kepada kesimpulan yang sama dengan Darwin tentang evolusi. Menurut Lamarck perubahan secara evolusi itu terjadi, karena bagian tubuh dalam penggunaannya menyesuaikan diri dengan alam lingkungan hidupnya. Seamsal anjing laut kakinya sudah berbentuk sirip, karena berlama-lama turun temurun dipakai untuk berenang. Sedangkan Darwin menekankan perubahan itu disebabkan oleh seleksi alam berupa struggle for existence, perjuangan untuk mewujud, dan survival of the fittest, yang tertangguh bertahan hidup.
Perubahan eksternal (variasi phaenotypis) yang dikemukakan Lamarck dan Darwin ini dibantah oleh Ilmu Genetika, yaitu variasi phaeotypis itu tidak menurun ke generasi berikutnya, karena perubahan yang menurun itu (variasi genotypis) ditentukan oleh khromosom sebagai pusat kelestarian (heredity), jadi bersifat internal. Biarpun ekor kucing dipotong terus dari generasi ke generasi, tidak akan pernah menghasilkan kucing tanpa ekor, karena sudah terpola dalam khromosom, kucing itu punya ekor.
Pada mulanya duel antara teori evolusi variasi phenotypis ini dengan Ilmu Genetika seperti akan dimenangkan oleh Ilmu Genetika. Namun keadaan jadi terbalik setelah Hugo de Vries, berkebangsaan Belanda pada tahun 1903 memperkenalkan proses mutasi, perubahan bersifat internal, variasi genotypis, bahwa khromosom dapat berubah baik secara alami, maupun secara paksa. Mutasi yang alami terjadi oleh suhu dan kelembaban yang berubah mendadak secara tajam, sedangkan mutasi secara paksa, adalah dengan cara penyinaran. Dalam dunia pertanian dewasa ini mutasi secara paksa itu dilakukan dengan radiasi dari zat yang radioaktif. Bibit unggul padi misalnya didapatkan secara mutasi paksa ini. Setelah de Vries mengemukakan proses mutasi ini, maka duel antara teori evolusi dengan Ilmu Genetika dimenangkan oleh teori evolusi, bahkan Ilmu Genetika itu berbalik menjadi alat untuk menguatkan teori evolusi.
Dalam babak-babak terakhir teori evolusi mendapat bantuan lagi dengan ditemukannya Serelogi, ilmu perihal perseruman. Dengan Serelogi ini secara experimental didapatkan bahwa reaksi serum menunjukkan adanya hubungan kekerabatan sedikit antara manusia dengan kera berhidung pesek, hubungan kekerabatan yang lebih nyata antara manusia dengan orang utan, dan yang paling dekat kekerabatannya dengan manusia adalah chimpanze.
Nah, ini bukanlah hal yang dapat dianggap sepele, bukan perkara main-main. Bagi kita yang bukan dari bidang disiplin Biologi dengan mudah kita katakan coretlah itu teori evolusi, atau sekurang-kurangnya buanglah jauh-jauh dalam benak yang menyangkut dengan evolusi. Itu bertentangan dengan Kitab Suci. Namun bagi mereka dari bidang disiplin Biologi, tidak semudah itu untuk mencoret, karena dilatarbelakangi dengan pemahaman teori evolusi oleh trio Lamarck, Darwin, de Vries dengan bantuan Ilmu Genetika dan Serelogi seperti yang dikemukakan di atas. Saya masih teringat seorang teman dari disiplin Biologi, Wld Lbs. yang sempat guncang imannya. Wld ini bingung atau ikut Kitab Suci, atau ikut teori Darwin. Saya katakan kepadanya, tinggalkanlah itu Biologi, pindah jurusan. Tetapi dia itu kepala batu juga. "Saya tidak mau melarikan diri dari masalah," demikian ucapnya.
Cora Reno menulis: One cannot accept both Bible and evolution as truth. They are contradictory (Orang tidak dapat menerima kebenaran keduanya sekaligus, Bible dan evolusi sekaligus. Keduanya itu bertentangan), ["Evolution, Fact or Theory?", The Moody Bible Institute of Chicago, kaca 115]. Inilah latar belakang penulisan teori evolusi dalam kolom ini. Kita tidak ingin agar saudara-saudara kita dari disiplin Biologi seperti Wld Lbs yang terpecah kepribadiannya menjadi dua, di satu saat sebagai orang beriman dan di saat yang lain sebagai orang berilmu. Sebagai orang beriman harus menolak teori evolusi, sebagai orang berilmu ia harus menolak Kitab Suci. Mereka yang pecah kepribadiannya karena teori evolusi ini tidak memerlukan pelayanan ataupun santapan ruhaniyah dalam masalah ini, melainkan memerlukan santapan yang bersifat intelektual. Maka dimintalah kesabaran menunggu santapan intelektual ini hingga hari Ahad yang akan datang, insya Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar 3 Oktober 1993