Suatu hal yang biasa apabila kata-kata pungut yang dipungut dari bahasa asing, jika sudah menjadi bahasa Indonesia (dan bahasa lain tentunya) akan berubah maknanya. Ambillah misalnya kata logat yang dipungut dari bahasa Arab Al Lughatu (dibaca Al Lughah). Dalam proses memungut ini terjadi penyempitan makna. Logat dalam bahasa Indonesia bermakna dialek, sedangkan Al Lughatu berarti bahasa. Sebaliknya pemungutan kata kalimat dan bahasa Arab Al Kalimatu (juga dibaca Al Kalimah), terjadi perluasan makna. Kalimat berarti susunan kata kata yang berstruktur, yang dalam bahasa Inggerisnya disebut sentence. Sedangkan Al Kalimatu bermakna kata, yaitu word dalam bahasa Inggerisnya. Bahkan pemungutan itu ada yang berubah sama sekali maknanya, seperti misalnya kata jumlah yang dipungut dan Al Jumlatu. Jumlah benmakna hasil pertambahan, sedangkan Al Jumlatu bermakna kalimat, sentence.
Oleh sebab itu dalam suatu diskusi perlu sekali diperjelas istilah-istilah yang dipungut dari bahasa Arab, lebih-lebih lagi jika kata pungut dari bahasa Arab itu sudah tidak disadari lagi sebagai kata pungut. Dalam diskusi panel hari Ahad lalu di lantai 3 Fajar, hal kerancuan makna kata pungut mi kurang disadari oleh majelis. Yaitu tentang makna kata ilmu, dalam ungkapan Iptek. Kata ilmu dipungut dan bahasa Al Quran Al 'Ilmu (dibaca Al 'lIm) bermakna pengetahuan. Yaitu hasil kegiatan akal manusia mempelajari sumber informasi yang disebut ayat. Adapun ayat itu dapat berupa wahyu yang diturunkan kepada para Nabi, keluar dan mulut para Nabi dalam bentuk verbal yang otentik. Dapat pula ayat itu berupa alam syahadah (physical world). Kedua jenis ayat itu dapat dilihat dan didengar. Jenis yang pertama dapat didengar oleh telinga jika dibacakan, itulah ayat Al Quran. Jika dituliskan bernamalah Al Kitab, yang dituliskan, maka dapatlah dideteksi oleh mata. Adapun halnya dengan jenis ayat yang kedua, yang berupa alam syahadah, pendengaran dan penglihatan manusia itu biasanya dengan bantuan instrumen. Ada pula jenis ayat yang disebut dalam S. An Najm 18 dengan Ayatu IKubray, Ayat Agung, namun ini hanya untuk konsumsi qalbu manusia yang taqwa saja, yaitu yang Yu'minuwna hi IGhaybi, mengimani Yang Ghaib (Allah, Malaikat, Ayatu lKubra, Akhirat dan Pekabaran Ghaib yaitu Yawmu lQiyaamah (hari berbangkit), Yawmu dDiyn (hari pengadilan). Jadi Ayatu lKubra tidak dapat menjadi sumber informasi bagi manusia untuk olah akal, mengilmu, beryatafaqqahu fiy ddiyn, karena Ayatu lKubra itu hanya disaksikan oleh seorang manusia saja, yaitu Nabi Muhammad SAW pada waktu lsra Mi'raj. Kata ilmu dalam bahasa Indonesia, biasanya digabungkan dengan kata pengetahuan menjadi kata majemuk Ilmu Pengetahuan. Tenjadilah pula penyempitan makna, yaitu Ilmu Pengetahuan hanya bersumberkan informasi dari alam syahadah.
Selanjutnya dibagi atas Ilmu Pengetahuan Eksakta dan Non Eksakta. Celakanya, kalau Ilmu Pengetahuan itu digabung dengan Teknologi, Iptek, makin menyempitlah makna Ilmu Pengetahuan itu. Menjadilah ia bermakna science dalam bahasa Inggeris. Adapun science ini sudah dipungut pula menjadi sains dalam bahasa Indonesia. Lab berlanjut pula ke kata scientific yang ditenjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan kata ilmiyah, scientific approach dengan pendekatan ilmiyah. Ada kesan dan sebahagian peserta diskusi panel termasuk wartawan harian Fajar pada hari Ahad yang lalu, bahwa Fuad Rumi tidak sependapat dengan ketiga panelis lainnya. Dan ini telah dibantah oleh Fuad Rumi keesokan harinya juga. Memang, sesungguhnya menurut saya ke empat panelis semuanya sependapat, tidak ada hubungan dan relevansi antara penistiwa Isra Mi'raj dengan Iptek, dalam arti Ilmu Pengetahuan dalam kosa kata bahasa Indonesia, yang telah mengalami perubahan makna dan kata asalnya tempat ia dipungut, yaitu Al 'Ilmu dalam bahasa Al Quran.
Dalam diskusi panel itu Ishak Ngelyaratan menyodorkan informasi yang sangat bermanfaat, yaitu sejak 30 tahun lalu muncul aliran yang menentang anggapan Ilmu Pengetahuan itu polos. Menurut aliran itu Ilmu Pengetahuan tidak dapat dilepaskan dan nilai-nilai moral. Walau ini patut kita syukuri namun elok kita sadari bahwa ini barulah merupakan langkah awal untuk proses selanjutnya. Upaya hanus dilanjutkan agar moral yang berperan itu bersumber dari wahyu. Ambillah contoh misalnya pembuahan sel telur oleh sperma di dalam tabung, yang menghasilkan teknologi bayi tabung. Jika ajaran moral itu sifatnya sekuler, artinya tidak bertopang pada wahyu, maka dapat saja dibenarkan tentang ekses bayi tabung yaitu timbulnya bank mani yang sekarang sudah menjadi kenyataan di beberapa negara modern. Ajaran moral yang bersumberkan wahyu jelas menolak bank mani tensebut. Demikian pula hasil teknologi jas-mani (kondom) tidak dibenarkan oleh ajaran moral yang bertumpu pada wahyu, karena mudharatnyajauh lebib besar ketiimbang manfaatnya, memperlancar dekadensi budaya oleh peningkatan eksponensial kwantitas hubungan free-sex.
Langkah selanjutnya adalah ajaran moral yang bensumberkan wahyu itu bukan hanya sekadar menjadi tukang jaga pintu yang menyeleksi apa saja yang boleh masuk ke dalam rumah Iptek, apa saja hasil yang keluar dari rumah Iptek yang boleh diteruskan ke konsumen, melainkan moral yang bersumberkan wahyu itu harus juga masuk ke dalam rumah, berperan aktif dalam proses Iptek. Seperti misalnya teknik produksi dalam pabrik-pabnik yang mempergunakan sistem sabuk berjalan (assembly line, lopende baan). Dalam sistem sabuk berjalan ini manusia, makhluq yang mulia ciptaan Allah itu, menjadi bagian dan sistem mesin. Siapa saja yang masih mempunyai rasa kemanusiaan yang peka yang menyaksikan dalam pabnik bagaiamana pekerja itu ibarat robot menjadi bagian mekanisme sistem sabuk benjalan itu, akan tergugah rasa kemanusiaannya dan akan berucap: Masya-Allah ini sudah melebihi eksploitasi manusia atas manusia, ini adalah eksploitasi mesin atas manusia. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 30 Januari 1994
30 Januari 1994
[+/-] |
114. Kata Pungut yang Menimbulkan Kerancuan |
23 Januari 1994
[+/-] |
113. Pendekatan Ilmiyah terhadap Isra? |
Ini adalah sebagian dari isi makalah yang saya sajikan dalam diskusi panel di lantai 3 Gedung Harian Fajar, yang bertemakan: "Benarkah Peristiwa Isra Mi'raj Itu Tak Ada Hubungan Dengan Iptek?" Teknologi tidak saya singgung, karena teknologi itu adalah proses yang memberikan nilai tambah pada suatu komoditi, jadi terlalu teknis-ekonomis, sehingga tidak relevan untuk mengambil tempat dalam pembahasan.
Tradisi ilmu Mesir Kuno dan Sumaria yang hanya berasaskan observasi diperkembang para pakar Yunani Kuno dengan menambahkan unsur penafsiran yang logis dan sistematis terhadap hasil observasi itu. Akhirnya disempurnakan para pakar Muslim Kuno dengan menambahkan unsur ujicoba terhadap bercorak ragam hasil penafsiran observasi. Maka terbentuklah asas pendekatan ilmiyah berikut ini:
1. bersikap ragu,
2. pengamatan,
3. penafsiran,
4. ujicoba.
Sikap ragu akan berakhir dengan menerima, atau menolak, tergantung hasil ujicoba teori hasil penafsiran observasi.
Dapatkah dilakukan Pendekatan Ilmiyah terhadap Isra? .
Langkah pertama, meragukan penistiwa Isra. Ini sangat berbahaya karena menyangkut aqidah. Orang Islam yang meragukan kebenaran Al Quran walaupun satu kalimah saja rusak aqidahnya lalu menjadi murtadlah ia. Jadi secara asasi, orang Islam kalau tidak maujadi murtad, jangan sekali-kali melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra. Langkah kedua, observasi, ini menyangkut teknis. Obyek yang dapat diobservasi adalah proses yang sinambung dan di mana saja, artinya bersifat terbuka bagi siapa saja yang akan mengobservasi. Isra hanya satu kali, atas seorang saja yaitu Nabi Muhammad SAW, dan tak seorang juapun yang menyaksikannya. Apanya yang akan diobservasi? Jadi secara teknis, langkah kedua mustahil. Langkah ketiga, apa yang mau ditafsirkan, kalau observasi tidak mungkin! Langkah keempat, apa yang mau diujicoba, tafsiran observasi tidak ada!
Maka perlu membuat redefinisi tentang Ilmu Pengetahuan. Melepaskan Ilmu Pengetahuan dari kungkungan sekularisme, agnostisisme dan atheisme, warisan budaya Renaissance. Redefinisi Ilmu Pengetahuan ini bertolak dan asas tawhid. Allah SWT adalah Sumber Ilmu dan Sumber Informasi. Allah SWT memberikan informasi kepada manusia yang disebut ayat. Ada dua jenis ayat, yaitu isi Al Quran (S. Al Baqarah 41) dan alam syahadah (S. Ar Ruwm 24). Dengan redefinisi itu , maka terbentuklah Pendekatan Imaniyah-llmiyah seperti berikut:
a. berlandaskan tawhid,
b. pengamatan,
c. penafsiran,
d. bersikap ragu terhadap pemikiran manusia,
e. ujicoba.
Hasil pengamatan ditafsirkan. Penafsiran membuahkan teori. Teori adalah hasil pemikiran manusia, dan itu perlu diragukan, artinya belum tentu benar. Jadi harus diujicoba, yaitu dengan jalan merujukkannya pada sumber informasi. Ujicoba penafsiran Al Quran dirujukkan pada ayat-ayat Al Quran yang lain dan Hadits yang shahih. Bila mungkin dirujukkan pula pada ayat-ayat alam. Demikian pula bjicoba terhadap penafsiran alam dirujukkan kepada ayat-ayat alam yang lain, dan bila mungkin dirujukkan ke pada ayat Al Quran.
Dengan pendekatan baru hasil redefinisi Ilmu Pengetahuan dapatlah kita bahas Isra. Tidak seluruh pembahasan dalam makalah itu disajikan dalam kolom ini. Kita akan terus mulai dari langkah ketiga, yaitu penafsiran. Di samping istilah Isra juga dikenal istilah yang dipakai dalam Hadits, yaitu Mi'raj, yang dibentuk oleh akar: 'Ain, Ra, Jim', 'araja, artinya naik. Pengertian naik bukan menuju ke atas kepala, artinya bukan menuju ke angkasa luar. Akhir dari Isra yaitu Al Masjidu lAqsha di Sidratu IMuntaha tatkala RasuluLlah sujud. Dalam Hadits di katakan RasuIuLlah Isra ke Al Baytu lMaqdis. Kalau Hadits ini shahih, maka Al Baytu lMaqdis tidak identik dengan Al Masjidu lAqsha. Artinya RasuluLlah diisrakan dalam dua tahap, tahap pertama dari Al Masjidu lHaram ke Al Baytu lMaqdis dan tahap kedua dari Al Baytu lMaqdis ke Al Masjidu lAqsha. Tahap kedua inilah yang disebut Mi'raj. Penafsiran terebut layak diragukan, karena itu adalab pendapat manusia. Jadi perlu diujicoba.
Ujicoba akan dirujukkan pada ayat Al Quran dan ayat alam.
Mi'raj, walaupun ini istilah yang dipakai dalam Hadits, akan tetapi pokok katanya 'araja, adalah bahasa Al Quran. Dalam S. Al Ma'aarij, 4 dapat kita baca: Ta'ruju lMala-ikatu wa rRuwhu ilayhi fly Yawmin Kaana Miqdaaruhu- Khamsiyna Alfa Sanatin. Para malaikat dan ruh (Jibril) naik kepadaNya dalam sehari yang setara dengan Iimapuluh ribu tahun. Artinya Mi'raj itu bukanlah suatu proses yang alamiyah, melainkan proses yang ghaib, menembus keluar meninggalkan alam syahadah, bahkan meninggalkan alam malakut. Dalam Hadits dikatakan bahwa Jibnil tidak mampu menemani terus RasuluLlah, artinya Jibril tidak mampu keluar meninggalkan alam malakut; itulah makna kalimah Subhana dalam S.Baniy Isra-iyl, 1. Jadi Al Masjidu lAqsha tidaklah di alam syahadah, artinya tidak di Palestina.
Alam syahadah ini relatif terhadap waktu, tempat, dan kecepatan gerak. Makin cepat gerak benda, makin berkurang ukurannya dalam arah gerak, makin bertambah besar massanya dan waktu makin lambat. Alam syahadah ini lengkung ibarat bola berdimenasi empat, (panjang, lebar, tinggi, waktu). Cahaya yang dipancarkan terus menerus akan tiba di tempat semula dalam waktu 200 bilyun tahun, apabila alam syahadah ini statis. Dalam kenyataannya menurut pengamatan alam kita ini sedang berekspansi, mengembang.
Rasulullah Mi'raj kurang dari 8 jam, padahal jarak di alam syahadah ini menyangkut waktu bilyunan tahun, dan kecepatan cahaya di alam syahadah adalah kecepatan maximum. Kalau RasuluLlah Mi'raj ke angkasa luar, akan tetap terkungkung dalam alam ini, karena ruang ini lengkung. Jadi jelaslah bahwa Rasulullah SAW pada waktu Mi'raj bukanlah merupakan perjalanan angkasa luar di alam syahadah ini. Rasulullah SAW Mi'raj menembus masuk alam ghaib yang mutlak, tidak nisbi, alam yang bebas dari ruang dan waktu. Mi'raj adalah tahap kedua dari Isra yang menembus masuk alam ghaib. Alhasil, Isra Mi'raj itu sama sekali tak ada hubungannya dengan Iptek. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 23 Januari 1994
16 Januari 1994
[+/-] |
112. Mazmur 104:24-27 dari Nabi Daud AS vs Akhenaton's Hymns to the Aton |
Telah berulang kali baik dalam media cetak, maupun dalam forum seminar, simposium, diskusi dan da'wah, saya tampilkan bahwa sains itu tidak polos, melainkan memihak kepada faham atheist, agnostik, sekuler, yaitu faham yang bersikap tidak percaya, tidak mau tahu, dan tidak mengindahkan wahyu. Tidak terkecuali ilmu sejarah dan kebudayaan yang menempatkan agama dalam posisi menjadi bagian dari kebudayaan. Adapun yang percaya kepada wahyu membagi agama itu dalam dua jenis, yaitu agama wahyu yang akarnya non-historis yang bersumber dari wahyu Allah SWT dan jenis agama kebudayaan yang akarnya historis. Agama wahyu bukanlah bagian dari kebudayaan, agama wahyu memberikan warna dan nuansa pada kebudayaan. Contohnya kebudayaan Islam adalah kebudayaan yang bernuansa dan diwarnai oleh nilai-nilai al Furqan dalam Syari'at Islam. Sedangkan jenis agama kebudayaan yang akarnya historis adalah produk kebudayaan suatu bangsa. Agama kebudayaan adalah bagian dari kebudayaan. Contohnya agama Mesir Kuno adalah produk budaya Mesir Kuno.
Dalam seri 112 ini akan ditunjukkan perbedaan antara hasil analisis pendekatan sejarah (historical approach) antara orang yang tidak percaya, tidak mau tahu, tidak mengindahkan wahyu dengan hasil analisis orang yang percaya kepada wahyu yang mempergunakan pendekatan konprehensif (sejarah dan kitabiyah, historical and scriptural). Akan saya kemukakan illustrasi kasus seperti dalam judul di atas, yaitu antara Mazmur Nabi Daud AS dengan syair pujaan Fir'aun Akhenaton, yang menyangkut visi tentang matahari.
Para pakar sejarah dan budaya yang diikat oleh disiplin ilmu sejarah dan budaya yang tidak mengindahkan wahyu, berpendapat karena zaman Akhenaton lebih tua dari zaman Daud, dengan sangat mudahnya berkesimpulan, bahwa Mazmur 104 itu mendapatkan inspirasi bahkan ada yang berpendapat hasil "plagiat" dari hymn Akhenaton kepada Aton. (Lihat misalnya: A.Powell Davis. "The Ten Commandements", The New American Library, New York, 1956, halaman 40).
Analisis saya ini yang memakai pendekatan konprehensif dapat diikuti seperti berikut. Firman Allah: Wa a-ta-hu Lla-hu lmulka wa lhikmata (s. Al Baqarah, 251), Dan Allah memberikan kerajaan dan hikmah kepadanya (Daud). Raja/Nabi Daud AS yang semula hanya menjadi raja di Israel bahagian selatan yaitu kerajaan Yahuza, kemudian menjadi raja seluruh Israel, setelah menaklukkan Jeruzalem (DaarusSalaam) yang terletak di tengah-tengah antara kerajaan selatan dengan utara. Sebagai seorang Nabi, Allah SWT menurunkan Kitab Suci Zabur (Mazmur) kepada Nabi Daud AS.
Akhenaton adalah salah seorang Fir'aun ke-9 di antara 11 Fir'aun dari dinasti XVIII. Akhenaton, yang sebelumnya bernama Amun Hotep (Amenophis) IV, adalah seorang Fir'aun yang mengadakan pembaharuan (modernisme) dalam agama Mesir Kuno, seorang monotheist. Dia memperkenalkan Tuhan yang satu-satunya harus disembah, bernama Aton. Untuk itulah mengapa ia mengubah namanya dari Amun Hotep, yang bermakna dewa Amun puas, menjadi Akhenaton, yang artinya bersama di dalam Aton. Dewa Amun adalah bagian tiga-serangkai Amun - Ra - Osiris, pencipta, pemelihara, pembinasa. Ajaran monotheist Akhenaton melebur Amun - Ra - Osiris ke dalam Aton yang menjelma menjadi Ra atau matahari. Sedangkan dalam agama lama, Ra yang hanya oknum kedua dari tiga serangkai Amun - Ra - Osiris itu menitis ke dalam setiap Fir'aun yang memerintah Mesir.
Agar jelas mengapa para pakar sejarah dan kebudayaan itu berpendapat bahwa Mazmur 104:24-27 dari Nabi Daud AS itu berasal dari dari akhenaton's Hymns to the Aton, maka berikut ini akan dipaparkan ikhtisar secara khronologis tahun-tahun kejadian sebelum Miladiyah, yang erat hubungannya dengan substansi ini.
3000 - 2700, Dinasti Fir'aun di Mesir
2000 - 1500, Emigrasi besar-besaran ke seluruh daerah subur bulan sabit.
1700 - 1550, Dinasti Hyksos (Raja Gembala), dari Kan'an (turunan kaum 'Aad Jadid ummat Nabi Shalih AS yang beremigrasi dari Hijaz ke Kan'an, yang luput dari hukuman Allah berupa hujan deras disertai angin topan puting beliung) yang menguasai Mesir, setelah menyingkirkan dinasti Fir'aun. Insya-Allah akan ditulis nanti kaum 'Aad Qadim dan Jadid ini. Raja Gembala menerima kedatangan Nabi Ibrahim AS, mengawinkannya dengan Hajar puteri Istana (jadi bukan budak seperti termaktub dalam Bijbel). Tiga generasi kemudian dinasti Hyksos memberi izin menetap kepada orang-orang Ibrani (Habiru, = 'Ibriyyah) di delta s. Nil (Goschen) atas upaya Nabi Yusuf AS, Raja Muda Mesir.
1500 - 1200, Dominasi Mesir atas tetangga-tetangganya setelah, setelah mendesak Hyksos keluar Mesir (1550). Orang-orang Ibrani mulai ditekan, kemudian diperbudak.
1337 - 1360, Periode pemerintahan Fir'aun Akhenaton.
1370, Hymn dari Akhenaton ditulis di atas kepingan (lahwah, tablet) dari tanah liat, didapatkan di Tell el Amarna (Tell = sejenis bukit yang terjadi dari reruntuhan bangunan).
1232 - 1224, Periode pemerintahan Fir'aun Merne Ptah, Fir'aun terakhir dari dinasti Fir'aun XIX. Bangsa Ibrani keluar dari Mesir dipimpin oleh Nabi Musa AS. Merne Ptah yang mengejar robongan bangsa Ibrani itu ditenggelamkan Allah SWT di Laut Merah. Sepeninggal Merne Ptah, Mesir kacau, yakni terjadi anarkhi selama 24 tahun.
Sekitar 1004 Nabi Daud AS menjadi raja bagian selatan dari Palestina, yaitu Kerajaan Jahuza.
998 Nabi Daud AS menjadi raja atas seluruh Palestina, setelah menaklukkan Jerusalem dan menjadikannya ibu-kota kerajaan.
***
Dengan pendekatan historis para pakar sejarah dan budaya yang tidak percaya wahyu (deist, agnostik, atheist) dengan enaknya secara gampangan berceroboh menyimpulkan, karena Nabi Daud AS hidup 4 abad sesudah Akhenaton, maka Mazmur Daud adalah hasil plagiat dari hymn Akhenaton ini. Bangsa Ibrani meninggalkan Mesir dengan dikejar-kejar oleh Fir'aun, tidak mungkin membawa dokumen ke-fir'aunan Mesir. Artinya Nabi Daud AS mempunyai jarak space and time yang tidak memungkinkan berkomunikasi dengan kebudayaan ke-fir'aunan Mesir. Dokumen ke-fir'aunan Mesir termasuk yang menyangkut hymn Akhenaton, secara historis tidak mungkin sampai kepada Nabi Daud AS. Maka menjadi fakta sejarah lahwah hieroglyph Akhenaton tempat hymn itu dituliskan terpendam dalam reruntuhan yang menjadi bukit dan baru didapatkan pada abad ke-20 ini. Maka kesimpulan para pakar sejarah dan budaya itu bahwa Mazmur Daud adalah hasil plagiat dari hymn Akhenaton ini, adalah sungguh-sungguh kecerobohan, sama sekali tidak ilmiyah, itu adalah hasil imajinasi yang bernuansa fitnah. Demikanlah dengan semata-mata pendekatan historis tidaklah mungkin dapat menjelaskan mengapa terdapat kemiripan antara Zabur dengan hymn itu.
Namun dengan pendekatan historis yang mengindahkan wahyu perkara itu dapat dicerahkan. Nabi Daud AS adalah seorang Nabi, sehingga terjauh dari sifat tercela memplagiat. Lalu mengapa terdapat kemiripan Zabur dengan hymn itu? Itulah gunanya pendekatan historis dengan mengindahkan wahyu.
Kita mulai dahulu dengan pendekatan historis. Dari mana Akhenaton mendapatkan konsep monotheist itu? Coba lihat catatan khronologi persitiwa di atas itu. Tiga abad sebelum Akhenaton, Nabi Yusuf AS menjabat Raja Muda Mesir dalam dinasti Hyksos. Pastilah Akhenaton mendapatkan ajaran monotheist itu dalam dokumen ke-firaunan Mesir yang berasal dari dokumen ke-hyksosan, yang di antaranya terdapat pula catatan ajaran Nabi Yusuf AS dalam gaya puisi. Dasar Akhenaton yang ditempa dalam alam agama Mesir Kuno, maka Akhenaton mencoba menyatukan ketiga oknum Amun - Ra - Osiris, menjadi satu di dalam Aton. Ajaran Nabi Yusuf AS yang dituliskan dalam gaya puisi sempat pula dibaca oleh Akhenaton, sehingga terjadi kemiripan di antara keduanya.
Dengan pendekatan wahyu dapat pula dijelaskan bahwa gaya puisi dari ajaran Nabi Tusuf AS yang bersumberkan wahyu, mengapa terdapat kemiripan dengan Zabur Nabi Daud AS, ialah karena bersumber dari Sumber yang sama yaitu dari wahyu yang diturunkan kepada Nabi Yusuf dan Nabi Daud 'AlayhimasSalaam. Alhasil kemiripan itu secara historis dari Nabi Yusuf AS ke Akhenaton dan secara pendekatan wahyu ialah Nabi Yusuf AS dan Nabi Daud AS masing-masing memperolehnya dari Sumber yang sama melalui wahyu. Jadi sama sekali tidak ada hubungan historis antara Fir'aun Akhenaton dengan Nabi Daud AS.
Marilah kita lihat isi Zabur dan hymn itu (dalam terjemahan Inggris) yang mengandung kata MATAHARI. Dalam hymn Akhenaton tertulis:
"Thou risest beautifully in the horizon. Thou art Ra and bringest them all."
Dalam Mazmur 104: Thou hast made the moon to mark the season; (and made) the sun knows its time for setting.
Di sini kelihatan perbedaan asasi antara hymn Akhenaton dengan Zabur (Mazmur) Nabi Daud AS. Akhenaton menganggap tuhan yang bernama Aton itu memanifestasikan dirinya sebagai matahari (Ra). Sedangkan Mazmur karena berasal dari wahyu Allah SWT, maka bersih dari syirk. Matahari itu tak lain adalah makhluq ciptaan Allah. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 16 Januari 1994
9 Januari 1994
[+/-] |
111. Banjir |
Menjelang akhir tahun 1993 pada permukaan bola dunia (globe) di mana-mana banjir. Betapa tak berdayanya kebudayaan manusia dengan teknologinya yang canggih itu terhadap banjir. Sungai melimpah, bendungan bobol, air menerjang tanpa ampun mendera bangunan bergelimpangan, menyapu menggenangi daerah Sejauh mata memandang. Pupuslah sudah jerih payah para pemikir, para perencana dan para pelaksana pembangunan, yang diupayakan bertahun tahun sebelumnya. Bangunan-bangunan itu telah remuk berserakan secara acak menjadi puing puing, bungkahan, serpihan dan sampah. Itu baru banjir, belum lagi kekeringan yang menghanguskan, belum lagi gempa yang merontokkan, belum lagi angin ribut, topan, angin puting beliung yang mengobrak, menerbangkan, memuntir.
Mengapa jauh-jauh sebelumnya para pemikir dan para perencana itu tidak mengumpul data sebanyak-banyaknya supaya dapat mengantisipasi dan mempersiapkan diri secara matang untuk menghadapi banjir itu?
Ilmu Pengetahuan tentang cuaca yang datanya hanya sebatas atmosfer bumi dan hanya berdasar atas gejala saja sama sekali tidak berguna untuk dapat mengantisipasi iklim yang akan datang. Sebabnya ada dua. Pertama, ulah manusia yang bersifat global, seperti membabat hutan dan menutup muka bumi dengan bangunan dan jalan. Penyebab kedua dari angkasa luar. Bumi ini yang mengikuti matahari mengedari pusat Milky Way, sewaktu-waktu masuk ke dalam daerah badai hujan sinar kosmik (lihat Seri 014). Maka pada saat itu iklim tidak teratur. Ada kalanya kemarau panjang sekali, atau sebaliknya musim hujan panjang sekali. Data tentang hujan kosmik ini sangat jauh dari jangkauan instrumen. Apalah artinya Explorer yang hanya sebatas daerah tata-surya yang kecil ini.
***
Risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad RasuluLlah SAW dengan segera menyebar ke dalam semua lapisan masyarakat. Dan kalangan elit yang laki-laki dan perempuan seperti Abu B?kar dan Khadijah, yang remaja seperti 'Ali, yang pemberàni seperti 'Umar, yang berpunya seperti Utsman sampai kepada lapisan bawah yaitu budak berkulit hitam sepenti Bilal. Biasanya dalam sejarah pendekatan yang mula-mula diterapkan oleh penguasa dalam menghadapi arus yang dianggapnya membahayakan stabilitas kekuasaannya ialah dengan cara pendekatan satu arah, yaitu kekenasan, intimidasi, terror dan penyiksaan. Pendekatan satu arah ini dipakai pula oleh penguasa Quraisy, tetapi ternyata tidak berhasil. Maka para penguasa Quraisy itu menempuh pendekatan dua arah yaitu pendekatan politik: memberi dan nenerima.
Konsep pendekatan itu terdiri atas dua diktum. Pertama, demi persatuan dan kesatuan penduduk Makkah, penguasa bersedia bersama-sama dengan ummat Islam menyembah Allah. Inilah kategoni memberi. Kedua, caranya berselang-seling waktunya, kalau hari ini bersama-sama menyembah Allah, maka hari berikutnya bersama-sama pula menyembah berhala yang ada di sekitar Ka'bah. Inilah kategori menerima.
Tawaran politik penguasa Quraisy itu merupakan Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya) tiga surah secara berbaringan. Tawaran politik itu dijawab dalam tiga tahapan. Pertama, menolak dengan tegas: Qul ya-ayyuha IKaafiruwn. Laa A'budu Maa Ta'buduwna. Katakanlah, hai orang-orang kafir. Tidak kusembah apa yang kau sembah (S. Al Kafiruwn, I-2). Kedua. menyegarkan kembali ingatan kaum kafir Quraisy penguasa Makkah itu tentang penistiwa hancurnya tentera bergajah Abrahah yang ingin meruntuhkan Ka'bah. Faja'alahum ka'Asfin Ma'kuwlin. Maka jadilah mereka itu (pasukan bergajah) rontok ibarat daun dimakan ulat. (S. Al Fiyl, 5). Sejak penistiwa itu suku Quraisy disegani oleh suku-suku lain di Jazirah Arabiyah, sehingga mereka dapat membawa kafilah dagang haik di musim dingin maupun di musim panas, sepanjang tahun, karena disegani sehingga tidak diserang oleh suku-suku lain, sepertL dinyatakan dalam S. Quraisy 2. Maka tidak benarlah menyembah patung-patung itu, karena bukanlah patung itu yang menyebabkan suku Quraisy disegani. Ketiga, gayung bersambut menggugah penguasa Quraisy dengan tawaran aqiedah dalam S. Quraisy 3: Falya'budu Rabba Ha-dza iBayti. Maka sembahlah Tuhan Pemilik Rumah in (bukan menyembah berhala yang mengotori Ka'bah).
***
Di zaman modern mi ada duajenis berhala, yaitu berhala tradisional dan berhala modern. Berhala tradisional adalah seperti yang disembah oleh orang Quraisy dahulu dan bangsa-bangsa penyembah patung berhala Iainnya. Adapun berhala modern adalah otak manusia. Penyembah berhala modern ini menyangka bahwa semua masalah dapat dipecahkan dengan otak manusia. Wahyu tidak penlu, mereka itu tidak percaya kepada wahyu, atau sekurang-kurangnya walau pun percaya akan wahyu, namun melecehkan wahyu. Agama adalah urusan akhirat semata. Urusan dunia seluruhnya adalah daerah kerajaan akal. Ini yang disebut sekuler. Jadi pada hakikatnya sikap sekuler ini adalah identik dengan menyembah berhala modern.
***
S.Quraisy ditutup dengan ayat: Alladziy Ath.amahum Min Juw'in wa A-manahum Khawfin. Yaitu (Allah, bukan berhala berhala itu). Yang memberi makan sehingga terbebas dari kelaparan dan memberi rasa tenteram dari segala macam kekhawatiran. Maka sadarlah kita bahwa Yang membebaskan kita dari kelaparan bukanlah berhala tradisional dan bukan pula berhala modern yang berupa otak itu. Sebab bagaimanapun cemerlangnya para pakar yang menggunakan metode mutasi paksa dengan penyinaran untuk mendapatkan bibit unggul, kalau kemarau panjang, sawah akan kering, padi-padian mati kekeringan. Sebaliknya jika musim hujan panjang sekali, bagaimanapun hebatnya konstruksi bendungan karya pakar teknik sipil, tidak akan membawa hasil. Bendungan akan bobol padi-padian akan mati lemas tergenang air, karena banjir, banjir, banjir. WaLla-hu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 9 Januari 1994
2 Januari 1994
[+/-] |
110. Melihat Melalui Celah Pepohonan |
Saya mendapatkan isteri saya sedang mengutip dari buku yang berjudul "Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(KUHP) serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal demi Pasal", halaman 216. Buku itu ditulis oleh B.Soesilo, diterbitkan oleh Politea Bogor, tahun 1981. Ia sementara sibuk menulis laporan penelitian tentang "Delik Pencurian di Kecamatan Tallo', Ujung Pandang". Seperti lazimnya hasil penelitian itu tidaklah mempunyai dampak langsung terhadap pembangunan, melainkan secara tidak langsung hasil penelitian itu ada juga gunanya untuk pembangunan. Yaitu untuk meningkatkan kualitas SDM bagi dosen-dosen untuk kenaikan golongan/jabatan akademis.
Kutipan itu tujuannya untuk memberikan pengertian tentang "Delik Pencurian", yang sebagaimana lazimnya dalam suatu laporan penelitian ataupun makalah didahului dengan tinjauan pustaka untuk menjelaskan pengertian yang sebenarnya sudah jelas. Saya katakan kepadanya buat apa mengutip pendapat yang salah. Tidaklah benar kalau diakatakan bahwa listrik dan gas adalah barang yang tidak berwujud.
Maka terjadilah perdebatan. "Itu pendapat seorang pakar hukum", kata isteri saya. Saya katakan: "Setiap orang dapat saja mempergunakan istilah sendiri, untuk kalangan sendiri, atau sekurang-kurangnya dalam rumah sendiri, di antara keluarganya. Akan tetapi kalau istilah itu sudah dikomunikasikan dalam bentuk publikasi, soalnya sudah lain." "Lalu saya mesti apa?" kata isteri saya menuntut pemecahan. "Ya, pakailah pendapat sendiri, kaukan juga pakar! Cobalah melihat di antara celah-celah pohon, ke disiplin ilmu fisika. Kaukan dahulu dari SMA jurusan B (pasti/alam). Juga lihatlah ke disiplin ilmu ekonomi. Di situ ada barang tak berwujud yaitu jasa. Lihatlah guru-guru, mereka penjual jasa." "Sudah, sudah, saya akan coba memakai pendapat sendiri", katanya merengut, kebiasaan perempuan.
Saya biarkan isteri saya sendiri di kamar kerjanya, bergelut dengan laporannya itu. Tidak lama kemudian ia memanggil saya. "Coba baca ini." Ia tetap mengutip juga, tetapi di bawah kutipan itu ia membantah pendapat R.Soesilo. Nah, inilah tulisannya. "Tidak benar kalau gas dan listrik itu barang yang tidak berwujud. Gas dan listrik itu dapat ditangkap pancaindra. Gas yang berbau ditangkap indra pencium, yaitu hidung. Gas yang tidak berbau dapat ditangkap oleh indra peraba, yaitu kulit. Angin yang dihembuskan oleh kipas dirasakan oleh kulit. Angin adalah udara yang bergerak, dan udara adalah gas. Kalau kawat beraliran listrik tersentuh walaupun sejenak, kulit akan merasakan sengatannya. Lagipula listrik dan gas dapat diukur dengan meteran. Matapun dapat ikut mengindra melihat jarum dalam meteran. Jadi gas dan listrik adalah barang yang berwujud. Barang yang tidak berwujud adalah jasa. Penumpang gelap adalah pencuri jasa, karena mengambil sebagian barang atau komoditi berupa jasa angkutan dari pemiliknya yaitu Pelni atau GIA. Guru-guru yang ditahan gajinya adalah penggelapan yang dilakukan oleh bendaharawan yang membayar gaji, karena menggelapkan barang orang lain yaitu jasa guru-guru." Bagus saya katakan, "Kau telah melihat melalui celah-celah pohon ke arah daerah disiplin Biologi, Fisika, Ekonomi, Transportasi
dan Administrasi keuangan."
***
"Seperti katak di bawah tempurung", pepatah ini dahulu populer memasyarakat. Sekarang pepatah itu tidak memasyarakat lagi, namun belum dilupakan. Katak yang di bawah tempurung itu wawasannya sempit. Tempurung itu dikiranya langit. Dalam cerita silat Cina ada sebuah nasihat, agar seorang hiap (pendekar) tidak sepicik katak itu. Tidak boleh picik, tidak boleh berwawasan sempit, lalu mengira dirinyalah yang paling hebat di kolong langit. "Di luar thian (langit) ada thian," demikian nasihat dalam kalangan kang-ow (dunia persilatan), yang bergaya pepatah itu.
Judul di atas itu berasal dari pepatah Belanda: "Kijken tussen de bomen". Pepatah itu sangat kena juga jika ditujukan kepada katak yang dalam tempurung itu. Namun dalam konteks ini katak itu bukan hiap, melainkan orang yang tak mau tahu tentang disiplin ilmu , selain disiplin ilmu yang digelutinya. Di negeri Belanda tidak ada pohon kelapa, sehingga tempurung tidak dikenal dalam budaya mereka. Jadi tentu saja tempurung itu tidak mungkin mengambil partisipasi dalam perbendaharaan sastra mereka, yang dalam hal ini khususnya adalah pepatah. Maka orang sempit wawasan itu tidak diimajinasikan berupa katak di dalam tempurung, melainkan diimajinasikan berupa orang yang ada dalam kebunnya yang dipagar dengan pepohonan di sekelilingnya.
Penggambaran orang yang dikelilingi pohon ini sangat bagus untuk dikembangkan dalam berda'wah. Janganlah engkau terpaku dengan pandanganmu yang sempit itu. Lihatlah melalui celah-celah pohon, di situ terdapat wawasan yang lebihluas. Di luar dari disiplin ilmu yang engkau geluti, ada pula sejumlah disiplin ilmu yang lain. Celah-celah pohon itu adalah penghubung antara duniamu dengan dunia ilmu di luar wawasanmu. Bahwa ada "lintas sektor" di antara ilmu-ilmu itu. Bahwa ilmu itu tidak terkotak-kotak, melainkan merupakan satu kesatuan.
Allah mengajarkan kepada kita melalui risalah yang dibawakan oleh Nabi Muhammad SAW, bahwa ilmu itu bersumber dari Satu Maha Sumber, Allah SWT. Wala- yuhiythuwna bi syay.in min 'ilmihi- illa- bima- sya-a, dan tidaklah mereka itu mengetahui sesuatu apapun dari IlmuNya, melainkan dengan kehendakNya (S. alBaqarah, 2:255). Allah SWT Maha Esa dalam Sifat, Maha Esa dalam Oknum, Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka ilmu yang diberikanNya kepada manusia juga merupakan satu kesatuan.
Kalaupun ada pembagian beberapa disiplin ilmu dalam kebudayaan, maka pembahagian itu tidaklah berarti pengkotakan ilmu yang dibatasi oleh dinding-dinding yang ketat dan kedap. Bukan pemisahan ilmu yang berkotak, melainkan pembedaan disiplin ilmu yang tetap dalam satu kesatuan, yang merupakan satu sistem. Yaitu bagian-bagian itu ada kaitannya antara satu dengan yang lain, ada lintas sektor, ibarat celah-celah pohon. Ya, kijken tussen de bomen, kata orang Belanda. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 2 Januari 1994