Ada tiga kata dalam bahasa Al Quran apabila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ketiga kata itu diterjemahkan dalam satu kata yang sama. Ketiga kata itu adalah iman, tawakkal dan yaqin. Ketiga kata itu diterjemahkan dengan percaya. Maka untuk menghindarkan kerancuan sebaikanya ketiga kata itu tidak perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lebih-lebih lagi ketiga kata itu telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Kalau dalam bahasa Inggeris ketiga kata itu dapat dibedakan, iman = faith, tawakkal = trust dan yaqin = tu be sure.
Untuk dapat memahami kata tawakkal, kiranya ilustrasi dari sebuah Hadits yang diriwayatkan oleh Tirmizhi, berupa dialog antara RasuluLlah SAW dengan seorang Arab dari dusun (Baduy), dapat memberikan penjelasan yang cukup. Seorang Baduy datang bertamu kepada Nabi Muhammad SAW. Karena rupanya RasuluLlah SAW tidak melihat untanya (seperti diketahui pada umumnya orang Baduy bepergian dengan menunggang unta, tunggangan spesifik untuk jarak jauh serta tidak tergesa-gesa), maka RasuluLlah SAW bertanya kepadanya dimana gerangan untanya. RasuluLlah mendapat jawaban dari orang Baduy itu bahwa ia melepaskan untanya di luar.
"Jadi untamu tidak kau tambat?", bertanya lagi RasuluLlah SAW.
"Tidak", kata Baduy itu, "Saya tawakkal kepada Allah".
"Pergilah dahulu tambat untamu, baru kemudian tawakkal kepada Allah", kata RasuluLlah SAW.
Orang Baduy itu pola pikirnya sama dengan pola pikir orang-orang Kazak. Bangsa ini adalah bangsa penggembala, jadi sama dengan orang Baduy, dan sudah lama sekali memeluk Islam, karena jalur penyebaran Islam ke arah Timur Laut, yaitu ke Sin Kiang (Tiongkok), melalui daerah asal mereka. Di Sin Kiang sampai sekarang orang tidak menulis dalam aksara Cina, melainkan dalam aksara Arab. Daerah asal orang Kazak adalah daerah antara pengunungan Altai dengan Gunung Langit (Thian San, terkenal dalam cerita-cerita silat, misalnya Thian San Cit Kiam, tujuh pendekar pedang dari Thian San). Dari daerah asalnya kebanyakan orang-orang Kazak berpindah ke barat dan mendirikan negara yaitu Kazakstan. Walaupun bangsa penggembala yang hidupnya mengembara, orang Kazak juga menanam gandum. Mereka menebarkan benih gandum, dan sesudah itu mereka tawakkal kepada Allah, meninggalkan tempat itu pergi menggembalakan ternak di tempat lain untuk kemudian datang menjenguk kembali ladang gandum itu untuk menuai hasilnya.
Baik orang Baduy maupun oarang Kazak yang keduanya bangsa penggembala itu terlalu cepat tawakkal kepada Allah. Dari Hadits yang diriwayatkan Tarmizi itu kita dapat memahami bahwa tawakkal itu harus didahului upaya maximal. Bahwa tawakkal itu dilandasi oleh etos kerja. Tambat dahulu unta baru tawakkal. Demikian pula bagi orang Kazak itu pelihara dahulu tanaman gandum itu baru tawakkal. Bagi orang Kazak itu nilai universal tawakkal sudah merosot menjadi nilai komunitas, artinya merosot menjadi nilai budaya, karena menanam gandum adalah pekerjaan sambilan, mereka tempatkan dalam skala proritas nomor dua, menggembala ternak adalah skala prioritas nomor satu. *)
Dalam upacara pembukaan temu muka muballighien dan muballighaat IMMIM, salah satu aktivitas pembinaan kader muballigh, pada hari Kamis, 18 Juli 1996, bertempat di Islamic Centre, Kepala Kanwil Depatermen Agama Provinsi Sulawesi Selatan, Drs K.H.M.Na'im dalam sambutan beliau mengemukakan bahwa ucapan Insya-Allah sekarang ini pada umumnya diucapkan oleh ummat Islam jika mereka dalam keadaan ragu-ragu. Ini sudah menyimpang dari ma'na yang sebenarnya. Semestinya Ucapan Insya-Allah itu diucapkan seseorang dalam keadaan tidak ragu sama sekali.
Setelah upacara itu dalam berbincang-bincang dengan Ir H.M. Ridwan Abdullah MSc, katanya beliau pernah membaca sebuah buku pada waktu masih di Amerika yang berjudul Business in Arabia. Dalam buku itu (Ridwan Abdullah tidak sempat mengemukakan siapa penulis buku itu) penulisnya berdasarkan pengalamannya berbisnis di negara-negara Arab mempunyai persepsi bahawa di negara-negara Arab ucapan Insya-Allah mempunyai muatan ma'na yang fity-fifty. Jadi apa yang dikemukakan oleh Drs K.H.M Na'im sejalan betul dengan yang dikemukakan oleh Ir H.M. Ridwan Abdullah.
Firman Allah di bawah ini menunjukkan dengan jelas penggunaan ungkapan Isya-Allah:
Falamma- Balagha Ma'ahu sSa'ya Qa-la Yabunayya Inniy Aray fiy lMana-mi Anniy Adzbahuka Fanzhur Ma-dza- Taray Qa-la Yaabati F'al Ma- Tu'maru Satajiduniy Insya-a Allahu mina shSha-biriyna (S. Ash Shaffa-t, 102). Tatkala dia (Isma'il) sudah sanggup bekerja bersamanya (Nabi Ibrahim AS) berkata (Nabi Ibrahim AS) kepadanya (Isma'il): Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam tidurku aku menyembelihmu, maka perlihatkanlah kepadaku bagaimana sikapmu, berkata (Isma'il) kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, engkau mendapati aku Insya-Allah berhati sabar (37:102).
Ayat itu menjelaskan kepada kita bahwa Insya-Allah itu tidaklah diucapkan oleh orang yang setengah hati, melainkan Insya-Allah diucapkan oleh sikap yang sepenuh hati, sabar dan tawakkal.
Alhasil, Insya-Allah harus diucapkan berlandaskan sikap tawakkal kepada Allah, sedang sikap tawakkal itu harus berlandaskan atas etos kerja. Nilai universal Insya-Allah yang berlandaskan sikap tawakkal dewasa ini sudah menjadi pula nilai komunitas, nilai budaya, yaitu ucapan Insya-Allah itu sudah merosot ma'nanya, yakni diucapkan berlandaskan atas sikap fifty-fifty, tidak sepenuh hati. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 21 Juli 1996
--------------------------
*) Insya Allah, jika dikehendaki oleh Alah, diucapkan jika itu menyangkut aktivitas manusia untuk mencapai keinginannya. Mengapa? Oleh karena keinginan (rencana) itu baru terpenuhi, jika itu sinkron dengan Kehendak, ataupun Rencana Makro Allah. Lalu bagaimana dengan hasil kalkulasi bahwa pada tahun sekian, tanggal sekian, jam sekian, hari sekian akan terjadi gerhana matahari? Apakah juga ini perlu mengucapkan insya Allah, karena di sini terlibat aktivitas manusia, yaitu perhitungan? Ini dapat dijawab dengan pertanyaan pula. Apakah perlu kita ucapkan 2 x 3 insya Allah = 6?
21 Juli 1996
[+/-] |
234. Tawakkal dan Insya-Allah |
14 Juli 1996
[+/-] |
233. Zebra Cross dan Sikap 'Aziyzun 'Alayhi |
Zebra Cross adalah jalur pejalan kaki untuk menyeberang jalan. Disebut dengan Zebra Cross karena jalur untuk menyeberang (to cross) ini dicet berwarna belang-belang ibarat kuda zebra. Di atas jalur Zebra Cross ini pejalan kaki adalah raja. Zebra Cross ini adalah sebuah nilai instrumental untuk melindungi para pejalan kaki yang menyeberang. Namun berbicara dalam kontex nilai praxis, tujuan nilai instrumental untuk melindungi pejalan kaki tersebut dewasa ini di kota Makassar sangatlah mengecewakan.
Sebenarnya hampir setiap hari saya mengalami inter-aksi dan menyaksikan pejalan kaki menyeberang jalan di atas jalur Zebra Cross. Akan tetapi baru hari Selasa yang lalu terkesan betul di hati. Dua orang pejalan kaki menyeberang di atas Zebra Cross dari arah Gedung Balai Kota ke sisi kiri Jalan Ahmad Yani. Mobil saya rem untuk memberi kesempatan keduanya menyeberang. Kemudian terjadilah peristiwa yang menggeramkan dan mengundang rasa iba. Penyebab timbulnya geram saya berasal dari kelakuan dua orang sopir mobil, sebuah di belakang saya yang turut berhenti membunyikan klaxon, dan yang sebuah lagi mobil Lancer putih melambung sisi kiri saya, cuek melaju dengan kecepatan tinggi nyaris menyambar kedua orang pejalan kaki yang sedang menyeberang itu. Pejalan kaki yang nyaris disambar itu terasa berat dipandang mata, mengundang rasa iba saya.
Sopir mobil di belakang saya membunyikan klaxon tentu karena merasa kesal kepada saya yang menghentikan mobil untuk pejalan kaki tersebut, yang berakibat mobilnya harus ia hentikan pula. Sopir itu gusar kepada saya, karena saya memberikan kepada pejalan kaki itu untuk menggunakan haknya. Sedangkan sopir mobil Lancer putih itu tidak memandang sebelah matapun kepada pejalan kaki itu, karena sopir itu merasa lebih kuat ketimbang pejalan kaki itu yang kedudukannya lebih lemah. Kedua sopir itu menganut mazhab yang sama: Karena posisinya lebih kuat, keduanya menunjukkan dan mengaplikasikan kekuasaannya. Sopir mobil di belakang saya hanya mampu sebatas menunjukkan kekuasaannya dengan membunyikan klaxon, tetapi tidak mempunyai keberanian mengaplikasikannya, karena antara dia dengan saya kedudukannya sama kuat. Sedangkan sopir mobil Lancer putih itu mampu menunjukkan dan mengaplikasikan kekuasaannya karena yang dihadapinya hanya pejalan kaki yang lemah. Mengambil hak ataupun merampas hak orang lain itu yang disebut menzalimi.
Akan halnya pejalan kaki itu, mereka hanya berani menggunakan haknya menyeberang berhubung karena mereka tahu diberi kesempatan untuk menggunakan haknya dengan isyarat lambaian tangan saya dari kanan ke kiri. Sedangkan selanjutnya mereka tidak berani mempergunakan haknya menghadapi orang yang sama sekali tidak mau mengerti akan hak orang lain. Apabila mereka ngotot untuk mempergunakan haknya, akan tetapi orang yang dihadapinya yang posisinya lebih kuat merampas haknya, niscaya pejalan kaki itu akan mendapat bencana.
Itulah pelajaran yang dapat disimak dari belantara kehidupan, tentang hak dan menggunakan hak serta hak yang dirampas dari tangan pihak yang lemah. Orang yang diambil ataupun dirampas haknya itulah yang disebut dengan dizalimi. Maka dapatlah kita menghayati bagian pidato pengukuhan Khalifah Abu Bakar AshShddiq RA: Orang yang lemah di sisi kamu (yang kau rampas haknya), kuat dalam pandangan saya. Orang yang kuat di sisi kamu (yang merampas hak orang lain) lemah dalam pandangan saya. Begitulah semestinya orang yang berkuasa, mempergunakan kekuasaannya memihak kepada yang lemah.
***
Hari ini sudah masuk 28 hari bulan Shafar, berarti tiga hari lagi insya Allah kita akan memasuki bulan Mawlid RasuluLlah SAW. Salah satu tema sentral dalam ceramah-ceramah Mawlid yaitu Laqad Ka-na Lakum fiy RasuwliLlahi Uswatun Hasanah, sesungguhnya terdapat teladan yang baik bagimu dalam diri RasuluLlah. Adapun salah satu di antara sekian banyak yang patut kita teladani dalam hubungannya dengan nilai turut merasakan penderitaan orang-orang lemah ataupun yang dizalimi ialah Firman Allah SWT:
Laqad Ja-akum Rasuwlun min Anfusikum 'Aziyzun 'Alayhi Ma- 'Anittum (S. At Tawbah, 128), sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari spesi kamu, yang terasa berat baginya akan penderitaanmu (9:128).
'Aziyzun 'Alayhi dalam bahasa populer sekarang itulah yang dikenal dengan ungkapan kepekaan sosial. Dalam nilai sub-kultur Bugis Makassar kita kenal dengan nilai pacce (Makassar), ataupun pesse (Bugis). Orang atau kelompok yang menderita terasa berat dipandang mata, mengundang rasa iba di hati. Orang atau kelompok yang selama ini kurang diperhatikan, akhirnya mengundang rasa pacce orang banyak. Ini jelas nampak dalam kasus yang masih aktual, yaitu rekayasa yang menghasilkan dualisme kepemimpinan dalam PDI: hasiI munas versus hasil kongres. Ibarat bambu yang dibelah orang, letupan ruas bambu yang dibelah itu mengundang perhatian orang banyak. Maka tampaklah sebagian bambu yang dibelah itu diinjak dan sebagian pula diangkat ke atas. Bagian belahan bambu yang diinjak mengundang spontanitas rasa pacce, sedangkan bagian belahan bambu yang diangkat membangkitkan geram dan anti-pati oleh khalayak yang masih mau mendengarkan hati nuraninya.
Walhasil, dalam belantara hiruk pikuk kehidupan di dunia ini, tentulah sangat baik mendengarkan hati nurani, mencontoh teladan RasuluLlah SAW, baik sebagai individu, ataupun dalam ruang lingkup komunitas, sikap 'Aziyzun 'Alayhi menjadi sikap kita sehari-hari. Akan jauh lebih baik pula jika yang mempunyai kekuatan dan kekuasaan secara istiqamah (konsisten, tidak menganut nilai ganda) senantiasa bersikap 'Aziyzun 'Alayhi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 14 Juli 1996
7 Juli 1996
[+/-] |
232. Klasifikasi Manusia dan Ciri-Cirinya Menurut Al Quran |
Dalam S. Al Baqarah pada ayat-ayat permulaan dapat kita baca enam jenis klasifikasi manusia, yaitu:
al Muttaquwn, orang-orang taqwa,
al Ka-firuwn, orang-orang kafir,
fiy Quluwbihim Maradhun, orang-orang yang sakit kalbunya,
al Mufsiduwn, orang-orang yang merusak,
al Sufaha-u, orang-orang bodoh,
al Muna-fiquwn, orang-orang berkepala dua (hipokrit),
Al Quran selanjutnya memberikan ciri-ciri dari keenam golongan manusia tersebut.
Pertama, ciri-ciri orang-orang taqwa yaitu beriman, mendirikan shalat dan memberikan infaq (zakat dan sedekah) dari sebagian rezekinya untuk fungsi sosial (2:3). Diperinci pula beriman itu, yakni beriman kepada yang ghaib (Allah, malaikat, hari akhirat), beriman kepada Al Quran dan kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada para Nabi yang terdahulu dari Nabi Muhammad SAW (2:3,4). Orang-orang taqwa itu mendapat petunjuk dari Allah SWT dan mereka itu mendapatkan predikat al Muflihuwn, orang-orang yang menang (2:5).
Menilik keterangan Al Quran di atas itu, maka yang biasa kita dengar di mana-mana, yaitu ungkapan beriringan imtaq, iman dan taqwa, sebenarnya salah kaprah atau rancu. Ada ungkapan beriringan amanuw wattaqaw dalam Al Quran, namun kata penghubung wa itu makanya tsumma (=dan selanjutnya) . Juga ungkapan beriringan iman dan amal shalih, kata penghubung dan juga bermakna dan selanjutnya. Kalau disinkronkan antara beriman, mendirikan shalat dan memberikan infaq (2:3) dengan beriman dan beramal shalih (103:3, 95:6) maka beramal shalih adalah mendirikan shalat dan memberikan infaq. Iman, shalat dan infaq adalah komponen-komponen taqwa. Kalau menyebut taqwa tidak perlu menyebut iman lebih dahulu, oleh karena dalam derajat taqwa tercakuplah iman. Kerancuan ungkapan beriringan imtaq karena mensederajatkan iman dengan taqwa.
Kedua, ciri-ciri orang-orang kafir, yaitu diberi peringatan atau tidak, itu sama saja atas mereka, mereka tidak akan beriman. Kalbu, pendengaran dan penglihatan mereka tertutup rapat (2:6). Dengan ciri yang demikian itu, maka para dai ataupun muballig tidaklah perlu berkecil hati apabila seruan ataupun peringatan Al Quran yang disampaikan kepada mereka ibarat air yang jatuh ke padang pasir, tidak berkesan. Kewajiban para dai atau muballig hanya sebatas menyampaikan peringatan. Wa Quli lHaqqu min Rabbikum faMan Sya-a falYu'min waMan Sya-a falYakfur (S. Al Kahf, 29). Dan katakanlah kebenaran itu dari Maha Pengatur kamu, maka berimanlah siapa yang mau, dan kafirlah siapa yang mau (18:29). Allah memberikan otoritas kepada manusia dalam menentukan pilihannya, beriman atau kafir.
Ketiga, ciri orang-orang yang sakit kalbunya, yaitu mereka mengatakan dirinya beriman, namun sesungguhnya mereka tidak beriman. Mereka itu kelihatannya menipu Allah dan menipu orang-orang beriman, namun pada hakekatnya mereka itu menipu dirinya sendiri (2:8,9). Mereka melakukan khurafat, menyembah berhala tradisional dan berhala modern. Berhala tradisional masudnya patung-patung berhala, benda-benda pusaka yang disakralkan, tokoh-tokoh sejarah yang dikultuskan, saukang dan sebangsanya. Berhala modern ialah otak manusia yang disangka dapat memecahkan segala macam masalah.
Keempat, orang-orang yang merusak cirinya mereka menyangka dirinya berbuat baik, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa mereka sesungguhnya merusak (2:11,12). Jenis manusia golongan keempat ini banyak kita dapati sekarang. Ada yang menyangka dirinya berbuat baik memecahkan masalah, akan tetapi sebenarnya mereka tidak menyadari bahwa justeru hasilnya merusak, makin menambah masalah. Ada yang menyangka berbuat baik, membangun, akan tetapi sesungguhnya mereka merusak lingkungan hidup, mencemari bumi dengan sampah-sampah radio-aktif, limbah industri yang beracun, melepaskan ke udara gas-gas rumah kaca yang menaikkan suhu global karena efek rumah kaca. Bahkan ada sejenis gas rumah kaca yaitu CFC (Chlor, Fluor, Carbon) di samping berkontribusi menaikkan suhu global, juga merusak lapisan ozon yang membendung komponen sinar gamma dari matahari, yaitu sinar ultra lembayung yang tidak kelihatan, yang menyebabkan kanker kulit.
Kelima, ciri orang-orang bodoh ialah mereka menyangka bahwa orang-orang yang beriman itu orang-orang yang bodoh (2:13). Saya teringat sebuah syair, yang saya sudah lupa siapa penggubahnya, demikian bunyinya:
Orang yang tahu, dan tahu ditahunya,
itulah orang alim, ikutlah dia.
Orang yang tahu, tetapi tidak tahu ditahunya,
itulah orang tidur, bangunkan dia.
Orang yang tidak tahu, dan tahu ditidak tahunya,
itulah pencari ilmu, tunjukilah dia.
Orang yang tidak tahu, tetapi tidak tahu ditidak tahunya,
itulah orang bodoh, jauhilah dia.
Keenam, orang-orang munafik, orang-orang berkepala dua (hipokrit), yang dalam bahasa Makassarnya Tu'bali'-ballang, ciri khasnya apabila bertemu dengan orang-orang beriman, mereka mengaku telah beriman, akan tetapi jika kembali kepada setan-setan pimpinannya mereka berkata bahwa sesungguhnya kami pengikutmu, kami cuma memperolokkan orang-orang beriman. Mereka melakukan bisnis melakukan transaksi membeli kesesatan (2:14,16). Mereka ini termasuk orang yang sangat berbahaya, menjadi musuh dalam selimut, musang berbulu ayam. Secara zahir mereka kelihatannya orang-orang dermawan, namun mempunyai kiat-kiat tersembunyi. Gembong-gembong narkotika banyak melakukan taktik musang berbulu ayam ini.
Mengapa penjahat tidak ada dalam klasifikasi itu? Dalam sebuah Hadits riwayat alBukhari, Muslim dan lain-lainnya, dari Abu Hurairah, RasuluLlah SAW bersabda: La- Yazniy zZaniy Hiyna Yazniy waHuwa Mu'minun, La- Yasriqu sSariqu Hiyna Yasriqu waHuwa Mu'min waLa- Yasyrabu lKhamra Hiyna Yasyrabuha- waHuwa Mu'minun. Tidaklah pezina berzina tatkala ia berzina dalam keadaan beriman, tidaklah pencuri mencuri tatkala ia mencuri dalam keadaan beriman, dan tidaklah peminum minum khamar tatkala ia minum dalam keadaan beriman.
Maka penjahat termasuk dalam kelima klasifikasi: al Ka-firuwn, fiy Quluwbihim Maradhun, al Mufsiduwn, al Sufaha-u, dan al Muna-fiquwn. Adapun yang paling jahat adalah al Ka-firun, karena kalbunya sudah tertutup rapat-rapat dari iman. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 7 Juli 1996