RasuluLlah mendapati penduduk Madinah sedang mengawinkan kurma, lalu RasuluLlah memberikan tanggapan mengapa mesti kurma itu dikawinkan segala, mengapa tidak dibiarkan begitu saja. Penduduk Madinah yang petani kurma itu berhenti mengawinkan kurmanya. Kemudian ternyata produksi kurma menurun karenanya. Para petani kurma melaporkan panen kurma yang menurun itu kepada RasuluLlah. Maka keluarlah sabda RasuluLlah: Wa antum a'lamu biamri dunyaakum Kamu sekalian lebih mengetahui urusan duniamu.
S.Majidi yang terkenal tinggi manthiqnya memperhadapkan asbab al-wurud (latar belakang lahirnya Hadits) tersebut terhadap ayat:
-- SBhN ALDzY KhLQ AZWAJ KLHA MMA TNBT ALARDh (S.YS, 36:36), dibaca:
-- subha-nal ladzi- khalaqal azwa-ja kullaha- mimma- tumbitul ardhu.
Ikutilah rentetan kata faham yang mengunci semua kalimat beliau: "Mimma- tunbitul ardh, faham? Al azwa-j, faham? Tumbuh-tumbuhan itu berjodoh-jodohan, ada jantan ada betina, faham? S. Yasin itu Makkiyah, faham? S. Yasin diterima Nabi di Makkah, peristiwa mengawinkan kurma di Madinah, jadi Nabi melarang mengawinkan kurma setelah Nabi mendapatkan Ilmu dari Allah, tumbuh-tumbuhan itu ada jantan ada betina. Ini tidak masuk akal, faham? Nabi mustahil melupakan ayat, faham? Karena Nabi mustahil melupakan ayat, tidak mungkin Nabi melarang mengawinkan kurma. Kalaupun memang panen kurma pernah berkurang, itu tidak ada hubungannya dengan Nabi, faham?. Lalu bagaimana mungkin lahir pernyataan Nabi: Wa antum a'lamu biamri dunyaakum. faham?"
Saya ulangi yang telah ditulis dalam Seri yang lalu. Menurut beliau Hadits itu, yang artinya "kamu sekalian lebih tahu urusan dunia kamu", dijadikan dalil oleh orang-orang yang pemahamnya memisahkan antara urusan dunia (baca kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara) dengan urusan akhirat (baca kehidupan beragama). Pemisahan itu menurut istilah kontemporernya adalah sekularisme, ataupun diperhalus menjadi sekularisasi (secula = dunia) oleh almarhum Nurcholis Madjid dengan semboyan Nurcholis yang kontroversial: Islam yes, partai Islam no.
***
Terakhir, surga tempat tinggal Adam dan isterinya letaknya di bumi. Ini sudah dikemukakan dalam Seri 240, berjudul: "Adam dan Hawa di Taman", bertanggal 8 September 1996. Yang sering melayari cyber space, silakan visit seri 240. Ringkasnya seperti berikut:
Surga dalam Bahasa Al-Quran: "Jannah", akar katanya dari tiga huruf: {JNN], jim, nun, nun, yang arti dasarnya tidak dapat ditangkap mata, terlindung, terhalang. Suatu waktu dalam rumah S. Majidi, di papan tulis tertera tulisan jim, nun, nun dengan beberapa kata turunannya: Jinn, Jannah, Mujannah, Janin, Majnun. Jinn artinya makhluk yang tak dapat ditangkap oleh mata kasar, Jannah artinya tempat yang terlindung dari sinar matahari, yaitu taman, Mujannah alat yang melindungi diri dari tebasan pedang musuh, perisai, Janin yaitu makhluk yang akan menjadi manusia yang masih terlindung di dalam rahim, Majnun, orang yang pikirannya terhalang dari dunia nyata, orang gila.
Apa yang dimaksud Jannah dalam Al Quran? (untuk menghemat ruangan ayat-ayat diberikan tejemahannya saja, tanpa menterjemahkan "jannah")
-- Orang-orang yang beriman dan beramal salih mereka itu penghuni al-Jannah, mereka kekal di dalamnya (2:82).
-- Dan di dekatnya Jannah tempat diam (53:15).
Dalam kedua ayat di atas itu al-Jannah dan Jannah berarti surga di akhirat kelak.
Selanjutnya marilah kita perhatikan ayat yang berikut:
-- Umpama orang-orang yang menafakahkan hartanya, karena mengharapkan ridha Allah dan menetapkan (keimanan) dirinya, seperti Jannah di dataran tinggi yang ditimpa hujan lebat (2:265).
Dalam ayat di atas Jannah berarti taman atau kebun di permukaan bumi ini.
Jadi menurut Al Quran yang dipergunakan sebagai kamus, Jannah dapat berarti surga di akhirat, atau dapat pula berarti taman di permukaan bumi ini, sesuai dengan konteks ayat itu masing-masing.
Manusia mulai dalam alam arwah, lalu ruh itu ditiupkan ke dalam janin dalam alam rahim ibu. Kemudian lahir ke luar ke alam syahadah. Seterusnya ruh dicabut berpindah ke alam barzakh, menunggu berbangkit dengan jasad yang baru pada hari berbangkit, lalu diadili, kemudian ke alam akhirat yang kekal. Dari hasil pengadilan itu yang selamat masuk jannah atau surga yang celaka masuk neraka.
Kalau Adam dan Hawa mula-mula tinggal dalam jannah atau surga yang di akhirat kelak, maka ada empat keberatannya:
-- Pertama, Adam dan Hawa ibarat dalam cerita science fiction menerobos waktu berjalan mundur dari akhirat ke alam dunia.
-- Kedua, surga di akhirat itu diharamkan setan masuk di dalamnya. Dalam ayat (2:36) disebutkan setan menipu keduanya dalam jannah.
-- Ketiga, kalaulah jannah itu surga di akhirat, mengapa dalam ayat (2:35) masih ada larangan bagi Adam dan Hawa untuk mendekati pohon itu.
-- Keempat, Adam dibuat dari tanah, jadi dibuat di bumi ini. Tidak ada keterangan dalam Al Quran dan Hadits bahwa Adam dan Hawa di"mi'raj"kan ke surga.
Walhasil jannah yang dimaksud tempat Adam dan Hawa bersenang-senang kemudian keduanya ditipu setan bukanlah dalam taman Firdaus, melainkan taman di tempat yang ketinggian di muka bumi ini. Ini dikuatkan oleh Nash, seperti termaktub dalam ayat (2:36), fi'il amr "ihbithuw" yang ditasrifkan (konyugasi, jangan dirancukan dengan ditafsirkan) dari akar kata [Ha-Ba-Tha] "habatha". Dalam Al Quran "habatha" dipakai untuk pengertian air yang meluncur turun (S. Al-Baqarah 74), Nabi Nuh AS turun dari kapalnya (S. Huwd 48) dan Baniy Israil disuruh turun ke kota, go down town (S. Al-Baqarah 61). Perintah Allah "Ihbithuw", kepada Adam, Hawa dan Iblis turun dalam pengertian topografis, dari dataran tinggi ke dataran rendah.
***
Pendekatan S. Madjidi yang rasional dengan manthiq yang tinggi tetap menempatkan akal beliau di bawahnya wahyu verbal (Al-Quran) dan wahyu non-verbal (Al-Hadits). Asbab al-wurud yang disangka wahyu non-verbal diperhadapkan kepada wahyu verbal. Bahkan beliau menjelaskan arti kata bukan dari kamus bikinan manusia, melainkan beliau menjadikan Al-Quran sebagai kamus, yaitu prinsip ayat menjelaskan ayat.
Sedangkan penganut yang menamakan diri "Islam Liberal" memakai pendekatan kontekstual dengan menempatkan posisi wahyu di bawahnya bikinan akal manusia yang pancatas, yaitu paradigma (kerangka berpikir): sekularisme, kapitalisme, liberalisme, pluralisme, dan genderisme. Ditaruh di antara dua tanda kutip, karena Islam itu kontroversial dengan liberal.
WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 25 November 2007
25 November 2007
[+/-] |
803. S. Madjidi yang Rasional vs "Islam Liberal" |
18 November 2007
[+/-] |
802. Rasional, Manthiq yang Tinggi Tetapi Tidak Liar |
Almarhum Bung Tomo, tokoh sentral Arek-Arek Surobayo, dari tahun ke tahun belum juga "dinobatkan" menjadi Pahlawan Nasional. Ini aneh, kontroversial, tokoh sentral Hari Pahlawan 10 November, "dilupakan" dinobatkan menjadi Pahlawan Nasional, antekamma cappoq. Semestinya komentar di atas ditulis dalam Seri 801, tetapi ditunda sepekan, sebab Seri 801 sudah diposting ke Fajar sebelum nama-nama Pahlawan Nasional diumumkan Presiden Republik Indonesia.
***
Akan dibahas seperti yang telah dijanjikan dalam Seri 801 yang lalu, yaitu: Surga tempat tinggal Adam dan isterinya letaknya di bumi. Ada Hadits shahih sanadnya, shahih matannya, tetapi belum final, masih problematis. Allahu yarham melarang muridnya berorganisasi selain Muhammadiyah, tetapi beliau sendiri menjadi anggota partai politik Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia). Al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) bukan di Palestina.
Saya mulai dahulu dari bawah: Al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) bukan di Palestina telah dimasyarakatkan dalam ceramah saya di Masjid Raya dalam rangka Peringatan Isra'-Mi'raj yang diselenggarakan oleh Panitia Hari-Hari Besar Islam, pada malam Sabtu, 22 Januari 1993.
-- SBhN ALDzY ASRY B'ABDH LYLA MN ALMSJD ALhRAM ALY ALMSJD ALAQShA ALDzY BRKNA hWLH LNRYH MN aAYTNA ANH HW ALSMY'A ALBShYR (S. BNY ASRAaYL 17:1), dibaca:
-- subha-nal ladzi- asra- bi'abdih- lailam minal masjidil hara-mi ilal masjidil aqsha- alladzi- ba-rakna- haulahu- linuriyahu- min aya-ya-tina- nnahu- huwas sami-'ul bashi-ru (s. bani isra-i-l), artinya:
-- Mahasuci Yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari al-Masjid al-Haram ke al-Masjid al-Aqsha yang telah Kami berkati sekelilingnya, untuk memperlihatkan sebahagian dari ayat-ayat Kami, sesungguhnya Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat.
Jika pengertian Isra dipersempit menjadi sekadar perjalanan di atas bumi, yaitu dari Makkah ke Darussalam (Jerusalem), lalu apa peranan kalimah Subhana pada permulaan ayat, dan linuriyahu min ayatina, untuk memperlihatkan sebagian dari ayat-ayat Kami. Kalimah Subhana menunjukkan bahwa peristiwa asra bi'abdihi bukan proses 'alamiyah yang normal, dan juga ayat-ayat apa yang disaksikan RasuluLlah SAW, hanya alam Syahadah (ayat Kawniyah) saja yang disaksikan beliau, kalau Isra itu hanya sekadar jarak antara Makkah dan Darussalam saja. RasuluLlah SAW tidak akan menyaksikan al Ayat al Kubra, ayat yang maha besar yang disaksikan RasuluLlah dalam Mi'raj. Itu menunjukkan bahwa sesungguhnya Mi'raj adalah bagian dari Isra.
-- GhLBT ALRWM * FY ADNY ALARDh (S. ALRWM, 30:2-3), dibaca:
-- ghulbatir ru-m * fi- adnal ardhi, artinya:
-- telah dikalahkan bangsa Rumawi * di negeri yang terdekat
Ayat (30: 2-3) tersebut menunjuk pada kejadian sejarah, yaitu Hiraqla (575? - 641)M., Kaisar Rum (610 - 641)M. dikalahkan pasukannya di Chalcedon oleh pasukan Khosrau Parvez, Raja Sassan (590 - 628)M. Chalcedon itu terletak di mulut Asia Kecil hanya dipisahkan oleh selat Bosporus dari ibu kota Kerajaan Rum, Konstantinopel. Jadi kalau kita ada di Makkah, maka Chalcedon lebih jauh letaknya dari Bayt al-Maqdis. Mengapa bagi Chalcedon yang lebih jauh dikatakan adna, terdekat, sedangkan Palestina yang lebih dekat dikatakan aqsha, terjauh? Itu artinya al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) tidak di Palestina.
Di dalam matan Hadits tidak dipakai istilah al-Masjid al-Aqsha untuk yang di Palestina melainkan Bayt al-Maqdis. Jadi Rasulullah diperjalankan malam oleh Allah dari al-Masjid al-Haram ke Bayt al-Maqdis tempat transit di atas permukaan bumi sehingga mempergunakan "mekanisme" transportasi, yaitu buraq. Lalu dari tempat transit itu RasuluLlah menembus keluar dari alam syahadah, lalu naik (=['ARJ], Mi'raj) ke alam malakut, fawka malakut, fawka fawka malakut, alam ghaib, Mi'raj ke "tempat" sujud yang terjauh, al-Masjid al-Aqsha. (aqsha adalah isim tafdhil, superlatif, yang terjauh, masksudnya di ujung "perjalanan"). Bangunan Al-Masjid al-Aqsha yang dibangun kemudian, adalah tempat transit tersebut, yaitu proyeksi al-Masjid al-Aqsha di alam ghaib ke alam syahadah. Demikianlah pendapat S.Madjidi yang tampil beda, tetapi sesungguhnya tidaklah kontroversial.
***
S. Madjidi melarang muridnya berorganisasi selain Muhammadiyah, tetapi beliau sendiri menjadi anggota partai politik Masyumi. Perlu diketahui bahwa menurut Anggaran Dasar Masyumi (saya juga dahulu anggota Masyumi) ada dua jenis anggota, yaitu anggota biasa yang terdiri atas individu dan anggota luar biasa yang terdiri atas organisasi-organisasi berdasar Islam, antara lain Muhammadiyah. Beberapa tahun sebelum Pemilu 1955 NU memisahkan diri dan membentuk Partai Politik NU. Dengan penjelasan ini, sikap S. Madjidi itu sesungguhnya tidaklah kontroversial.
***
Adanya Hadits yang shahih sanadnya, shahih matannya, tetapi belum final, masih problematis menurut S. Madjidi seperti berikut: Wa antum a'lamu biamri dunyaakum, artinya, kamu sekalian lebih tahu urusan dunia kamu.
Menurut beliau Hadits itu dijadikan dalil oleh orang-orang yang pemahamnya memisahkan antara urusan dunia (baca kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara) dengan urusan akhirat (baca kehidupan beragama). Pemisahan itu menurut istilah kontemporernya adalah sekularisme, ataupun diperhalus menjadi sekularisasi (secula = dunia) oleh almarhum Nurcholis Madjid dengan semboyannya yang kontroversial: Islam yes, partai Islam no.
Beliau mengemukakan ayat:
-- ALYWM AKMLT LKM DYNKM (S. ALMAaDt, 4:3), dibaca:
-- alyauma akmaltu lakum di-nakum, atinya:
-- Hari ini telah Kusempurnakan bagi kamu sekalian din kamu.
Akmaltulakum di-nakum, paham? Islam itu din yang sempurna, tercakup di dalamnya semua aspek kehidupan di dunia untuk kebahagiaan di akhirat, paham? Aspek-aspek itu antara lain kehidupan berpolitik, bermasyarakat dan bernegara, paham? Apakah cocok akmaltulakum diynakum dengan antum a'lamu biamri dunyaakum, paham?
Insya-Allah akan disambung nanti dalam seri yang akan datang. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 18 November 2007
11 November 2007
[+/-] |
801. Allahu Yarham DR S. Majidi yang Berani Beda Pendapat |
Allahu Yarham DR S.Majidi adalah guru kami bertiga: Pof.H.Abd Rahman Rahim, Prof H.Halide (keduanya mantan Atase Kebudayaan di Kerajaan Saudi Arabia) dan saya sendiri. Mengapa saya katakan secara spesifik bertiga, karena kami bertiga berguru kepada Allahu yarham secara tradisional, yaitu mendatangi rumah beliau bersama-sama bertiga, bertatap muka secara langsung, layaknya seperti orang mengaji menghadap gurunya. Proses peralihan ilmu dari beliau kepada kami bertiga yaitu secara mujadalah, bertukar pikiran. Ada dua hal yang memberikan inspirasi lahirnya judul Seri 801 ini seperti di atas itu:
Pertama, sebagai penghargaan kepada Prof Ahmad Sewang yang mengantarkan sendiri Undangan untuk menghadiri sidang Promosi Doktor dalam Ilmu Agama Islam atas nama Mas Alim Katu yang brjudul: "S. Madjidi: Sejarah, Pemikiran dan Pengaruhnya di Sulawesi Selatan" di depan Sidang Senat Terbuka UIN Alauddin Makassar.
Kedua, tulisan Ismail Amin berjudul "Benarkah Nabi Muhammad Buta Huruf?" pada Rubrik Opini Harian Fajar edisi Rabu 7 November 2007.
Penyebab pertama dari inspirasi itu jelas, karena memang judul Promosi itu tentang Allahu yarham S. Madjidi. Namun penyebab yang kedua tidak jelas apa hubungannya dengan Allahu yarham. Ismail Amin sangat terpengaruh oleh karya Syekh Al-Maqdisi berjudul "Nabi Muhammad Buta Huruf Atau Genius?" Menurut Syekh Al-Maqdisi yang dianut pula oleh Ismail Amin, terjadi tafsir sejarah yang keliru terhadap kapasitas RasuluLlah khususnya dalam baca tulis. Semua itu bersumber dari kekeliruan dalam menterjemahkan kata "ummi" dalam Al-Quran dan Hadits yang oleh sebahagian besar ummat Islam diartikan "buta huruf". Kalau beliau dianggap buta huruf, maka itu adalah sebuah kesia-siaan saja bila Allah menyapa Nabi Muhammad dengan perintah untuk membaca:
-- AQRA BASM RBK ALDzY KhLQ . AQRA WRBK ALAKRM (S. AL'ALQ, 96:1,3), dibaca:
-- iqra bismi rabbikal ladzi- khalaq . iqra warabbukal akram, artinya:
-- Bacalah dengan nama Tuhanmu yang Mencipta . Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah,
Dalam tulisannya itu Ismail Amin mengemukakan pula ayat-ayat lain tentang Nabi SAW disuruh membaca oleh Allah:
-- WATL 'ALYHM (5:27), wa atlu 'alaihim,
-- bacakanlah kepada mereka
-- WQURaANA FRQNH LTQRAH 'ALY ALNAS (17:106), wa qura-nan faraqna-hu litaqraahu- 'alan na-s,
-- dan Al Quran itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu membacakannya kepada manusia.
Dalam berguru dengan bertatap muka, bertukar pikiran dengan Allahu yarham S. Madjidi, hal pengertian "ummi" ini tidak luput dari pengajian.
"Ustadz apakah memang benar 'ummi' dalam Al-Quran itu maksudnya adalah "buta huruf'?"
Beliau yang terkenal dengan "berani beda pendapat" itu, bahkan menjawab: "Ya, memang buta huruf"
"Tetapi ustadz, ayat yang mula turun, Nabi SAW diperintahkan membaca, bagaimana bisa dikatakan Nabi SAW buta huruf, tidak bisa membaca?"
Beliau menjawab seperti keluar dari topik bahasan: "Shalat tidak sah tanpa Al-Fatihah, paham?"
"Anak TK-pun tahu ttg itu ustadz!"
"Bagaimana dengan orang buta, apa bisa kenal tulisan, faham? Orang buta juga baca Al-Fatihah, faham? Orang buta membaca Al-Quran bukan dari tulisan, paham? Tidak semua orang membaca dari tulisan, faham? Orang bisa membaca dari hafalan, faham? Jadi membaca tidak mesti yang melek huruf, faham?"
Allahu yarham memang sering sekali menutup kalimatnya dengan paham. Itu tidak berarti bahwa beliau marah-marah, melainkan memang begitulah gaya beliau kalau sedang asyik menerangkan.
***
Kalau dalam hal arti kata "ummi" di atas Allahu yarham pendapatnya tidaklah kontroversial, tidaklah berani tampil beda, maka akan saya kutip dari khulasah (abstrak) Disertasi Mas Alim Katu pendapat Allahu yarham yang tampil beda:
S. Madjidi pernah berkhotbah namun tidak melaksanakan shalat Jum'at. Dan ini pernah ditiru murid beliau, Prof H.Halide. Kejadiannya saya sudah lupa tahunnya. Penyelenggara/Panitia Shalat 'Iyd di Universitas Hasanuddin kelabakan, karena khatib yang mestinya membaca Khutbah tidak hadir, karena khatib tsb sudah shalat 'Iyd sehahari sebelumnya berhubung dia itu penganut metode hisab, sedangkan Panitia di Unhas ikut pengumuman pemerintah. Pada waktu itu garis batas antara bulan Ramadhan dengan bulan Syawwal nyaris memotong Makassar, ya seperti keadaannya dalam tahun 1428 H tahun ini. Maka Prof. Halide menyelamatkan keadaan, ia membaca Khutbah 'Iyd, tanpa shalat 'Iyd karena Prof.Halide juga sudah shalat 'Iyd sehari sebelumnya. Kalau Allahu yarham S. Madjidi membaca khutbah Jumat, tanpa shalat, karena beliau waktu itu sedang dalam keadaan musafir. Menurut beliau lagi pada hari Jum'at tidak ada waktu zhuhur, sebab yang lima waktu pada hari Jum'at yaitu Shubuh, Jum'at, 'Ashar, Maghrib, 'Isya. Jadi kalau berhalangan pergi ke masjid untuk shalat Jum'at karena sakit, maka beliau tidak melaksanakan shalat zhuhur, karena menurut beliau waktu zhuhur tidak ada pada hari Jum'at. Pendapat Allahu yarham dalam hal ini tidak ada yang disetujui oleh ketiga murid beliau, sehingga hal ini tidak pernah diekspos. Beliau sendiri tidak menulis buku. Beliau hanya menyerahkan kepada para muridnya untuk menuliskan/mempublikasikan pandangannya, yang tentu saja pandangan yang disetujui oleh para muridnya saja.
Adapun yang akan dikemukakan selanjutnya dari pendapat yang kontroversial, berani tampil beda dari Allahu yarham, yang diteruskan oleh para muridnya (termasuk saya sendiri) antara lain:
Surga tempat tinggal Adam dan isterinya letaknya di bumi. Ada Hadits shahih sanadnya, shahih matannya, tetapi belum final, masih problematis. Allahu yarham melarang muridnya berorganisasi selain Muhammadiyah, tetapi beliau sendiri menjadi anggota partai politik Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia). Al-Masjid al-Aqsha dalam ayat (17:1) bukan di Palestina. Namun diminta kesabaran pembaca menunggu dibahas pada Seri 802 yang akan datang, insya-Allah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 11 November 2007
4 November 2007
[+/-] |
800. Menghisab dan Meru'yah Bulan ke Arah Timur |
Besok pergunakanlah hak anda memilih pasangan Gub-Wagub dan tentu sangat terpuji jika tidak menjadi Golput. Golput berbeda dengan UMt WShThA (2:143), ummatan wasathan, ummat pertengahan. Dalam Seri 800 ini saya penuhi janji saya dalam seri sebelumnya untuk membahas metode memantau matahari yang terbenam ke barat bersamaan dengan meru'yah bulan purnama ke timur, sebagai jalan keluar Untuk dapat menghindarkan silau matahari. Berhubung jika meru'yah ke barat cahaya hilal belum cukup kuat/terang untuk dapat mengimbangi silaunya sinar matahari, maka hasil ru'yah dan hisab ada perbedaan pada tempat-tempat yang nyaris dipotong oleh garis batas antara Ramadhan dengan Syawwal yang memotong Indonesia tahun 1428 H ini.
Ini landasan Nash-nya menghisab dan meru'yah bulan purnama ke sebelah timur. Firman Allah SWT:
-- WALQMR QDRNH MNAZL hTY 'AAD KAL'ARJWN ALQDYM (S. YS, 36:39), diabac:
-- walqamara qddarna-hu man-azila htta- 'a-da kal'urju-nil qdi-mi, artinya:
-- dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua.
Manzilah-manzilah itu dari purnama, hingga berbentuk tandan yang tua. Jadi kalau selama ini manzilah hilal yang diru'yah, maka dalam metode ini manzilah bulan purnama yang diru'yah. Pada bulan purnama posisi bulan - bumi - matahari (bumi di tengah-tengah) nyaris membentuk garis lurus. Pada waktu bulan purnama itu "kerja sama" gravitasi bulan dengan gravitasi matahari menjadi maksimum, sehingga gabungan gravitasi kedua benda langit itu menarik air laut secara maksimum, maka terjadilah pasang penuh.
-- 'An Abiy Hurayrata yaquwlu qaala nNabiyyu Sh M shuwmuw liru'yatihi wa afthuruw liru'yatihi (Rawahu Bukhariy), artinya:
-- Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu apabila melihatnya dan berbukalah apabila kamu melihatnya.
Dalam Hadits di atas itu RasuluLlah SAW tidak secara spesifik menunjuk arah timur atau barat meru'yah, juga tidak secara spesifik disebutkan manzilah bulan itu. Jadi berlandaskan ayat (36:39) dan Shahih Bukhari di atas itu, kita bebas memilih arah timur dan manzilah bulan purnama.
Untuk meru'yah bulan ke arah timur, tidak usah pakai peralatan canggih. Tidak perlu dibentuk tim atau panitia pemantau yang pakai anggaran dari kas negara untuk uang saku bagi para anggota tim. Semua orang dari penduduk kampung yang bisa berjalan dapat beramai-ramai pergi memantau dua atau tiga hari sebelum pasang penuh. Mengapa ? Yang dibutuhkan hanya sebuah pemukikan di pinggir pantai dari sebuah pulau, yang di Indonesia jumlahnya banyak sekali, di mana dapat sekali-gus tampak ufuk barat untuk mengamati matahari tenggelam dan tampak ufuk timur untuk mengamati bulan purnama terbit. Pada pinggir laut dibuat kolam sangat sederhana yang dindingnya berlubang-lubang, bisa dari susunan batu karang tanpa semen supaya air laut bisa masuk dan sekaligus meredam ombak. Pada pinggir kolam dipasang pelampung yang pakai tangkai runcing sebagai penunjuk pada tonggak berlapis lilin, yang dipancangkan untuk dapat memantau tinggi air laut maksimum. Goresan tangkai runcing pada lilin menandakan tinggi air laut.
Seperti dalam hal hilal-baru ke hilal-baru ada kalanya 29 hari, ada kalanya 30 hari, maka dari hilal-baru ke bulan purnama ada kalanya malam ke-14, ada kalanya malam ke-15:
- Apabila pada waktu malam terpantau pasang penuh, sedangkan tadinya bulan terbit sebelum matahari seluruhnya terbenam di ufuk barat maka pada malam itu adalah bulan purnama, malam ke-15. Dalam hal ini maka bulan (syahr) bersangkutan jumlah harinya 30 hari.
- Apabila bulan terbit sesudah matahari seluruhnya terbenam di ufuk barat maka pada malam itu adalah bulan purnama, malam ke-14. Dalam hal ini maka syahr bersangkutan jumlah harinya 29 hari.
- Kalau bulan terbit serempak atau nyaris serempak dengan matahari terbenam, maka masuk kategori "mutasyabihat", sehingga pada syahr bersangkutkan dicukupkan harinya 30 hari.
Di Makassar
Waktu pasang penuh, bulan purnama Sya'baan: 28 Agustus 2007
Matahari terbenam : 18:03:56
Bulan purnama terbit : 17:59:38
Pada waktu pasang penuh bulan purnama tadinya terbit lebih dahulu 17:59:38, kemudian matahari terbenam 18:03:56, maka itu bulan purnama Sya'baan 15 malam (Nisf Sya'baan), bulan Sya'baan harinya 30 hari.
Waktu pasang penuh, bulan purnama Ramadhan 26 Sept 2007
Matahari terbenam : 17:57:57
Bulan purnama terbit: 17:29:50
Pada waktu pasang penuh bulan purnama tadinya terbit lebih dahulu 17:29:50 kemudian matahari terbenam 17:57:57, maka itu bulan purnama 15 malam, bulan Ramadhan harinya 30 hari.
***
Perbandingan denga ru'yah dan hisab dengan memantau ke sebelah barat. Juga di Makassar.
Ijtima' : Kamis 11 Oct 2007, 13:01:50
Titik pusat matahari (TPM) menyentuh ufuk: pukul 17:56:12
Titik pusat bulan (TPB) menyentuh ufuk : pukul 17:56:54
Pada waktu matahari seluruhnya terbenam
TPB : -0.098 atau -0° 05' 24"
TPM : -0.248 atau -0° 14' 54"
Kriteria wujud al-hilal:
1. Telah terjadi ijtima' sebelum matahari terbenam seluruhnya
2. Pada saat matahari terbenam seluruhnya, bulan di atas ufuk, bulan belum terbenam
Pada waktu matahari seluruhnya terbenam, TPB sudah di bawah ufuk -0.098derajat, sudah lebih separuh bulan terbenam, jadi di Makassar pada Kamis malam, atau malam Jum'at kriteria wujud al-hilal no.2 tidak sempurna dipenuhi, jadi dalam keadaan mutasyabihat, sehingga bulan Ramadhan dicukupkan harinya 30 hari.
Kuraib diutus oleh Ummu Fadhal di Madinah kepada Mu'awiyah di Syam untuk suatu keperluan. Setelah kembali, dia bertemu dengan Ibnu Abbas dan cerita-cerita hingga menyebutkan tentang hilal. Kuraib bertanya, "Tidakkah suduh cukup dengan rukyah hilalnya Mu'awiyah (yakni di Syam)?" Ibnu Abbas menjawab, "Tidak, demikianlah kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW."
Padahal Madinah masuk dalam wilayah al-hukmi Khilafah Islamiyah yang berpusat di Syam. Kalau Ibn Abbas hanya menjawab "tidak" maka itu cuma atsar. Tetapi karena ditutup dengan kalimat "demikianlah kami diperintahkan oleh Rasulullah SAW", maka itu adalah Hadits. Hadits ini menolak globalisasi ru'yah dan wilayah al-hukmi.
WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 4 November 2007