Sebenarnya seri ini merupakan lanjutan Seri 324, tanggal 31 Mei 1998 yang berjudul: Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi. Seri ini tertunda dipublikasikan berhubung diselingi oleh substansi yang lebih aktual. Secara impulsif ada yang menanggapi Seri 324 tersebut melalui telepon bahwa judul itu perlu diralat, karena tidak ada undang-undang kolusi. Lalu saya jawab bahwa rupanya anda itu baru membaca judul, lalu secara impulsif anda angkat gagang telepon. Kemudian secara berkelakar saya tambahkan yang saya tulis itu bukanlah yang orang Makassar katakan das Sein (orang Makassar membacanya dengan das zain), melainkan judul itu menyangkut mengenai yang orang Bugis katakan das Sollen (orang Bugis membacanya dengan das zollen).
Rupanya keadaan juga yang memacu orang serba tergesa berpacu dengan waktu, sehingga orang bereaksi secara impulsif terhadap pendapat seseorang. Katakanlah ucapan Menteri Pangan dan Hortikultura A.M. Saifuddin tentang penjarahan dengan angka 5%. Karuan saja mantan petinggi dan para petinggi secara impulsif ramai-ramai berkomentar: itu salah besar, sekecil apapun persennya, penjarahan itu melanggar hukum, tidak boleh ditolerer.
Reaksi impulsif itu secara ilmu nafsani disebabkan oleh dorongan naluri dalam Qalbu di sektor Al Hawa terlalu intensif, sehingga tidak ada aktivitas di sektor-sektor Al Fuad dan Al Shudr. (Mengenai pengertian sektor-sektor Al Hawa, Al Fuad dan Al Shudr di dalam Qalbu silakan baca Seri 306, tanggal 11 Januari 1998, yang berjudul: Puasa Meningkatkan Kecerdasan Perasaan, Pikiran dan Naluri). Akibatnya logika tidak bekerja, orang tidak dalam keadaan tenang (nuchter). Kalau orang sedikit nuchter, memakai sedikit logika, bagaimana mungkin dapat percaya sosok orang semacam A.M. Saifuddin itu sampai mengeluarkan pendapat demikian itu, bahwa penjarahan di bawah 5% dapat ditolerer. Cuma Buya Ismail Hasan Metareum (peu khaba Teungku), mantan Ketua PB HMI hasil Kongres Medan tahun 1958, yang nuchter menanggapi dengan kalimat pendahuluan: Jika memang beliau itu mengucapkan demikian, maka dst. Ternyata yang dimaksud Pak Menteri ialah yang ditolerer itu angka 5% dalam kontex risiko bisnis, bukan substansi penjarahan sebagai salah satu risiko bisnis. Saya kira pendapat Presiden Habibie yang mengatakan bahwa wartawan hendaknya seperti dokter yang memerlukan rekomendasi dari persatuannya, ada benarnya. Seingat saya Drs HM Yusuf Kalla pernah mengalami yang demikian, ucapannya secara harfiyah (letterlijk) dimuat di koran, sehingga makna ucapan itu menyimpang dari kontex yang sebenarnya.
Kembali kepada penanya melalui telepon tesebut. Saya berani menyatakan kepada penanya tersebut bersikap impulsif, karena dalam Seri 324 itu antara lain saya tuliskan: Dalam rangka reformasi Ekonomi dan Hukum, yaitu pembuatan Undang-Undang Anti Korupsi, maka kolom ini memberikan saran kepada lembaga pembuat undang-undang (DPR dan Pemerintah) supaya diperlengkap menjadi Undang-Undang Anti Korupsi dan Anti Kolusi (UUAKK) dengan sistem pembuktian terbalik.
Dalam seri tersebut saya jelaskan pula asal-usul metode pembuktian terbalik ini, yaitu dari Khalifah 'Umar ibn Khattab RA (581-644). Khalifah yang kedua ini (634-644) mendapat inspirasi dari pertanyaan Nabi Zakaria AS kepada Maryam binti 'Imran:
-- Yaa Maryamu anna- Laki Ha-dza (S. Ali 'Imraan, 3:37), hai Maryam, dari manakah engkau mendapatkan ini? Pertanyaan dari manakah engkau mendapatkan ini dalam ayat (3:37) tersebut diaplikasikan oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA kepada aparat kekhalifahan.
Dalam hal korupsi dan kolusi terlalu banyak menguras tenaga jaksa untuk membuktikan tersangka melakukan tindak pidana. Apapula jika dokumen-dokumen sebagai barang bukti sempat dibakar hangus oleh tersangka bersama kaki tangannya. Apabila dipakai metode pembuktian terbalik, maka jaksa cukup hanya memeriksa saksi-saksi, menerima laporan masyarakat sekitar kekayaan tersangka baik yang bergerak dan tidak bergerak, mendata kekayaan tersangka, lalu "mengamankan" harta-harta kekayaan itu. Maka tinggallah pejabat yang bersangkutan itu saja yang harus membuktikan bahwa hartanya itu bersih dari korupsi dan kolusi. Kalau ada sisanya yang kotor, maka yang sisa tersebut dirampas oleh negara, dan pejabat/koruptor itu dijatuhi hukuman dengan sanksi potong tangan.
Alhasil dengan pembuktian terbalik ini jaksa tidak perlu khawatir akan dibakar hangusnya dokumen-dokumen barang bukti, sebab jaksa tidak perlu akan barang bukti tersebut, berhubung bukan lagi jaksa yang harus membuktikan tindak pidana korupsi dan kolusi, melaikan pembuktian itu harus dilakukan oleh terdakwa dalam sidang pengadilan. Jaksa cukup hanya menyodorkan data kekayaan terdakwa dalam sidang pengadilan. Demikianlah proses itu menjadi efisien dan efektif. Kejaksaan dan pengadilan dapat menangani kasus korupsi dan kolusi dengan cepat, sehingga dapat menyelesaikan lebih banyak kasus korupsi dan kolusi. Dan dengan sanksi potong tangan, menjadi penggentar bagi yang lain untuk pikir punya pikir untuk korupsi. Lagi pula dengan sanksi potong tangan itu negara tidak usah mengeluarkan ongkos lagi untuk kehidupan terpidana dalam pemjara, sebab terpidana tidak dipenjarakan lagi. Tidak seperti sekarang dengan prinsip asas praduga tak bersalah yang disalah gunakan (koruptor berlindung dibalik asas tersebut), kejaksaan tinggi yang menangani pengusutan korupsi bekerja secara maraton. Kasihan betul kejaksaan tinggi bekerja sampai melebihi jam kerja masih dikatakan lamban bekerja.
Juga dalam UUAKK ditegaskan pula bahwa khusus dalam hal korupsi dan kolusi tidak perlu ada surat izin sekalipun tersangka itu anggota lembaga tertinggi negara, cukup hanya pemberitahuan saja. Dengan demikian proses tidak akan tersendat-sendat, karena izin belum keluar. Dalam hal ini perlu ada sinkronisasi dengan undang-undang tentang keanggotaan lembaga-lembaga tinggi dan lembaga tertinggi negara, supaya tidak ada ketentuan dalam lembaga-lembaga tersebut bahwa para anggotanya tidak boleh dipanggil oleh lembaga kejaksaan tanpa izin. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 26 Juli 1998
26 Juli 1998
[+/-] |
332. Mengapa Pembuktian Terbalik? |
19 Juli 1998
[+/-] |
331. Wahyu Menurut Selo Sumarjan |
Hari Jum'at, 17 Juli 1998, setelah saya tiba di rumah dari shalat Jum'at begitu masuk ke dalam ruang tengah mata saya tertumbuk di layar monitor menyaksikan Selo Sumarjan sementara diwawancarai oleh SCTV. Menurut guru besar sosiologi itu sekarang ini bangsa Indonesia memerlukan tokoh untuk dapat mengubah tatanan nilai. Ia memberikan ilustrasi tatkala bangsa Indonesia beralih dari alam penjajahan ke alam kemerdekaan tampil Soekarno sebagai tokoh yang mampu membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai lama ke tatanan nilai baru yaitu Pancasila. Akan tetapi Soekarno dalam proses selanjutnya menyeret bangsa Indonesia ke komunisme. Maka tampillah Suharto, demikian Ilustrasi Sumarjan selanjutnya, yang menghancurkan komunisme kemudian membentuk tatanan nilai Orde Baru. Maka disebutkanlah periode Soekarno yang menyimpang itu dengan sebutan Orde Lama. Kemudian Suharto juga jatuh karena menyeret bangsa Indonesia ber-KKN. Ilustrasi yang dikemukakan oleh Selo Sumarjan itu sebenarnya sudah umum diketahui orang.
Yang tidak umum diketahui orang ialah guru besar sosiologi itu rupanya memakai filsafat Jawa untuk melandasi keilmuannya. Soekarno berhasil membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai Orde Penjajahan ke tatanan nilai Orde Kemerdekaan, Suharto juga berhasil membawa bangsa Indonesia dari tatanan nilai Orde Lama ke tatanan nilai Orde Baru karena kedua tokoh itu mendapatkan wahyu dari atas, sambil Selo Sumarjan menunjukkan telunjuknya dua kali ke atas langit, satu kali untuk Soekarno dan satu kali untuk Suharto. Habibie, menurut Selo Sumarjan, cukup hanya memimpin pemerintahan transisi saja. Habibie, katanya, tidak akan mampu membawa rakyat berubah dari tatanan nilai Orde Baru ke tatanan nilai Orde Reformasi, karena Habibie tidak mendapat wahyu. Itulah pendapat Selo Sumarjan sebagai pengamat sejarah (?) menurut teropong sosiologi yang berdasarkan filsafat Jawa.
Sebagai sisipan mengenai filsafat Jawa ini saya pernah membaca sebuah artikel puluhan tahun yang lalu, sehingga saya lupa di majallah mana artikel itu dimuat, bahwa raja itu adalah pusat kosmos. Berdasarkan filsafat ini maka para penulis sejarah bagaimanapun juga, jika tidak dapat dalam kenyataan cukuplah dalam angan-angan saja, mestilah menempatkan rajanya sebagai penguasa tunggal dari kerajaan-kerajaan lain di nusantara ini. Lihatlah misalnya kerajaan Majapahit dalam Negara Kertagama dikatakan menguasai seluruh nusantara. Inilah angan-angan Prapanca untuk menyanjung rajanya, sebab bagaimana mungkin Majapahit dapat mengusai kerajaan Gowa. Seperti diketahui kerajaan Gowa adalah kerajaan maritim yang kuat angkatan lautnya. Sedangkan kerajaan Majapahit adalah kerajaan agraris yang angkatan lautnya bukan untuk berperang, melainkan hanya sekadar untuk mengangkut pasukan darat dan logistik menyeberangi selat Sunda, untuk menyerang kerajaan-kerajaan di Sumatera seperti puing-puing kerajaan Syriwijaya dan kerajaan Pagarruyung di Minangkabau.
Kembali pada Selo Sumarjan menganai wahyu. Adalah haknya untuk menjadi pakar, berteori dalam disiplin sosiologi yang berdasarkan filsafat Jawa, akan tetapi sungguh tidak patut dan sama sekali tidak etis, bahkan merupakan korupsi serta pelecehan, yaitu "mencuri" istilah wahyu dari bahasa Al Quran, kemudian menyelewengkan makna substansi itu. Wahyu menurut bahasa Al Quran bersumber dari Allah SWT diturunkan hanya kepada para manusia pilihan dan mulia, yaitu para Nabi dan Rasul. Nabi dan sekaligus Rasul yang terakhir yang menerima wahyu dari Allah SWT adalah Nabi Muhammad SAW. Dan inilah pengertian wahyu dalam kolom WAHYU DAN AKAL - IMAN DAN ILMU ini. Hubungan keempat substansi itu telah dijelaskan dalam Seri 001. Akal harus dituntun wahyu, ilmu harus berlandaskan iman, wahyu harus diterima dengan iman, dan ilmu adalah produk akal.
Firman Allah:
Innaa Awhaynaa Ilayka Kamaa Awhaynaa ila- Nuwhin wa nNabiyyi-na min ba'dihi- wa Awhaynaa ila- Ibra-hiyma wa Isma-'iyla wa Ya'quwba wa lAsbaati wa 'Iysa- wa Ayyuwba wa Yuwnusa wa Ha-ruwna wa Sulaymaana wa A-taynaa Daawuwda Zabuwran (S. AnNisa- 4:163). Sesungguhnya Kami telah wahyukan kepada engkau (hai Muhammad) sebagaimana Kami telah wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi sesudahnya, dan Kami telah wahyukan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq dan anak-naknya dan kepada 'Isa, Ayyub, Yunus, Harun, Sulaiman dan Kami berikan Zabur kepada Daud.
Wa Awhaynaa ila- Musa- idzi sTasqa-hu qawmuhu- ani Dhrib bi'Ashaaka lHajara (S. AL A'Raaf, 7:160). dan Kami wahyukan kepada Musa, ketika kaumnya minta air, pukullah batu itu dengan tongkatmu.
Maa Kaana Muhammadun Abaa Ahadin Min rRijaalikum Wala-kin RasuwlaLla-hi wa Khaatamu nNabiyyi-na (S. AL Ahzaab, 33:40). Bukanlah Muhammad bapa salah seorang laki-laki di antara kamu, melainkan dia Rasul Allah dan penutup Nabi-nabi.
Dari Firman Allah yang dikutip di atas itu jelaslah bahwa wahyu hanya diturunkan kepada para Nabi dan Rasul, serta Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir. Allah tidak lagi menurunkan wahyu setelah Nabi Muhammad SAW. Selo Sumarjan "mencuri" istilah wahyu dari Al Quran, kemudian ia mengkorupsi makna substansi tersebut sehingga menyimpang dari makna yang sesungguhnya dengan mengatakan bahwa Soekarno dan Suharto mendapat wahyu dari atas langit, dengan menunjukkan telunjuknya ke langit dua kali, sekali untuk Soekarno, sekali untuk Suharto.
Majelis Ulama Indonesia hendaknya memperhatikan hal ini, karena Selo Sumarjan yang melakukan korupsi bahasa Al Quran dalam bidang sosiologi, membawa efek meracuni aqidah anak baru gede (ABG) dalam kalangan ummat Islam! Orang boleh bebas mengeluarkan pendapat, tetapi jangan melanggar rambu-rambu hak asasi ummat Islam. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 19 Juli 1998
12 Juli 1998
[+/-] |
330. Baldatun Thayyibah, Wa Rabbun Ghafuwr |
Salah satu kegembiraan waktu saya masih kanak-kanak ialah berlomba dengan anak-anak lain mendapatkan buah kelapa yang jatuh kedengaran bunyinya berdebum di tanah. Menurut adat yang diadatkan, buah kelapa yang jatuh dengan sendirinya dari pohonnya bukan lagi menjadi milik yang empunya pohon kelapa.
Terkadang kami anak-anak kecewa juga setelah mendapatkan bahwa kelapa yang jatuh itu adalah kalongkong (saya tidak tahu bahasa Indonesianya). Kalongkong adalah buah kelapa yang tidak dapat menjadi ranum karena dilubangi dan dimakan isinya oleh tupai. Mengenai hal tupai binatang penggerek pemakan isi kelapa ini, silakan baca tulisan Fuad Rumi dalam kolomnya pada tanggal 10 Juli 1998 yang berjudul: Sepandai-pandai tupai melompat tetap tupai.
Kata kalongkong ini menempatkan diri dalam sebuah syair yang menggambarkan secara metaphoris suatu negeri yang disebutkan dalam Al Quran: Baldatun Thayyibah, Wa Rabbun Ghafuwr (S. Saba-, 34:15), negeri yang makmur aman sentosa yang mendapatkan maghfirah dari Yang Maha Pemelihara.
Demkian bunyi syair seperti di bawah ini:
Putabangung butta baji'
Butta pa'dingin-dingingang
Manna kalongkong,
tu'guru' mattimbongaseng
Putabangung negeri makmur
Negeri rakyat bersejuk-sejuk
Kalongkong yang jatuh,
segera tumbuh dengan subur
Putabangung adalah sebuah kerajaan dahulukala di pulau Selayar, yang dalam lontaraq dituliskan bahwa kerajaan ini didirikan oleh Tanridioq, anak-tengah Sawerigading, adik dari I Lagaligo. Kerajaan Putabangung ini mempunyai gaukang (atribut kerajaan) yang dibawa oleh Tanridioq berupa sebuah gong (nekara) perunggu, benda pra-sejarah. Nekara yang terbesar di dunia ini sekarang dipajang di Matalalang, Kecamatan Bontoharu, Kabupaten Selayar, untuk obyek pariwisata budaya. Pasangan nekara ini ada di Thailand, ukurannya sedikit lebih kecil dari yang di Selayar. Yang di Selayar itu konon jantan dan yang di Thailand itu betina. Lontaraq Putabangung itu dituliskan dalam dua macam aksara, yaitu lontaraq biasa (dari Daeng Pammatte, yang mirip dengan aksara Batak dan Lampung) dan lontaraq jangang-jangang, yang mirip dengan huruf Thailand. Lontaraq Putabangung ini ada foto-kopinya dalam perpustakaan pribadi saya, sayangnya dipinjam oleh Drs H.M.Tjadi Aman dan hilang waktu ia pindah rumah.
***
Untuk mencapai Baldatun Thayyibah, Wa Rabbun Ghafuwr, jangan sampai terulang blunder (kesalahan besar, menentang Firman Allah) seperti yang telah dilakukan oleh peletak dasar strategi pembangunan di zaman Orde Baru yang diotaki oleh para pakar penganut madzhab Berkeley, yaitu pelaku ekonomi berat ke atas, kedaulatan ekonomi hanya dalam tangan para konglomerat, sebagai konsekwensi strategi akselerasi modernisasi. Dalam Seri 327 yang berjudul: Madzhab Berkeley yang Bertanggung Jawab Secara Intelektual atas Terpuruknya Perekonomian Kita, telah dibahas bahwa blunder strategi pembangunan akselerasi modernisasi tersebut ialah menentang Firman Allah:
Kay Laa Yauwna Duwlatan Bayna lAghniyaai Minkum (S. AL Hasyr, 59:7), supaya kedaulatan (ekonomi) itu jangan (beredar) di antara orang-orang kaya di antara kamu.
Dalam pembangunan industri menyikapi penanaman modal asing yang akan datang patut mendapat perhatian mengenai perimbangan secara proporsional antara industri yang padat modal dengan yang padat karya. Termasuk industri padat karya ialah industri hasil pertanian dan holtikultura (agrobased industries). Dengan demikian industri kecil (small scale industries) diperbanyak. Industri besar yang berteknologi canggih diarahkan pada industri bersih (clean industries), seperti misalnya industri transportasi, komunikasi (elektronika), industri menengah seperti tekstil. Ini untuk meredam peningkatan pencemaran. Untuk itu industri kimia harus dibatasi hanya pada industri pengilangan minyak bumi.
Kebakaran hutan baru-baru ini adalah peringatan dari Allah SWT supaya berhati-hati "main kayu", dalam arti yang sebenarnya dan dalam arti yang metaphoris. Demikianlah industri kayu harus dibatasi hanya pada hutan tanaman industri untuk memelihara hutan kita yang sangat berharga ini. Industri pulp (tidak termasuk kertas) walaupun dari hutan tanaman industri ditiadakan saja karena mencemari lingkungan. Contoh kasus protes masyarakat di Tanah Batak terhadap pabrik pulp tersebut.
Dalam Seri 319, tanggal 26 April 1998, yang berjudul: Reformasi dalam Bidang Ilmu Pengetahuan, antara lain disebutkan ciri-khas ilmu pengetahuan yang dianut secara global, yaitu:
Kelemahan ilmu pengetahuan yang berasaskan filsafat positivisme yang kita miliki sekrang ini ialah setiap ilmu pengetahuan, baik yang berkarakteristik eksperimental, maupun yang spekulatif mempergunakan approach yang sama: Orde atau taraf yang lebih rendah menjelaskan fenomena yang lebih tinggi ordenya.
Biologi, ilmu tentang hidup ini mengenyampingkan sama sekali hal yang sangat esensial bagi hidup dan kehidupan, yaitu kepribadian dan kesadaran. Ilmu ini hanya dibangun atas landasan yang rendah ordenya, seperti gerak reflex, ikatan kimiawi sampai kepada protoplasma dan osmose. Ini contoh dalam ilmu eksakta.
Ilmu ekonomi mengabaikan permasalahan tentang keadilan, solidaritas, dan dibangun di atas landasan yang jauh lebih rendah ordenya, yaitu kebutuhan individu. Ini contoh dalam ilmu non-eksakta.
Alhasil, salah satu faktor yang penting untuk mencapai Baldatun Thayyibah, Wa Rabbun Ghafuwr dalam Republik Indonesia ini, ialah: Harus mengadakan reformasi ilmu ekonomi, yaitu nilai keadilan dan solidaritas dijabarkan ke bawah ke orde yang lebih rendah yakni kebutuhan individu. Inilah yang sangat patut diperhatikan oleh para pengamat ekonomi yang beretorika dan ngerumpi melalui Indosiar, yang mengejek kebijaksanaan Pemerintah yang populis. (Saya ingat betul mimik pembawa acaranya, Wimar Witular melontarkan kritik kebijakan populis Pemerintah itu dengan senyum sinis, yang disambut gelak oleh Syahrir, yang betul-betul menikmati kebebasan mngeluarkan pendapat). WaLlahu a'lamu bishshwab.
*** Makassar, 12 Juli 1998
5 Juli 1998
[+/-] |
329. Bukan Theologis Melainkan Sosio-Historis-Kultural |
Partai-partai politik dalam era reformasi ini pada bermunculan, di antaranya Partai Perempuan yang diprakarsai oleh novelis La Rose dan Titi Said. Hemat saya, boleh jadi munculnya Partai Perempuan ini yang antara lain menimbulkan inspirasi dari Kohati Korkom UMI. Yaitu pada hari Kamis 2 Juli 1998 Kohati Korkom UMI menyelenggarakan Dialog Kemuslimahan bertempat di Kampus UMI. Saya mendapat amanah memberikan sekapur sirih. Amanah ini saya terima dalam rangka memperingati Mawlud Nabi Muhammad SAW. Saya padatkan sajian sekapur sirih itu seperti berikut.
Secara sosio-historis-kultural dalam dunia Islam ada dua pandangan yang saling bertolak belakang di mata kaum laki-laki mengenai aktivitas perempuan "di luar rumah" terutama bagi yang sudah bersuami. Ada yang membolehkan ada yang menolak. Bahkan tidak kurang jumlahnya dari pihak perempuanpun pasrah menerima statusnya dan mencoba berupaya mencintai dan menyenangi kedudukannya sebagai makhluk manusia nomor dua dengan alasan theologis menurut anggapan mereka.
Sebenarnya pandangan bahwa kaum perempuan adalah sub-ordinat dari kaum laki-laki bertolak dari kisah bahwa Sitti Hawa itu diciptakan Allah dari tulang rusuk Adam yang dicabut tatkala Adam sedang tidur.(*) Bahkan Sitti Hawa dari tulang rusuk Adam ini dijadikan sebagai justifikasi theologis ilmu kejantanan (kaburu'neang) dalam kalangan suku Bugis Makassar, agar kemana saja pergi harus menyisipkan badik di pinggang. Karena belum sempurna sifat jantan dalam dirinya apabila tulang rusuk yang hilang itu tidak disubstitusi dengan badik.
Sikap pasrah sebagian perempuan sebagai sub-ordinat ini timbul, oleh karena secara theologis mereka merasa bersalah kepada laki-laki. Sitti Hawalah yang mempengaruhi membujuk bahkan merengek Adam supaya makan buah larangan. (Iblis menamakan buah larangan ini dengan buah khuldi, artinya buah kekekalan, khuldi dari akar Kha, Lam, Dal artinya kekal).
Sebenarnya kisah di atas itu bersumber dari Israiliyat, yaitu produk budaya bangsa Israil, yang tidak berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa AS. Di dalam Al Quran tidak ada disebutkan bahwa Sitti Hawa dari tulang rusuk Adam. Dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim memang ada disebutkan bahwa perempuan (bukan Sitti Hawa!) dari tulang rusuk (tidak disebutkan dari rusuknya Adam!). Hadits adalah penjelasan Al Quran, akan tetapi tidak menambah substansi. Jadi perempuan dari tulang rusuk, AL Mar.atu min Dhil'In, adalah metaphoris. Apapula jika dibaca Hadits itu secara lengkap, yang artinya: perlakukanlah perempuan itu dengan bijak, karena perempuan itu dari (baca: bersifat) tulang rusuk. Kalau dibiarkan ia bengkok, kalau dikerasi ia patah.
Kaum perempuan tidak usah dibayang-bayangi rasa bersalah karena Sitti Hawa telah membujuk Adam makan buah larangan, sebab di dalam Al Quran Allah berfirman:
FaazaLlahuma sysyaytha-nu (S. Al Baqarah, 2:36), maka syaytan menipu keduanya.
Ayat (2:36) menjelaskan bahwa tidak ada diskriminasi atas Adam dan Sitti Hawa, yaitu keduanya (huma-) sama-sama bersalah.
Jelaslah bahwa kedudukan diskriminatif perempuan sebagai sub-ordinat laki-laki (wanita dijajah pria sejak dulu menurut nyanyian Sabda Alam), bukanlah bertumpu pada alasan theologis, melainkan hanya bersifat sosio-historis-kultural.
Memang dari segi jasmani ada perbedaan laki-laki dengan perempuan, sebab pada laki-laki normal hormon jantannya 60%, sedangkan hormon betinanya hanya 40%, sedangkan sebaliknya pada perempuan normal hormon betinanya yang 60%, sedangkan hormon jantannya hanya 40%. Hormon jantan sifatnya keras aktif, hormon betina sifatnya lembut pasif, secara nafsani yang jantan merasa melindungi dan betina merasa dilindungi. Itulah sebabnya dalam konteks kehidupan berumah tangga berlaku qaidah: ar rija-Lu qawwa-muwNna 'ala nnisa-i, laki-laki (baca: suami) itu pemimpin atas perempuan (baca: isteri). Suami adalah Kepala Negara, isteri adalah Menteri Dalam Negeri. Juga di dalam lapangan bulu tangkis perempuan game pada angka 11, sedangkan laki-laki pada angka 15.
Akan tetapi secara nafsani dan ruhani tidak ada perbedaan antara laki-laki dengan perempuan, yang secara eksplisit dinyatakan oleh Firman Allah:
Inna lmuslimi-na wa Lmuslima-ti wa lmu'mini-na wa lmu'mina-ti wa lqa-niti-na wa lqa-nita-ti wa shsha-diqi-na wa shsha-diqa-ti wa shsha-biri-na wa shshabira-ti wa lkha-syi-i-na wa lkha-syi'a-ti wa lmutashaddiqi-na wa lmutashaddiqa-ti wa shsha-imi-na wa shsha-ima-ti wa lha-fizhi-na furu-jahum wa lha-fizha-ti wa dzdza-kiri-naLla-ha katsi-ran wa dza-kira-ti a'addaLla-hu maghfiratan
wa ajran 'azhi-man (S. Al Ahza-b, 33:35).
yang artinya: Sesungguhnya orang-orang Islam laki-laki dan orang-orang Islam perempuan, orang-orang beriman laki-laki dan orang-orang beriman perempuan, orang-orang taat laki-laki dan orang-orang taat perempuan, orang-orang benar laki-laki dan orang-orang benar perempuan, orang-orang sabar laki-laki dan orang-orang sabar perempuan, orang-orang khusyu' laki-laki dan orang-orang khusyu' perempuan, orang-orang dermawan laki-laki dan orang-orang dermawan perempuan, orang-orang berpuasa laki-laki dan orang-orang berpuasa perempuan, orang-orang laki-laki yang memelihara kesuciannya dan orang-orang perempuan yang memelihara kesuciannya, orang-orang laki-laki yang berzikir banyak-banyak dan orang-orang perempuan yang berzikir, maka Allah menyediakan bagi mereka pahala yang besar.
Alhasil para muslimat dapat saja aktif berpolitik dengan persyaratan memiliki sifat-sifat terpuji menurut ayat (33:35) dan bagi yang telah berumah tangga sanggup membagi waktunya dan mendapat izin dari suaminya. Bahkan dapat pula mendirikan Partai Muslimat yang berasaskan Islam, mengapa tidak ?! WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 5 Juli 1998
(*) Telah dibahas dalam Seri 183 yang berjudul: "Perempuan Dijadikan dari Tulang Rusuk?", ttg. 2 Juli 1995