Kata kinerja dahulu disebut prestasi yang berasal dari bahasa Belanda prestatie. Sebelum kata kinerja ini dipopulerkan, pengertian ini disebut unjuk kerja, dari bahasa Inggris performance. Kata unjuk kerja ini sampai sekarang masih disukai dipergunakan dalam laporan percobaan mesin-mesin.
Kabinet Habibie dibentuk dan dilantik dalam waktu kurang dari 2 kali 24 jam. Abdurahman Wahid sejak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia baru melantik menteri-menterinya hari Jum'at tgl 29/10'99, sehingga sudah masuk 9 kali 24 jam. Jadi kinerja Habibie dalam hal membentuk kabinet secara kuantitatif 4 setengah kali lebih tinggi dari kinerja Abdurrahman Wahid. Tentang perbandingan kinerja kedua kabinet ini dalam menjalankan roda pemerintahan mari kita lihat nanti setelah 517 atau 518 hari. Yang jelas kabinet Abdurrahman Wahid lebih sukar dikoordinasikan ataupun dikendalikan ketimbang kabinet Habibie. Sebab walaupun kabinet Habibie tidak solid, hanyalah ibarat kereta yang ditarik dua ekor kuda, sedangkan kabinet Abdurrahman Wahid tampaknya lebih tidak solid lagi ibarat kereta yang ditarik oleh enam ekor kuda.
AlhamdulliLlah Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan akan meneruskan kebijakan ekonomi yang telah diletakkan dasarnya dan dimulai oleh kabinet Habibie, yaitu ekonomi kerakyatan, yang berat ke bawah, yang sesuai dengan sunnatuLlah, yaitu suatu struktur akan stabil apabila struktur itu berat ke bawah. Tidak seperti kebijakan ekonomi kabinet Soeharto yang menentang sunnatuLlah yang berat ke atas, hasil olahan dapur CSIS dari mafia Berkely. Gus Dur sangat jauh lebih faham akan ayat: KY LA YKWN DWLT BYN ALAGHNYA" MNKM (S. ALHSYR, 59:7), dibaca: Kay la- yaku-na du-latan baynal aghniya-i minkum (S. Alhasyr), artinya: supaya kedaulatan (ekonomi) jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu (59:7).
Presiden Abdurrahman Wahid tentu saja sangat arif dalam hal menanggapi gerakan moral anak-anak kita yang tercinta, para mahasiswa di tanah Makassar ini. Artinya tidak dihadapi dengan sikap normatif dengan merujuk kepada KUHP dengan sanksi hukumnya. Oleh karena di samping tidak arif untuk memperhadapkan anak-anak kita itu dengan KUHP, juga secara teknis makan waktu bertahun-tahun untuk menyelidik, menyidik kemudian mengajukannya ke dalam sidang pengadilan untuk divonis oleh hakim terhadap puluhan ribu orang. Anak-anak kita itu walaupun emosinya tinggi, tidak bertindak anarkis, kecuali insiden pembakaran bus Damri kemarin dulu sebagai reaksi keras atas ucapan Riyas Rasyid bahwa mahasiswa di sini cuma main-main saja. Itulah susahnya orang-orang daerah yang ada di Jakarta kurang arif mengangkat bicara. Anak-anak yang berunjuk rasa dengan tertib dan hanya membakar ban dianggap main-main, ujung-ujungnya terjadilah insiden itu untuk menunjukkan mereka tidak main-main.
Emosi yang tinggi yang menyebabkan angkatan 45 tersinggung karena menurunkan bendera merah putih, walaupun tidak dapat dibenarkan, akan tetapi dapat difahami. Emosi anak-anak kita yang tinggi itu banyak-banyak disebabkan oleh ulah massa PDIP yang menyerbu dari luar kota ke Jakarta yang memberikan tekanan ke dalam SU MPR ditambah pula perusakan yang di Solo terhadap rumah keluarga Pak Amin Rais. Anak-anak kita yang masih melekat padanya sikap siri' na pacce merasa ditantang bahwa bukan hanya massa di Jakarta itu yang laki-laki, kita ditanah Makassar ini "buru'-buru'ne tonjaki". Lagi pula gerakan moral anak-anak kita itu juga merupakan shock therapy bagi mereka yang berpenyakit mental sentralistik, yang dikiranya Jakarta itulah Indonesia, tidak terkecuali dua orang Wakil Ketua MPR yaitu Mathori Abd.Jalil dan Kwik Kian Gie yang ikut terjun di lapangan di Jakarta menjadi partisan unjuk rasa menekan SU MPR. Artinya keduanya tidak sadar bahwa di luar gedung MPR ada pula yang disebut di seberang laut. Secara substansial gerakan moral itu menuntut kemandirian daerah. Pak Amin Rais sebagai Ketua MPR dapat merespons gerakan moral anak-anak kita itu untuk menyidangkan dalam SU MPR setahun mendatang guna melakukan amandemen UUD-1945 dari kesatuan menjadi federasi. Tentu lebih elok lagi jika dalam waktu 6 bulan mengadakan SI MPR untuk mengengamandemir bentuk kesatuan menjadi bentuk federasi, atau sekurang-kurangnya mengubah sifat lembaga eksekutif sekarang ini menjadi bersifat kabinet transisional menuju tercapainya negara federasi. Secara substansial penghapusan Departemen Penerangan dan Sosial yang dinilai orang kontroversial itu, menurut hemat saya sesungguhnya itu adalah persiapan untuk menuju negara federasi. Bagi Angkatan 45 sudah tiba saatnya bentuk negara kesatuan diikhlaskan untuk dihentikan sebagai mitos.
Sekali lagi marilah kita memberi kesempatan kepada kabinet Abdurrahman Wahid ini untuk berkinerja, dengan kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya berupa menteri-menteri yang terdiri dari politisi yang profesional dan kekurangannya berupa menteri yang bukan politisi dan tidak pula profesional. Yang politisi sekali-gus profesional ialah kedua pimpinan partai Islam, yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan. Yang bukan politisi lagi pula sekali-gus tidak profesional adalah AS Hikam. Bagaimana dapat diharapkan seorang pengamat politik yang bersikap suuzzhan (a priori, prejudice) yang melecehkan nilai esensial ilmu pengetahuan, lagi pula dalam bidang politik akan dapat berkinerja dalam lapangan Ristek? Kinerja Ristek ini sangat dibutuhkan dalam abad pertama dalam sepuluh abad (millenium) ketiga! Tentang hal Menteri Pertahanan dijabat orang sipil belum tentu merupakan kelebihan namun belum tentu pula merupakan kekurangan. Itu banyak-banyak ditentukan oleh Prof. Yuwono Sudarsono sendiri. Mc Namara seorang sipil tetapi sukses dalam menjalankan jabatan Menteri Pertahanan Amerika Serikat. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 31 Oktober 1999
31 Oktober 1999
[+/-] |
396. Kinerja |
24 Oktober 1999
[+/-] |
395. Selamat Berlalu dan Selamat Datang |
Selamat berlalu kepada Kabinet Reformasi Pembangunan yang hanya seumur jagung. Kepada sahabat saya Rudy Habibie yang telah menakodai bahtera Republik Indonesia selama hanya 518 hari, saya ucapkan selamat menunaikan tugas mulia, telah mencegah karamnya bahtera ini. Pertanggung-jawaban anda telah ditolak oleh MPR hanya permainan lawan-lawan politik anda dengan selisih suara yang tidak signifikan. Insya-Allah, palu godam sejarah akan menilai bakti anda itu dengan adil. Karena sesungguhnya susbstansi yang paling esensial yang anda telah berhasil tunaikan ialah telah mencegah karamnya bahtera ini, bukanlah berupa pidato yang ditolak itu. Dan di atas segalanya Allah SWT Yang Maha Adil niscaya menilai dengan sangat adil di Hari Pengadilan.
Saya teringat akan goresan disket yang pernah ditulis beberapa tahun lalu oleh Ishak Ngelyaratan, yang rupanya seorang pengamat bunga yang teliti, tentang bunga mawar dan bunga melati. Berhubung karena hanya bertumpu pada ingatan, maka matannya (redaksionalnya) tentu berbeda dengan tulisan Ishak, namun isinya tidak menyimpang. Bunga mawar lama bertahan di pohon. Baunya telah lama hilang, namun bunganya tetap segar, lambat layu. Setelah layu bunganya gugur dihadang dan ditusuk oleh duri-duri pohon mawar. Bunga melati tidak lama bertahan di pohon. Namun baunya tetap semerbak walaupun telah gugur. Bunganya dirangkai untuk menghias dan mengharumkan yang memberikan inspirasi tergubahnya sebuah lagu: Rangkaian Melati.
H.M.Soeharto ibarat bunga mawar lama bertahan di pohon kekuasaan. Baunya yang harum berwujud jasa menghancurkan komunisme. Bau itu telah lama hilang ketimbang usianya di atas pohon kekuasaan. Setelah layu dilengserkan, ia ditusuk duri pohon (baca: hujatan rakyat). Sahabat saya Rudy Habibie ibarat bunga melati. Ia dipetik rakyat dalam wujud penolakan Pidato Pertanggung-jawaban oleh MPR, namun baunya tetap semerbak dalam wujud kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (UUD-45, Bab X, psl 28) dan Pemilihan Umum 1999 yang diukir oleh sejarah.
Bagi mereka yang tidak senang kepada B.J. Habibie dewasa ini, karena menganggap Habbie tidak berhasil memberantas KKN, lamban mengusut KKN Soeharto, kelak insya-Allah dikemudian hari hati nuraninya akan berkata seperti ungkapan kelong (syair Makassar) di bawah ini:
Niyattonja antu sallang,
nanuboya' ri pa'mai'
Nanu paccei,
rewasa le'ba' laloa
Kelak waktunya akan datang,
engkau cari aku dalam hatimu
Engkau kenang,
hari-hari yang telah berlalu
Kepada sahabat saya Rudy Habibie saya sampaikan pesan dari langit: FADZA FRGHT FANSHAB. W ALY RBK FARGHB (S. AL ANSYRAH, 7-8), dibaca: Faidza faraghta fanshab. Wa ila- rabbika farghab (S. Al Insyira-h), artinya: Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, berupayalah mengerjakan yang lain. Dan kepada Maha Pemeliharamu engkau berharaplah (94:7-8)
***
Kemudian dari pada itu saya ucapkan selamat kepada pendatang baru, Presiden Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarno Puteri. Sementara saya menulis kolom ini di monumen Mandala Jalan Jenderal Sudirman sekitar antara dua belas sampai enam belas ribu mahasiswa memproklamasikan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya ini adalah ekses, puncak kekecewaan mahasiswa di negeri Makasaar ini terhadap sikap ataupun cara pandang kebanyakan anggota MPR dan pengerahan massa PDIP dari luar kota ke Jakarta. Mahasiswa di tanah Makassar ini kecewa karena kebanyakan anggota MPR yang berembuk di dalam ruang hanya memperhatikan pula masyarakat di luar ruang sidang yang dianggapnya itulah suara rakyat di lapangan, yang artinya menganggap Jakarta itu identik dengan Indonesia. Mereka yang bersidang itu lupa bahwa di samping di luar gedung, ada pula yang disebut di seberang laut. Mahasiswa di tanah Makssar ini jengkel kepada demonstran mahasiswa seperti Forkot dan kamerad-kameradnya yang mencaplok mempertas-namakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa di tanah Makassar ini jengkel kepada demonstran PDIP yang dikerahkan dari luar kota menjadi pressure group bagi peserta sidang MPR.
Nasi belum menjadi bubur, pemerintah boleh jadi masih dapat mengadakan upaya persuasif untuk secara meredam emosi yang meluap di tanah Makassar ini. Sayangnya kabinet belum terbentuk untuk mengadakan upaya persuasif itu. Ini merupakan pekerjaan rumah yang pertama yang cukup berat bagi kabinet yang akan dibentuk itu.
Boleh jadi Ketua MPR Prof Amin Rais elok berkunjung ke tanah Makassar ini berdialog dengan mahasiswa di sini untuk mencari penyelesaian, yang berupa win-win solution. Ibarat menarik ramput dalam tepung, rambut tidak putus tepung tidak beserak. Boleh jadi gagasan Marwah Daud Ibrahim waktu menginterupsi merupakan solution yang terbaik, yaitu dua orang Wapres, Megawati dan Hamzah Haz. Supaya konstitional, maka ketentuan MPR sekali setahun bersidang gagasan Marwah Daud dapat dikonstitusionalkan berupa Tap MPR. Pada pihak lain mahasiswa dapat menahan diri kembali ke kampus, dan sekali-sekali keluar berunjuk rasa untuk mengingatkan petinggi-petinggi, elit-elit politik. Adalah tugas Pak Amin Rais untuk melakukan persuasi terhadap anak-anak kita mahasiswa yang tercinta. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 24 Oktober 1999
17 Oktober 1999
[+/-] |
394. Pengamat Politik dan Pemain Politik |
Fakhri Ali dalam diskusi yang ditayangkan RCTI mengenai Pidato Pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengatakan bahwa banyak orang sekarang asal yang datang dari Pak Habibie ditolak dahulu, kemudian baru dicari-cari alasannya. Sri Mulyani tersinggung, walaupun ucapan Fakhri itu benar, tetapi pahit dirasa oleh Sri Mulyani yang disindir oleh Umar Juaro sebagai bakal Menteri Keuangan jika andaikata Megawati menang. Apa yang dikatakan oleh Fakhri Ali itu secara substansial sama dengan judul Seri 392: The Singer Not the Song. Kalau pemain politik menganut prinsip tolak dahulu kemudian cari alasan masih dapat difahami, walaupun secara etika tidak terpuji. Namun apabila yang menganut prinsip tolak dahulu baru mencari-cari alasan bukan pemain politik melainkan pemain ilmu seperti Sri Mulyani, Rizal Ramli, Syahrir, AS Hikam dan orang-orang LIPI yang dijuru-bicarai oleh Pabottingi yang menyerukan menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie sebelum pertanggung-jawaban itu dikemukakan, maka mereka itu telah melanggar nilai yang esensial dalam dunia ilmu. Lebih baik orang-orang yang disebut namanya tersebut mengikuti jejak Faisal Basri, Pak Amin Rais dll meninggalkan dunia ilmu pengetahuan, berhenti menjadi pengamat politik, lalu terjun ke dalam kacah politik sebagai pemain poltik.
Ada pepatah yang mengatakan untuk melempar orang mudah didapatkan batu. Hal ini tidak berlaku bagi yang berdemonstrasi secara damai, oleh karena di jalan-jalan raya di kota-kota sukar didapatkan batu. Jadi kalau para demonstran yang melempar petugas keamanan dengan batu, berarti batu itu dicari dan dikumpul terlebih dahulu. Itu berarti maksudnya yang semula memang bukan untuk berdemonstrasi secara damai, apa pula jika telah menyediakan botol berminyak tanah. Bagi Sri Mulyani batu yang dipakai melempar itu berwujud ucapan yang mengatakan utang yang ditumpuk sebagai harga menurunkan inflasi dan menaikkan rupiah baru akan terbayar dalam waktu lebih seratus tahun, yang katanya menurut matematika Habibie. Itu bukan matematika Habibie, melainkan matematika khas Sri Mulyani, yaitu matematika kuda bendi. Mata kuda bendi hanya dapat melihat satu arah, yang dalam konteks matematika khas Sri Mulyani, hanya melihat ke arah privatisasi BUMN. Sangatlah naif, ibarat pandangan kuda bendi, jika untuk membayar utang itu hanya mengandalkan privatisasi BUMN. Masih banyak sumber lain yang dapat dipakai untuk membayar hutang, lebih-lebih jika industri sudah marak kembali. Di zaman Orde Lama utang itu sukar dibayar, karena dana itu dipakai untuk keperluan yang konsumtif, bukan yang produktif. Batu pelempar Abimanyu berupa koreksi data dalam pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengenai dana rekapitalisasi perbankan sejumlah tiga ratus sekian triliyun. Menurut Abimanyu seharusnya lima ratus sekian triliyun. Batu pelempar Abimanyu itu dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani dengan menuduh ada apa gerangan dibalik upaya menyembunyikan jumlah uang dua ratus triliyun tesebut. Batu pelempar Abimanyu yang dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani tersebut luluh lantak menjadi abu setelah Menteri Keuangan mengatakan bahwa yang mengatakan lima ratus sekian triliyun itu tidak tahu membaca. Jumlah yang tiga ratus sekian triliyun dalam pidato pertanggung-jawaban tersebut, benar tidak salah, yaitu dana rekapitalisasi tok. Sedangkan yang lima ratus sekian triliyun itu adalah dana rekapitalisasi ditambah dengan uang jaminan. Ini adalah cerita tentang pengamat politik, pengamat ekonomi yang telah meninggalkan nilai esensial dalam ilmu pengetahuan, yaitu bersih dari sikap prejudice.
Sekarang kita beralih kepada pembicaraan tentang para pemain politik. Kita mulai dahulu dengan juru bicara fraksi PDIP dalam memberi sanggahan terhadap pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Prinsip tolak dahulu baru mencari alasan dipakai di sini, buktinya jauh-jauh sebelumnya sudah dilontarkan akan menolak pidato pertanggung-jawaban tersebut. Prinsip ini dipakai pula oleh dua fraksi lain yang menolak yaitu fraksi PKB dan KKI. Namun yang sangat disesalkan ialah bentuk kalimat yang penuh gaya sarkasme, semangat kebencian dan penampilan juru-bicara PDIP yang vulgar menunjukkan akhlaq yang rendah dari penyusun sanggahan itu. Berbeda dengan gaya kedua fraksi yang lain yang menolak itu. Sikap keduanya tidak menunjukkan rasa kebencian, tidak bernuansa sarkasme, tidak vulgar. Yang lebih disesalkan lagi juru bicara fraksi PDIP tersebut membuka dengan salam ditambah dengan hamdalah serta salawat segala, yang sangat bertentangan dengan sarkasme, semangat kebencian, vulgar dan tidak berakhlaq itu. Inilah yang memancing haa, huu, haa itu, sedangkan Presiden Habibie kelihatannya senyum-senyum saja, tetap sabar. AN ALLH M'A ALSHBRYN, dibaca: InnaLla-ha ma'ash sha-biri-n, artinya: Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar. Yang paling simpatik ialah juru bicara dari fraksi PBB. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar 17 Oktober 1999
10 Oktober 1999
[+/-] |
393. Selamat Atas Pak Amin Rais dan Pak Akbar Tanjung |
Sebelum mulai masuk ke dalam perbincangan tentang hal substansi seperti judul di atas, akan dikemukakan dahulu sedikit yang tersisa dari Seri 392 sepekan yang lalu, yaitu the Singer not the Song. Ada seorang yang menurut pengakuannya bernama Abdul Hakim menelepon saya sehubungan dengan penyanyi dan bukan nyanyian tersebut. Katanya ia pimpinan sebuah kelompok diskusi. Ia menyatakan diri dan kelompok diskusinya adalah penganut "filsafat" the Singer not the Song. Katanya ia dan kelompok diskusinya selama ini, sejak mempunyai hak pilih, tidak pernah menusuk Golkar dalam Pemilu. Akan tetapi barulah, demikian katanya, ia dan kelompoknya menusuk Golkar dalam Pemilu 1999. Itu disebabkan karena Pak Habibie. Ia menyebutkan pula empat orang tambun, demikian ia memberikan predikat kepada mereka, penganut "filsafat" the Singer not the Song, yaitu Rizal Ramli, Syahrir, Wimar Witular dan AS Hikam. Saya bertanya kepadanya buat apa ia mengemukakan perawakan tambun itu, ia menjawab bahwa itu menandakan mereka hidup makmur selama Orde Baru, selama Golkar berkuasa, artinya keempat orang itu mendapat percikan kemakmuran dari Golkar. (Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan adegan Pro dan Kontra di TPI. Di situ saya perhatikan baik-baik perawakan AS Hikam tersebut. Memang betul-betul tambun, lehernya terbenam masuk ke dalam tubuhnya).
Ada hal yang menarik mengapa saya tulis komentar Abdul Hakim ini. Saya perhatikan betul kalimatnya dalam ucapannya di telepon. "Semua anggota kelompok diskusi kami belum ada yang sarjana, jadi wajar-wajar saja kalau kami melihat the singer bukan the song, akan tetapi keempat orang itu semuanya doktor, mengapa bermental a priori terhadap Pak Habibie, ada apa gerangan? Apakah mereka iri karena Pak Habibie seorang pakar kapal terbang dapat menjadi negarawan?" Saya perlu koreksi bahwa hanya ada tiga orang yang doktor, Witular tidak.
***
Selamat atas Pak Amin Rais dan pak Akbar Tanjung. Ada hal yang menarik mengenai melesatnya Pak Amin menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini. Orang-orang yang a priori terhadap Golkar beranggapan bahwa Pak Amin sudah tercemar oleh virus status quo, berhubung naiknya Pak Amin menjadi Ketua MPR, karena dukungan Golkar. Mengenai hal ini saya teringat akan dialog antara Muammar Qaddafi dengan seorang wartawan orang barat. Wartawan itu bertanya kepada Qaddafi: "Negara tuan adalah negara Islam, mengapa hanyut dalam arus Uni Sovyet yang komunis?" Lalu apa jawab Qaddafi? "Saya akan mengoreksi pertanyaan tuan. Mestinya tuan bertanya: 'Uni Sovyet adalah negara komunis, mengapa tuan dapat menyeretnya ke dalam arus pengaruh Libia yang negara Islam?'
Alangkah eloknya kalau kita itu bersikap husnuzzhan (prasangka baik). Dengan sikap yang demikian itu kita dapat berpersepsi yang positif terhadap kenyataan Pak Amin mendapat dukungan dari Golkar, dengan mengacu kepada dialog Qaddafi di atas itu. Pak Amin adalah tokoh reformasi. Ia mendapat dukungan dari Golkar, artinya para anggota Golkar yang memberikan suaranya kepada Pak Amin sudah menjadi reformis juga.
Masih ada satu ganjalan terhadap Pak Amin. Ada yang menganggap Pak Amin itu rupanya berambisi juga untuk berkuasa. Allah SWT berfirman: WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYAMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR (S. AL'AMRAN, 104), dibaca: Waltakum minkum ummatun yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkar (S. Ali 'Imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu golongan yang menghimbau kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik serta mencegah kemungkaran (S. Keluarga 'Imra-n, 3:104).
Menghimbau di satu pihak dengan memerintahkan serta mencegah di lain pihak mempunyai perbedaan yang menyolok. Kalau yang dihadapi di luar kekuasaan kita, maka kita tidak dapat memerintahkan ataupun mencegah. Kita hanya dapat memerintahkan ataupun mencegah seseorang apabila kita berkuasa atas mereka. Menghimbau dikerjakan oleh organisasi sosial, sedangkan memerintahkan ataupun mencegah dilakukan oleh organisasi politik yang berkuasa melalui lembaga eksekutif. Politik adalah macht vorming (membina kekuasaan) dan macht aanwending (mempergunakan kekuasaan). WLTKN dalam ayat di atas mengandung lam yang menyatakan perintah. Allah memerintahkan supaya ada golongan yang mempunyai kekuasaan untuk memerintah. Jadi Pak Amin tidak salah jika mempunyai keinginan berkuasa, asal saja kekuasaan itu hanya sasaran antara. Sasaran akhirnya, iya itu, amar ma'ruf nahi mungkar.
Tentang terpilihnya Pak Akbar menjadi ketua DPR ada pula yang menarik. Musyawarah untuk mufakat, metode Orde Lama dicoba dipaksakan oleh Ketua sementara MPR Abdul Majid (baca:PDIP). Abdul Majid merujuk kepada Sila keempat. Apa yang dilaksanakan dengan menghimpun ketua-ketua fraksi untuk musyawarah mufakat, sesungguhnya melampaui batas Sila keempat. Permusyawaratan perwakilan (baca para anggota MPR) diubah menjadi permusyawatan wakil-wakil dari perwakilan (baca: ketua-ketua fraksi). Untunglah fraksi PBB dengan gigih menentang cara Orde Lama tersebut, sehingga akhirnya Abdul Majid menyerah, voting dilaksankan walaupun sudah menjelang dini hari. Dikatakan musyawarah mufakat itu cara Orde Lama, karena itu lahir dalam arena politik pada zaman Demokrasi Terpimpin. Waktu itu dalam proses pengambilan keputusan jika tidak terjadi mufakat, maka keputusannya diserahkan kepada Pemipin Besar Revolusi Bung Karno. Itulah makna Demokrasi Terpimpin. Mengapa Abdul Majid (baca PDIP) menjalankan trik musyawarah perwakilan dari perwakilan, sebenarnya orang sudah tahu, PDIP takut kalah lagi dalam voting. Namun perasaan takut ini dibantah oleh Dimyati Hartono. Katanya PDIP tidak pernah takut, terhadap peluru Orde Barupun PDIP tidak takut. Rupanya Hartono ini tidak faham rasa bahasa. Ada yang tidak takut pada badik, tetapi ia takut kepada ketombe, sebab rasa takut kepada badik atau peluru tidak sama dengan rasa takut kepada ketombe, panau, atapun kalah dalam voting. Jujur saja hai Dimyati Hartono! Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 10 Oktober 1999
3 Oktober 1999
[+/-] |
392. The Singer not the Song |
Para demonstran yang menolak RUU PKB produk DPR yang belum disahkan oleh Presiden sesungguhnya tidaklah solid, melainkan terdiri dari beberapa golongan yang mempunyai kepentingan masing-masing.
Golongan pertama, terdiri atas sebagian (bukan semuanya) mahasiswa yang alergi terhadap apa saja yang dianggapnya berasal dari militer. Walaupun RUU PKB (baca: the song) adalah produk DPR, akan tetapi RUU PKB itu dianggap metamorfose (transformasi) dari RUU KKN, sedangkan RUU KKN itu sendiri walaupun secara formal berasal dari pemerintah, namun dianggap dapurnya dari militer (baca: the singer). Jadi dalam hal ini seperti dinyatakan oleh judul di atas the singer not the song. Bukti yang lain bahwa substansi yang diaspirasikan (the song) tidak dperhatikan ialah tuntutan untuk mencabut dwifungsi ABRI. Tuntutan ini sangat menggelikan dan pandir, sebab jika dwifungsi ABRI dicabut, artinya ABRI tidak berfungsi lagi, artinya fungsi ABRI untuk membela negara ikut dicabut pula.
Golongan kedua, terdiri atas kubu Megawati yang menjadikan RUU PKB yang belum disahkan itu sebagai kuda tunggangan politik untuk membidik Habibie. Buktinya, Arifin Panigoro yang dedengkot PDIP terlibat dalam aksi demonstrasi ini, yaitu rumahnya dipakai sebagai markas logistik (termasuk pula batu-batu dan botol-botol berminyak tanah alias bom molotov). Maka dalam hal ini bukan RUU PKB (the song) yang penting, melainkan siapa yang dibidik (the singer). Apapun dan bagaimanapun pidato pertanggung-jawaban (the song) Presiden Habibie, kelak nanti akan ditolak oleh PDIP, karena yang penting bagi mereka ialah menolak Habibie (the singer). Buktinya, ucapan "huuu" yang diucapkan oleh sebagian yang tidak beradab, yang diprotes AM Fatwa menjelang penutupan Sidang Pleno MPR, adalah dari PDIP walaupun mereka secara pengecut menyangkal. Itu menunjukkan benarnya ungkapan the singer not the song. Boleh jadi ada benarnya ucapan Bailusi yang mengatakan bahwa adanya aliran kekuatan komunisme yang kini sedang mencari posisi penguatan dalam tubuh PDIP tanpa mereka sadari memunculkan dirinya dengan gaya preman kampungan yang berteriak huuu itu.
Golongan ketiga, terdiri atas LSM-LSM yang dari dulu memposisikan diri anti pemerintah, berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai mereka. Misalnya seperti Kontrasnya Munir mengapa gerangan hanya berkoar tentang korban-korban orang hilang oleh Prabowo saja? Mengapa menjadi diam seribu bahasa mengenai korban-korban dan orang-orang hilang pada peristiwa Tanjung Priok yang berdarah dan tragis itu yang dilakukan oleh anak buah Trisutrisno sebagai Pangdam Jaya waktu itu? Mengapa memakai nilai ganda? Jawabannya gampang, yaitu berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai (baca: money politics) mereka. Jadi turut sertanya golongan ketiga ini dalam aksi demonstrasi menentang RUU PKB yang sekarang belum disahkan itu juga termasuk dalam hal the singer not the song.
Golongan keempat, terdiri atas golongan radikal kaum kiri (baca: Marxis gaya baru) yang sejak SI MPR yang lalu meneriakkan komite rakyat yang akan membentuk presidium (baca: diktator proletar). Dengan demikian golongan radikal ini tidak menghendaki reformasi melainkan revolusi, sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx. Golongan radikal inilah yang menjadi biang kerok terjadinya bentrokan dengan petugas keamanan. Dalam hal ini yang patut dipuji Front Pembela Islam yang turun ke lapangan membantu petugas keamanan. Mereka dengan berani terjun di antara demonstran dengan membentuk saf
-- KANHM BNYAN MRSHWSH (S. ALSHF, 61:4), dibaca: kaannahum bunya-num marshu-sh (s. ashshaf), artinya: laksana mereka itu bangunan tembok yang kokoh. Golongan radikal inilah yang mengubah wajah demontran menjadi bringas, sehingga menyebabkan terjadinya bentrokan fisik dengan petugas keamanan, sehingga terjadi korban baik dari pihak demonstran maupun dari pihak petugas keamanan. Bahkan dari semula golongan radikal ini telah mempersiapkan bentrokan fisik yang menimbulkan korban mati dan luka dari kedua pihak. Buktinya, kaum radikal ini telah mempersiapkan ransel di punggung berisi batu-batu dan bom molotov. Kaum radikal ini berhasil menciptakan pertentangan kelas (baca: ajaran Marx) antara mahasiswa dengan militer. Mengenai golongan radikal ini berlaku pula hal the singer not the song. Akan tetapi the singer di sini berbeda. Yang menjadi the singer itu adalah kaum radikal itu sendiri, karena mereka menolak reformasi, menghendaki revolusi sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx.
Kaum komunis pandai main susup-susupan. Tahun dua puluhan dengan menggunakan saluran "Gerakan Sosialis" dari negeri Belanda pemimpin komunis antara lain Semaun dan Tan Malaka menyusup masuk Syarikat Islam. Setelah pemberontakan tahun 1926 dan 1927 yang persiapannya asal-asalan (tidak matang), banyak pemimpin Islam dan ulama yang ditangkap, sedangkan Semaun dan Tan Malaka secara pengecut melarikan diri keluar negeri. Siapa saja dari ummat Islam yang melawan penjajah Belanda waktu itu dituduh komunis dan dibuang ke Boven Digul.
Kaum komunis pintar memanfaatkan keadaan kritis untuk bergerak. Tatkala Negara Republik Indonesia terdesak dan dalam keadaan sukar, maka pada 18 September kaum komunis menikam rakyat Indonesia dari belakang, seperti Yahudi Bani Quraizhah menikam Negara Kota Madinah dari belakang dalam Perang Parit (Khandaq). Kaum komunis Front Demokrasi Rakyat menikam dari belakang dalam wujud pemberontakan Madiun yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin. Inilah pemberontakan komunis yang pertama.
Kaum komunis pintar membonceng kekuasaan, yaitu membonceng pada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno oleh DN Aidit cs dengan PKI-nya yang berujung dengan pemberontakan Gestapu pada 30 September 1965. Inilah pemberontakan komunis yang kedua.
Ada dua golongan dari demonstran anti RUU PKB yang bukan penganut "filsafat" the singer not the song, yaitu golongan preman yang dibayar dan golongan yang ikut-ikutan, seperti contoh yang dikemukakan Amin Rais. Waktu demonstran itu ditanya:
"apa mengerti isi RUU yang didemo itu," mereka menjawab:
"tidak". Serta ditanya lagi:
"mengapa ikut berdemo?," maka mereka menjawab seenaknya:
"ya, sekarang musimnya demo-demoan, ikut ramai saja."
Oleh sebab itu apapun isi RUU PKB yang belum disahkan itu, yang menurut Yusril Ihza Mahendra lebih lunak dari UU No.23, tahun 1959, menurut saya akan tetap didemo, oleh karena para pendemo itu menganut aluran "filsafat" the singer not the song. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 3 Oktober 1999