Anak-anak kalian itu bukanlah anak-anak kalian. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang merindukan kehidupannya sendiri. Melalui kalian mereka lahir, namun bukan dari kalian, mereka ada pada kalian, tetapi bukan hakmu sekalian. Berikan kasih sayang kalian pada mereka, tetapi jangan pernah memberikan bentuk-bentuk pikiran, sebab mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Kalian berhak membuatkan rumah untuk tubuh-tubuh, tetapi bukan untuk jiwa-jiwa mereka. Sebab jiwa-jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan yang tiada dapat kalian kunjungi, meskipun hanya dalam mimpi. Kalian berhak berusaha menjadikan diri seperti mereka, namun jangan pernah menjadikan mereka seperti kalian. Sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur dan tidak pula tenggelam di masa lampau. Kalian adalah busur, dan anak-anak itu adalah anak panah yang meluncur.
Itulah renungan Jubran Khalil Jubran dari Lubnan mengenai masa depan anak. Jubran Khalil Jubran sangat merasa takjub akan masa depan. Terkesan sangat pasrah, tidak berdaya sama sekali untuk membentuk jiwa anaknya dalam menghadapi masa depan. Maka celakalah nasib anak itu dilepas untuk bergelut sendiri dengan kemelut post modernisme yang tidak mempunyai ciri khas, ataupun kriteria yang tertentu, anti rasional, tanpa konsep, tanpa bentuk yang pasti, liar, campur-aduk (heterogen). Lihatlah anak muda produk post modernisme dalam wujud kelompok hippies yang hidup sangat urakan itu.
Output jiwa adalah moral, sehingga Jubran Khalil Jubran yang menyerahkan anaknya untuk dibentuk moralnya oleh sistem sosial masa depan, mempunyai visi yang sejalan dengan visi Karl Marx tentang moral. Dalam Seri 419 yang berjudul "Pandangan Marxisme Tentang Moral" telah dijelaskan bahwa menurut Karl Marx manusia tidak mempunyai kebebasan memilih dalam hal moralitas, oleh karena sistem sosial-ekonomi telah menentukan gagasan tentang moral dan ukuran etis sebagai "barang jadi". Bukanlah kesadaran moralitas manusia yang menentukan kondisi sosial-ekonomi, melainkan sistem sosial-ekonomilah yang menentukan kesadaran manusia. Setiap orang harus menyesuaikan diri pada kode moral yang ditentukan sistem sosial-ekonomi.
***
Seorang anak bercerita tentang ayahnya yang berprofesi hakim. Terkadang sang anak mendapatkan ayahnya gundah termenung. Sang anak mencoba mengajuk hati ayahnya untuk dapat mengetahui apa gerangan penyebab kegundahan itu. Maka sang ayah dengan desah suara yang hampir tak terdengar berkata: "Hai anakku, tadi baru saja ayahmu ini memutuskan perkara. Apakah keputusan itu dapat kupertanggung-jawabkan kelak di hadapan Allah SWT di Hari Pengadilan kelak."
Pernah suatu waktu sang anak bercerita pula. Ibunya pulang ke rumah dengan membawa seekor ikan besar. Tidak lama kemudian ayahnya masuk ke rumah langsung ke dapur. "Ibu dimarahi ayah, ikan besar itu diperintahkan ayah untuk segera dikembalikan kepada orang yang memberikan ikan itu kepada ibu." Ayah menjelaskan kemudian bahwa orang yang menghadiahkan ikan besar itu kepada ibu masih sedang dipsoses perkaranya di pengadilan. Sang anak menyambung ceritanya, bahwa menjelang dekat-dekat waktu pensiun, datang seorang membawa kotak berbungkus yang isinya patut diduga berisi uang banyak, lalu menyodorkan bungkusan itu kepada ayahnya sebagai tanda terima kasih, karena perkaranya telah dimenangkan oleh keputusan ayahnya di pengadilan. "Ayah menolak bungkusan itu, sebab katanya, 'engkau menang karena memang sepantasnya engkau menang, tidak perlu berterima kasih', alangkah kecewanya ibu yang mengintip dari balik kain gordijn, karena terus terang kami sangat membutuhkan uang pada waktu itu".
Sang anak minatnya semula ke bidang sastra. Tetapi kemudian secara drastis disuruh ayahnya mengubah haluan ke bidang hukum, profesi kebanggaan keluarga. Sang anak dibentuk oleh ayahnya untuk menempuh hari depan, sebaliknya dari pandangan Jubran Khalil Jubran. Sang anak berhasil menjadi jaksa, pengacara, dosen, dan terakhir menjadi Hakim Agung Republik Indonesia. Sang ayah yang hakim adalah almarhum Ahmad Marzuki Dg. Marala dan sang anak adalah DR H.Laica Marzuki,SH.
Demikianlah penuturan H.Laica Marzuki pada malam ramah-tamah yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian Kawasan Timur Indonesia, Front Reformasi Anti Komunis dan Jama'ah Masjid Aqsha. Malam ramah-tamah itu diselenggarakan pada malam Jum'at, 21 September 2000 untuk melepas dan memberikan pesan-pesan kepada kedua orang anggotanya yaitu DR H.Laica Marzuki,SH dan H.A.Syamsu Alam,SH, untuk mengemban tugas yang berat di Jakarta menjadi Hakim Agung Republik Indonesia. Kepada adinda berdua, pengasuh kolom ini mengucapkan selamat bertugas, selamat berupaya mengangkat citra lembaga peradilan, yang kini sedang terpuruk itu.
Almarhum Ahmad Marzuki Dg. Marala yang telah berhasil membentuk anaknya untuk menempuh masa depan, telah mengikuti jejak LukmanulHakim, yang memberikan pesan-pesan kepada anaknya:
-- WADZQAL LQMN LABNH WHW Y'AZHH YBNY LA TSYRK BALLH AN ALSYRK LZHLM 'AZHYM. YBNY AQM ALSHLWT WAMR BALM'ARWF WANH 'AN ALMNKR WASHBR 'ALY MA ASHABK AN DZLK MN 'AZM ALAMWR (S. LQMN, 13,17), dibaca: wa idzqa-la luqma-nu libnihi- wahuwa ya'izhuhu- ya- bunayya la- tusyrik biLla-hi inasy syirka lazhulmun 'azhi-m. ya- bunayya aqimish shala-ta wa'mur bilma'ru-fi wanha 'anil mungkari wasybir 'ala- ma- asha-baka inna dza-lika min 'azmil umu-r (s. luqma-n), artinya: ingatlah, berkata Luqman kepada anaknya, tatkala ia memberikan pendidikan kepadanya: Hai anakku, janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya musyrik itu adalah aniaya yang besar. Hai anakku, dirikanlah shalat, dan suruhlah orang berbuat kebajikan dan laranglah orang berbuat kejahatan, serta sabarlah atas cobaan yang menimpa engkau, sesungguhnya yang demikian itu adalah perbuatan yang didambakan (31:13,17). WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 24 September 2000
24 September 2000
[+/-] |
442. Anak Menurut Versi Jubran Khalil Jubran dan Ahmad Marzuki Dg. Marala |
17 September 2000
[+/-] |
441. "Perkembangan" Demokrasi Kita dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Menurut Syari'at Islam |
Kelihatannya sekarang demokrasi sudah "berkembang" terlalu jauh. Dimulai dari kejangkitan virus euphoria, lalu seterusnya "berkembang" bukan lagi sebagai alat, melainkan menjadi tujuan, demokrasi untuk demokrasi, demokrasi untuk sekadar mengeluarkan pendapat. Contohnya: buat apa Bulog-gate diperbincangkan lagi dalam hak angket DPR, bukankah output perbincangan itu paling-paling berwujud rekomendasi untuk lembaga peradilan, sedangkan Bulog-gate itu sementara diporoses oleh lembaga peradilan? Bukankah itu demokrasi hanya sekadar untuk mengeluarkan pendapat, demokrasi untuk demokrasi?
Kalau direnungkan dengan hati yang jernih, sesungguhnya demokrasi itu tidaklah universal sifatnya. Demokrasi yang kita coba adopsi di negeri kita ini, adalah demokrasi yang bertumpu di atas pradigma kebudayaan barat modern, yang acuh tak acuh tentang adanya "ruh" manusia. Kebudayaan barat modern meninggalkan segala pemikiran dan pertimbangan-timbangan keruhanian. Kebudayaan barat modern tidak mengakui perlunya penyerahan manusia kepada apapun juga, kecuali tuntutan-tuntutan ekonomis, sosial dan kebangsaan. Dewanya yang sebenarnya adalah asyik-maksyuk (kesenangan, comfort), falsafah politiknya adalah kemauan untuk berkuasa demi untuk kekuasaan itu sendiri. Kedua hal itu berakar dari kebudayaan Romawi kuno, yang secara genetik melahirkan materialisme barat modern. Orang-orang Romawi kuno tidak pernah mengenal agama. Dewa-dewa meraka yang tradisional diadopsi dari mitologi Yunani. Bapak dewa-dewa Yunani, Zeus Pater (Tuhan Bapak) misalnya, diadopsi menjadi Jupiter. Dewa-dewa yang diadopsi dari mitologi Yunani itu diterima hanya untuk kepentingan konvensi sosial. Dewa-dewa itu sama sekali tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Apabila ditanyai, dewa-dewa itu akan memberikan orakel melalui perantaraan pendeta-pendeta, tetapi dewa-dewa mereka tidaklah memberikan atau menentukan hukum-hukum moral pada manusia, dan tidak juga mengarahkan tindakan-tindakan manusia. Dari sinilah sekularisme barat modern berakar, kehidupan duniawi yang materialistik terpisah sama sekali dari alam dewa-dewa yang tidak diperkenankan campur tangan dalam kehidupan nyata. Demikianlah demokrasi barat yang kita coba adopsi di negeri kita ini, sesungguhnya bertumpu di atas paradigma sekularisme yang materialistik kapitalistik yang acuh tak acuh pada agama.
Menurut Syari'at Islam unsur dinamik dari perbaikan ruhaniyah terbatas pada nafs (perorangan), dan setiap batas waktu yang mungkin untuk perkembangan ruhaniyah ialah antara kelahiran dan kematian seseorang. Setiap nafs harus berjuang menuju tujuan ruhaiyah itu sebagai individu perorangan, dan setiap nafs harus memulai dan mengakhiri dengan dirinya sendiri.
-- LA YKLF ALLH NFSA ALA WS'AHA LHA MA KSBT W'ALYHA MA AKTSBT (S. ALBQRT, 286), dibaca: la- yukallifuLla-hu nafsan illa- wus'aha- laha- ma- kasabat wa'alayha- maktasabat (s. al baqarah), artinya: Allah tidak membebani nafs, baginya (pahala) yang diterimanya dan atasnya (kejahatan) yang dilakukannya (2:286). Pandangan yang individualistis yang tegas tentang tujuan ruhaniyah manusia diimbangi dengan dan dikuatkan secara langsung dengan konsepsi sosial menurut Syari'at Islam tentang kerjasama kemasyarakatan. Kewajiban masyarakat ialah mengatur kehidupan praktis dalam cara sedemikian rupa sehingga nafs, individu orang seorang seminimal mungkin mendapat rintangan dan semaximal mungkin mendapat dorongan semangat dalam perjuangan ruhaniyahnya. Itulah sebabnya maka Syari'at Islam dalam aspek hukumnya berhubungan dengan kehidupan manusia dalam segi kehidupan ruhaniyah secara individu, maupun segi kehidupan praktisnya secara kemasyarakatan. Demikianlah Syari'at Islam menuntun manusia dalam aktivitas berbudaya, baik dari sebagai makhluk individu, maupun sebagai makhluk sosial. Inilah seharusnya yang menjadi paradigma demokrasi, jika kehidupan berdemokrasi itu dikehendaki menjadi sehat jalannya. Secara individu setiap nafs berjuang meningkatkan kehidupan ruhaniyahnya, membentuk dirinya berakhlaq mulia dan dengan demikian dapat secara ikhlas berjuang dengan sepenuh hati secara istiqamah (konsisten) mengikuti petunjuk yang digariskan oleh Syari'at Islam untuk menata kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
***
Yang berikut ini diberikan contoh sederhana bagaimana konsep Syari'at Islam dalam hal pengelolaan sumberdaya alam untuk kepentingan umum. Pada pokoknya sumberdaya alam itu menurut Syari'at Islam ada yang tidak boleh dimiliki oleh perorangan, yang diklasifikasikan sebagai hak-milik umum, yang harus dikelola ataupun ditangani oleh UWLW ALAMR MNKM (ulul amri minkum), pemerintahan yang dibentuk di antara kamu (4:59). Menurut Syari'at Islam sumberdaya alam yang tidak boleh dimilki secara perorangan dapat kita lihat pada nash (Hadits) yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abi Dawud, dari Abi Khirasy:
-- ALNAS SYRKA^ FYTSLATS ALMA^ WALNAR WALKLA^, dibaca: anna-su syuraka-u fi- tsala-tsin al ma-i wan na-ri wal kala-i, artinya manusia secara bersama-sama mempunyai hak atas tiga macam sumberdaya alam, yaitu: air, api dan padang rumput.
Menjadi kewajiban bagi para fuqaha (ahli-ahli fiqh) untuk menjabarkan ketiga jenis sumberdaya alam itu ke dalam fiqh kotemporer. Misalnya apakah api itu dapat ditafsirkan sebagai bahan bakar fosil dan bahan bakar inkonvensional (bahan bakar nuklir). Misalnya bagaimana ulul amri minkum mengelola ketiga jenis sumberdaya alam itu di berbagai tempat di Indonesia. Pengelolaan air tanah di Jakarta tentu berbeda dengan di Makassar misalnya. Air tanah di Jakarta demikian terkurasnya, sehingga air laut sudah jauh merasuk ke darat. Apabila ulul amri di Jakarta kurang-kurang sigap meminta masukan ahli fiqh dalam menjabarkan Syari'at Islam tentang pengelolaan sumberdaya alam mengenai air itu, maka tidak berbilang tahun bangunan-bangunan yang berdiri di atas tiang pancang yang tidak kedap air laut, insya Allah akan rubuh. Sekali lagi diminta para fuqaha kita memikirkan penjabaran Syari'at tentang air, api dan padang rumput ke dalam fiqh kontemporer. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 17 September 2000
10 September 2000
[+/-] |
440. Aryanti – Gus Dur |
Dalam kalangan orang-orang kampung generasi saya ke atas, di daerah asal saya (Selayar), saya tidak tahu bagaimana menurut orang-orang di daerah lain, ada pendapat yang mengatakan, bahwa dalam hal sex ada tiga golongan yang tidak dapat dipercaya betul: uru-uruna tupanrita, makaruana tutoa, makatalluna, tuampa abbakka', pertama ulama, kedua orang tua dan ketiga ABG. Mengapa tupanrita, oleh karena setan anak buah iblis yang menggodanya berpangkat jinarala (jenderal), lagi pula tupanrita itu mempunyai ilmu penghapus dosa. Mengapa tutoa, oleh karena golongan ini mencari biasanya. Mengapa tuampa abbakka', oleh karena kalangan ABG ini mau coba-coba. Itu adalah pendapat the man on the street, teori kampungan yang kebenarannya masih diragukan, seperti kebenaran teori Id. Seperti diketahui menurut Sigmund Freud (disebutkan froid), Id itu bagian dari psyche, sumber energi instinktif yang disebut libido yang berkarakteristik sexual. Teori kampungan, digeneralisasikan dari sejumlah kecil kasus di kampung, demikian pula teori Id dari Freud digeneralisasikan dari kasus-kasus pasien Sigmund Freud. Sedangkan menurut kenyataan generalisasi yang ditarik oleh Sigmund Freud sampai sekarang belum diuji-coba dengan penelitian statistik, sehingga sampai sekarang tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiyah, hanya taken for granted belaka, apatah pula teori kampungan tiga golongan tupanrita, tutoa, dan tuampa abbakka' tersebut.
Kasus Aryanti - Gus Dur memang pelik untuk memilih salah satu dari tiga kemungkinan yang berikut:
Kemungkinan yang pertama, Gus Dur difitnah untuk tujuan politik. Apabila ini yang benar, maka yang berwajib harus membawa Aryanti ke pengadilan karena mencemarkan nama baik seorang Presiden, atau sekurang-kurangnya Gus Dur harus menutut Aryanti secara pribadi. Kalau memang pengadilan dapat membuktikan Gus Dur difitnah, maka hakim tentu akan memvonis Aryanti. Namun lembaga peradilan kita yang sangat merosot di mata masyarakat, akan dengan sinis ditanggapi sebagai pengadilan sandiwara. Maka dalam hal ini Gus Dur serba salah, tidak menuntut Aryanti dikatakan mesti memang ada apa-apanya mengapa tidak menutut, jika menuntut dan Aryanti divonis, orang akan mengatakan pengadilan sandiwara. Itulah sebabnya barangkali mengapa Gus Dur hanya mengatakan, serahkan saja kepada masyarakat. (Beberapa ibu rumah tangga tamu isteri saya yang datang bertamu di rumah secara tidak bersamaan, yang melihat print out dari internet mengenai foto dan cerita Aryanti - Gus Dur berkomentar bahwa memang foto itu enak dilihat dan ceritanya enak dibaca, namun ibu-ibu itu tidak yakin akan kebenarannya secara intuitif keibuan).
Kemungkinan kedua, Haji Sulaiman sekongkol dengan Aryanti berbohong kepada Gus Dur bahwa Aryanti sudah janda. Maka dalam hal ini dari pihak Gus Dur tidak dapat disalahkan oleh karena untuk menikahi janda cukup dengan dua orang saksi, karena janda tidak memerlukan wali lagi. Jika kemungkinan ini yang benar, apakah foto mereka berdua asli atau rekayasa teknologis montage tidak ada permasalahan, karena dari pihak Gus Dur sendiri menganggap bahwa berfoto secara mesra itu adalah dengan isteri yang telah dinikahinya.
Kemungkinan ketiga, memang keduanya bermukah (overspel, sekarang populer dipakai istilah selingkuh). Ini juga sangat sukar dibuktikan dalam pengadilan. Foto yang mesra itu, yang diprint out dari internet menjadi bahan perbincangan ibu-ibu tamu-tamu isteri saya di rumah. Bayangan di bawah dagu Aryanti lebih panjang dari bayangan di bawah dagu Gus Dur, dan arah bayangan di bawah dagu keduanya itu mencurigakan dari sumber penerangan yang sama. Sedangkan foto yang diprint out dari internet telah diragukan oleh ibu-ibu yang bukan expert, maka akan menjadi lebih runyam jika foto dari klise yang asli diperdebatkan pula oleh para expert dalam sidang pengadilan.
Dalam hal yang demikian itu ada penggarisan dalam Syari'at Islam: YAYHA ALDZYN AMNWA AN JA^KM FASQ BNBA FTBYNWA AN TSHYBWA QWMA BJHALT FTSHBHWA 'ALY MA F'ALTM NADMYN (S. ALHJRAT, 6), dibaca: ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- iny ja-kum fa-siqum binabain fatabayyanu- an tushi-bu qawman bijaha-latin fatushbihu- 'ala- ma- fa'altum na-dimi-n (s. al hujura-t), artinya: Hai orang-orang beriman, jika datang kepadamu orang-orang fasiq dengan annaba', maka lakukanlah tabayyun, jangan sampai kamu tanpa pengetahuan menimpakan musibah kepada suatu kaum, lalu kamu menyesal atas perbuatanmu (49:6).
Tabayyun adalah bahasa Al Quran yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf: BA, YA, NUN, artinya "jelas". Tabayyun bermakna mengusut, mencari kejelasan tentang suatu ALNBa^ (dibaca: annaba-'). Dalam bahasa komunikasi politik kontemporer annaba' disebut "bisikan-provokasi" dan tabayyun disebut "klarifikasi".
Jadi bagaimanapun juga menurut Syari'at Islam harus dilakukan klarifikasi mengenai heboh Aryanti - Gus Dur tersebut. Namun ada dua persyaratan yang harus dipenuhi supaya yang berwajib berkewajiban melakukan klarifikasi. Syarat yang pertama, ke-7 kata dari Piagam Jakarta dimasukkan ke dalam Pasal 29 Batang-Tubuh UUD-1945. Syarat yang kedua, citra lembaga peradilan sudah baik di mata masyarakat. Sebelum kedua syarat ini dipenuhi jangan harap akan ada penyelesaian secara tuntas atau sekurang-kurangnya klarifikasi yang jernih.
Dari ibu-ibu rumah tangga tamu isteri saya yang datang bertamu dirumah terasa elok kiranya disampaikan kepada khalayak pembaca kolom ini. Bahwa Aryanti sangatlah mencoreng martabat perempuan, bukan karena kesediaannya membeberkan fotonya bersama dengan Gus Dur, melainkan adalah perbuatan nista, menjijikkan tanpa malu-malu menyatakan bahwa dirinya yang masih berstatus sah isteri orang lain telah melakukan hubungan intim layaknya suami isteri dengan Gus Dur yang dimulai sekitar bulan Oktober 1995 di Bali. Tanggapan ibu-ibu tersebut memperkuat bahwa Aryanti tergolong dalam salah seorang di antara orang-orang fasiq yang datang membawa annaba', seperti yang dimaksud dalam ayat (49:6) yang dikutip di atas itu. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 10 September 2000
3 September 2000
[+/-] |
439. Syari'at dan Kebudayaan |
Terlalu banyak ta'rif (definisi) mengenai kebudayaan. Akan dikemukakan ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah buah dari semua perbuatan dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar perlu berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah, gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun bangunan. Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki. Itulah kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian. Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan hidup sehari-hari, maka lahirlah etika dan adat pergaulan, norma-norma dan aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah kebudayaan hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah. Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht vorming) dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat mebentuk pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut politik.
Allah SWT adalah Maha Pengatur dan Maha Pemelihara. DiturunkanNyalah wahyu kepada manusia pilihan yaitu para Nabi dan Rasul untuk menunjuki manusia mana yang baik dalam berbudaya itu. Nabi yang membawa syari'at disebut Rasul. Contohnya Nabi Musa AS adalah Rasul, karena membawa syari'at yang disebut syari'at Musa. Nabi 'Isa AS meneruskan syari'at Musa. Ada pula yang sekaligus sebagai Nabi dan Raja, yaitu Nabi Daud AS dan Nabi Sulaiman AS. Keduanya adalah raja yang meneruskan syari'at Musa. Nabi Muhammad SAW tidak meneruskan syari'at Musa. Beliau membawa syari'at yang baru dan terakhir. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, yang membina masyarakat madani dan mendirikan Negara Islam Madinah.. Oleh sebab itu syari'at yang dibawakan beliau yang kita kenal dengan Syari'at Islam adalah untuk menuntun ummat manusia dalam berbudaya sampai kepada akhir zaman. Demikinlah pola pikir ummat Islam yang sadar akan hak politiknya, yang menginginkan 7-kata dari Piagam Jakarta dimasukkan dalam Batang Tubuh UUD-45, Pasal 29.
Itulah perlunya sosialisasi mengenai masuknya 7-kata dari Piagam Jakarta ke dalam Batang Tubuh UUD-45, Pasal 29. Syari'at Islam menuntun ummat manusia dalam kehidupan berbudaya dalam hal pemerintahan yang baik, yaitu AWLY ALAMR MNKM (S. ALNSA^, 59), dibaca: ulil amri mingkum (s. annisa-'), artinya: yang menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dibentuk dari kamu (4:59). Bagaimana caranya membentuk pemerintahan yang demikian itu dijabarkan dalam fiqh. (Bagi yang belum sempat membaca Seri 438 ybl., akan dijelaskan sekali lagi perbedaan antara syari'at dengan fiqh: Syari'at dalam arti luas adalah aqidah, jalannya hukum dan akhlaq, sedangkan fiqh bermakna kecerdasan dalam memikirkan, mempelajari, atau menyadari jalannya hukum). Republik Islam Iran telah menjabarkan bagaimana caranya syari'at membentuk pemerintahan yang dari kamu ke dalam fiqh. Itu dapat kita lihat dalam UUD-nya. Presiden dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu. Majelis, yaitu wakil rakyat dipilih melalui Pemilu. Kabinet dibentuk oleh Presiden bersama-sama dengan Majelis. Gabungan antara kabinet presidensial dengan parlementer ini telah dilaksanakan pula dua kali dalam pembentukan kabinet di Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid. Kalau fiqh Republik Islam Iran ini dianggap baik, tidak ada salahnya menjadi salah satu substansi dalam mengamandemen UUD-1945.
Dengan masuknya 7-kata itu ke dalam Pasal 29, maka kebijakan perekonomian terikat pada tuntunan Syari'at Islam, yaitu menitik beratkan pada perekonomian rakyat pemodal kecil, dengan tidak mengabaikan pemodal besar. Menurut Syari'at Islam: KY LA YKWN DWLT BYN ALAGHNYA^ MNKM (S. ALHSYR, 7), dibaca: kay la- yaku-na du-latam baynal aghniya-i minkum (al hasyr), artinya: janganlah kedaulatan ekonomi itu hanya bergulir di antara orang-orang kaya saja di antara kamu (59:7).
Dengan masuknya 7-kata itu ke dalam Pasal 29, maka ummat Islam Indonesia yang dalam kebudayaan perjanjian perikatan dalam berdagang dan utang-piutang, yang pukul rata hanya dengan cara di bawah tangan, akan terikat pada ketentuan Syari'at Islam: ADZA TDAYNTM BDYN ILY AJL MSMY FAKTBWH WLYKTB BYNKM KATB BAL'ADL (S. ALBQRT, 282), dibaca: idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalim musamman faktubu-hu walyaktub baynakung ka-tibum bil 'adli (s. albaqarah), artinya: apabila kamu mengadakan perjanjian perikatan hutang-piutang untuk waktu tertentu, maka wajib dituliskan, dan mestilah dituliskan oleh seorang notaris dengan adil (2:282).
Dengan masuknya 7-kata itu ke dalam Pasal 29, maka cara-cara berdemokrasi ummat Islam di Indonesia yang berwarna sekuler-barat, bernuansa liberal tanpa tatakrama, akan mendapat tuntunan dari Syari'at Islam: WSYAWRHM FY ALAMR FADZA 'AZMT FTWKL ALY ALLH (S. AL'AMRAN, 159), dibaca: wasya-wirhum fil amri faidza- 'azamta fatawakkal 'alaLla-hi (s. ali 'imra-n), artinya: bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan, dan apabila keputusan telah ditetapkan, maka serahkanlah kepada Allah (3:159). Syari'at ini ditujukan kepada Pemerintah untuk bermusyawarah dengan rakyatnya dalam urusan berjenis-jenis kebudayaan yang telah dikemukakan dalam permulaan kolom ini. Jika ketetapan telah diambil, maka mereka yang tadinya tidak setuju, terikat pula pada kewajiban untuk turut melaksanakannya, semuanya menyerahkannya kepada Allah. Musyawarah dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari tiga huruf: syin, waw, ra, artinya mengeluarkan madu dari sarang lebah. Jadi demokrasi yang dituntun oleh Syari'at Islam adalah harus menghasilkan keputusan yang ibarat madu, walaupun dalam proses sebelumnya harus menjumpai sengat-sengat lebah. Jiwa musyawarah inilah yang meluruskan cara berdemokrasi kita di Indonesia yang berwarna sekuler-barat, bernuansa liberal tanpa tatakrama, seperti dikemukakan di atas. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 3 September 2000