29 April 2001

472. RMS, Bom Waktu yang Ditanam Belanda

Menjelang akhir April 2001, segenap telinga dan mata diarahkan ke Jakarta, karena terpengaruh oleh tiga titik-waktu, yaitu: Tgl 25 (mulai mengalirnya PBM ke Jakarta dan pembukaan masa sidang DPR), tgl 29 (warga NU beristighatsah) dan tgl 30 (sidang paripurna DPR untuk mengeluarkan(?) Memo II). Namun tidak ada salahnya, terkait dengan tgl 25 April, jika telinga dan mata itu diarahkan pula sekilas ke sebelah timur Makassar. Ada apa gerangan?

Syahdan, 25 April 1950 dr Soumokil cs memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) dengan mengibarkan bendera RMS benang raja/pelangi. Tentara RMS berasal dari pasukan ex Koninklijke Nederlands Indische Leger (KNIL), yang terdiri dari etnik Ambon. Setelah pasukan Siliwangi menumpas mereka, beberapa di antara gembong RMS melarikan diri keluar negeri utamanya bermukim di negeri Belanda di kota kecil Rijssen. (Saya sempat mengunjungi kota tersebut dalam tahun 1973). Soumoukil, yang tidak sempat meluputkan diri, kemudian ditangkap di p. Seram. Di negeri Belanda RMS melanjutkan aktivitasnya, dipimpin oleh Ir Manusama. Inilah peledakan bom waktu yang pertama, yang ditanam Belanda, yang tidak ikhlas melepaskan tanah jajahannya.

***

Ingatlah, 19 Januari 1999 terjadi tragedi 'IydulFithri berdarah di Ambon, yang pada waktu itu terdengar yel yel: hidup RMS, hidup RMS, dipekikkan saat pembantai membantai ummat Islam yang sedang shalat 'IydulFitri. Sehari sebelumnya, 18 Januari 1999, bendera RMS dikibarkan di Gunung Nona dan Kudamati. Maka jelas, akar penyebab konflik horisontal di Maluku adalah masalah politik, yaitu dalam rangka menghidupkan kembali RMS. Jadi bukan karena kesenjangan sosial antara BBM yang pendatang versus penduduk setempat, seperti disangka banyak orang selama ini. Mengapa kemudian berwujud menjadi konflik horisontal di antara dua kubu Muslim versus Kristen, oleh karena yang membantai ummat Islam yang sedang shalat 'IydulFithri tentulah bukan orang-orang Islam, melainkan niscaya orang-orang Kristen yang diprovokasi oleh provokator-provokator "penerus RMS" (baca: Neo-RMS). Patut diduga bahwa Neo-RMS ini berideologi marxis, ataupun sekurang-kurangnya neo-marxis, yang berdogma pada historische materialismenya Karl Marx, sehingga mereka senantiasa menempuh upaya mencipta-kan dan mengembangkan pertentangan kelas (baca: agama). Inilah peledakan bom waktu yang kedua, yang ditanam Belanda.

***
18 Desember 2000, jam 09.30 WIT di hotel Amboina lahirlah secara formal Neo-RMS, yaitu Front Kedaulatan Maluku (FKM), yang dideklarasikan oleh dr. Alex H.Manuputty, (ketua FKM) dan Hengki Manuhutu (sekretaris FKM). Benggolan FKM ini mendukung sepenuhnya pengibaran bendera benang raja/pelangi, yang telah dikibarkan di Gunung Nona dan Kudamati sehari sebelum tragedi 'IydulFithri berdarah seperti telah disebutkan di atas. FKM akan meneruskan perjuangan RMS yang sempat tertunda, demikian ditekankan Manuputty dalam jumpa pers seusai pendeklerasian itu. FKM/Neo-RMS merencanakan mengibarkan bendera RMS pada 25 April 2001. Inilah sisa-sisa peledakan bom waktu yang kedua itu.

Kamis, 4 Januari 2001 dilaksanakan demo besar-besaran di depan Masjid Al Fatah, dihadiri massa yang terdiri dari 14 lembaga Islam, 16 OKP Islam, 19 Raja (Kepala Desa) seluruh p.Ambon dan 15 Posko Jihad. Massa pendemo menuntut kepada Penguasa Darurrat Sipil (PDS) untuk menindak tegas para deklator FKM/Neo-RMS. Kamis 14 Januari 2001 Kapolda Maluku Firman Gani menangkap Alex H. Manuputty. Namun kemudian dibebaskan kembali.

Gubernur Maluku Saleh Latuconsina selaku Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku, akhirnya mampu melihat secara benar kedudukan separatis FKM/Neo-RMS tersebut. Pada hari Senin, 16 April 2001, Gubernur mengeluarkan SK No. 09/PDSDM/IV/2001, yang berlaku sejak dikeluarkannya. Isi SK tersebut melarang FKM/Neo-RMS beraktifitas di Maluku. Larangan itu disampaikan Saleh Latuconsina kepada pers di kantor Gubernur, dan juga melalui TVRI Ambon. Gubernur juga membaca SK itu untuk diketahui masyarakat. Keputusan tersebut juga meliputi larangan mengibarkan bendera RMS, atau bendera dengan nama apapun yang warnanya identik dengan bendera RMS. Agar SK tersebut dapat dilaksanakan oleh seluruh jajaran PDS, maka Gubernur memerintahkan kepada Kapolda, Pangdam, Kajati dan para Bupati/Walikota untuk mengamankan keputusan itu.

***
Walaupun telah dilarang melakukan berbagai bentuk kegiatan di Maluku oleh Penguasa Darurat Sipil (PDS) Maluku, Front Kedaulatan Maluku (FKM) tetap nekat melakukan aksinya mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon, Rabu (24/4) sekitar pukul 07.00 WIT. Pengibaran ini dilakukan dalam rangka memperingati kemerdekaan RMS. FKM mengklaim, 25 April 1950 merupakan hari kemerdekaan RMS. Pimpinan Eksekutif FKM, Alex Manuputty, kepada pers di Ambon seusai upacara tersebut menjelas-kan, pengibaran bendera dan peringatan hari 'kemerdekaan' RMS itu merupakan bukti dan cita-cita yang akan dicapai oleh FKM, mencapai Maluku merdeka. Upacara yang dilaksanakan di kediaman Alex Manuputty, di Jl. DR. Kayadoe, Kudamati yang juga dijadikan markas RMS itu, diikuti oleh massa pendukung RMS. Terlihat, sepanjang halaman dipadati oleh massa RMS yang notabene semuanya warga kristen. Massa separatis tersebut juga meminta Manuputty untuk memperjuangkan kemerdekaan Nasrani Maluku. "Bendera RMS yang kami kibarkan itu merupakan cita-cita yang akan kami raih, yaitu menciptakan Maluku merdeka, terlepas dari RI. Dan itu yang kami perjuangkan." Katanya. Selain di Kudamati, bendera RMS juga dikibarkan di desa Batu Gajah, Bere-Bere, Latuhalat, Aboru (Haruku), P. Nusa Laut. Berjalan sepuluh menit setelah bendera itu dinaikkan, sekitar satu peleton polisi Polda Maluku datang di lokasi. Dengan lemah lembut, Kapten John Maiitimu yang memimpin polisi itu meminta Alex Manuputty mengijinkan polisi menurunkan bendera itu. Setelah bersendau gurau dengan Manuputty, semua anggota polisi yang ternyata kristen semua itu menurunkan bendera yang dikibarkan. Sehabis menurunkan, tidak ada niatan polisi untuk membawa Manuputty ke Mapolda Maluku, bahkan terlihat antara polisi dan pengurus FKM terlihat mesra. Hal ini terjadi karena di antara massa pendukung RMS terdapat pengurus gereja protestan Maluku

***
Temuan berdasarkan data dan fakta menunjukkan, gerakan separatis dan makar RMS didukung penuh oleh Gereja Kristen di Maluku. Fakta itu di antaranya:

  1. Semy Waeleruny, SH yang merupakan pimpinan Yudikatif FKM juga merupakan koordinator Tim Pengacara Gereja (TPG).
  2. Dukungan kelompok Kristen terhadap perjuangan FKM dibuktikan dengan gerakan menuntut pembebasan Pimpinan Eksekutif FKM, dr. Alex Manuputty, dari tahanan Polda Maluku, yang arak-arakan massanya dimulai dari Gereja Maranatha.
  3. TPG melakukan pembelaan hukum terhadap perjuangan Alex Manuputty.
  4. Gereja melalui Tim Pengacara Gereja dan elit-elit Kristen menolak keberadaan sesama anak bangsa di Maluku yang berjihad mempertahankan wilayah negara dari rongrongan separatis Kristen RMS, tapi di sisi lain menuntut adanya intervensi PBB.
Akhirulkalam, kepada Gubernur Maluku Saleh Latuconsina selaku Penguasa Darurat Sipil Maluku, kami himbau:
Wahai Gubernur Latuconsina, setelah selesai mengeluarkan SK melarang aktivitas FKM/Neo-RMS, maka tindak lanjutilah dengan membubarkan separatis FKM/Neo-RMS tersebut, kemudian tangkap dan adili gembong-gembongnya.
-- FADZA FRGHT FANSHB. WALY RBK FARGHB (S. ALANSYRAH, 7-8), dibaca: Faidza- faraghta fanshab. Waila- rabbika farghab (s. al.insyira-h), artinya: Apabila engkau telah selesai (melakukan pekerjaan), maka berupayalah (menindak-lanjuti). Dan kepada Maha Pemeliharamu berharaplah (94:7-8). WaLlahu A'lamu bi Al Shawa-b.

*** Makassar, 29 April 2001