2 September 2001

490. Tragedi Berdarah 14 Juni dalam Pra Peradilan

Demi keotentikan, sebagai pertanggung-jawaban kepada Allah SWT, dalam kolom ini setiap ayat Al Quran ditransliterasikan huruf demi huruf. Bila pembaca merasa "terusik" dengan transliterasi ini, tolong dilampaui, langsung ke cara membacanya saja.

I Made Yasa, mantan Pangdam XVI Pattimura, yang kini menjabat sebagai Komandan Sekolah Calon Perwira (Secapa), mulai menuai hujatan dari kaum muslimin. Para pemuda yang tergabung dalam Forum Islam Bersatu (Fiber) menuntut I Made Yasa untuk diseret ke Mahkamah Militer dan diusir dari Bandung. Barisan Fiber terdepan membawa spanduk putih bertuliskan "SERET I MADE YASA KE PENGADILAN, DIA PENJAHAT". (Kekejaman Yon Gab dalam penyerbuan dan pembantaian Yon Gab ke Poliklinik Laskar Jihad di Kebun Cengkeh Ambon, telah dikisahkan dalam Seri 480, edisi 24 Juni 2001, yang berjudul Tragedi 14 Juni 2001, Seret I Made Yasa dan Anggota Yon Gab ke Pengadilan HAM).

Kamis 21 Juni MUI bersama 27 ormas Islam temui DPR guna menyampaikan aspirasi umat Islam. Delegasi ini diterima oleh antara lain Akbar Tanjung, dan AM. Fatwa. Dalam dengar pendapat itu antara lain dengan tegas dinyatakan bahwa apabila pemerintah tidak menghukum I Made Yasa atas perbuatannya maka dia akan dinyatakan sebagai "Pembantai Umat Islam".

Sebulan kemudian permohonan pra-peradilan kasus kekejaman tersebut didaftarkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan no. 20/Pid/Prap/2001 tanggal 9 Agustus 2001. Termohon I dan II, adalah berturut-turut Kapolri dan Panglima TNI.

23 Agustus sidang pertama pra-peradilan itu digelar, sangat mengecewakan. Termohon II yaitu kuasa hukum Panglima TNI tidak hadir. Itu menunjukkan ketidak-seriusan dari pihak TNI. Sedangkan dari pihak kuasa hukum Kapolri sebagai termohon I tiba di tempat sesuai waktu yang telah ditentukan. Sidang yang dipimpin oleh hakim ketua H. Soedarto S.H. hanya berlangsung sekitar 10 menit. Hakim ketua memutuskan menunda pengadilan itu sampai hari Senin 27 Agustus 2001.

Sidang kedua diadakan di ruang Garuda, PN Jakarta Selatan pada hari Senin, 27 Agustus 2001, diwarnai dengan adu argumen antar dua belah pihak.

Pihak pemohon yang mewakili Mardi Abdul Aziz (27 tahun), dalam gugatannya menyatakan bahwa pihak termohon telah melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan prosedur-prosedur dalam hal penangkapan, penggeledahan, dan penyitaan. Tiga hal tersebut telah dilakukan oleh anggota pihak Kapolri dan Panglima TNI secara tidak sah. Berdasarkan fakta-fakta hukum, Pihak Tim Pengacara (TP) yang mewakili Mardi Abdul Aziz, menuntut sembilan butir tuntutan, antara lain ketiga tindakan di atas itu tidak sah sesuai hukum, dan menuntut pengembalian seluruh barang yang disita kepada pihak pemohon.

Dalam jawabannya, Kuasa Hukum Kapolri, yang dipimpin oleh Kombes Pol. Soeyitno, SH menyatakan menerima pra-peradilan ini karena sesuai dengan fungsi utamanya, yaitu mengontrol tim penyidik. Tetaapi karena Kepolisian RI dalam melaksanakan tugasnya dibagi ke dalam jajaran Mabes, Polda, Polwil, Polres dan Polsek, maka seharusnya yang dituntut adalah penanggung jawab kegiatan kepolisian setempat bukannya Kapolri.

Kuasa hukum Panglima TNI yang diwakili oleh Letkol Payaman P.,SH, Mayor Suryono SH, Kapten Santosa SH, menolak pra-peradilan ini, disebabkan oleh tidak adanya kewenangan dari pihak Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melaksanakan persidangan ini. Dan juga menegaskan bahwa tidak ada surat perintah dari Panglima TNI untuk menangkap karena pimpinannya adalah Penguasa Darurat Sipil, Gubernur Maluku.

Dalam tanggapannya kepada pihak Kapolri, TP yang diwakili oleh Mahendradatta, SH,MA, menyatakan dalam UU tentang kepolisian disebutkan bahwa Kapolri adalah penanggung jawab tugas kepolisian atas seluruh wilayah RI. Dalam masalah pejabat yang di daerah yang seharusnya dituntut, dalam kasus-kasus lain Polri melalui Mabes sering melakukan penangkapan sendiri-sendiri. Contohnya Kasus Penangkapan Ustadz Jafar Umar Thalib, Panglima Laskar Jihad yang tersangka melakukan tindak pidana di Ambon, mengapa penangkapan dilakukan di Surabaya, dan diproses selanjutnya di Mabes Polri, Jakarta.

Kepada kuasa hukum Panglima TNI, TP memberikan tanggapannya bahwa berlakunya Pasal 84 KUHAP yang dipermasalahkan pihak termohon II, adalah untuk tindak pidana material. Sedangkan pra-peradilan adalah tentang hukum acara atau hukum formal, sehingga pasal tersebut tidak relevan untuk diterapkan. Tentang surat penangkapan yang tidak pernah dibuat Panglima TNI, itu merupakan pengakuan dari pihak termohon II bahwa tindakan Yon Gab di Ambon itu adalah tindakan liar, yaitu di luar hukum.

***

Pra-peradilan ini hanya merupakan langkah awal menuju upaya hukum: "menyeret I Made Yasa dan Anggota Yon Gab ke Pengadilan HAM." Harus ada keseriusan pemerintah untuk menyeret semua para pelanggar HAM ke Pengadilan HAM, utamanya di Aceh dan di Ambon. Keadilan harus ditegakkan walaupun terhadap kerabat ataupun korps sekalipun. FA'ADLWA WLW KAN DZAQRBY (S. ALAN'AM, 152), dibaca: fa'dilu- walaw ka-na dza-qurba- (s. al an'a-m), artinya: berlaku adillah walaw terhadap karibmu sendiri (6:152). Walla-hu a'lamu bisshawa-b.

*** Makassar, 2 September 2001