Judul di atas itu dicungkil dari sebagian ucapan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal E. Sutarto, yang menjadi topik berita Harian FAJAR edisi Rabu, 14 Maret 2001, halaman 12. Ucapan itu diucapkan oleh Kasad yang menyambut baik keputusan pemerintah menetapkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai gerakan separatis dalam Sidang Kabinet hari Senin, 12 Maret 2001.
Ada dua pertanyaan yang menggelitik kita untuk dibahas jawabannya dalam kolom ini.
Pertanyaan pertama: "GAM sudah sejak lama memenuhi kriteria untuk diberi cap predikat gerakan separatis, mengapa barulah pada Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu GAM ditegaskan seperti itu?"
Patut diakui dengan jujur bahwa kebijakan Gus Dur menghadapi masalah Aceh yang lebih menonjolkan aspek kemanusiaan, perlu dipisahkan dari sekian kebijakan Gus Dur yang dicerca. Kebijakan Gus Dur untuk berunding dengan GAM yang dimulai dengan terobosan misi Bondan Gunawan menemui Komandan GAM Tengku Syafei di hutan belantara Aceh, disusul dengan perundingan di Geneva yang menghasilkan Jeda Kemanusiaan I dan II, serta moratorium, itu patut dipuji. Namun ini sangat tidak disetujui oleh aliran garis keras baik dalam kalangan sipil maupun militer. Sebagai konsekwensi logis kebijakan yang berpijak atas kemanusiaan itu, maka sudah tentu ukuran normatif dikesampingkan, artinya pendekatan politik berada di atas pendekatan hukum, artinya pula predikat separatis bagi GAM tidak dimunculkan.
Pada pihak lain patut pula diakui dengan jujur bahwa secara obyektif kinerja pemerintahan Gus Dur terhitung jelek. Ditambah pula gaya kepemimpinan Gus Dur yang "one man show", sikap yang kepala batu, yaitu walaupun Gus Dur membiarkan orang bebas mengeritik, bebas beraspirasi bahkan menghinanya, namun semua itu dianggapnya seperti angin lalu. Ditambah pula lagi watak Gus Dur yang gemar mengeluarkan ucapan-ucapan kontroversial yang membingungkan. Itu semua berakumulasi sehingga "kawan menjadi lawan" (baca: Poros Tengah dan Golkar). Lawan yang sebelumnya adalah kawan berusaha memperoleh batu (baca: BB-gate) untuk melempar (baca: melengserkan) Gus Dur. Ini berakibat maraknya demo anti versus pro Gus Dur yang rawan menimbulkan konflik horisontal dalam kalangan akar rumput.
Pembaca yang kurang sabar akan nyeletuk: "Apa hubungannya uraian tersebut dengan cap gerakan seperatis untuk GAM yang baru ditegaskan dalam Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu? Oh, sangat erat hubungannya. Gerakan yang sengit untuk menyuruh Gus Dur mundur, menyebabkan Gus Dur memasang kuda-kuda. Adalah sangat naif menyangka Gus Dur seperti Soeharto, bersedia mundur secara legowo. Itu hanya mungkin terjadi jika Allah SWT tiba-tiba mengubah Gus Dur menjadi berwatak tidak kepala batu lagi. Orang yang berwatak kepala batu apabila ditekan terus walaupun sudah merangkak tidak dapat berdiri lagi, akan mengumpulkan segenap tenaga untuk dapat berdiri. Dan itulah yang terjadi pada Gus Dur. Sikap kepala batu itu memberikan dorongan semangat kepadanya untuk memasang kuda-kuda, dengan mengusahakan dukungan dari TNI yang umumnya bersikap keras terhadap GAM, seperti tercermin dalam cukilan ungkapan Kasad yang menjadi judul kolom ini: "Habisi Saja GAM". Untuk itulah demi mendapatkan dukungan dari TNI, maka dalam Sidang Kabinet 12 Maret 2001 itu barulah ditegaskan bahwa GAM itu adalah gerakan separatis.
Pertanyaan kedua: "Apakah mungkin operasi militer terbatas tanpa menimbulkan korban pada rakyat Aceh dapat terwujud di lapangan, atau dengan perkataan lain apakah ada jaminan bahwa operasi militer terbatas itu tidak meningkat menjadi DOM jilid kedua?"
Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan): WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: Waltanzhur nafsun ma- qaddamat lighad, artinya: Mestilah orang menilik apa yang lalu untuk (orientasi) ke depan (59:18).
Maka cobalah kita menilik dimulai dengan Perang Aceh. Teman saya, Ridwan 'Arby, yang berasal dari desa Glumpang Bungkok, Samalanga, Aceh, pernah memperlihatkan kepada saya sebuah buku berjudul Perang Aceh, yang di dalamnya ada sebuh foto Teuku Raja Sabi (TRS) yang baru saja keluar hutan tahun 1937. Jadi bayangkan perlawanan gerilya Aceh baru berakhir 5 tahun sebelum Perang Dunia kedua. TRS adalah anak Cut Meutia, Srikandi Aceh yang syahid dalam pertempuran bersosoh rencong lawan pedang.
Pencoretan 7 kata dalam konsep Muqaddimah UUD (baca: Piagam Jakarta), dibayar dengan harga mahal, yaitu perlawanan Darul Islam dengan pasukan bersenjatanya Tentara Islam Indonesia (DI-TTI) di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Sesungguhnya GAM adalah metamorphose dari DI-TII di Aceh, yang kedua-duanya dipimpin oleh Tengku Hasan Tiro, turunan pahlawan nasional Tengku Cik di Tiro.
Perlawanan gerilya, baik DI-TII maupun GAM tidak dapat dipadamkan dengan DOM made in Orde Baru. Bahkan yang terjadi ialah pelanggaran HAM. Mengapa terjadi pelanggaran HAM? Gerilya adalah ibarat ikan di dalam air, maka taktik anti gerilya ialah mengeringkan air (baca: rakyat pendukung gerilya), sehingga ikannya menggelepar-gelepar mudah dibunuh dan ditangkapi. Maka dalam upaya mengeringkan air itulah pelanggaran HAM tak dapat dielakkan. Artinya operasi militer terbatas itu tidak dapat menjamin untuk tidak meningkat menjadi DOM jilid kedua, artinya pelanggaran HAM jilid kedua adalah suatu keniscayaan.
Bila Allah SWT sebagai Maha Pemelihara berkehendak mengubah watak Gus Dur untuk berhenti kepala batu, serta Allah berkehendak menyejukkan hati Amin Rais cs, maka apakah Gus Dur berhenti secara legowo, atau diberikan kesempatan untuk meneruskan kepresidenannya, maka itu bukan masalah lagi. Kinerja DPR dapatlah ditingkatkan dengan membuat UU tentang otonomi khusus Nangroe Aceh dengan Syari'at Islam. Kemudian berilah kesempatan Pemda Otonomi Khusus berembuk dengan GAM. Karena GAM adalah metamorphose dari DI-TII, otonomi khusus ada Syari'at Islamnya dan TII ada Indonesianya, maka insya Allah, Aceh tidak akan lepas dari Republik Indonesia. Maka terhindarlah kita dari tragedi kemanusiaan: Habisi Saja GAM. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 18 Maret 2001
18 Maret 2001
[+/-] |
467. Habisi Saja GAM ??? |
11 Maret 2001
[+/-] |
466. Mengapa, Mengapa dan Mengapa? |
Grafik pertikaian dalam kalangan elit politik menanjak terus. Bahkan sudah kekanak-kanakan, main skor-skoran. Mau contoh? Gus Dur dirumorkan akan dipanggil menghadap Pansus BB-gate. Secara hirarkis lembaga Pansus DPR terposisi di bawah Siple DPR. Belum pernah dengar Siple? Itu singkatan dari sidang pleno. Lembaga DPR dan lembaga Kepresidenan setaraf, itu kata UUD, sama-sama lembaga tinggi negara. Karena Pansus di bawah Siple sedangkan DPR setaraf dengan Presiden, maka Pansus lebih rendah dari Presiden. Yang lebih tinggi disuruh menghadap yang lebih rendah. Artinya skor 1 - 0 bagi DPR. Ini dibalas dengan rumor lembaga Kejagung akan memanggil menghadap beberapa anggota pleno DPR yang mantan Pansus BB-gate. Padahal lembaga Kejagung terposisi di bawah Presiden. Itu artinya yang lebih tinggi disuruh menghadap kepada yang lebih rendah. Jala gawang DPR digetarkan Presiden, tercipta satu gol bagi Presiden. Skor 1 - 1, kedudukan seri. Hari Sabtu kemarin tertera pada halaman satu harian FAJAR judul berita: Presiden Siapkan Jawaban I, DPR Tetap Ajukan Memorandum II. Ini sudah tidak substantif lagi. Yang pokok bertikai terus. Belum mendengarkan jawaban sudah siap menyoal. Ibarat dalam cerita-cerita lama: cepat kaki ringan tangan, belum diseru sudah menjahut, belum dipanggil sudah datang, belum disuruh sudah pergi. Ini mengulang tabiat lembaga MPR. Tidak substantif. Yang bersikap menolak sudah siap menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Yang tidak logis dilogiskan. Mencerca Habibie karena kebijakannya berakibat lepasnya Tim-tim. Eh, ternyata MPR mengesahkan lepasnya Tim-tim dari Republik Indonesia. Demikian amburadulnya perpolitikan kita. Yang membuahkan demo, demo, demo terus yang anti versus yang pro Gus Dur. Kematian di tangan Allah, sebelum ajal berpantang mati, kalau sudah ajal berpantang hidup. Tidak terpikir bagi yang berdemo itu yang substansinya monoton, yang itu itu saja pro dan kontra Gus Dur, bahwa ada di antara pemakai jalan yang stroke terlambat tiba di rumah sakit? Sekian komentar di bidang politik.
Di bidang ekonomi? Tidak usah panjang-panjang, ruangan terbatas. Cukup dengan para meter berupa nasib rupiah kita. Posisi rupiah yang telah berhasil diturunkan pemerintahan Habibie dari kepala 17 ke kepala enam, grafiknya dalam skala top-down menanjak terus dan kini menjadi berita head line: Batas Psikologis Rupiah Tembus. Yaitu sudah menembus kepala sepuluh. Maka silakan bertikai terus. Jabarkan pertikaian politik ke bawah ke grass roots menjadi konflik horisontal. Kapal sudah oleng, di geladak dan ruang bawah bertikai, berkelahi terus, mulai dari usir BBM dari Ambon sampai kepada bersihkan etnik Madura dari bumi Lorosai, eh salah, dari bumi Dayak.
Itulah cerita singkat perangkat kasar. Bagaimana dengan cerita tentang yang perangkat halus, yang non-pragmatis? Coba tepekur (bahasa Melayu klasik yang diadopsi dari tafakkur, yang berakar dari fa, kef, ra)! Coba merenung! Ini bukan lagi cobaan dari Allah SWT atas bangsa Indonesia, melainkan termasuk dalam kategori laknat! Kalau ini benar-benar laknat dari Allah SWT, coba tafakkur terus, dan menjawab pertanyaan seperti judul di atas itu: Mengapa, Mengapa dan Mengapa?
***
Firman Allah SWT:
-- ADZAA JAa NSHR ALLH WALFTH. WRAYT ALNAS YDKHLWN FY DYN ALLH AFWAJA. FSBH BHMD RBK WASTGHFRH ANH KAN TWABA (S. ALNSHR, 1-3), dibaca: Idza- ja-a nashruLla-hi walfathu. Wara.aytan na-sa yadkhulu-na fi- di-niLla-hi afwa-jan. Fasabbih bihamdi rabbika wastaghfirhu innahu- ka-na tawwa-ban (s. annashr), artinya: Tatkala datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan engkau lihat manusia masuk ke dalam agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka sucikanlah serta pujilah dan minta ampunlah engkau kepada Maha Pemeliharamu, sesungguhnya Dia Maha Penerima Taubat (310:1-3).
Surah anNashr tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam konteks terbukanya kota Makkah secara damai. Penduduk negara-kota Makkah dibuka hatinya sehingga berbondong-bondong masuk Islam. Inilah anNashr, pertolongan kemenangan dari Allah kepada pasukan Islam atas negara-kota Makkah dan kemenangan tawhid atas kemusyrikan dalam hati penduduk Makkah. Jika ayat-ayat Allah dalam S. anNashr ini dibumikan di Indonesia dalam konteks reformasi, maka kemenangan Islam atas jahiliyah, analog dengan kemenangan Orde Reformasi atas Orde Baru.
Sedangkan kepada Nabi Muhammad SAW diperintahkan Allah SWT untuk menyikapi kemenangan itu dengan bertasbih (mensucikan), bertahmid (memuji) dan istighfar (minta ampun), apatah pula kita ini bangsa Indonesia yang hanya sebagai manusia biasa. S. anNashr tersebut merupakan penuntun dari Syari'at Islam dalam hal berakhlak dalam menyikapi kemenangan.
Setelah kita mencapai kemenangan kita disuruh mensucikan Allah, untuk menyadarkan hati kita hanya Allah Yang suci dari kesalahan. Manusia tidak luput dari kesalahan utamanya atas mereka yang bersifat impulsif emosional, yang mudah disulut nafsun ammarahnya. Setelah kita mencapai kemenangan kita disuruh memuji Allah, untuk menyadarkan hati kita hanya Allah yang patut dipuji. Tidak boleh memuji manusia, apa pula menyobongkan diri sendiri dan golongannya: Kalau bukan jasa saya, kalau bukan jasa golongan saya, kalau bukan jasa mahasiswa, kemenangan reformasi ini tidak mungkin tercapai". Inilah yang membawa, menjuruskan dan menjerumuskan kepada sikap bahkan penyakit jiwa euforia. Setelah mencapai kemenangan kita disuruh minta ampun kepada Allah, karena dalam proses mencapai kemenangan reformasi itu niscaya baik tidak disengaja maupun disengaja memperbuat kesalahan-kesalahan. Yang terakhir setelah mencapai kemenangan kita disuruh bertaubat kepada Allah atas kealpaan mensucikan, memuji dan minta ampun kepada Allah setelah kita memenangkan reformasi. Kealpaan mensucikan, memuji dan minta ampun kepada Allah setelah kita memenangkan reformasi inilah yang merupakan jawaban atas pertanyaan dalam judul di atas: Mengapa, Mengapa dan Mengapa? WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 11 Maret 2001
4 Maret 2001
[+/-] |
465. Qurban |
Kata korban dan kurban diadopsi dari qurban. Setelah diadopsi, maka rasa bahasa korban dan kurban telah berbeda jauh dari rasa bahasa asalnya, bahasa Al Quran.
Kita mulai dahulu dengan kata korban, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut victim. Menurut guru saya Allahu yarham DR S.Majidi, penjelasan yang paling efektif adalah memberikan contoh. Maka saya tempuhlah metode Majidi dalam perbincangan ini. Dalam peperangan tentara yang mati dan cedera di kedua belah pihak tidak biasa, bahkan tidak pernah disebut korban. Yang tidak dibidik tetapi kena, artinya kena pelor kesasar, ataupun penduduk sipil yang dijadikan tameng instalasi militer seperti taktik Saddam Husein, apakah mereka mati ataupun cedera, itulah yang disebut korban. Dalam konflik sosial seperti di Ambon, Maluku Utara, Poso, Sambas dll, yang terakhir Sampit dan Palangkaraya, yang mati, cedera, yang mengungsi, yang berpisah karena isterinya ataupun suaminya etnik Madura, yang berpisah cerai-berai anak beranak, itu semuanya disebut korban. Demikian pula konflik antara demonstran versus petugas keamanan yang mati dan luka di kedua pihak, seperti petugas yang mati karena ditabrak dengan sengaja oleh mahasiswa, disusul oleh mahasiswa Trisakti yang tewas ditembaki petugas, itupun disebut korban. Namun perlu dicatat dalam perjuangan kemerdekaan yang proaktif menyongsong maut, yang dalam ungkapan etnik Makassar "kayu pappallu", kayu bakar, seperti Korban 40.000, sesungguhnya nilainya lebih tinggi dari sekadar sebagai korban, melainkan masuk kategori pahlawan. Alhasil kata korban hanya diperuntukkan bagi manusia, dan tidak hanya terbatas untuk orang mati saja, melainkan termasuk pula yang cedera dll. seperti telah disebutkan di atas itu.
Kita tiba pada giliran perbincangan kata kurban. Pada waktu mulai dibangun Kampus Unhas Tamalanrea diadakan upacara "accera'" (mengucurkan darah). Yaitu darah yang mengalir dari leher kerbau dan kepalanya yang telah dipenggal dimasukkan ke dalam sebuah lubang kemudian ditimbun, yang seiring dengan itu mulut sanro (dukun klenik, medicine man) komat-kamit mengucapkan mantera sayup-sayup sampai. Menurut mandor yang tidak setuju dengan upacara khurafat itu rumus-rumus sihir (istilah yang dipakai mandur itu untuk mantera) boleh jadi sastra kuno dalam bahasa bissu. Saya waktu itu menyesalkan kepala proyek mengapa upacara khurafat itu jadi dilakukan, padahal sebelumnya telah disepakati tidak boleh dilakukan penanaman kepala kerbau. Saya sendiri tidak menyaksikan upacara itu, melainkan dituturkan kepada saya oleh mandur seperti yang telah saya sebutkan di atas. Kepala proyek membela diri dengan mengatakan bahwa ia terpaksa melakukan itu karena katanya para kuli tidak mau bekerja, mereka takut kepada patanna butta (hantu penguasa) yang menunggui "wilayah" itu akan marah jika tidak disuguhi darah dan kepala kerbau. Membuka hutan, membangun jalan, bangunan dan jembatan berarti mengusik patanna butta, jadi harus minta izin kepada hantu-hantu penguasa itu dengan melakukan upacara "persembahan", berupa binatang sembelihan. Inilah dia upacara kurban, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut offering.
Ada pula upacara kurban yang sifatnya persembahan yang sakral (offering + sacrifice). Bangsa Viking dahulu kala mendiami jazirah Skandinavia, bangsa pelaut dan perompak yang telah menemukan benua Amerika berabad-abad sebelum Columbus dilahirkan. Orang Inggris menyebut mereka dengan orang-orang utara (Northmen). Bangsa Viking menyembah Odin, dewa perang. Sambil memegang pedang dalam keadaan sekarat prajurit Viking menyebut nama Odin, supaya dapat masuk ke dalam Valhalla yang disediakan Odin, demikian keyakinan mereka. Bangsa ini mengadakan upacara persembahan yang sakral dengan mengucurkan darah manusia, yaitu seorang pendeta yang dianggap penjelmaan Odin. (Bandingkan penjelmaan Odin dalam bentuk manusia ini dengan Krishna sebagai penjelmaan Wishnu yaitu yang kedua dari Trimurti Brahma-Wishnu-Shiwa, atau Fir'aun sebagai penjelmaan Ra, yaitu yang kedua dari Amun-Ra-Osiris). Upacara mencuci dosa itu digambarkan oleh puisi di bawah ini:
I know that I hung
on the windy tree
For nine whole nights
Wounded with the spear
dedicated to Odin
Myself to myself
Kutahu aku digantung
pada pohon bermandi angin
Dilukai tikaman lembing
Selama sembilan malam suntuk
dipersembahkan kepada Odin
Diriku untuk diriku
Terjadi hal yang unik dalam upacara ini. Penjelmaan Odin dipersembah-kan kepada Odin, myself to myself. Inti upacara kurban bangsa Viking ialah persembahan yang sakral, offering + sacrifice.
Dari kedua contoh upacara kurban di atas itu mengantar kita kepada rasa bahasa bahwa kurban itu adalah sebagai persembahan yang sakral, dengan membunuh manusia ataupun binatang.
***
Menurut Syari'at Islam Allah tidak berhajat akan daging dan darah binatang sembelihan itu. SubhanaLlah, Allah Maha Suci dari sifat yang demikian itu. Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan):
-- LN YNAL ALLH LHWHMA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (ALHJ, 18). FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR (ALHJ, 36), dibaca: Lay yana-lal la-ha luhu-muha wala- dima-uha- wala-kiy yana-lut taqwa- minkum. Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wa ath'imul qa-ni'a walmu'tar (alhaj), artinya: Tidak sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketaqwaan kamu (22:18). Apabila rebah tubuhnya, maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang-orang miskin yang tidak meminta dan yang meminta (22:36).
Jadi Syari'at Islam menolak pemahaman qurban sebagai persembahan yang sakral sifatnya (kurban). Qurban harus diresapkan maknanya dalam rasa bahasa asalnya, yang dibentuk oleh akar: Qaf, Ra, Ba, artinya dekat. Menyembelih binatang qurban dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk diberikan kepada orang miskin sebagai fungsi sosial, sedangkan darahnya dibuang, karena haram hukumnya untuk dimakan. Maknanya secara metaforis menyembelih nafsun ammarah, binatang dalam diri manusia, sehingga dapat taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 4 Maret 2001