21 Desember 2003

606. Kegenitan Intelektual

Sebermula akan dikutip "coretan" tiga orang:

1. Arthur Jeffery, orientalis campuran Australia-Amerika menulis:
Sura I of the Koran bears on its face evidence that it was not originally part of the text, but was a prayer composed to be placed at the head of the assembled volume, to be recited before reading the book, a custom not unfamiliar to us from other sacred books of the Near East [The Muslim World, Volume 29 (1939), pp. 158-162. The Text of the Qur'an Answering Islam Home Page]

2. Luthfi Asysyaukani (LA), dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal menulis al:
--Alquran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
--Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Al Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.
--Kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva).
--Kemungkinan besar hadis tujuh huruf adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain. [Dari: www.islamlib.com "Merenungkan Sejarah Alquran", tanggal dimuat: 17/11/2003]

3. Taufik Adnan Amal (TAA), dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, aktivis jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, al menulis:
--Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos.
--Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. Selain ketiadaan tanda vokal, sejumlah konsonan berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama. [www.islamlib.com "Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi", tanggal dimuat: 25/11/2001]
--Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. (Surat TAA kepada Ass. Prof. Dr. Ugi Suharto, Dosen di Kulliyyat ISTAC-IIUM, Mlaysia, bertanggal 11 Januari 2002).

***

Baik LA maupun TAA kurang jujur, karena tidak menyebutkan dari mana keduanya mendapatkan sejumlah gagasan, jadi seakan-akan gagasan itu timbul dari benak keduanya. Ketiadaan Surah Al Fatihah dalam Mushhaf Ibn Mas'ud, "ditafsirkan" oleh LA seperti kita lihat dalam kutipan di atas, bahwa Al Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. LA menjiplak tanpa menyebut nama orientalis AJ yang menulis seperti di atas itu, bahwa (terjemahan bebas): Surah Al Fatihah bukanlah bagian dari teks Al Quran, melainkan berupa susunan do'a yang ditempatkan pada permulaan kumpulan volume (maksudnya teks Al Quran), untuk dibaca sebelum membaca Al Quran, suatu kebiasaan yang lazim seperti pada waktu membaca kitab-kitab suci lainnya di Timur Dekat." Padahal secara akal sehat, walaupun dalam Mushhaf Ibn Mas'ud itu tidak ada dituliskan Al Fatihah, tidaklah mungkin Ibn Mas'ud menganggap bahwa Al Fatihah bukanlah bagian dari Al Quran, karena shalat tidak shah, jika setiap raka'at tidak dibaca Al Fatihah. Lagi pula bukankah semua tulisan di luar Mushhaf 'Utsmani semuanya dibakar, lalu dari mana orang tahu bahwa dalam Mushhaf Ibn Mas'ud itu tidak ada Al Fatihah? (Setiap turun wahyu, maka penempatan ayat ataupun "paket" ayat-ayat adalah atas petunjuk Nabi Muhammad SAW kepada para juru tulis. Tentu saja ada beberapa sahabat al. seperti Ibn Mas'ud, dengan inisiatif sendiri menuliskan ayat-ayat itu, ada yang lengkap, ada yang tidak lengkap, tidak tersusun rapi. Catatan-catatan para sahabat yang cerai berai yang dituliskan di atas apa saja tersebut, itulah semua yang dimusnahkan, untuk menghindarkan kekacauan cara menulis, susunan Surah dan susunan ayat, kelak di belakang hari).

Demikian pula LA menulis "Kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva)." Secara substantif serupa dengan tulisan TAA: Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. LA dan TAA menjiplak ini dari karya orientalis Ignaz Goldziher yang terjemahan bahasa Indonesianya seperti berikut: "Perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya." [Die Richtungen der islamischen Korananslegung", E. J. Brill, Leiden, 1970, blz. 3-4]. Teori Goldziher bertentangan dengan sabda RasuluLlah: "Al Quran ini diturunkan dalam 7 ahruf, maka bacalah dengan cara bacaan yang termudah bagimu (R. Bukhari 2287 dan Muslim, 818). Jadi dari Rasm 'Utsmani langsung secara serempak (bukan berkembang) dapat dibaca 7 ahruf (gaya bacaan), yang kita kenal hingga kini dengan qiraat 7 (7-bacaan). Shahih Bukhari dan Muslim dikatakan oleh LA: hadis tujuh huruf adalah rekayasa para ulama yang belakangan. Na'udzubiLlah, liberal nian si LA ini, yang lebih percaya teori "berkembang" dari orientalis Goldziher ketimbang informasi "serempak" 7 ahruf dari Shahih Bukhari wa Muslim. Alhasil LA maupun TAA melakukan kegenitan intelektual dengan menimba dari sumur orientalis dengan mengenyampingkan Shahih Bukhari dan Muslim. Silakan ditunggu sambungannya Ahad depan, insya Allah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 21 Desember 2003