Kutipan-kutipan yang masih akan dijawab.
1. Arthur Jeffery (AJ), orientalis campuran Australia-Amerika, menulis al:
Sura I of the Koran was not originally part of the text. [The Muslim World, Volume 29, 1939]
2. Luthfi Asysyaukani (LA), dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, menulis al:
--Alquran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing". Kaum Muslim meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan angan-angan teologis.
--Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru. [Dari: www.islamlib.com "Merenungkan Sejarah Alquran", tanggal dimuat: 17/11/2003]
3. Taufik Adnan Amal (TAA), dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, aktivis jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, al menulis:
--Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos.
[www.islamlib.com "Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi", tanggal dimuat: 25/11/2001]
--Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan mushaf utsmani. (Surat TAA kepada Ass. Prof. Dr. Ugi Suharto, Dosen di Kulliyyat ISTAC-IIUM, Malaysia, bertanggal 11 Januari 2002).
***
LA, AJ dan TAA membahas dengan orientasi proses, yaitu pendekatan historis. Akan disungkurkan dengan pembahasan berorientasi output, yaitu output teks Al Quran ejaan 'Utsman (Rasm 'Utsmany) dengan pendekatakan matematis. Allah berfirman:
-- ANA NhN NZLNA ALDzKR WANA LH LhFZhWN (AlhJR, 15:9), dibaca: inna- nahnu nazalnadz dzikra wainna- lahu- laha-fizhu-n, artinya: Sesungguhnya telah Kami turunkan Al Dzikr (Al Quran) dan sesungguhnya Kami memeliharanya. Cara Allah memelihara teks Al Quran ialah:
-- 'ALYHA TS'AT 'ASYR (S. ALMDTSR, 30), dibaca: 'alayha- tis'ata 'asyar (al muddatstsir), artinya: Padanya sembilan belas (74:11). Rasm 'Utsmany dikontrol oleh sistem keterkaitan matematis angka 19, disingkat dengan "sistem 19". Tentang Allah SWT menurunkan perangkat kontrol dengan sistem 19 telah berulang kali ditampilkan dalam Serial ini, yang terakhir adalah Seri 600, berjudul: "Jawaban yang Mendahului Bantahan, Suatu Mu'jizat," bertanggal 9 November 2003. Perlu dicatat bahwa agama Bahai juga memungut angka 19 dari Al Quran, namun dijadikannya khurafat dengan mensakralkan angka 19, yaitu dipengaruhi oleh filsafat Yunani aliran Phytagorean yang mensakralkan bilangan.
Marilah kita sungkurkan/patahkan satu demi satu kutipan-kutipan dari ocehan AJ, LA dan TAA.
Kita mulai dengan menyungkurkan JA, yang memfitnah bahwa Surah Al Fatihah bukan bagian dari Al Quran. Jumlah Surah dan juga Basmalah 114 = 6 x 19. Kalau S. Al Fatihah bukan bagian dari Al Quran, maka jumlah Surah, demikian pula Basmalah cuma 113, bukan sistem 19. Dengan alat kontrol sistem 19 tersungkurkanlah JA dan LA yang membeo kepada JA (lihat Seri 606).
Khusus giliran LA. Orang liberal ini memfitnah bahwa Al Quran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing". Kalau mengalami "copy editing", satu kata saja yang diubah hurufnya, seperti kata shalat menurut Rasm 'Utsmany: Shad, Lam, Waw, Ta, diubah menjadi Shad, Lam, Alif, Ta, maka sistem 19 akan mengontrol. Jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam Surah 2, 3, 7, 13, 29, 30, 31, 32, yaitu 12312 + 8493 + 5871 = 26676 = 1404 x 19. Kalau Waw diganti dengan Alif dalam kata shalat, maka akan rusaklah sistem 19 dalam jumlah huruf Alif + Lam + Mim dalam ke-8 Surah yang di atas itu. Alhasil fitnahan LA tentang proses "copy-editing" telah disungkurkan. Kegenitan LA dengan arogansinya mengejek bahwa kaum Muslimin berangan-angan teologis, telah disungkurkan dengan disungkurkannya fitnahan LA tentang proses "copy-editing" tersebut. (Waw diganti alif dapat kita baca dari teks adzan di semua siaran TV di Indonesia).
Terakhir gilirannya TAA. Kegenitan intelektual TAA tidak terangsang oleh salah satu "keanehan" dari Rasm 'Utsmany. Bukankah ambisinya itu adalah penyempurnaan Rasm 'Utsmany, seperti surat TAA kepada Ugi Suharto? Tulisan bismi dalan bismillah, yaitu 3 huruf BSM berbeda dengan bismi dalam bismi rabbik, yaitu 4 huruf BASM. Hai TAA, di mana itu "semangat liberal" dan kegenitan intelektualnya itu? Tulis saja bismi dalam bismillah dengan 4 huruf supaya sama dengan tulisan bismi dalam bismi rabbik, karena bukankah bismi itu dari bi + ismun? Itu tandanya kegenitan TAA hanya terbatas dalam menimba dari sumur orientalis saja. Tidak ada kedua masalah BSM dan BASM dalam "sumur" para orientalis, jadi tidak tertimba oleh TAA. Mari kita lihat! Kalau bismi dalam bismillah dituliskan menurut semestinya bi + ismun, yaitu BASM, maka jumlah huruf dalam bismilla-hirrahma-nirrahiym = 20. Boleh hitung sendiri: BASMALLHALRhMNALRhYM. Tetapi kalau bismi ditulis BSM, dicopot alif, maka jumlah huruf akan menjadi 19. Sebaliknya jika bismi dalam bismi rabbik ditulis dengan BSM, maka S. Al 'Alaq 1-5 [SK Muhammad diangkat Allah menjadi Nabi], jumlah hurufnya sebanyak 75. Kalau ditulis BASM maka jumlah huruf mrnjadi 76 = 4 x 19. Keanehan bismi ditulis BSM dan BASM itulah salah satu "keistimewaan" Rasm 'Utsmani yang diejek oleh TAA sebagai mitos. Data numerik bukanlah mitos. Arogansi TAA itu disungkurkan oleh alat kontrol sistem 19.
"Kemu'jizatan" teks al Quran yang ditulis menurut Rasm 'Utsmany yang diejek oleh TAA sebagai mitos, telah tersungkurkan dengan data numerik Alif+Lam+Mim. Mana bisa manusia bisa bikin data numerik 26676 = 1404 x 19 itu. Itu adalah mu'jizat, hai TAA.
***
Alhasil, provokasi LA, sebagai editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, bahwa "semangat pembebasan terhadap teks itu patut ditiru," dengan bertumpu diatas filosof kontemporer Perancis (kok LA tidak menyebutkan nama filosof agnostik itu?), maka tahulah kita "semangat" liberal kelompok yang menamakan dirinya Islam Liberal, adalah semangat liberal yang kebablasan, yang bertumpu di atas paradigma benak dari seorang FILOSOF AGNOSTIK. Suatu kegenitan intelektual yang bukan hanya menolak pendekatan tekstual melainkan bertujuan lebih dalam dari itu, yakni membebaskan diri dari kungkungan teks Al Quran. Maka sungguh tidak patut jaringan ini menyandang predikat Jaringan Islam Liberal (JIL), melainkan Jaringan Aliran Kepercayaaan Liberal (JAKL). WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 28 Desember 2003
28 Desember 2003
[+/-] |
607. Semangat Liberal yang Kebablasan |
21 Desember 2003
[+/-] |
606. Kegenitan Intelektual |
Sebermula akan dikutip "coretan" tiga orang:
1. Arthur Jeffery, orientalis campuran Australia-Amerika menulis:
Sura I of the Koran bears on its face evidence that it was not originally part of the text, but was a prayer composed to be placed at the head of the assembled volume, to be recited before reading the book, a custom not unfamiliar to us from other sacred books of the Near East [The Muslim World, Volume 29 (1939), pp. 158-162. The Text of the Qur'an Answering Islam Home Page]
2. Luthfi Asysyaukani (LA), dosen Sejarah Pemikiran Islam di Universitas Paramadina, Jakarta, dan Editor jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal menulis al:
--Alquran kemudian mengalami berbagai proses "copy-editing" oleh para sahabat, tabi'in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari seribu empat ratus tahun silam. Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
--Ibn Mas'ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya, memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah pertama). Al Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.
--Kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva).
--Kemungkinan besar hadis tujuh huruf adalah rekayasa para ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang beredar. Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata. Seperti dikatakan seorang filsuf kontemporer Perancis, teks --dan apalagi teks-teks suci-- selalu bersifat "repressive, violent, and authoritarian." Satu-satunya cara menyelamatkannya adalah dengan membebaskannya. Jika ada pelajaran yang bisa diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain. [Dari: www.islamlib.com "Merenungkan Sejarah Alquran", tanggal dimuat: 17/11/2003]
3. Taufik Adnan Amal (TAA), dosen mata kuliah ulumul Quran di IAIN Alauddin Makassar, aktivis jaringan yang menamakan dirinya Jaringan Islam Liberal, al menulis:
--Bagi rata-rata sarjana Muslim, "keistimewaan" rasm utsmani merupakan misteri ilahi dan karakter kemukjizatan al-Quran. Tetapi, pandangan ini lebih merupakan mitos.
--Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. Selain ketiadaan tanda vokal, sejumlah konsonan berbeda dalam aksara ini dilambangkan dengan simbol-simbol yang sama. [www.islamlib.com "Al-Quran Antara Fakta dan Fiksi", tanggal dimuat: 25/11/2001]
--Ada hal lainnya, yang luput dari pembacaan anda, yakni penyempurnaan ortografis mushaf utsmani. (Surat TAA kepada Ass. Prof. Dr. Ugi Suharto, Dosen di Kulliyyat ISTAC-IIUM, Mlaysia, bertanggal 11 Januari 2002).
***
Baik LA maupun TAA kurang jujur, karena tidak menyebutkan dari mana keduanya mendapatkan sejumlah gagasan, jadi seakan-akan gagasan itu timbul dari benak keduanya. Ketiadaan Surah Al Fatihah dalam Mushhaf Ibn Mas'ud, "ditafsirkan" oleh LA seperti kita lihat dalam kutipan di atas, bahwa Al Fatihah hanyalah "ungkapan liturgis" untuk memulai bacaan Alqur'an. Ini merupakan tradisi populer masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam. LA menjiplak tanpa menyebut nama orientalis AJ yang menulis seperti di atas itu, bahwa (terjemahan bebas): Surah Al Fatihah bukanlah bagian dari teks Al Quran, melainkan berupa susunan do'a yang ditempatkan pada permulaan kumpulan volume (maksudnya teks Al Quran), untuk dibaca sebelum membaca Al Quran, suatu kebiasaan yang lazim seperti pada waktu membaca kitab-kitab suci lainnya di Timur Dekat." Padahal secara akal sehat, walaupun dalam Mushhaf Ibn Mas'ud itu tidak ada dituliskan Al Fatihah, tidaklah mungkin Ibn Mas'ud menganggap bahwa Al Fatihah bukanlah bagian dari Al Quran, karena shalat tidak shah, jika setiap raka'at tidak dibaca Al Fatihah. Lagi pula bukankah semua tulisan di luar Mushhaf 'Utsmani semuanya dibakar, lalu dari mana orang tahu bahwa dalam Mushhaf Ibn Mas'ud itu tidak ada Al Fatihah? (Setiap turun wahyu, maka penempatan ayat ataupun "paket" ayat-ayat adalah atas petunjuk Nabi Muhammad SAW kepada para juru tulis. Tentu saja ada beberapa sahabat al. seperti Ibn Mas'ud, dengan inisiatif sendiri menuliskan ayat-ayat itu, ada yang lengkap, ada yang tidak lengkap, tidak tersusun rapi. Catatan-catatan para sahabat yang cerai berai yang dituliskan di atas apa saja tersebut, itulah semua yang dimusnahkan, untuk menghindarkan kekacauan cara menulis, susunan Surah dan susunan ayat, kelak di belakang hari).
Demikian pula LA menulis "Kemudian muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta defectiva)." Secara substantif serupa dengan tulisan TAA: Aksara primitif Arab (scriptio defectiva) yang digunakan ketika itu untuk menyalin al-Quran masih membuka peluang bagi pembacaan teks secara beragam. LA dan TAA menjiplak ini dari karya orientalis Ignaz Goldziher yang terjemahan bahasa Indonesianya seperti berikut: "Perbedaan bacaan adalah disebabkan karena text Usmani itu pada asalnya tidak ada titik dan harakahnya." [Die Richtungen der islamischen Korananslegung", E. J. Brill, Leiden, 1970, blz. 3-4]. Teori Goldziher bertentangan dengan sabda RasuluLlah: "Al Quran ini diturunkan dalam 7 ahruf, maka bacalah dengan cara bacaan yang termudah bagimu (R. Bukhari 2287 dan Muslim, 818). Jadi dari Rasm 'Utsmani langsung secara serempak (bukan berkembang) dapat dibaca 7 ahruf (gaya bacaan), yang kita kenal hingga kini dengan qiraat 7 (7-bacaan). Shahih Bukhari dan Muslim dikatakan oleh LA: hadis tujuh huruf adalah rekayasa para ulama yang belakangan. Na'udzubiLlah, liberal nian si LA ini, yang lebih percaya teori "berkembang" dari orientalis Goldziher ketimbang informasi "serempak" 7 ahruf dari Shahih Bukhari wa Muslim. Alhasil LA maupun TAA melakukan kegenitan intelektual dengan menimba dari sumur orientalis dengan mengenyampingkan Shahih Bukhari dan Muslim. Silakan ditunggu sambungannya Ahad depan, insya Allah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 21 Desember 2003
14 Desember 2003
[+/-] |
605. Masalah Adil Terhadap Isteri-Isteri. |
Firman Allah:
-- WAN KHFTM ALA TQSTHWA FY ALYTMY FANKAhAWA MA RHABLKM MN ALNSA^ MTSNY WTSLTS WRB'A FAN KHFTM ALA T'ADLWA FWAhDt AW MA MLKT AYMANKM (S. ALNSA^, 4:3), dibaca: wain khiftum alla- tuqsithuw filyata-ma- fangkihu- ma- tha-ba lakum minan nisa-i matsna- watsula-tsa waruba-'a fain khiftum alla- ta'diluw- fawa-hidatan aw ma- malakat ayma-nukum (s. annisa-^), artinya: jika kamu kuatir kamu tidak akan berlaku adil tentang anak-anak yatim, maka nikahilah olehmu perempuan-perempuan yang baik bagimu, berdua, bertiga atau berempat orang; tetapi jika kamu kuatir tidak akan berlaku adil, maka nikahilah seorang saja, atau nikahilah hamba sahaya (4:3). WLN TSTHY'UWA AN T'ADLWA BYN ALNSA^ WLW hRSHTM (S. ALNSA^, 4:129), dibaca: walan tastathi-'u- an ta'dilu- baynan nisa-i walaw harashtum, artinya: kamu takkan kuasa berlaku adil di antara perempuan-perempuan (isteri-isteri) itu, meskipun kamu sangat ingin demikian itu (4:129).
Pertama, mengapa masalah keadilan terhadap isteri-isteri dalam ayat [4:129] tidak lantas disambung saja dengan ayat [4:3] ? Kedua, dalam ayat [4:3] Allah mengizinkan berpoligami dengan persyaratan harus adil, dalam ayat [4:129] Allah berfirman bahwa yang berpoligami itu takkan kuasa berlaku adil. Bukankah itu merupakan larangan secara halus untuk berpoligami? Demikianlah saya pungut dari "cyber space". Menurut hemat saya "kebingungan" tentang urutan ayat dan "tafsiran" tentang larangan halus berpoligami itu perlu diberikan penjelasan. (Karena keterbatasan ruangan, hanya kedua ayat di atas yang ditransliterasikan huruf demi huruf dan dituliskan cara membacanya, sedangkan ayat-ayat lainnya hanya terjemahannya saja).
***
Klasifikasi ayat berdasar atas kriteria turunnya wahyu.
1. Wahyu yang diturunkan tanpa latar belakang, ada tiga jenis:
1.1 Seruan langsung, contoh: Hai orang-orang beriman telah diwajibkan atasmu berpuasa, sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S. Al Baqarah, 2:183)
1.2 Seruan tidak langsung, yaitu diserukan kepada Nabi Muhammad SAW, yang maksudnya tertuju pula kepada semua ummat Islam. Contoh: Hai Nabi, mengapakah engkau haramkan sesuatu yang dihalalkan Allah bagimu, karena menuntut keridhaan isteri-isterimu? Allah Pengampun lagi Penyayang (S. At Tahrim, 66:1).
1.3 Bukan berupa seruan khusus, tetapi langsung berupa informasi tentang:
1.3.1. Syari'ah untuk dipatuhi dan dilaksanakan. Contoh: Dan janganlah kamu jadikan nama Allah (dalam sumpah kalian) sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan (S. Al Baqarah 2:224).
1.3.2. Qissah/riwayat penting, biasanya dimulai dengan "idz". Contoh: Ingatlah tatkala Musa berkata kepada qaumnya: Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih sapi betina (S. Al Baqarah 2:67).
2. Mempunyai Latar belakang yang biasa disebut Asbabun Nuzul, ada dua jenis:
2.1 Pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW, ada tiga jenis pula:
2.1.1 Pertanyaan berupa permintaan fatwa kepada Nabi Muhammad SAW. Contoh: Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para perempuan (S. An Nisa 4:127).
2.1.2 Pertanyaan kepada Nabi Muhammad SAW yang murni pertanyaan, tidak mengandung unsur perlawanan/bantahan. Contoh: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi pelaksanaan ibadah) haji (S. Al Baqarah, 2:189).
2.1.3 Pertanyaan yang mengandung unsur perlawanan/bantahan. Contoh: Berkatalah orang-orang kafir: "Mengapa Al Qur^an itu tidak diturunkan kepadanya (Muhammad) sekali turun saja?" Demikianlah supaya Kami perkuat hatimu (untuk menghafal) dengannya, Kami menurunkannya (supaya engkau hai Muhammad) membacakannya kelompok demi kelompok (S. Al Furqan, 25:32).
2.2 Mempunyai latar belakang situasi Sosial Politik
2.2.1 Latar belakang situasi sosial, misalnya sehabis perang banyak anak yatim dan janda. Contoh: lihat (S. An Nisa, 4:3) pada permulaan tulisan di atas.
2.2.2 Latar Belakang Situasi Politik. Contoh: Telah dikalahkan Rum. Di bumi yang dekat, dan mereka sesudah kalah itu akan menang. Dalam beberapa tahun, kepunyaan Allah urusan sebelum itu dan sesudahnya. Pada hari (kemenangan Rum) itu akan bergembira orang-orang mukmin (S. Ar Rum, 30:2-4). Hiraqla (Heraclius) [575? - 641]M., Kaisar Rum [610 - 641]M. dikalahkan pasukannya di Chalcedon oleh pasukan Khosrau Parvez, Raja Sassan [590 - 628]M. Chalcedon itu terletak di mulut Asia Kecil hanya dipisahkan oleh selat Bosporus dari ibu kota Kerajaan Rum, Konstantinopel. Tatkala informasi tentang kekalahan pasukan Rum itu sampai di kota Makkah, penduduk negara-kota Makkah yang musyrik, penyembah berhala yang berpihak pada Sassan yang penyembah api, bersuka-ria kegirangan mengejek ummat Islam. Maka turunlah S. Ar Rum tersebut, yang memberikan informasi bahwa pasukan Rum sesudah dikalahkan dalam beberapa tahun kemudian akan menang terhadap Khosrau. Dalam serangan balasan yang kedua, Hiraqla berhasil memukul mundur pasukan Khosrau dan mendesak jauh ke dalam daerah Sassan sampai ke sungai Tigris, dan setahun kemudian Khosrau meninggal. Kemenangan Rum sesudah kalah itu seperti yang diprofesikan dalam S. arRum itu merupakan salah satu kemu'jizatan Al Qur^an. Tatkala berita kemenangan Rum itu sampai di Makkah, maka bergembiralah ummat Islam yang berpihak kepada Hiraqla yang Nasrani.
***
Masalah keadilan terhadap isteri-iateri pada S. An Nisa, 4:129 tidak lantas disambung saja dengan S. An Nisa 4:3, karena Asbabun Nuzul ayat (4:3) adalah banyak anak yatim dan janda setelah perang. Sedangkan Asbabun Nuzul turunnya ayat (4:129), karena beberapa tahun kemudian ada permintaan fatwa kepada Nabi Muhammad SAW, seperti yang dinyatakan dalam ayat (4:127), dalam butir [2.1.1] di atas. Keadilan dalam ayat (4:3) dalam konteks pertimbangan sebelum nikah, sedangkan keadilan dalam ayat (4:129) adalah dalam konteks beberapa tahun kemudian setelah menikah, sang suami dihadapkan pada kenyataan telah ada isteri yang sudah tua, dan Allah Maha Tahu, tidaklah mungkin seorang suami akan berlaku adil dalam kenyataan yang demikian itu.
Setiap turun wahyu, maka penempatan ayat ataupun "paket" ayat-ayat adalah atas petunjuk Nabi Muhammad SAW kepada para juru tulis. Misalnya paket ayat yang menginformasikan Bani Israil yang sangat cerewet dalam hal kriteria sapi betina yang akan disembelih, lihat butir [1.3.2] , Nabi Muhammad SAW menyuruh tempatkan tidak pada permulaan surah, walaupun paket tersebut adalah yang mula-mula turun, melainkan dalam urutan ayat no. 67-71. Umumnya surah itu diberi bernama dengan kata "sentral" dalam paket yang mula-mula turun itu, yang dalam hal ini Al Baqarah (sapi betina). Nabi SAW juga menginstruksikan Surah Al Baqarah itu dalam urutan surah no.2. Demikian pula paket ayat SK pengangkatan Muhammad menjadi Nabi, yang terdiri atas 19 kata, 76 (=4x19) huruf itu, diberi bernama Surah Al 'Alaq, kata yang ada dalam paket itu. Surah Al 'Alaq, yang kemudian digenapkan menjadi 19 ayat, disuruh tempatkan pada urutan no.19 dari belakang. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 14 Desember 2003
7 Desember 2003
[+/-] |
604. Interpretasi yang Berbeda Mengenai Fakta yang Sama |
Konon di Amerika pernah diadakan penelitian atas dua ras yang berbeda yang dipilih secara acak. Tujuan penelitian itu ialah untuk dapat mengetahui tentang IQ dari kedua ras itu, yakni ras kulit putih dan ras kulit hitam. Masing-masing ras itu diplot IQ dengan populasi (N). Hasil penelitian itu menujukkan bahwa baik kurva kulit putih maupun kurva kulit hitam mendekati kurva normal. Adapun kurva normal itu ibarat gunung yang lerengnya kiri dan kanan dari puncak bentuknya setangkup (simetris). Artinya puncak gunung itu berada di tengah-tengah antara lereng kiri dengan lereng kanan. Kurva IQ-N ras kulit putih puncaknya miring ke kanan dari puncak kurva normal, sedang kurva IQ-N ras kulit hitam puncaknya miring ke kekiri dari puncak normal. Baik kurva ras kulit putih maupun ras kulit hitam puncaknya sama tinggi dengan kurva normal. Itulah dia fakta yang pada pokoknya menunjukkan bahwa walaupun IQ-maksimum ras kulit putih sama tinggi dengan IQ-maksimum ras kulit hitam, namun lebih banyak jumlahnya ras kulit putih ber-IQ-maksimum ketimbang ras kulit hitam.
Dahulu di negerinya orang Boer (=petani) Afrika Selatan yang beremigrasi dari Negeri Kincir angin berpemerintahan rasis, yang memenjarakan Nelson Mandela lamanya (maaf, kurang ingat) sekitar 27(?) tahun. Maka pemerintahan rasis Afrika Selatan itu dan juga golongan rasis di Amerika Ku Klux Klan melihat fakta kurva IQ-N tersebut akan mengatakan bahwa memang ras kulit putih lebih unggul dari ras kulit hitam. Akan tetapi tentu Nelson Mandela akan berkata lain: "Itulah buktinya dalam hal pendidikan ras kulit hitam tidak diberi kesempatan yang sama ketimbang ras kulit putih.
***
Dua ekor cacing yang hidup, seekor dimasukkan ke dalam gelas yang berisi air mineral dan yang seekor lagi dimasukkan ke dalam gelas yang berisi arak. Lalu apa yang terjadi? Cacing yang berada dalam gelas yang berisi air mineral itu bersuka-ria di dasar gelas, namun cacing yang berada di dalam arak itu menggeletak mati.
Ada dua kelompok yang menyaksikan percobaan itu. Kelompok yang satu ingin menegakkan Syari'at Islam secara kaffah (totalitas) baik substantif maupun dalam proses, yaitu sekaligus kultural dan struktural, serta dengan pendekatan tekstual, kontekstual, hikmah, takwil, isyarat dan konsepsional. Sedang kelompok yang lain yang menamakan dirinya dengan "Islam Liberal" berfaham bahwa Rasul memang berhasil menterjemahkan cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah. Akan tetapi, Islam yang diwujudkan di sana adalah Islam historis, sejarah masa lalu, partikular artinya bermuatan lokal, tidak universal, dan kontekstual yakni terikat dengan situasi/kondisi. Banyak ajaran Islam yang sudah tidak layak untuk diikuti, terutama ayat-ayat Madaniyah dan Sunnah Nabi yang terikat ruang (Hijaz) dan waktu (abad VII M) dan bersifat temporer.
Kelompok pertama setelah melihat hasil percobaan itu berpendapat: SubhanaLlah, itulah hikmah Allah SWT mengharamkan khamar dalam arti tekstual. Lihatlah arak itu membahayakan kehidupan makhluk. Dalam konteks kesehatan akal manusia arak itu merusak sel-sel otak. Sanksi cambuk bagi pemabuk adalah Rahamatan lil'A-lamiyn. Keras bagi pemabuk, tetapi rahmat bagi ummat manusia, Syari'at Islam melindungi dan memelihara akal manusia.
Kelompok kedua berpendapat: Ajaran Islam tentang haramnya arak itu adalah muatan lokal sudah tidak layak untuk diikuti, itu termasuk larangan temporer terikat ruang (Hijaz) dan waktu (abad VII M). Benarlah apa yang dikatakan oleh iklan, "terjunlah ke dunia modern dengan minum arak" Lihatlah hasil percobaan itu, cacing mati dalam arak. Supaya tidak cacingan minumlah arak.
***
Kita kenal dalam ilmu manajemen yang disebut SWOT. Itu adalah kependekan dari 4 kata: strength, weakness, opportunity, dan threat, kekuatan, kelemahan, kesempatan dan tantangan. Adapun kekuatan dan kelemahan dipihak yang satu dengan kesempatan dan tantangan pada pihak yang lain merupakan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan. Kekuatan masa lalu membuahkan kesempatan masa depan. Kelemahan masa lalu membuahkan tantangan masa depan. Kekuatan dan kelemahan adalah kajian masa lalu, sedangkan, kesempatan dan tantangan adalah orientasi masa depan. Masa lalu erat kaitannya dengan masa depan, ibarat dua sisi mata uang seperti dikatakan di atas itulah.
Firman Allah: YAYHA ALDZYN AMNWA ATQALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQALLH (S. ALhSYR, 59:18), dibaca: Ya-ayyuhalladzi-na a-manut taquLa-ha waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadin wattaquLa-h (s. alhasyr), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah pada Allah dan wajiblah setiap diri manusia itu mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan, dan taqwalah pada Allah (59:18).
Petunjuk Allah SWT dalam mengkaji fakta masa lalu, dimulai dengan taqwa, dikunci dengan taqwa.
Kita baru saja selesai dengan menunaikan ibadah puasa, yang bertujuan meningkatkan diri orang beriman menjadi bertaqwa. Bahwa dalam seluruh aspek kehidupan, bertaqwa itu sangatlah terpenting, baik menyangkut tataran ruhaniyah maupun menyangkut tataran intelektual. Dengan pengkajian fakta masa lalu berlandaskan taqwa akan menghasilkan: "kekuatan akan dilihat sebagai kekuatan dan kelemahan akan dilihat sebagai kelemahan," karena pengkajian fakta masa lalu disinkronkan antara penglihatan qalbu dalam tataran ruhaniyah dengan penglihatan mata kasar, pengolahan pikiran yang rasional dalam tataran intelektual. Allahumma arina lhaqqa haqqan, ....... wa arina lbaathila baathilan, ....... Ya Allah perlihatkanlah pada kami yang benar itu benar, ....... dan perlihatkanlah pada kami yang salah itu salah, ....... WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 7 Desember 2003