20 Juni 2004

630. Tersungkunya Orde Baru 6 Tahun Silam

Judul di atas itu tertunda-tunda terus untuk dimuat dalam kolom ini, berhubung ketiga nomor seri sebelumnya kurang sedap jika tidak dimuat berturut-turut. Ditulis oleh orang yang tidak mau menonjolkan diri, sehingga dalam gaya ber-"kami" dan ber-"saya".

***

Jakarta, 20 Mei 1998 pagi, kami berada di rumah Pak Malik Fajar. Sementara mahasiswa dan masyarakat sudah menduduki gedung DPR-MPR. Teman-teman yang tergabung dalam Majelis Amanat Rakyat [MAR] lewat Sandra Hamid mendesak agar Pak Amien mau datang ke Senayan untuk berpidato di depan mahasiswa. Sandra memberitahu bahwa Emil Salim dan Adnan Buyung Nasution sudah menyatakan bersedia. Sementara itu, teman-teman yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia [KAMMI] menentang. Mereka mengatakan, orang-orang yang berkumpul di Senayan sangat beragam. Mereka tidak tahu, apakah mereka akan menerima atau justru mempermalukan Pak Amien. Setelah berfikir sejenak, akhirnya Pak Amien memutuskan untuk datang.

Kami berangkat dari rumah Pak Malik sekitar pukul 12.00 WIB, kemudian mampir sejenak di kantor PP Muhammadiyah, terus ke Senayan dengan menggunakan mobil kijang. Jalan-jalan sepi sekali, hanya satu-dua kendaraan yang nampak lewat. Suasana terasa amat mencekam. Kami melalui jalan Medan Merdeka Selatan, kemudian belok kiri menyusuri jalan Thamrin. Tank, panser, dan berbagai kendaraan lapis baja lainnya nampak ditempatkan di berbagai sudut jalan menuju Monas untuk mencegah digunakannya Lapangan Monas oleh para mahasiswa yang akan mengadakan Apel Akbar.

Di depan bekas Hotel Kartika Plaza, kendaraan kami dihentikan oleh sejumlah tentara yang menggenggam senjata laras panjang, dengan barikade kawat berduri di belakangnya. Dengan penuh selidik mereka mengamati mobil kami. Mereka kemudian mendekat dan dengan ramah menjelaskan, bahwa jalan di dekat Semanggi ditutup secara permanen dengan menggunakan balok beton. Mereka memberi saran agar kami berputar, dan masuk lewat jalan Kuningan. Kami segera berbalik. Pak Amien kemudian melambaikan tangannya pada para tentara yang dibalas dengan senyum dan lambaian tangan juga.

Sampai di Jembatan Semanggi, kendaraan harus berjalan perlahan, karena jalan dipenuhi para mahasiswa dan masyarakat yang berbaur dan berjejal sampai di Gedung DPR-MPR. Ketika mereka tahu yang datang Pak Amien, sebagian bersorak gembira yang diselingi oleh sumpah-serapah dan kata-kata kotor yang ditujukan pada Pak Harto. Mereka terus berkerumun mendekat ke mobil, bahkan sebagian menggandoli dan naik ke atas kap mobil, sehingga terdengar suara berderit. Kami yang di dalam berteriak-teriak meminta mereka turun, karena takut mobil akan rinsek. Sementara yang lainnya terus berusaha membukakan jalan.

Sesampainya di depan gerbang DPR/MPR, seorang petugas dari kesatuan Marinir membukakan pintu dan mempersilahkan mobil masuk. Puluhan wartawan terus mengarahkan kameranya ke wajah Pak Amien yang duduk di depan dengan kaca mobil yang sengaja dibuka. Pak Amien lalu dipersilahkan untuk naik ke podium. Dalam pidatonya sekitar dua puluh menit itu, ditutup dengan kalimat: Soeharto harus segera turun.....turun......turun.....!"

Pak Amien kemudian kembali ke kantor PP Muhammadiyah, di mana sejumlah tamu dan wartawan baik dalam maupun luar negeri sudah menanti. Pak Amien diwawancarai secara bergantian, sambil menerima tamu di sela-sela wawancaranya. Melihat wajahnya begitu lelah, dr Soegiat menawarkan Pak Amien untuk beristirahat di Rumah Sakit Islam Jakarta [RSIJ]. Pak Amien setuju dan langsung berangkat ke sana. Beliau kemudian beristirahat di salah satu kamar VIP di rumah sakit itu.

Menjelang pukul 24.00 WIB, telepon genggam saya berdering, terdengar suara Pak Malik yang meminta berbicara dengan Pak Amien. Saya langsung menyerahkannya pada Pak Amien. Tanpa memberikan jawaban, ia langsung menutup telepon itu, sembari memberikan isyarat untuk segera berangkat. Sesampainya di Jalan Indramayu, kediaman Pak Malik, saya sangat kaget. Sejumlah Pasukan Pengawal Presiden [Paswalpres] dengan posisi siaga menyandang senjata laras panjang berdiri di situ. Hanya Pak Amien yang diizinkan masuk, sementara yang lainnya harus menunggu di luar.

Ternyata Yusril Ihza Mahendra yang datang membawa pesan Pak Harto. Ia menanyakan sikap Pak Amien: Jika beliau mundur, apakah Pak Amien dapat menerima Wakil Presiden Habibie menggantikan posisinya? Tanpa berfikir panjang, Pak Amien langsung menyatakan dapat menerimanya. Yusril kemudian langsung kembali menghadap Pak Harto.

21 Mei 1998, pukul 09.00 WIB, bertempat di Credentials Room, Pak Harto menyatakan "berhenti" dari jabatannya sebagai Presiden. Sesaat kemudian Wakil Presiden BJ Habibie dilantik menjadi Presiden RI ketiga. Pak Amien yang menyaksikan detik-detik bersejarah itu lewat layar TV langsung mengucap syukur: "Alhamdulillah." Sementara Pak Syafii Maarif yang duduk di sebelahnya tidak mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali matanya yang terus berkaca-kaca.

***
Itulah dia nostalgia, namun bukan hanya sekadar nostalgia biasa, melainkan nostalgia yang "dlarutkan" dalam Firman Allah:
-- WLTNZHR NFS MA QAMT LGHD (S. ALhSYR, 18), dibaca: waltanzhur nafsum ma- qaddamat lighadin, artinya: dan mestilah setiap diri manusia itu mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan (59:18). WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 20 Juni 2004