6 Februari 2005

662. Surah Al Baqarah, [2:188]

Sebenarnya judul di atas disediakan menyusul Seri 651 yang berjudul "Alangkah Ni'matnya 'IydulFithri", tetapi tertunda terus. Fasalnya judul di atas tetap aktual, yaitu tolok ukur mengenai hasilnya puasa kita. Sedangkan pelarangan film Virgin oleh Wali Kota kemudian diizinkan kembali, tangan-tangan gurita, masalah pusar perempuan, aktualnya cuma sepemakan sirih lamanya, gempa dan tsunami telah bayak di bahas, maka menurut hemat saya judul di atas itu sudah tepat waktunya untuk disajikan sekarang.

***

Hadits yang berikut sering saya kemukakan dalam ceramah "halal bi halal". Saya taruh ungkapan itu di antara dua tanda kutip, maksudnya walaupun ungkapan itu kata-katanya adalah bahasa Al Quran, tetapi setelah disusun seperti itu menjadilah ungkapan bahasa Indonesia, bukan ungkapan bahasa Al Quran lagi. Umumnya orang tidak mengetahui bahwa gubahan ungkapan itu adalah kreasi Bung Karno.

Bersabda RasuluLlah SAW di depan majlis para sahabat: "Atadruwna man almuflis?" (tahukah kamu siapa itu almuflis). Maka menyahutlah salah seorang sahabat: "Al muflisu fiynaa man laa dirhamlahu wa laa mataa'" (al muflis pada kami yaitu siapa yang tak punya dirham dan tak punya harta benda). Maka selanjurnya bersabda lagi beliau: "Itu almuflis di dunia ini," lalu diteruskan oleh beliau: Al muflis pada hari kiamat yaitu orang yang datang dengan pahala-pahalanya: bishala-tin, wazakaatin, wa shiyaamin. Akan tetapi faqad syatama hadza, qadzafa hadza, dharaba hadza, safaqa daama hadza, akala maala hadza (ia telah menyindir, membentak, memukul, menumpahkan darah natoboki tauwa, dan makan harta orang lain). Maka datanglah seorang demi seorang menagih kepadanya, yang dibayarnya dengan pahala-pahala shalatnya, zakatnya dan puasanya. Setelah habis pahala-pahala itu dipakai untuk membayar hutangnya, maka muflislah dia. Sudah muflis masih ada yang datang menagih, maka cara bayarnya, dosa orang menagih itu ditimpakan kepada si muflis. Akhirnya setelah selesai transaksi itu "faturihat finnaar" (dia dicampakkan ke neraka).

Dalam ceramah saya yang selalu saya beri kesempatan tanya-jawab biasanya ada yang bertanya: "Bagaimana kalau seorang Ustadz menyindir orang dalam ceramahnya, membentak dalam tulisannya?" maka selalu saya jawab: Bayar-membayar di Hari Pengadilan itu adalah dalam masalah pribadi. Kalau seorang Ustadz menyindir dalam ceramah atau khutbahnya, membentak dalam tulisannya, maka itu dalam rangka nahi mungkar, tidak ada hubungannya dengan masalah pribadi. Terutama sekali bentakan terhadap orang yang menghina dan mencerca Islam dan kaum Muslimin, itu wajib hukumnya.

Apa yang akan dikemukakan selanjutnya ialah "syatama" yang telah saya paparkan di TVRI stasiun Makassar, yang diulang kembali penayangannya pada pembukaan siaran petang hari tgl 31 Januari 2005 yang baru lalu. Firman Allah SWT:
-- WLA TAaKLWA AMWALKM BYNKM BALBTHL WTDLWA BHA ALY ALhKAM LTAaKLWA FRYQA MN AMWAL ALNAS BALATSM WANTM T'ALMWN (S. ALBQRt, 2:188), dibaca: wala- ta'kulu- amwa-lakum bainakum biba-thili watudlu- biha- ilal hukka-mi lita'kulu- fari-qam min amwa-lin na-si bil itsmi wa antum ta'lamu-n, artnya: Dan janganlah di antara kamu makan harta-harta (orang lain) dengan batil (dengan cara) kamu bawa kepada hukkam supaya dapat kamu makan sebagian dari harta-harta orang-orang dengan berdosa, padahal kamu mengetahuinya.

Ayat (2:188) itu adalah ayat penutup dari paket ayat-ayat tentang puasa Ramadhan (2:183-188), yaitu substansinya tentang evaluasi puasa kita yang tolok ukurnya berhasil menghindarkan diri dari "ta'kulu- amwa-lakum", kamu makan harta-harta (orang lain), atau dalam Hadits Muflis "akala maala", makan harta. Dalam

ceramah yang disajikan melalui siaran RVRI stasiun Makassar tersebut, saya kemukakan illustrasi yang masih aktual terjadi di mana-mana. Rakyat pedalaman berurbanisasi ke kota menempati lahan yang masih "perawan" di pinggir-pinggir kota. Mereka mengeringkan tanah berpayau, menimbun lahan-lahan rendah, bermukim turun-temurun. Kasihan mereka buta hukum menghadapi roda besi pembangunan fisik kota. Karena mereka buta hukum mereka tidak mengurus surat-surat izin membangun di lahan yang telah dikeringkan, yang telah ditimbun, yang ditempatinya bermukim turun-temurun.

Para pengembang dengan jeli dan licik melihat lahan-lahan yang secara hukum masih bebas untuk digarap, dengan mudah mendapatkan serifikat izin membangun dengan jalan memberikan obat pelicin pada oknum birokrat dan dengan alasan pajak yang bisa diterima oleh lembaga negara maka izin membangun itupun jadilah. Maka tergusurlah penduduk yang bermukim di daerah pinggiran kota itu. Bahkan ada yang secara kejam memakai taktik "pendekar lima" dalam kesusastraaan Angkatan Balai Pustaka, karya Mara Rusli, yaitu roman Sitti Nurbaya. Para penduduk yang malang itu ibarat berebut pisau dengan pengembang di hadapan hukkam: Penduduk malang itu memegang mata pisau yang tajam, pengembang memegang gagang pisaunya, karena punya kekuatan hukum bukti yuridis Surat Izin Membangun Bangunan (IMB).

Nah, Itulah dia: "tudlu- biha- ilal hukka-mi lita'kulu- fari-qam min amwa-lin na-si bil itsmi wa antum ta'lamu-n." WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 6 Februari 2005