3 Desember 2006

756. Nasr Hamid Abu Zayd

Firman Allah swt::
-- MN ALDzYN FRQWA DYNHM (S. ALRWM, 30:32), dibaca:
-- minal ldzi-na farrqu- di-nahum (tanda - dipanjangkan) , artinya:
-- (orang-orang musyrik) Yaitu yang memecah-belah agama mereka[1169]
-------
[1169] Maksudnya: meninggalkan agama tauhid dan menganut pelbagai kepercayaan menurut hawa nafsu mereka. Ini catatan kaki terjemahan dari Departemen Agama RI.

Saya tambah penjelasannya:
Memecah-belah agama, maksudnya ajaran Islam dipecah dicampur dengan berbagai kepercayaan dan ideologi menurut bikinan manusia, seperti, sekularisme, liberalisme, pluralisme, kejawen, ajaran anand kreshna, dll., serta ajaran nabi-nabi palsu, seperti Mirza Ghulam Ahmad, Mirza Ali Muhammad, Bahaullah, Lia Aminuddin.

***

Dipetik dari surat Ulil Abshar-Abdalla, pengelola Jaringan Islam Liberal (JIL): Kami meneruskan dan sekaligus menyertai langkah-langkah yang ditempuh oleh orang-orang seperti Muhammad Abduh, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali, Fazlur Rahman, Qasim Amin, Mohammad Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Sa'id Al-'Asymawi, Jamal al-Banna, Abdullahi Ahmed Anna'im, Fatima Mernissi, Riffat Hassan, Amina Wadud, Tareq Ramadan, Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, KH. Ibrahim Hosein M. Hasbie Asshiddiqie, Harun Nasution, Abdul Aziz Sachedina, Fareed Essack, Ebrahim Moosa, Khaled Abou El-Fadl, dan para sarjana lain yang tersebar di seluruh penjuru dunia.

Ulil menyisipkan nama-nama seperti Muhammad Abduh, Tariq Ramadhan KH. Ibrahim Hosein M. Hasbie Asshiddiqie sebagai tameng. Sebenarnya nama-nama para pemikir liberal dapat dilihat pada petikan dari Hidayatullah. com:

Beberapa hari lalu, Menteri RI Maftuh Basuni memberikan sinyal akan mengubah kurikulum di perguruan tinggi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Sebagaimana diketahui, sorotan masayarakat terhadap lembaga kampus Islam ini dalam dua tahun terakhir datang dari mana-mana. Rektor UIN Yogyakarta baru saja menerbitkan buku Islamic Studies. Isinya memuja dan menjadikan pemikiran para pemikir liberal, seperti Nasr Hamid Abu Zayd, Mohammed Arkoun, Fazlur Rahman, Fatima Mernisi, Syahrur, sebagai rujukan, tanpa sikap kritis. Nasr Hamid yang di Mesir sudah divonis murtad dan banyak dikritik,(*) di sini malah diagung-agungkan.

***

Siapa sebenarnya Nasr Hamid Abu Zayd? Ia orang Mesir asli, lahir di Tantra, 7 Oktober 1943. Pendidikan tinggi, dari S1 sampai S3, jurusan sastra Arab, diselesaikannya di universitas Cairo, tempatnya mengabdi sebagai dosen sejak 1972. Namun ia pernah tinggal di Amerika selama dua tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institute of Middle Eastern Studies, University of Pennsylvania. Abu Zayd mengakui pengalamannya belajar di Amerika sungguh-sungguh membawa hasil, dan ia menyatakan sangat berhutang budi atas kesempatan yang diberikan kepadanya itu. Di sanalah ia terbelalak matanya bertemu ilmu yang belum pernah terlintas dalam benaknya selama ini, yaitu hermeneutika. Baginya, hermeneutika adalah ilmu baru yang bermanfaat dalam berolah otak. "My academic experience in the United States turned out to be quite fruitful. I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science of interpreting texts, opened up a brand-new world for me. I owe much of my understanding of hermeneutics to opportunities offered me during my brief sojourn in the United States"

Keputusan Mahkamah al-Isti'naf Qahirah (Cairo) menyatakan Abu Zayd telah keluar dari Islam alias murtad. Abu Zayd mengajukan banding. Sementara itu, Front Ulama al-Azhar yang beranggotakan 2000 alim ulama, meminta Pemerintah turun tangan: Abu Zayd mesti disuruh bertaubat atau-kalau yang bersangkutan tidak mau-maka ia harus dikenakan hukuman mati. Tidak lama kemudian, 23 Juli 1995, bersama istrinya, Abu Zayd terbang melarikan diri ke Madrid, Spanyol, sebelum akhirnya menetap di Leiden, Belanda, sejak 2 Oktober 1995 sampai sekarang. Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan yang sama: Abu Zayd dinyatakan murtad.

Menurut Dr.M. Emarah, dari sudut latarbelakang pemikiran, Nasr merupakan seorang kader "Sosialis"-" Marxis" Arab muda, sehingga kunci untuk memahami pemikiran Nasr ada pada methodologi dialektika Marxisme-Materialis me yang ia gunakan dalam menelaah al-Qur'an, kenabian dan wahju, aqidah, syari'ah, serta "historiografi" nash-nash dan hukum. Dari sudut latarbelakang pemikiran, Nasr merupakan seorang kader "Sosialis"-" Marxis" Arab muda.

Nasr menjelaskan bahwa al-Quran adalah hasil budi daya atau produk budaya, yaitu Al Quran terbentuk dalam realita dan budaya selama dua puluh tahun. Jadi menurut Nasr budaya menjadi fa'il (subyek), sedangkan Al Quran hanya merupakan maf'ul (obyek). Nasr beranggapan bahwa kenabian tidaklah melampaui batas undang-undang materi dan tabi'at serta realita, sesungguhnya ia hanya merupakan tingkatan yang kuat dari ingkatan-tingkatan khayal yang timbul dari efektifitas daya khayal manusia. Para Nabi adalah sejenis dengan sufi, pujangga dan paranormal yang daya khayal mereka hanya berbeda secara gradual. Efektivitas daya khayal manusia, yang dimiliki oleh para Nabi, sufi, pujangga dan paranormal masih dalam konteks pilihan dan fitrah. Perbedaan antara para Nabi, sufi, pujangga dan paranormal dengan manusia biasa hanyalah dalam hal para Nabi, sufi dan pujangga mempunyai kemampuan pengkhayalan yang lebih tinggi dibanding manusia biasa. Kekuatan khayal orang-orang biasa tidak dapat mencapai puncaknya kecuali saat mereka tidur karena dalam kondisi seperti ini semua indera sedang tidak aktif untuk sibuk memindahkan pengalaman-pengalam an dari alam luar ke dalam. Sedangkan Nabi, sufi, pujangga dan paranormal mampu menggunakan kemampuan efektifitas khayalan dibanding orang-orang lainnya, baik dalam kondisi tidur ataupun sedang bangun.

Ini semua menguatkan bahwa pemikiran Nasr bertumpu pada paradigma filsafat positivisme, menganggap fenomena wahyu bukanlah merupakan fenomena yang berbeda dengan realitas dalam arti yang dapat dideteksi oleh panca-indera, bukan sesuatu yang terjadi diluar undang-undang materialisme. Konsekwensinya bagi Nasr aqidah dibangun diatas landasan persepsi-persepsi "mitos", dalam kebudayaan komunitas manusia, sehingga aqidah sifatnya tidaklah konstan. Aqidah sangat terkait dengan dinamika komunitas. Demikianlah Nasr menentang "absolotisme" .

Ada hal yang kontradiktif dalam sistem berpikir Nasr, yaitu ia menentang "absolutisme" akan tetapi pada sisi lain ia menganggap benar secara absolut metode dialektika dalam menganalisis historische materialisme. Adapun strategi untuk menyungkurkan pola-pikir Nasr adalah dengan menebas teori dialektika historische materailisme dengan senjata latar belakang sejarah juga. Hal ini telah dikemukakan dalam Seri 418, berjudul: Pandangan Marxisme Tentang Sejarah dan Negara. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***

Makassar, 3 Desember 2006
-------------------------------
(*)
Mahkamah Agung Mesir pada 5 Agustus 1996 mengeluarkan keputusan: Abu Zayd dinyatakan murtad dan perkawinannya dibatalkan. Dalam putusan tersebut, kesalahan-kesalahan Abu Zayd disimpulkan sebagai berikut:

1. Berpendapat dan mengatakan bahwa perkara-perkara ghaib yang disebut dalam al-Qur'an seperti 'arasy, malaikat, syaitan, jinn, surga dan neraka adalah mitos belaka.

2. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur'an adalah produk budaya (muntaj tsaqafi), dan karenanya mengingkari status azali al-Qur'an sebagai Kalamullah yang telah ada dalam al-Lawh al-Mahfuz.

3. Berpendapat dan mengatakan bahwa al-Qur'an adalah teks linguistik (nashsh lughawi) [Ini sama dengan mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah berdusta dalam menyampaikan wahyu dan al-Qur'an adalah karangan beliau].

4. Berpendapat dan mengatakan bahwa ilmu-ilmu al-Qur'an ('ulum al-Qur'an), adalah "tradisi reaktioner" serta berpendapat dan mengatakan bahwa Syari'ah adalah faktor penyebab kemunduran Umat Islam.

5. Berpendapat dan mengatakan bahwa iman kepada perkara-perkara ghaib merupakan indikator akal yang larut dalam mitos.

6. Berpendapat dan mengatakan bahwa Islam adalah agama Arab, dan karenanya mengingkari statusnya sebagai agama universal bagi seluruh umat manusia.

7. Berpendapat dan mengatakan bahwa teks al-Qur'an yang ada merupakan versi Quraisy dan itu sengaja demi mempertahankan supremasi suku Quraisy.

8. Mengingkari otentisitas Sunnah Rasulullah Saw.

9. Mengingkari dan mengajak orang keluar dari otoritas "teks-teks agama" [maksudnya: al-Qur'an dan Hadits].

10. Berpendapat dan mengatakan bahwa patuh dan tunduk kepada teks-teks agama adalah salah satu bentuk perbudakan.

Kesepuluh butir itu digali dari karangan Abu Zayd:
[1] "al-Ittijah al-'Aqliy fi-t Tafsir: Dirasah fi Mafhum al-Majaz 'inda al-Mu'tazilah." Beirut 1982 (Rasionalisme dalam Tafsir: Studi Konsep Metafor menurut Mu'tazilah)
[2] "Falsafah at-Ta'wil: Dirasah fi Ta'wil al-Qur'an 'inda Muhyiddin ibn 'Arabi." Beirut, 1983 (Filsafat dan a'wil: Studi ta'wil al-Qur'an menurut Muhyiddin ibn 'Arabi),
[3] "Mafhum an-Nashsh: Dirasah fi 'Ulum al-Qur'an." Qahirah 1987 (Konsep Teks: Studi Ulumul Qur'an)
[4] "Isykaliyyat al-Qira'ah wa Aliyyat Hermeneutic. Qahirah, 1992 (Problematika Pembacaan dan Mekanisme hermeneutik)
[5] "Naqd al-Khithab ad-Diniy." 1992 (Kritik Wacana Agama)
[6] "al-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis Aidulujiyyat al-Wasathiyyah." Qahirah 1992 (Imam Syafi'i dan Peletakkan Dasar Ideologi Tengah)