19 September 2010

940. 'Iyd al-Fithr, Halalbihalal dan Muflis

Menurut kebiasaan hingga pertengahan bulan Syawwal, dua pekan setelah Shalat 'Iyd al-Fithr kita masih dalam suasana halalbihalal. Apa relevansinya antara 'Iyd al-Fithr dengan halalbihalal? 'Iyd al-Fithr kembali ke fithrah ibarat kertas putih bersih dari dosa, itu kalau dilakukan syaratnya, yaitu: Barang siapa berpuasa Ramadhan dengan iman dan menghisab diri, maka diampuni dosanya yang telah liwat (HR Al-Bukhari). Ada dua jenis dosa, yaitu langsung dan tidak langsung. Kalau minum khamar (mabuk atau tidak mabuk) dosanya masuk kategori dosa langsung, maka kalau bertobat bisa diampuni Allah. Tetapi kalau waktu mabuk dia pukul orang maka inilah dosa yang tidak langsung. Allah tidak akan mengampuni walaupun dia bertobat, jika orang yang teraniaya tadi tidak memaafkannya secara ikhlas. Itulah relevansinya antara 'Iyd al-Fithr dengan halalbihalal.
 
***
 
Apakah halalbihalal itu bahasa Arab? Ya dan tidak. Kalau kata-kata itu tersusun seperti itu, maka itu bukan bahasa Arab melainkan ungkapan bahasa Indonesia. Kalau kata-kata itu berdiri sendiri, maka jawabnya: ya. Jarang orang tahu bahwa ungkapan tersebut adalah hasil kreasi Bung Karno. Sebenarnya kalau menilik pada Hadits Shahih, maka hasil kreasi Bung Karno itu ada juga landasannya.
 
Dari Abi Hurairah berkata, bersabda RasuluLlah SAW:  Siapa yang pernah berbuat kezhaliman terhadap orang baik menyangkut kehormatan atau perkara-perkara lainnya, maka hendaklah ia meminta kehalalan dari orang tersebut pada hari ini (di dunia) sebelum (datang suatu hari di mana di sana) tidak ada lagi dinar dan tidak pula dirham (untuk menebus kesalahan yang dilakukan, yakni pada hari kiamat). Bila ia memiliki amal shalih diambillah amal tersebut darinya sesuai kadar kezhalimannya (untuk diberikan kepada orang yang dizhaliminya sebagai tebusan/pengganti kezhaliman yang pernah dilakukannya). Namun bila ia tidak memiliki kebaikan maka diambillah kejelekan/dosa orang yang pernah dizhaliminya lalu dipikulkan kepadanya" (HR Al-Bukhari).
 
Perhatikan untaian kata dalam Shahih Bukhari yang dikutip di atas itu:  "meminta kehalalan." Meminta kehalalan, kalau dilakukan timbal balik yaitu saling menghalalkan, halal dibalas dengan halal, maka itulah halalbihalal, saling memaafkan dengan ikhlas. Lalu apa akibatnya kalau dosa tak langsung itu tidak terselesaikan di dunia ini? Maka itu diselesaikan / membayar hutang pada hari kiamat seperti Shahih Bukhari yang dikuip di atas itu.
 
Dalam hubungannya membayar hutang pada hari kiamat ini ada Hadits yang lebih teperinci:
Rasulullah bersabda: "Tahukah kalian siapakah al-muflis (bangkrut) itu?" Mereka menjawab: "Al-muflis di kalangan kami adalah orang yang tidak memiliki dirham dan tidak pula memiliki harta/barang." Rasulullah bersabda: "Sesungguhnya al-muflis dari ummatku adalah orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa pahala shalat, puasa, dan zakat. Namun ia juga datang dengan membawa dosa kezhaliman. Ia pernah mencerca (syatama) si ini, menuduh tanpa bukti (qadzafa) terhadap si itu, memakan harta (akala maala) si anu, menumpahkan darah (safaqa daama) orang ini dan memukul (dharaba) orang itu. Maka sebagai tebusan atas kezhalimannya tersebut, diberikanlah di antara kebaikannya kepada si ini, si anu dan si itu. Hingga apabila kebaikannya telah habis dibagi-bagikan kepada orang-orang yang dizhaliminya sementara belum semua kezhalimannya tertebus, diambillah kejelekan/ kesalahan yang dimiliki oleh orang yang dizhaliminya lalu ditimpakan kepadanya, kemudian ia dicampakkan ke dalam neraka (faturihat finnaar)" (HR Muslim).
 
***
 
Paket ayat-ayat tentang puasa ditutup dengan:
-- WLA TAaKLWA AMWALKM BYNKM BALBThL WTDLWA BHA ALY ALhKAM LTAaKLWA FRYQA MN AMWAL ALNAS BALATsM WANTUM T'ALMWN (S. ALBQRt, 2:188), dibaca: wa laa ta'kuluu amwaalakum bainakum bilbaathili wa tudluu bihaa ilal hukkaami lita'kuluu fariiqam min amwaalin naasi bilitsmi wa antum ta'lamuun, artinya:
-- Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
 
Para koruptor yang akala maala uang rakyat yang di dunia ini lolos dari pranata hukum, akan menjadi muflis di akhirat kelak.
 
Rakyat pedalaman berurbanisasi ke kota menempati lahan yang masih "perawan" di pinggir-pinggir kota. Mereka mengeringkan tanah berpayau, menimbun lahan-lahan rendah, bermukim turun-temurun. Kasihan mereka buta hukum menghadapi roda besi pembangunan fisik kota. Karena mereka buta hukum mereka tidak mengurus surat-surat izin membangun di lahan yang telah dikeringkan, yang telah ditimbun, yang ditempatinya bermukim turun-temurun.
 
Para pengembang dengan jeli dan licik melihat lahan-lahan yang secara hukum masih bebas untuk digarap, dengan mudah mendapatkan serifikat izin membangun dengan jalan memberikan obat pelicin pada oknum birokrat dan dengan alasan pajak yang bisa diterima oleh lembaga negara maka izin membangun itupun jadilah. Para penduduk yang malang itu ibarat berebut pisau dengan pengembang di hadapan hukkam: Penduduk malang itu memegang mata pisau yang tajam, pengembang memegang gagang pisaunya, karena punya kekuatan hukum bukti yuridis Surat Izin Membangun Bangunan (IMB). Maka tergusurlah penduduk yang bermukim di daerah pinggiran kota itu.
 
Para polisi yang qadzafa (merekayasa orang menjadi tersangka), safaqa daama dan dharaba terperiksa akan dibayar pula pada hari kiamat.
 
Nah, itulah semua: "akala maala" dengan protap: "tudluu bihaa ilal hukkaami lita'kuluu fariiqam min amwaalin naasi bil itsmi wa antum ta'lamuun", dan "qadzafa, safaqa daama, dharaba", akan berakibat: "faturihat finnaar".  WaLlahu a'lamu bisshawab.
 
*** Makassar, 19 September 2010