15 Mei 2011

973 Sejuk dan Keras yang Seimbang

Syari'at Islam ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yaitu sejuk dan keras yang seimbang. Allah SWT adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada sejuk. Allah SWT adalah Al Qahhar, Maha Gagah Perkasa. Dalam konteks ini ayat-ayat Al Quran bernada keras, seperti contoh ayat yang berikut:

-- QATLWHM Y'ADZBHM ALLH BAYDYKM WYKHZHM (S. ALTWBT, 9:14), dibaca: qaatiluuhum yu'adzdzibhumuLlaahu biaydiikum wayukhzihim (S. At-taubah), artinya:
-- Perangilah mereka itu niscaya Allah menyiksa mereka dengan tanganmu, dan menghinakan mereka.
Ayat ini ditujukan kepada para agressor yang memerangi ummat Islam.
 
S. At-Taubah adalah satu-satunya Surah dalam Al-Quran yang tidak dibuka dengan Basmalah. Namun ini ditebus oleh S. An-Naml yang mengandung dua Basmalah, satu pada pembukaan Surah dan satu pada ayat 30, sehingga jumlah Basmalah tetap = jumlah Surah, yaitu 114 = 6 x 19. Hubungan S. At-Taubah bernomor 9 dengan S. An-Naml bernomor 27 juga unik yaitu dikontrol oleh angka keterkaitan matematis bilangan 19. Apabila nomor masing-masing Surah dari Surah ke-9 s/d ke-27 disusun secara Deret Hitung: (9+10+11+12+...+24+25+26+27) maka hasilnya adalah 342 = 18 x 19.
 
S. At-Taubah yang tidak dibuka dengan Basmalah, merupakan ciri khas yaitu petunjuk bagaimana bersikap dalam keadaan perang. Bagaimanapun juga Negara Islam Madinah oleh kenyataan sejarah pernah dalam situasi perang yang bersifat defensif, sehingga Allah SWT perlu menurunkan pedoman bersikap dan bertindak dalam situsasi perang. Maka ayat-ayat dalam S. At-Taubah yang menyangkut tentang perang, harus dimaknai dalam konteks situasi dan dalam wilayah perang (Dar al-Harb).
 
Islamic anger at the West is a product of Western oppression of Muslims. Time magazine proclaims that "terrorism is the bitter howl of the victimized." (kemarahan ummat Islam kepada Barat adalah produk tindasan kezaliman Barat atas ummat Islam. Time magazine menyatakan: "terorrisme adalah teriakan pahit dari para korban)
http://frontpagemag.com/Articles/ReadArticle.asp?ID=7966
 
Kita sekarang akrab dengan sebuah lembaga baru yang bernama Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Mengapa kita katakan akrab, karena para petingginya sering muncul di layar kaca menjadi "artis". BNPT dibentuk melalui kepres No. 46 tahun 2010, resmi di teken Presiden tanggal 16 Juli 2010. Dan sejak itu menyangkut isu-isu terkait "terorisme" orang-orang BNPT sering tampil di muka media. Ketua BNPT, Ansyad Mbai laksana seorang orator politik, banyak membangun opini dan propaganda yang tendensius dengan sejumlah kepentingan politiknya ketimbang bicara fakta. Sejauh ini belum terbuka di hadapan publik tentang mekanisme kontrol terhadap kerja lembaga BNPT.
 
Hal yang menarik dari BNPT, keseriusannya melakukan langkah "lembut" dibawah payung strategi yang bernama "deradikalisasi". Sebuah strategi bagian dari proyek "kontra-terorisme". Selama ini pendekatan secara keras oleh Densus88 dianggap belum bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah kepada tindakan "terorisme". Bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Fasalnya setelah terpidana menjalani hukuman, keluar penjara ada yang tetap radikal, lalu menjadi "teroris" lagi.
 
Strategi yang ditempuh, obyek sasaran jangka panjangnya BNPT yaitu kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal atau fundamentalis. Terkait dengan ini ditempuhlah pendekatan formal, yaitu langkah BNPT menggandeng MUI di akhir 2010 dengan membuat program Halaqah Nasional Penanggulangan Terorisme dan Radikalisme. Acara ini diselenggarakan di enam kota besar Indonesia, meliputi Jakarta (11 Nopember), Solo (21 Nopember), Surabaya (28 Nopember), Palu (12 Desember) dan terakhir di Medan (30 Desember) tahun lalu.
 
BNPT menggandeng MUI, maksudnya ini adalah Proyek BNPT, namun dikesankan kepada publik bahwa penggagas acara ini diatas namakan MUI Pusat dan Forum Komunikasi Praktisi Media Nasional (FKPMN) yang di ketuai oleh Wahyu Muryadi (Pimred Majalah Tempo). Ketika agenda ini berlangsung, fakta berbicara lain, hampir disemua tempat mendapatkan resistensi dari kalangan ulama dan tokoh masyarakat yang cukup kritis, karena melihat banyak kesenjangan dan kejanggalan antara "niat baik" BNPT dengan fakta dilapangan yang membuat umat Islam merasa terzalimi.
 
Sebenarnya strategi "deradikalisasi" BNPT yang diarahkan kepada kelompok yang dianggap mengusung ideologi radikal atau fundamentalis, itu ibarat lain yang gatal, lain yang digaruk. Mengapa? Karena seperti dikemukakan di atas bahwa Syari'at Islam ibarat dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, yaitu sejuk dan keras yang seimbang. Sehingga jika salah satu dari keduanya diredam akan terjadi kepincangan. Kalau yang sejuk diredam, maka ummat Islam akan menjadi agresif, sebaliknya jika yang keras diredam maka ummat Islam akan jadi loyo. 
 
Jadi strateginya bukan "deradikalisasi" melainkan:
 
Pertama diberikan pemahaman kepada para "teroris" itu bahwa Indonesia ini bukan Dar al-Harb. Dan ulama yang cocok untuk memberikan pengertian kepada mereka bahwa Indonesia ini bukan Dar al-Harb, adalah ulama semacam al-Ustadz KH Abu Bakar Ba'asyir. Sayangnya beliau itu dimusuhi dikriminalisasi.
 
Yang kedua seperti dikutip dari => http://frontpagemag.com/Articles/ReadArticle.asp?ID=7966 di atas: kemarahan ummat Islam kepada Barat adalah produk tindasan kezaliman Barat atas ummat Islam: "terorrisme adalah teriakan pahit dari para korban." Maka kebijakan politik luar negeri Eksekutif janganlah "bermesrahan" dengan Barat. Janganlah pakai pradigama ucapan legendaris: "I love the United States, with all its faults. I consider it my second country," yaitu jawaban SBY sewaktu ditanyai
oleh the International Herald Tribune. WaLlahu a'lamu bishshawab.
 
*** Makassar, 8 Mei 2011