Kalau dalam seri yang lalu dijelaskan bahwa berlandaskan iman, gravitasi dalam pesawat ulang-alik itu tetap ada dan tetap bekerja, maka dalam seri ini akan dijelaskan pula berdasarkan ilmu mekanika bahwa dalam kapal itu tetap ada dan tetap bekerja gravitasi itu. Penjelasan ini akan disajikan dengan gaya ilmiyah populer, seperti yang telah saya janjikan pada hari Ahad yang lalu.
Bayangkanlah sebuah menara yang puncaknya tinggi sekali. Naiklah ke puncaknya dan jatuhkanlah batu. Maka batu itu dengan bebas jatuh lurus ke bawah dan tiba di tanah dekat kaki menara. Ini sudah diamati oleh nenek moyang kita, bukan hanya Galileo Galilei saja. Buktinya? Ada pepatah: Buah itu jatuhnya tidak jauh dari pokok pohon. Akan berbeda jika dari ketinggian itu batu itu dilempar mendatar sejajar dengan muka bumi. Batu itu akan menempuh lintasan yang dikenal dalam ilmu mekanika sebagai lintasan peluru. Makin besar kecepatan permulaan waktu melempar itu makin jauh pula letak jatuhnya batu itu dari kaki menara. Kalau kecepatan permulaan itu ditambah terus akan tiba saatnya batu itu akan jatuh meliwati lengkungan permukaan bumi. Dan dalam keadaan yang demikian itu batu itu akan jatuh bebas terus-menerus tidak ada henti-hentinya. Inilah yang disebut mengedari atau mengorbit bumi. Karena proses jatuh bebas itu disebabkan oleh gravitasi, maka jatuh bebas terus menerus atau mengorbit itu juga karena gravitasi. Jadi kapal ulang-alik dan seluruh isinya itu mengorbit bumi itu karena pekerjaan gravitasi. Artinya terhadap benda-benda termasuk manusia yang mengorbit bersama-sama dengan kapalnya itu, gravitasi itu bekerja. Ini kalau ditinjau dengan berpatokan kita ada di bumi yang melihat pesawat ulang-alik itu seluruhnya jatuh bebas terus-menerus oleh gravitasi. Mengambil bumi sebagai patokan terhadap gerakan disebut bahwa bumi itu menjadi pusat sistem koordinat.
Lalu bagaiman jika patokan itu bukan bumi melainkan ruang di dalam pesawat ulang-alik yang mengorbit bumi? Ini dinamakan dalam ilmu mekanika dengan transformasi sistem koordinat. Jadi para astronaut itu mempratekkan transformasi sistem koordinat. Mulanya mereka di bumi lalu masuk ke dalam pesawat ulang alik yang dilempar keluar untuk mengorbit bumi. Bagi mereka para astronaut di dalam kapal itu keadaan tanpa bobot atau kehilangan berat tidak identik pengertiannya dengan tidak ada gravitasi. Kalimat terakhir yang digaris bawahi ini perlu penjelasan.
Seluruh kemampuan gravitasi itu telah dipakai untuk menyebabkan kapal ulang-alik dengan segala isi yang di dalamnya jatuh bebas terus menerus atau mengorbit itu. Jadi hasil karya gravitasi tidak dapat lagi dirasakan oleh para astronaut itu sebagai suatu bobot oleh karena seluruh kemampuan gravitasi itu telah habis dipakai untuk mengorbit seperti dikatakan di atas. Lalu apa itu yang kita sebut dengan bobot atau berat. Kalau kita berdiri di atas permukaan bumi atau apa saja yang melekat di bumi, maka badan kita disanggah oleh tempat kita tegak itu. Gravitasi menarik kita ke bawah, badan kita disanggah maka kita akan merasakan tekanan. Inilah yang disebut bobot. Kalau kita jatuh bebas badan kita tidak disanggah oleh apapun juga, lalu kita tidak merasakan ada tekanan di telapak kaki, sehingga kita katakanlah dalam keadaan tanpa bobot. Demikianalah penjelasan tentang pemahaman keadaan tanpa bobot atau kehilangan berat tidak identik pengertiannya dengan tidak ada gravitasi.
Penjelasan tentang ilmu mekanika yang bergaya esei sudah dipaparkan dengan segenap kemampuan saya secara maximal. Selanjutnya akan diberikan penjelasan tambahan bagi mereka yang ada minatnya sedikit kepada rumus-rumus sederhana. Kita mulai dengan persamaan yang sangat mendasar:
F = ma, ini adalah pernyataan matematik untuk menggambarkan keadaan yang dinamik. Pernyataan tersebut dikenal dengan Hukum Newton yang Kedua. F adalah simbol untuk gaya, penyebab gerak suatu benda. Kemudian m adalah simbol dari massa yang lamban (innertial mass). Mengapa dikatakan lamban oleh karena benda itu tidak penurut untuk begitu saja mengikuti kemauan gaya itu. Lalu seterusnya a adalah percepatan, yaitu hasil karya gaya terhadap benda yang lamban itu. Untuk benda yang mengorbit yaitu bergerak melintasi lingkaran dengan kecepatan yang tetap, rumus F = ma berubah wujudnya menjadi:
Fcp = mω2R,
index cp kependekan dari centripetal artinya menuju ke dalam, ke titik pusat lingkaran, yang bagi kapal ulang-alik bermakna titik pusat bumi. Sedangkan ω (baca omega) adalah kecepatan sudut, dan selanjutnya R adalah jarak dari benda yang mengorbit ke titik pusat lingkaran, yang bagi kasus kapal ulang-alik yang mengorbit adalah tinggi di atas muka bumi, yang harus dikoreksi dengan jari-jari bumi.
d'Alembert mengubah wajah pernyataan dinamik itu menjadi pernyataan keseimbangan dinamik, mizan, dengan qaidah aljabar yang elementer menjadi:
Fcp - mω2R = 0. Adapun pernyataan mω2R disebut gaya centrifugal dinyatakan dalam simbol Fcf, yang berarti gaya mengarah keluar. Gaya centrifugal ini sesungguhnya adalah gaya semu disebut pula dengan gaya inersial.
Jadi persamaan dinamik [Fcp = mω2R] adalah untuk kita yang ada di bumi, sedangkan persamaan d'Alembert [Fcp - mω2R = 0] adalah sesudah mengadakan transformasi sistem koordinat ke dalam pesawat ulang alik. Persamaan d'Alembert, atau persamaan kesimbangan dinamik berlaku bagi para astronaut di dalam kapal ulang-alik. Keseimbangan antara gaya centripetal dengan gaya inersial yang centrifugal itulah yang disebut dengan keadaan tanpa bobot.
Jadi sekali lagi keadaan tanpa bobot tidak berarti tidak ada gravitasi. Keadaan tanpa bobot adalah gaya gravitasi yaitu gaya centripetal diimbangi oleh gaya inersial yang centrifugal. Maka demikianlah adanya.
Sedikit catatan tambahan supaya jangan salah faham. Hukum Newton bukanlah berarti hukum yang dibuat ataupun ditentukan oleh Newton. Hukum itu adalah Hukum Allah atau TaqdiruLlah. Hukum Newton dalam kontex ini berarti adalah Hukum Allah atau TaqdiruLlah yang diungkapkan oleh Newton. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 30 Mei 1993
30 Mei 1993
[+/-] |
081. Keadaan Tanpa Bobot Dalam Pesawat Ulang Alik yang Sedang Mengorbit Bumi, Penjelasan Secara Ilmiyah Populer |
23 Mei 1993
[+/-] |
080. Keadaan Tanpa Bobot Dalam Pesawat Ulang Alik yang Sedang Mengorbit Bumi, Hubungannya Dengan Ilmu Tawhied |
Setelah berminggu-minggu kita mengikuti suasana di permukaan bumi ini, utamanya mengenai pergelutan manusia, kini kita tujukan minat kita ke langit. Dari segi perbahasaan langit ini dapat berarti benda konkrit dapat juga abstrak. Kalau orang Belanda mengatakan mijn hemel, maka itu suatu ungkapan seruan yang berarti Oh Tuhanku, tetapi kalau dikatakan in de hemel berarti di dalam surga. Namun dalam bagian syair di bawah ini kata hemel itu adalah benda kasat-mata:
Ik zie de sterren twinkelen
Daar in 't hemelsblauw
Kulihat bintang-bintang kemilau
Jauh di atas di langit yang biru
Jadi buat orang Belanda hemel atau langit dapat berarti Tuhan, surga dan bola langit. Pada bagian barat Tiongkok ada sebuah pegunungan yang oleh orang Kazak dinamakan Altai, tetapi dalam peta dan juga dalam cerita silat dinamakan Thian San, artinya Gunung Langit, juga dapat berarti Gunung Dewa yang dalam bahasa Indonesia dikatakan Ke-hyang-an disingkat menjadi kayangan. Tetapi kalau dikatakan Thian Lie, berarti Gadis Surga, bidadari dalam bahasa Indonesianya. Saya mengambil contoh kata Thian San, oleh karena saya teringat sebuah cerita silat berjudul: Thian San Chit Kiam, Tujuh (Pendekar) Pedang dari Gunung Langit, kemudian disadur oleh orang Jepang dalam wujud film The Seven Samurai, dan seterusnya disadur pula oleh orang Amerika juga dalam wujud film The Magnificent Seven. Dan contoh kata Thian Lie saya ambil dari judul cerita Peng Coan Thian Lie, Bidadari Sungai Es, yang mempunyai amgi, senjata rahasia dari salju. Jadi orang Cinapun sependapat dengan orang Belanda. Hemel, Thian dapat berarti Tuhan, Dewa, Surga dan bola langit. Dalam bahasa Al Quran as samau, langit tidak pernah mempunyai arti yang abstrak, melainkan selalu menunjuk kepada benda atau sekurang-kurangnya tempat yang konkrit, yaitu apa yang ada di atas kepala di alam syahadah (physical world) seperti: makro-kosmos, outer space, angkasa luar, atmosfer. Akan halnya makna yang terakhir ini diambil dari ayat wa anzala mina ssamai ma-an dan diturunkanNya hujan dari langit.
Adapun ungkapan langit ini disorot dari segi perbahasaan oleh karena kita akan mencoba menjawab pertanyaan yang senada dari beberapa orang: Ustadz, mengapa dalam pesawat ulang-alik keadaannya tanpa bobot, beratnya hilang, orang melayang-layang? Mengapa gravitasi di sana tidak bekerja? Apa di sana tidak ada gravitasi? Kalau demikian sampai dimana makna ilmu tawhid, bahwa Allah itu Maha Esa, Maha Esa dalam Oknum, Maha Esa dalam Sifat, Maha Esa dalam Af'al (perbuatan)? Maka menyangkut dengan tidak adanya gravitasi dalam kapal ulang-alik itu, lalu bagaimana penjelasannya bahwa Allah itu Maha Easa dalam perbuatanNya? Inilah berondongan pertanyaan yang bertubi-tubi, yang perlu dijawab. Mengapa? Oleh karena dalam kehidupan beragama, bukan hanya batin yang membutuhkan pelayanan, melainkan manusia itu membutuhkan pula pelayanan agar terpenuhi juga tuntutan akan kepuasan intelektual, karena manusia itu adalah makhluk berpikir. Itulah "beban intelektual" para ustadz zaman sekarang, bukan hanya sekadar melayani pertanyaan-pertanyaan di bidang fiqhi.
Marilah kita mulai dengan Firman Allah dalam S.Ar Rahman 7: Wassama-a rafa'aha wadha'a lmizan, Dan benda-benda langit itu dijauhkan jaraknya dan dijadikan dalam keadaan seimbang. Allah menciptakan mizan, keseimbangan di angkasa luar. Adapun keseimbangan di outer space itu sifatnya adalah keseimbangan yang dinamik. Allah sebagai Ar Rabb, Maha Pengatur, mengatur gerak makrokosmos dalam keadaan mizan, keseimbangan dinamik, melalui sejenis TaqdiruLlah yang kita kenal dengan gravitasi. Lalu sebagai konsekwensi Allah Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka harus kita imani, bahwa dalam kapal ulang-alik yang sedang mengorbit bumi, gravitasi tetap bekerja.Newtonlah yang berjasa mengungkapkan TaqdiruLlah jenis gravitasi ini dari peristiwa buah apel yang jatuh. Walaupun Newton yang mengungkapkannya, namun dia sendiri tidak mengerti akan wujud gravitasi itu. Dengarlah pendapat Newton dalam wujud sebuah surat yang dilayngkan kepada salah seorang sahabatnya bernama Bently: "You sometimes speaks of gravity as essential and inherent to matter. Pray do not ascribe that notion to me: for cause of gravity is what I do not pretend to know, and therefore would take more time to consider of it. Gravity must be caused by some agent acting constantly according to certain law; but weather this agent be material or inmaterial I have left to the consideration of my readers." Engkau kadang-kadang berbicara tentang gravitasi sebagai sesuatu yang tidak dapat tidak dan tercakup pada materi. Demi Tuhan janganlah engkau paparkan pandangan yang demikian itu kepadaku: sebab asal-muasal gravitasi itu tidaklah saya berpura-pura mengetahuinya, dan dengan demikian akan membutuhkan lebih banyak waktu untuk mempelajarinya. Gravitasi mestilah disebabkan oleh sesuatu perantara yang bekerja secara sinambung menurut suatu hukum yang tertentu; akan tetapi apakah perantara ini sesuatu yang konkrit atau abstrak saya serahkan itu kepada pandangan pembaca-pembaca saya. Jadi Newton ibarat sutradara yang menyerahkan penyelesaian cerita kepada para pemirsanya.
Saya akan mencoba menjelaskan hal itu dengan secara ilmiyah populer, walaupun saya sadari bahwa dalam bidang eksakta menterjemahkan yang ilmiyah itu ke dalam uraian yang populer tidaklah gampang. Jauh lebih gampang menjelaskan secara ilmiyah ketimbang dengan yang populer ilmiyah dalam bidang eksakta ini. Lagi pula penjelasan ilmiyah tidak membutuhkan ruang penulisan luas, karena kalimat yang dipakai kaku dan pendek-pendek dan lebih banyak dinyatakan dalam rumus-rumus yang membosankan bagi mereka yang kurang minatnya dalam bidang eksakta. Sedangkan penjelasan yang populer ilmiyah membutuhkan kalimat bergaya esei dan menghindarkan pemakaian rumus-rumus, kecuali rumus dasar yang sangat penting dan itupun dalam bentuk yang sangat sederhana. Jadi penjelasan yang ilmiyah populer ini mengambil ruangan yang lebih luas ketimbang penjelasan yang ilmiyah, sehingga penjelasan ilmiyah populer tentang tetap bekerjanya gravitasi dalam pesawat ulang alik yang mengorbit bumi itu, insya Allah akan diuraikan dalam hari Ahad yang berikut. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 23 Mei 1993
16 Mei 1993
[+/-] |
079. Masalah Pasar Sentral, Rambut Tidak Putus, Tepung Tidak Berserak, Silakan Makan Sirih Hai Tuanku |
Kita hidup di dunia tidak akan sunyi dari masalah. Lalu apakah itu masalah. Secara gampangnya masalah itu adalah penyimpangan antara kenyataan terhadap keinginan. Seorang anak yang tidak lulus UMPTN belum tentu menjadi masalah baginya. Beberapa tahun lalu seorang teman anak saya datang di rumah dengan muka berseri-seri sehari setelah pengumaman hasil UMPTN. Lalu saya beri selamat. "Kau gembira betul, lulus ya, selamat." Begitulah kata saya kepadanya sambil menyodorkan tangan. "Saya tidak lulus pak". "Lalu mengapa gembira?" "Karena saya tidak lulus, saya dapat sekolah ke Jawa." Jadi teman anak saya ini rupanya keinginannya untuk menyambung ke Jawa. Jadi tidak lulus UMPTN bukan masalah baginya.
Pasar Sentral boleh dikata sudah hampir selesai direnovasi dalam rangka pembangunan kota. Kenyataan sudah sesuai keinginan bagi Pemda. Artinya bagi Pemda tidak ada masalah. Bagaimana dari pihak MTIR? Ya, perusahaan ini berdasar kontrak mendapat untung. Kenyataan yang berwujud kontrak sudah sesuai dengan keinginan. Juga ma fie lmasalah, no problem. Bagaimana dengan para Pedagang Kecil yang dahulu berdagang di sana? Kenyataannya berupa kemampuan jauh dari keinginan mereka, karena sewa (atau harga?) rasa-rasanya tak terjangkau. Jadi bagi Pedagang Kecil ada masalah. Bagaimana dengan para pakar hukum? Kenyataan tentang HGB dalam kontrak menurut penafsiran sebagian pakar hukum tidak sesuai dengan keinginan menurut yang normatif. Dan kalau penafsiran ini benar, lalu bagaimana kalau kontrak batal demi hukum? Bagi para investor yang ingin menginvestasikan modalnya di IBT akan berpikir berulang kali. Maka keinginan kita semua agar pembangunan berjalan mulus di IBT, dalam kenyataannya nanti insya Allah akan tersendat-sendat. Dan ini masalah bagi kita semua. Ini memang jadinya ruwet, complicated. Banyak kriteria yang saling bentrokan. Maka kita harus hati-hati. Kita dalam hal ini maksudnya Pemda, MTIR, Pedagang Kecil, para pakar hukum yang berpola pikir normatif secara sangat ketat, ya seluruh anggota manyarakat, ibarat menarik rambut di tepung, rambut tidak putus, tepung tidak berserak. Kita tidak mengatakan bahwa berpikir dengan pola normatif itu tidak wajar, melainkan yang kita garis bawahi ialah jangan sampai pola pikir normatif itu demikian sangat ketat dan kakunya sehingga dapat menyebabkan rambut putus atau tepung berserak. Yang melanggar hukum tentu saja tidak akan luput dari sanksi, baik sanksi dari negara maupun sanksi dari masyarakat, terlebih-lebih sanksi dari Allah SWT di Hari Pengadilan kelak.
Al Qissah, tersebut suatu kejadian, bukan imajinasi, disampaikan dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi. Dua jagoan bertikam, Assipoto' purusang, saling mengikat tali celana kolor. Kalau orang Indian berduel, hinmanga, pergelangan kiri kedua jagoan tersebut diikat, maka di daerah ini duel di antara dua jagoan ada dua cara. Pertama seperti di atas, dan kedua di dalam
sarung. Kissah yang dikisahkan dari mulut ke mulut yang dikisahkan dalam kolom ini sedikit istimewa. Duel itu diselingi dengan istirahat. Rupanya kedua jagoan itu kebal, sekurang-kurangnya ahli silat, segesit kucing hutan. Sambil istirahat keduanya makan sirih. Sambil mengunyah sirih keduanya berbicara dengan hati nurani masing-masing. Dan hasilnya apa? Setelah bertikam tiga periode, selesai makan sirih untuk ketiga kalinya, keduanya saling menyarungkan badik, lalu berpelukan dengan mesra. Masing-masing mundur selangkah, menemukan diri masing-masing dalam dialog dengan nurani masing-masing pada waktu mengunyah sirih tadi, silang semgketa diselesaikan dengan persahabatan.
Al Qissah pula, sebuah yayasan di Sabah, bernama Yayasan Sabah, mengirim 23 orang anak-anak Sabah ke Universiti Kebangsaan untuk menjadi mahasiswa. Hasil pengolahan data dari prestasi atau unjuk kerja anak-anak Sabah itu yang diolah oleh komputer, ke-23 orang anak-anak Sabah itu tidak ada yang mencukupi syarat minimum untuk dapat diterima masuk Universiti Kebangsaan itu. Arena Wati, sang Sastrawan Negara diutus oleh yayasan itu datang ke universitas tersebut. Secara normatif ke-23 anak itu sudah menemui jalan buntu. Maka Arena Wati memakai metode makan sirih itu. Bukan betul-betul mengunyah sirih, tetapi kata kiasan. Sambil mengunyah sirih dikesampingkanlah barang sejenak pola pikir yang normatif itu. Kalau anak-anak Sabah itu tertolak semua, tak akan adalah orang-orang tua di Sabah yang akan berani mengirimkan anaknya melanjutkan ke universiti. Makan sirih itu ada hasilnya. Ke-23 orang itu diterima dengan bersyarat. Dalam jangka waktu tertentu diberi kesempatan. Akhirnya hanya 3 orang yang ditolak. Inilah kissah yang dikissahkan oleh Arena Wati dalam jamuan makan malam yang terbatas di rumah mantan Dekan Fakultas Sastra Unhas, Pak Husen Abas. Hadir antara lain budayawan kita Pak Andi Zainal Abidin Farid dan Bung Arge.
Barangkali tatacara makan sirih ini dapat diaplikasikan dalam sengketa kemelut Pasar Sentral ini. Sambil mengunyah sirih, berdialog dengan nurani masing-masing, diharapkan Pemda dapat mundur setapak, MTIR mundur pula setapak untuk memberi kesempatan para Pedagang Kecil maju setapak. Sambil mengunyah sirih cobalah berdialog dengan diri sendiri, menanyai nurani masing-masing. Untuk apa sebenarnya para pendiri Republik ini, para the founding fathers kita itu berikrar pada 18 Agustus 1945. Untuk apa sebenarnya kita ini merdeka, untuk apa sebenarnya kita ini mendirikan dan membangun Republik yang kita cintai ini. Jawaban hati nurani itu diwujudkan dalam GBHN, urutan pertama dari Trilogi Pembangunan: Pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan. Pemerataan pembangunan bukan hanya sekadar pembangunan itu merata di mana-mana, melainkan berarti pula bahwa para pembangun itu merata di setiap strata kehidupan kemasyarakatan kita, tidak terkeculai para Pedagang Kecil yang antara lain mantan pedagang kecil di Pasar Sentral yang lama.
Allah berfirman: wa amruhum syura baynahum, dan urusan mereka itu dimusyawarakanlah di antara mereka itu. Dan siapakan mereka itu dalam kasus Pasar Sentral ini? Mereka itu adalah Pemda, MTIR, Pedagang Kecil dan sebaiknya pula Bank Pembangunan Daerah. Mengapa Bank Pembangunan Daerah perlu pula ikut makan sirih? Ini untuk ikut membuka jalan penyelesaian, andaikata Pemda dan MTIR sudah mundur setapak, para Pedagang Kecil sudah maju setapak, namun para Pedagang Kecil itu belum mampu membayar sewa (atau harga?). Maka Bank Pembangunan Daerah barangkali dapat memberikan kredit ringan kepada mereka itu. Pemda, MTIR, Pedagang Kecil, Bank Pembangunan Daerah, silakan makan sirih hai tuanku. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 16 Mei 1993
9 Mei 1993
[+/-] |
078. Menerobos Polarisasi Keilmuan dan Pesantren Pendidikan Al Quran, IMMIM |
Ada nada yang sengit dari Ahmad Ali dalam tulisan kolom yang diasuhnya tanggal 28 April 1993 yang lalu. Yaitu tentang adanya tanggapan, bahwa Ahmad Ali yang pakar hukum bicara-bicara juga mengenai agama, suatu bidang di luar bidangnya. Penanggap yang menanggapi Ahmad Ali tersebut sesungguhnya mewakili mayoritas pandangan masyarakat yang masih picik, hatta dalam masyarakat ilmiyah sekalipun, dalam era keilmuan sejak zaman Renaissance hingga sekarang, yaitu era polarisasi keilmuan: pemisahan secara gamblang antara ilmu-ilmu akhirat dengan ilmu-ilmu dunia, yaitu sekularisasi keilmuan (secula = dunia). Polarisasi keilmuan itu terjadi akibat arus imbas yang bersumber dari bidang politik dan kenegaraan yang dikenal dengan scheiding tussen kerk en staat, pemisahan antara gereja dengan agama. Polarisasi keilmuan itu menghasilkan dalam budaya kita berwujudkan adanya lembaga semacam Unhas di satu pihak dengan semacam IAIN di lain pihak.
Ajaran Islam tidak mengenal polarisasi keilmuan ini. Ayat yang mula-mula diturunkan; Iqra bismirabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. Secara tidak disadari dalam kalangan ilmuwan Muslim ayat 1 S. Al'Alaq yang dikutip di atas itu, sebagian besar mereka itu hanya mengutip iqra saja. Bahwa ucap mereka itu bacalah di sini berarti bukan hanya membaca Al Quran, melainkan lebih luas maknanya, yaitu bacalah masyarakat, bacalah sejarah, bacalah alam semesta. Syukurlah bahwa para ilmuwan Muslim itu mempunyai pandangan yang seperti itu. Akan tetapi mereka itu terjerumus ke dalam polarisasi keilmuan, ilmu akhirat pada kutub yang satu dengan ilmu dunia atau ilmu sekuler pada kutub yang lain. Inilah bahayanya tidak berpikir secara nizam (sistem), tidak kaffah, atau dengan redaksional yang lebih sederhana, memotong ayat. Yaitu S.Al 'Alaq ayat 1 dipotong, iqra dipisahkan dari bismi rabbika. Iqra, bacalah, yang ditonjolkan, sedangkan bismi rabbika, atas nama Maha Pengaturmu diabaikan. Inilah pengaruh era polarisasi keilmuan yang tidak disadari oleh sebagian besar ilmuwan Muslim, yang terwakilkan oleh penanggap tulisan kolom Ahmad Ali.
Ada terobosan-terobosan secara individual untuk kembali mempertautkan kedua kutub yang dirobek menjadi dua ini sejak zaman Renaissance itu. Salah seorang penerobos individual itu adalah Ahmad Ali. Beberapa orang yang sebelumnya secara individual berupaya menerobos berhasil meningkatkan upaya individual itu menjadi upaya yang melembaga, seiring dengan pembangunan Masjid Salman. Lembaga itu walaupun sifatnya masih informal, namun merupakan mitra Institut Teknologi Bandung dalam upaya penerobosan polarisasi itu.
Almarhum H.Fadeli Luran yang pada waktu hidupnya menjadi Ketua DPP IMMIM, suatu ketika melontarkan gagasannya, agar IMMIM meningkatkan bidang juangnya bukan sekadar mengurus masjid saja, melainkan pula sekaligus membina isi masjid. Lalu lahirlah gagasan mendirikan Pesantren Pendidikan Al Quran IMMIM, yang kemudian diwujudkan dengan berdirinya pesantren tersebut yang mengambil lokasi di Tamalanrea, mendahului lokasi Kampus Unhas Tamalanrea, yang kelihatannya sekarang ada kecenderungan dalam master plan kota ini, kawasan itu menjadi kawasan kampus.
Suatu waktu dalam kesempatan meninjau lokasi bakal pesantren itu akan didirikan, saya mengemukakan kepada almarhum tentang kurikulum pesantren itu kelak. Saya katakan waktu itu: "Pak Fadeli kalau tujuan kita untuk mengisi masjid dengan mendirikan pesantren, maka kurikulum pesantren ini harus dapat menghasilkan luaran yang dapat menyambung ke perguruan tinggi di bidang mana saja. Supaya kelak kalau jadi dokter, jadi insinyur, jadi ekonom, jadi pakar sosiolog, hukum dll dia tidak canggung-canggung dapat mengisi masjid, bahkan menjadi khatib sekalipun."
Maka berdirilah Pesantren Pendidikan Al Quran di Tamalanrea dengan kurikulum yang menerobos polarisasi keilmuan warisan Renaissance tersebut. Kurikulum pesantren IMMIM tersebut disusun sedemikian rupa sehingga dapat mempunyai tiga baju, dua baju yang formal dan sebuah yang informal. Pesantren itu berbaju SMP dan SMA jalur formalnya ke Depdikbud, mempunyai baju Tsanawiyah dan Aliyah yang jalur formalnya ke Depag, dan baju informal kepesantrenan dengan ciri khas pesantren, pengkajian kitab kuning. Semua baju dari kedua jalur formal tersebut statusnya telah mendapat pengakuan disamakan dari Depdikbud dan Depag. Juga suatu program khusus yang fakultatif pendidikan hafizh, penghafal Al Quran.
Ada satu hal yang lucu dengan cerita baju di atas itu. Pernah satu waktu di dalam Masjid Syura, Drs. M.Nur Rasuly salah seorang pejabat teras di Kanwil Depdikbud mengeluh bahwa Panitia Tilawati lQuran untuk para murid SMP yang diselenggarakan oleh Kanwil Depdikbud tersebut kebobolan dan sudah terlanjur dinyatakan hasilnya. Bahwa yang juara itu adalah pesantren. Lalu saya berikan informasi bahwa panitia tidak kebobolan, oleh karena memang pesantren itu memakai salah satu baju yang dimilikinya, yaitu baju SMP yang berjalur ke Depdikbud.
Alhamdulillah sekarang alumni pesantren ini sudah ada tersebar ke Unhas, IKIP dan IAIN, sudah menerobos polarisasi keilmuan tersebut. Seorang alumni yang mengambil program fakultatif hafidz, jadi telah hafal Al Quran, diterima di Jurusan Accounting Fakultas Ekonomi tanpa tes. Bahkan yang sempat saya dapatkan informasinya sudah ada yang menjadi dosen tetap pada Jurusan Elektro Fakultas Teknik Unhas, dan sampai saat ini masih tetap setia pada alma maternya Pesdantren IMMIM, menjadi guru tetap, bahkan bermukim dalam kampus pesantren. Ada pula di antara yang telah menyelesaikan Fakultas Kedokteran telah menjadi dosen tetap pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas.
Terakhir yang juga menggembirakan adalah Pesantren IMMIM ini menjadi satu-satunya pesantren di IBT yang terpilih dalam rangka upaya Menristek Habibie dalam hal mengimpor iptek masuk pesantren, yang sesungguhnya pagi pesantren IMMIM ini sudah terjadi bersamaan dengan didirikannya. Bagi Menristek ke dalam pesantren perlu mengimpor iptek dengan tujuan memasyarakatkan iptek, hatta dalam tubuh pesantren sekalipun, untuk kepentingan pembangunan bangsa. Sedangkan bagi IMMIM bukan merupakan import iptek melainkan atas dasar filsafat pencerahan. Kita pinjam istilah yang dipakai dalam sejarah aufklaerung dengan makna seperti pada judul menerobos polarisasi keilmuan, dalam rangka aplikasi iqra bismi rabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 9 Mei 1993
2 Mei 1993
[+/-] |
077. Persaudaraan, antara Ajaran dengan Praktek |
Kita mulai dengan pembicaraan mengenai persaudaraan ini dengan cerita Mahabharata, yang sementara ini ditayangkan oleh TPI. Dalam cerita itu yang konon karya dari Walmiki, dipertentangkanlah oleh Walmiki antara persaudaraan dengan kebenaran. Dalam diri Karna terjadi konflik antara rasa persaudaraan dengan kebenaran. Karna tidak dapat melepaskan diri dari ikatan persaudaraan dengan Duryudana. Fasalnya pada waktu semua orang melecehkan Karna, hanya Duryudanalah seorang yang mengangkatnya dari kehinaan. Inilah yang tak dapat dilupakan oleh Karna, sehingga rasa persaudaraan dengan Duryudana itu tidak mungkin dapat ditebus oleh apapun juga. Sedangkan dipihak lain Karna menyadari benar bahwa itu bertentangan dengan kebenaran. Yaitu berperang melawan kelima adiknya, yang juga Karna mengakui itu dalam hati nuraninya bahwa kelima adiknya itu berada di pihak yang benar. Dalam konflik kejiwaan itu Karna memilih persaudaraan dan melecehkan kebenaran.
Persaudaraan termasuk dalam salah satu semboyan Revolusi Perancis, liberte, egalite et fraternite, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan. Trilogi semboyan Revolusi Perancis itu kemudian menjadi berkeping-keping, karena tidak diikat oleh kebenaran. Revolusi itu berwujud terror yang mencapai puncaknya di tangan Robespierre. Banyak yang menemui ajalnya dipenggal oleh Madame de Guillotine, termasuk Maria Antoinette, bahkan termasuk Robespierre sendiri. Kemudian dalam perjalanan sejarah liberte itu menjadi dasar semacam pandangan hidup yang kita kenal dengan liberalisme, yang dalam bentuknya yang extrem berwujud Free Fight Liberalism, dioperasionalkan dalam kancah ekonomi, yang seirama dengan teori mekanisme evolusi Darwin, the survival of the fittest, yang dalam bidang eknomi teraplikasi menjadi perusahaan yang paling unggul, akan bertahan hidup, yang secara umum dikenal dengan hukum rimba, yang oleh nenek moyangkita etnik Bugis Makassar dikenal dengan paruntuq kana (peribahasa): Assianre bale (Bugis), assikanre jukuq (Makassar) yang artinya saling memangsa seperti ikan. Jadi bukan hukum rimba, melainkan hukum di dalam laut, maklumlah nenek moyang kita itu pelaut yang berkecimpung di laut, menjelajah ke Barat, yang menidirikan koloni yang dinamakan oleh mereka itu: Tana Nario, di Madagaskar. (Tana = negeri, rio = mandi). Tananario was corrupted into Tananariveh.
Setelah kita bicara berteori ataupun ajaran tentang persaudaraan kita sekarang akan membicarakan prakteknya. Bagaimana kita mempraktekkan nilai-nilai yang islamiyah (Al Furqan) dalam kehidupan kita sehari-hari, itulah salah satu hikmah dari ibadah Haji. Al Furqan, Nilai-nilai Islamiyah mengenai ajaran tentang persaudaraan, kesabaran dan ajaran Al Furqan yang lain yang menyangkut akhlaq dipraktekkanlah pada waktu melaksanakan ibadah haji, untuk dapat mencapai haji mabrur. Berikut ini akan disajikan pengalaman pribadi saya sewaktu melaksanakan ibadah haji menyangkut praktek dari ajaran akhlaq mengenai nilai persaudaraan itu.
Pada waktu kejadian itu saya di alMasjid alHaram sedang menunggu waktu shalat zhuhur. Tidak lama sesudah duduk datanglah serombongan jama'ah dari Turki. Itu kentara dari panji yang dipegang salah seorang di antara mereka. Ujung paling kanan dari saf mereka itu duduk tepat di sebelah kiri saya. Setelah duduk sebagaimana lazimnya ia menyodorkan tangan untuk berjabat tangan. Di Masjidi lHaram tidak ada shalat sunnat Tahiyatu lMasjid. Untuk menghormati Masjidi lHaram bukan dengan shalat sunnat, melainkan dengan tawaf. Setelah berjabat tangan mulailah sedikit tegur sapa. Ia bertanya: "Min ayna bilad, min Bakistan?". Dikiranya saya dari Pakistan, barangkali karena melihat songkok saya, yang mirip-mirip dengan songkok orang Pakistan, kemudian kulit saya berwarna gelap seperti orang Pakistan. Waktu itu saya telah umrah, dalam rangka haji tamattu', sudah tahallul, tidak berpakaian ihram lagi, jadi saya pakai songkok. Lalu saya jawab singkat: "La, min Indonesia".
Kemudian dari ujung paling kiri rombongan dari Turki itu saya lihat secara estafet disodorkan sebuah kantong kulit berisi air. Itu artinya rombongan Turki ini dari Anatolia, bukan dari Turki Eropah. Secara bergiliran anggota rombongan itu minum air dari kantong kulit itu. Agar air tidak tumpah ke lantai masjid, ujung kantong itu yang besarnya tepat-tepat dapat masuk ke dalam mulut itu, lenyap ke dalam mulut masing-masing yang sedang minum. Akhirnya kantong kulit itu tiba di tangan anggota rombongan yang bertegur sapa dengan saya itu. Kantong kulit itu disodorkannya pada saya juga. Nah, ini dia, pikir saya dalam hati. Tidak boleh merusak Ukhuwwah Islamiyah. Ayuh, praktekkan nilai itu, kata nurani saya. Dengan perasaan jijik saya terima kantong kulit itu. Bau kulit yang kurang sedap menusuk hidung. Masih dalam rasa jijik saya bertatap mata dengannya. Dari matanya saya lihat pancaran keikhlasan yang sangat jernih. Walaupun terjadinya hanya sejenak, pancaran mata yang bergitu ikhlas, begitu tulus, menghapuskan rasa jijik saya, bau pengap kantong kulit tidak lagi dirasakan oleh pengindera bau saya, terasa kesejukan dalam hati nurani saya, getaran Ukhuwwah Islamiyah merasuk kesadaran saya. Dengan mata yang basah berkaca-kaca, saya benamkan mulut kantong kulit itu kedalam mulut saya, langsung say reguk air dari kantong kulit itu dan nikmat sekali rasanya, membawa rasa segar dan sejuk. Inilah salah satu pengalaman saya dalam operasionalisasi nilai universal dalam ibadah haji yang tak mungkin saya lupakan. Kepada para jama'ah yang berangkat ke Tanah Suci, saya ucapkan selamat menunaikan ibadah haji, selamat mengoperasionalkan, mempraktekkan nilai-nilai universal, mudah-mudahan menjadi haji yang mabrur, amin. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 2 Mei 1993