Parlemen Prancis telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan jilbab. Setelah dilakukan voting yang dilakukan pada Selasa (11/02/2004) malam (Rabu dinihari WIB), 494 anggota majelis rendah menyetujui RUU tersebut, sedangkan 36 anggota menolak. Dukungan tersebut berasal dari partai berkuasa pimpinan Presiden Jacques Chirac dan partai oposisi, Partai Sosialis. Selanjutnya, RUU ini akan diserahkan kepada majelis tinggi parlemen (Senat) yang dikuasai oleh Partai UMP pimpinan Chirac, pengusul RUU itu.
Supaya tidak tampak sebagai pengebirian atas keyakinan kaum Muslim, dalam RUU tersebut dipakai kalimat umum: "penggunaan pakaian atau simbol-simbol yang menunjukkan pada suatu agama adalah illegal, termasuk jilbab. RUU ini sebenarnya lebih ditujukan pada Islam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, penyebab disusunnya RUU ini merupakan respon atas meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan umat Islam negeri tersebut yang jumlahnya mencapai lima juta orang, bukan respon terhadap pemakaian tutup kepala Yahudi atau salib. Jelas sekali, yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir adalah pelarangan jilbab di sekolah. Barulah pada tanggal 11 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menunjuk tim beranggotakan 20 orang untuk menyusun RUU dan pada tanggal 17 Desember 2003 menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap RUU yang akhirnya disetujui oleh 93,2% anggota parlemen tersebut. Dalam pidatonya pada 17 Desember 2003 tersebut (dapat diakses pada situs kedubes Perancis), Presiden Perancis Jacques Chirac antara lain menegaskan bahwa Perancis harus terus menghidupkan prinsip sekularisme. Pembaca, inilah dia ujung-ujung praktek sekularisme.
***
Penuturan KH Abdul Kahar Mudzakkir kepada Firdaus AN: Jum'at petang, 17 Agustus 1945. Dering telepon memaksa Bung Hatta beranjak dari istirahatnya. Pembantu Laksamana Maeda memberitahukan, sebentar lagi seorang opsir Kaigun (angkatan laut Jepang) akan menemuinya. Bung Hatta mengangguk di telepon. "Ya, baik," ujarnya singkat. Benar saja. Tak sampai satu jam, tamunya datang. Kaigun itu, (Bung Hatta lupa namanya) menyampaikan pesan kepada Bung Hatta, bahwa jika ke-7 kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret, maka bagian timur Indonesia tidak akan ikut membela Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu dan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. --Bagian Timur Indonesia dikontrol oleh tentara pendudukan Kaigun sedangkan bagian barat oleh Rikugun (angkatan darat). Angkatan Perang Jepang tidak punya angkatan udara, masing-masing Kaigun dan Rikugun punya angkatan udara sendiri-sendiri.--
Esok harinya, 18 Agustus 1945, akan ada agenda penting bagi negara yang baru lahir ini. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah rampung disusun oleh BPUPKI dan disetujui semua anggotanya. Tanpa berkoordinasi dengan anggota-anggota BPUPKI yang telah bekerja mati-matian hingga rancangan UUD selesai, keesokan paginya sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Hatta mengumpulkan beberapa tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, KH Wahid Hasyim, dan Mr. Teuku Hasan. Maka akhirnya, dicoretlah tujuh kata yang amat berarti bagi umat Islam Indonesia itu lewat sidang kecil yang berlangsung kurang dari limabelas menit tersebut. Rapat kecil itu sendiri ternyata tidak mengundang para penandatangan Piagam Jakarta seperti H. Agus Salim, Abikusno, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan Mr. M. Yamin. Ketua BPUPKI, KH. Masykur pun tidak diundang. Dalam sidang PPKI, Bung Hatta mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang dari kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh.
Banyak peneliti sejarah berpandangan, seandainya Bung Hatta seorang militer, maka sejarah akan berjalan lain. Ancaman separatisme sewajarnya ditumpas dengan tindakan represif. Itu sudah hukum besi sejarah. Namun Bung Hatta adalah seorang negarawan sipil, yang terlalu naif menghadapi situasi semacam itu, yang ternyata di belakang hari berwujud dalam dua hal kenyataan sejarah: Pertama, di bagian timur Indonesia, muncul Twaalfde Provintie (Provinsi ke-12 dari Nederland) di Sulawesi Utara serta Republik Maluku Selatan, dan kedua, pencoretan tujuh kata itu dibayar dengan harga mahal: Perlawanan DII/TII di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Apa yang belum selesai sampai sekarang yaitu perlawanan GAM, yang metamorphosis dari DII/TII di Aceh.
***
Firman Allah:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH AN ALLH KHBYR BMA T'AMLWN (S. ALhSYR, 18), dibaca: Ya-aayyuhal ladzi-na a-manut taqu Lla-ha waltandzur nafsum ma- qaddamat ligadin, wattaqu Lla-ha, inna Lla-ha khabi-rum bima- ta'malu-n (s. alhasyr), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah pada Allah dan mestilah setiap diri mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan, dan taqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah meliput semua apa yang kamu kerjakan (59:18).
Dalam sidang PPKI, Bung Hatta mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang dari kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh. Itulah ma- qaddamat (masa lalu). Kalau ummat Islam acuh tak acuh dalam hal memperjuangkan Piagam Jakarta melalui Pemilu, lalu memilih wakil-wakilnya dan Presidennya yang sekuler, dan lagi pula ada ulamanya menempatkan diri sebagai caleg dalam barisan penganut sekularisme, maka ujung-ujungnya Indonesia akan mengalami praktek sekularisme seperti di Perancis itu. Itulah lighadin (hari esok). WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 29 Februari 2004
29 Februari 2004
[+/-] |
615. Inilah Ujung-Ujungnya Praktek Sekularisme |
22 Februari 2004
[+/-] |
614. Masalah Lempar Jamrah di Mina Tidak Perlu Fiqh Baru |
-- ALHJ ASYHR M'ALWMT (S. ALBQRt, 197), dibaca: alhajju asyhurun ma'lu-ma-tun, (s. albaqarah), artinya: Waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah dimaklumi (2:197). Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, disebabkan penumpukan jama'ah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jama'ah karena terinjak atau terjatuh. Dalam kenyataannya, sistem kuota yang telah diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak mampu mengurangi atau membatasi jumlah jama'ah haji sampai ke tingkat yang sepadan dengan daya tampung ruang dan waktu yang tersedia.
Bertitik tolak dari ayat (2:197) dan penumpukan jama'ah satu titik waktu dan tempat yang sama serta sistem kuota yang tidak efektif tersebut, maka Masdar F. Mas'udi mencoba mereka-yasa "fiqh baru" dalam wujud tulisan yang berjudul "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji", bertanggal 21/1/2004. Demikianlah saya pungut dari internet. Ia berkilah: "Waktu pelaksanaan ibadah haji sesungguhnya tidaklah sesempit yang kita pahami selama ini, seolah-olah hanya sekitar 6 hari saja, yakni hari-hari ke 8, 9, 10, 11, 12, 13 dari bulan Dzulhijjah. Berdasarkan ayat (2:197) tersebut, kita diberitahu bahwa seluruh prosesi (manasik) haji mulai dari pengenaan pakaian ihram, thawaf, sa-'iy, wuquf di Arafah, wuquf di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan potong rambut, sebagai satu paket peribadatan, dapat (baca: sah) dilaksanakan secara berurut (tertib) pada hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lu-ma-t tersebut, yaitu bulan-bulan Syawwal, Dzulqa'dah dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah."
Mas'udi mempergunakan pisau analisa teori Fiqh, berkaitan dengan dimensi waktu pelaksanaan ibadah yang dikelompokkan pada dua kategori. Pertama kewajiban ibadah yang mudhayyaq, yaitu tidak mempunyai tenggang waktu, karena waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah itu tepat-tepat sama dengan waktu yang disediakan oleh Nash, seperti puasa Ramadhan. Kedua yang muwassa', yaitu mempunyai tenggang waktu, karena waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah itu lebih singkat dengan waktu yang disediakan oleh Nash, seperti shalat. Untuk menunaikan salat 'Isya misalnya, waktu yang dibutuhkan lebih kurang 10 s/d 20 menit saja, sementara waktu yang disediakan membentang selama kurang lebih 9 jam sejak katakanlah pukul 19.00 sampai pukul 04.00 WIB.
Mas'udi berqiyas (analogi) 6 hari (8 s/d 13) dalam 3 bulan dari ibadah haji dengan 10 menit dalam 9 jam shalat 'Isya. Maka titik sentral 9 Al-hajju 'arafah (Haji adalah Arafah), menurut Mas'udi dapat digeser dalam tenggang waktu Syawwal, Dzulqa'dah dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana waktu shalat 'Isya yang 10 menit dapat digeser dalam tenggang waktu yang 9 jam itu.
Di samping metode qiyas, Mas'udi mempergunakan logika pula, seperti berikut: "Harus ditegaskan bahwa, tidak ada satu Nashpun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji."
***
Akan saya tebas yang "strategis" yaitu logika Mas'udi yang dijadikannya paradigma untuk menggeser titik sentral 9 Dzulhijjah. Dengan menebas yang strategis, maka hal yang "teknis" akan tertebas dengan sendirinya. Yang saya maksud dengan yang teknis itu ialah menggeser titik sentral 9 Dzulhijjah, sehingga ibadah haji dapat dilaksanakan beberapa gelombang agar dapat diperkecil penumpukan jamaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama.
Saya substitusi hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah dengan 4 raka'at, dan manasik haji saya substitusi dengan shalat 'Isya, maka kalimat Masdar F. Mas'udi yang berbunyi: "tidak ada satu Nashpun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji," akan menjadi "tidak ada satu Nash pun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dha'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar 4 raka'at tidak sah untuk menunaikan shalat 'Isya." OK, silakan Masdar F. Mas'udi shalat 'Isya 2 atau 5 raka'at. Masdar F. Mas'udi melecehkan qaidah: Perkara yang 'ubudiyyaat (ritual) berlaku qaidah "semua tidak boleh, kecuali yang ditetapkan oleh Nash."
Adapun titik tolak Mas'udi dari reka-yasa fiqhnya itu yang menyatakan bahwa dalam kenyataannya, sistem kuota yang telah diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak mampu mengurangi atau membatasi jumlah jemaah haji sampai ke tingkat yang sepadan dengan daya tampung ruang dan waktu yang tersedia, justru sebaliknya, sistem kuota inilah yang merupakan strategi pemecahan menumpuknya jama'ah. Pemecahannya bukan dengan pendekatan membuat fiqh baru, melainkan dari segi pendekatan yang sederhana dan rasional secara numerik yang berencana yang dimusyawarakan dalam skala internasional. Yaitu penentuan quota 1 : N, ditetapkan melalui kesepakatan negeri-negeri Islam. Setiap selesai ibadah haji secara rutin setiap tahun di Makkah supaya diselenggarakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) para anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) untuk menetapkan N, yang sekarang ini sementara diberlakukan N = 1000. Di samping itu ada pula pemecahan secara individual. Berniat Ihram dari Miqat, bermalam di Muzdalifah, bermalam dan melempar jamrah di Mina, dan Thawaf Wada adalah wajib, setingkat di bawah rukun. Kalau rukun tidak dikerjakan ibadah Haji tidak sah, sedangkan kalau yang wajib tidak dikerjakan, ibadah haji tetap sah apabila membayar dam. Pemecahan secara individual yang dimaksud, ialah secara fiqh lama, yaitu tidak melempar jamrah di Mina melainkan membayar dam saja. Buat apa bikin fiqh baru yang dikira memecahkan masalah, padahal justru sebaliknya, yaitu menternakkan masalah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 22 Februari 2004
15 Februari 2004
[+/-] |
613. Makna Isma'il Diganti Domba 2/2 |
Ajaran Islam menolak pemahaman qurban sebagai sacrifice ataupun offering. Upacara qurban menurut Islam bukanlah persembahan yang sakral. Qurban harus diresapkan artinya menurut rasa bahasa asalnya yaitu bahasa Al Quran. Dalam Al Quran terdapat ungkapan
-- QRBA QRBANA (S. ALMAaDt, 27), dibaca: qarraba- qurba-nan, yang artinya: keduanya (Habil dan Qabil) mendekatkan diri (kepada Allah) dengan qurban. Kata qurban berasal dari akar kata Qaf, Ra, Ba [Q-R-B], qaruba artinya dekat.(*)
Karena qurban itu bukan persembahan yang sakral, maka binatang qurban tidak dibakar, melainkan disenbelih supaya dapat dimakan. Urat darah di leher dipotong putus, supaya darahnya mengalir keluar hingga berhenti sendiri mengalir. Darah yang tertinggal dalam daging merupakan nilai ambang batas (NAB) yang menunjukkan keadaan darah dalam daging sudah tidak signifikan lagi.
-- WADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'IMWA ALQANI'A WALM'TR . LN YNAL ALLH LhWMHA WLA DMAaWHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALhJ, 22:36,37), dibaca: waidza- wajabat junu-buha- faKulu- minha- wath'imuwl qa-ni'a walmu'tarra . lay yana-la Lla-ha luhu-muha- wala- dima-uha- wala-kiy yana-luhut taqwa- minkum (s. alhaj), artinya: Maka apabila gugur sembelihan-sembelihan itu makanlah daripadanya dan berilah makan kepada orang-orang miskin yang tidak meminta dan yang meminta . Tidak akan sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak pula darah-darahnya, akan tetapi yang sampai kepadaNya ialah ketaqwaan kamu.
Jadi upacara Qurban adalah menyembelih binatang, dagingnya untuk dimakan sendiri dan dimakan oleh fakir miskin sebagai fungsi sosial, darahnya dibuang, karena haram untuk dimakan, jadi sangat jauh dari sakral. Dan arti spiritualnya adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT sebagai tanda berbakti kepadaNya, melaksanakan perintahNya dengan semangat taqwa. Demikianlah menurut bahasa asalnya, yaitu bahasa Al Quran, berqurban bermakna mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan memberikan pemberian yang berkualitas kepada orang lain sebagai realisasi taqwa.
Dalam tulisan ini dibedakan antara qurban dengan korban. Istilah qurban dipakai untuk pengertian menurut bahasa Al Quran yang berarti mendekatkan diri, sedangkan istilah korban dipakai untuk upacara agama berhala yang berarti offering dan sacrifice, persembahan yang sakral.
Maka makna yang tersirat dalam penggantian Isma'il dengan domba adalah untuk memberikan penekanan, penggaris bawahan, perbedaan antara agama-agama kebudayaan penyembah berhala dan dewa-dewa dengan agama wahyu, tidak boleh menyembelih, tidak boleh membunuh manusia, melainkan harus menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
Inilah makna Isma'il diganti domba, Isma'il tidak boleh disembelih. Manusia adalah makhluq mulia di sisi Allah.
-- WLQD KRMNA BNY ADM (S. BNY ASRAaYL, 70), dibaca: walaqad karramna- bani- a-dama, artinya: Sesungguhnya telah Kami muliakan benih Adam (17:70). Inilah makna qurban dalam hubungannya dengan kemanusiaan. Dalam membangun dunia ini dan membina kebudayaan dan peradaban ummat manusia, hendaklah senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan. Apa arti pembangunan jika harga pembayarannya, berupa pembunuhan kepribadian manusia, merendahkan martabat manusia, memperkosa hak asasi (bukan azasi, lebih salah lagi azazi) manusia, menzalimi manusia. Pembangunan harus difokuskan kepada manusia. Melindungi yang lemah dari yang kuat. Tatanan birokrasi hendaknya berpihak kepada yang lemah. Seperti dengan tegas dinyatakan dalam Pidato Pelantikan Abu Bakar Ashshiddiq RA sebagai Khalifah pertama:
"Orang yang kuat dalam kalangan kamu lemah dalam pandangan saya, sedangkan orang lemah dalam kalangan kamu kuat dalam pandangan saya, oleh karena akan kuambil dari orang kuat hak orang yang lemah dalam kalangan kamu dan aku kembalikan hak itu kepada orang kuat dalam pandangan saya."
Yang kemudian secara tegar Abu Bakar RA melaksanakannya dengan memerangi qabilah yang tidak mau membayar zakat. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 15 Februari 2004
------------------------------
(*) Bentuk kata QRB (qarraba) berpola pada F'AL (fa''ala) yang ditasrifkan menjadi QRBA (qarraba-) untuk orang ketiga ganda, sedangkan kata QRBAN (qurba-n) berpola pada F'ALAN (Fu'la-n) yang ditasrifkan menjadi QRBANA (qurba-nan) karena menjadi maf'ul (obyek), maka menjadilah QRBA QRBANA (qarraba- qurba-nan).
8 Februari 2004
[+/-] |
612. Makna Isma'il Diganti Domba 1/2 |
Tidak kurang secara rasional dipertanyakan orang, buat apa Allah SWT menggantikan Ismail(*) dengan seekor binatang sembelihan yang besar?
-- "WFDYNH BDZBh 'AZHYM" (S. ALSHFT, 37:107), dibaca: wafadayna-hu bidzibhin 'azhi-m (s. ashsha-ffa-t), Bagi Allah SWT tidak ada masalah, Dia Maha Kuasa, Bagi Nabi Ibrahim AS sudah berketetapan hati untuk menyembelih dan Ismail juga sudah ikhlas disembelih. Dan juga menurut Hadits, ibunda Isma'il, Sitti Hajarpun telah ikhlas pula.
Untuk dapat menyimak yang tersirat dibalik penggantian Ismail dengan domba ini, perlu kita ketahui situasi keagamaan di zamannya Nabi Ibrahim AS, sekitar 18 abad sebelum Miladiyah. Yaitu bagaimana upacara korban dalam kalangan bangsa-bangsa tempat Nabi Ibrahim AS berkontak-budaya khususnya, seperti orang-orang Kan'an dan Mesir, dan dalam kalangan bangsa-bangsa seluruh dunia umumnya antara lain orang-orang Viking dan Aztec.
Menjadi kebiasaan dalam agama-agama penyembah berhala dan dewa-dewa melakukan upacara korban dengan membunuh manusia. Di Kan'an bayi-bayi dipersembahkan kepada dewa matahari bernama Ba'al dan Mitras. Di Mesir gadis-gadis perawan dilemparkan ke dalam S. Nil untuk dipersembahkan kepada dewi S. Nil, bahkan upacara korban gadis-gadis perawan ini masih berlangsung hingga zaman permulaan Islam, hingga datangnya pasukan Amr ibn Al Ash ke Mesir, seperti dapat kita baca dalam roman sejarah karya Jirji Zaidan yang berjudul Armanusah alMishriyah.
Orang-orang Viking adalah penduduk asli jazirah Skandinavia, bangsa pelaut yang telah menemukan Amerika berabad-abad sebelum Columbus lahir di dunia. Orang-orang Viking menyembah Odin, dewa perang. Sambil memegang pedang dalam keadaan sekarat menyeru nama Odin, agar supaya dapat masuk ke dalam Valhalla, padang perburuan yang kekal, yang disediakan Odin, demikian keyakinan mereka. Mereka melakukan upacara korban dengan mengikatkan atau menggantung seorang manusia pada pohon yang dianggap suci, kemudian ditusuk dengan tombak. Manusia sang korban adalah seorang pendeta, yang dianggap penjelmaan atau titisan Odin. Jadi terjadi hal yang unik dalam upacara ini, penjelmaan Odin dipersembahkan kepada Odin, tegasnya Odin berkorban kepada Odin untuk menebus dosa manusia. Puisi di bawah ini menggambarkan suasana upacara korban bangsa Viking.
I know that I hung on the windy tree
For nine whole nights
Wounded with the spear
dedicated to Odin
Myself to Myself
Kutahu Aku digantung pada pohon bermandi angin
Sepanjang sembilan malam suntuk
Dilukai tikaman lembing
Dipersembahkan kepada Odin
DiriKu kepada diriKu
Penebusan dosa yang digambarkan dalam bait terakhir, Myself to Myself, diriKu untuk diriKu, maksudnya diriKu yang pertama adalah manusia / pendeta titisan Odin, yaitu Odin yang menjadi manusia, sedangkan diriKu yang kedua adalah Odin sebagai Tuhan, tegasnya Odin dikorbankan kepada Odin untuk menebus dosa. Ini ada kemiripan dengan pengorbanan Yesus untuk menebus dosa manusia. Demikianlah tujuan upacara korban menurut bangsa Viking itu ialah untuk mencuci dan menebus dosa manusia. Darah korban merupakan suatu yang sakral. Inilah sacrifice.
Huitzilpochtli adalah seorang dewa yang menjelmakan dirinya dalam wujud matahari. Dewa ini adalah dewa bangsa Aztec, penduduk asli Mexico (diucapkan mek-khiko). Pekerjaan Huitzilpochtli adalah bertempur terus menerus dengan dewa Malam, dewa Bintang-bintang dan dewi Bulan. Hasil pertempuran itu selalu seri yang berwujud dalam fenomena alam yaitu siang silih berganti malam. Pada waktu Huitzilpochtli menang terjadilah siang, dan waktu lawan-lawannya menang terjadilah malam. Karena Huitzilpochtli dikeroyok, kekuatan kedua pihak lama-kelamaan akan tidak berimbang, dan Huitzilpochtli akhirnya akan kalah. Itu berarti terjadinya malam terus-menerus. Untuk itu bangsa Aztec harus membantunya, agar Huitzilpochtli tetap tegar bertempur melawan musuh-musuhnya. Caranya orang-orang Aztec membantu Huitzilpochtli ialah dengan menyuguhkan jantung manusia. Inilah offering, persembahan.
Dari ilustrasi di atas itu jelaslah kepada kita bahwa agama-agama penyembah dewa dan berhala (paganism) mengorbankan manusia karena darahnya dianggap suci, sakral, dapat mencuci dosa manusia, seperti terkandung dalam kata sacrifice, dan sebagai persembahan untuk dewa, seperti terkandung dalam kata offering. insya-Allah, akan diteruskan pekan depan. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 8 Februari 2004
-----------------------------
(*) Yang akan diqurbankan oleh Nabi Ibrahim AS adalah Isma'il, bukan Ishaq, telah dibahas dalam Seri 587, yang berjudul "Isma'il atau Ishaq?, bertanggal 10 Agustus 2003