Di luar hujan deras bersinergi dengan banjir kiriman. Itu menghasilkan luaran yang berwujud air selokan kecil melimpah menggenangi pekarangan rumah menyapu-nyapu pelataran teras. Juga melimpah mengisi jalan di muka rumah. Untunglah loper telah sempat mengantar Harian "FAJAR" edisi Minggu, 19 Desember '99, sebelum jalan di depan rumah menganak sungai. Saya telah bersiap-siap dan sedang menunggu taksi panggilan untuk menghadiri musyawarah Penyusunan Program Kerja Pesantren IMMIM Putera. Karena hari hujan saya rencanakan pergi ke pesantren dengan taksi. Sebab untuk naik pete'-pete' (oplet) harus mengarungi anak sungai untuk sampai ke jalur pete'-pete'. Stasiun becak yang dekat rumah pagi itu sunyi dari becak, jadi saya tidak dapat naik becak ke jalur pete'-pete'. Seperti saya pernah tulis dalam Seri 383, bahwa "sejak keadaan fisik saya tidak memungkinkan menyetir jauh-jauh, sedangkan saya tidak dapat menggaji sopir pribadi, lagi pula anak-anak yang dapat menyetir sudah mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, ditambah pula sewa taksi yang mahal, maka kalau bepergian di dalam kota saya naik kendaraan umum pete'-pete'. Saya dapat belajar dan merasakan hidup berdemokrasi dengan naik pete'-pete' ini." Demikian yang telah saya tulis dalam Seri 383 tersebut. Mengapa saya tulis tetek-bengek berkendaraan ini, oleh karena ada relevansinya dengan judul di atas.
Sambil menunggu taksi, saya baca halaman 2 Harian "FAJAR" edisi Minggu, 19 Desember '99 tentang Laporan Utama yang berkisar di sekitar ribut-ribut soal mobil DPRD. Ini beberapa komentar yang telah saya baca:
"Itu sebagai tanda bahwa anggota DPRD Sulsel sekarang ini masih punya pola pikir Orde Baru. Saya kira tidak harus jalannya pemerintahan dikontrol dari atas mobil. Mereka memperlihatkan perilaku priyai dan tidak punya sence of crisis. Mereka itu manja dan tidak ikut merasakan krisis yang dialami oleh masyarakat yang diwakilinya. Sebagai wakil rakyat sebaiknya mereka itu menjadi teladan di tengah-tangah masyarakat. Jangan justru memperlihatkan pola hidup yang konsumeristik. Ngototnya mereka minta jatah mobil berarti tidak mempertimbangkan kemampuan pendapatan daerah yang terperosok akibat krisis yang berkepanjangan. Untuk datang dan pergi ke kantor, karena memang belum punya mobil sendiri, ya, gunakan dululah yang ada, maksudnya kendaraan umum becak dan pete'-pete'. Ini baru bertugas 3-4 bulan. Bagaimana kalau masa kerja dewan sudah 1 tahun. Mungkin bukan lagi permintaan mobil, tetapi sudah memelas lagi untuk mendapatkan rumah pribadi." Demikianlah penilaian miring dari beberapa orang yang saya baca pada halaman 2.
Demikianlah hari Ahad pagi itu berlalu dari menit ke menit saya membaca sambil menunggu taksi atapun menunggu taksi sambil membaca. Namun taksi tak kunjung datang. Asal ditelepon ulang bagaimana apa sudah ada taksi yang menuju ke Kompleks Ujungpandang Baru, selalu mendapat jawaban, sabar pak, sedang diusahakan. Biasanya memang dalam keadaan cuaca yang tidak bersahabat itu jaranglah ada sopir taksi yang berani datang ke kompleks yang direndam air itu, karena takut terperangkap air. Sebab seperti yang pernah saya tulis bertahun-tahun lalu bahwa sejak dibangun jalan tol (baca: tanggul) yang menghadang debit air yang melimpah, maka kompleks perumahan Ujungpandang Baru dan sekitarnya berfungsi sebagai perangkap air. (Walaupun telah keluar Kepres yang mengembalikan Kotamadya ini ke nama asalnya yaitu Makassar, namun saya pikir nama Ujungpandang Baru tetaplah demikian, tidaklah perlu semua nama Ujungpandang diubah pula menjadi Makassar. Mengapa? Karena di kotamadya ini ada kecamatan bernama Kecamatan Ujungpandang. Kalau Kecamatan Ujungpandang diubah pula menjadi Kecamatan Makassar, akan terjadi kerancuan, sebab dalam kotamadya ini ada juga kecamatan yang bernama Kecamatan Makassar).
Akhirnya saya putuskan untuk tidak menghadiri rapat. Pada waktu saya membaca komentar yang miring itu di luar hujan bertambah deras, serta banjir kiriman bertambah lantang. Saya bayangkan bagaimana jadinya jika diri saya seorang ketua komisi di DPRD dan harus memimpin sidang komisi dan harus datang ke gedung DPRD dengan pete'-pete'. Salah satu hikmah puasa ialah dapat merasakan derita kelaparan orang-orang yang dalam hidup sehari-harinya bergumul dengan lapar. Orang yang berteori saja dalam seminar lapar tidak akan dapat menghayati apa itu lapar. Berat mata memandang lebih berat bahu memikul. Saya ragu apakah mereka yang mengadakan penilaian yang miring itu pernah naik pete'-pete' dari rumah ke kantornya! Mengapa? Karena hanya orang berpuasa saja yang dapat merasakan derita orang-orang bergumul dengan lapar.
***
Salah satu sikap mental masyarakat agraris ialah visi mereka mengenai harta benda. Mereka memandang harta benda itu dari segi nilai status sosial pemiliknya, intinya dari segi penampilan yang konsumeristik. Al Quran mengajarkan kita akan sikap mental masyarakat madani, yaitu melihat hata benda itu dari segi nilai fungsionalnya. Tujuan puasa ialah untuk meningkatkan diri dari beriman menjadi bertaqwa. Salah satu ciri bertaqwa ialah: W MMA RZQNHM YNFQWN (S. ALBQRT, 3), dibaca: Wa mimma- razaqna-hum yunfiqu-n (s. albaqarah), artinya: Dan dari sebagian yang Kami rezekikan kepada mareka, diinfaqkannya (dikeluarkannya untuk fungsi sosial), (S. Sapi betina, 2:3).
Pada umumnya yang menilai anggota DPRD seperti yang ditaruh di antara dua tanda kutip yang telah dikutip di atas itu, mempunyai sikap mental masyarakat agraris, yaitu memandang mobil itu dari segi penampilan yang konsumeristik. Padahal menurut ajaran Al Quran mobil itu harus dilihat dari segi fungsionalnya, yaitu sikap mental yang melahirkan visi yang dimiliki oleh masyarakat madani.
Alhasil dengan sikap mental masyarakat madani yang memandang mobil itu dari segi fungsionalnya, disertai dengan sence of crisis, para anggota DPRD yang belum mempunyai kendaraan sendiri sangatlah patut dan berhak untuk memperoleh mobil sederhana, yang tangan keduapun (twede hand) jadi, yang penting mesinnya, remnya dan perlengkapan lainnya berfungsi dengan baik. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 26 Desember 1999
26 Desember 1999
[+/-] |
404. Mobil Bagi Anggota DPRD |
19 Desember 1999
[+/-] |
403. Kaitan Ayat (2:185) Dengan (9:36) |
Bunyi ayat itu masing-masing seperti berikut:
SYHR RMDHAN ALDZY ANZL FYH ALQRAN HDY LLNAS WBYNT MN ALHDY WALFRQAN FMN SYHD MNKM ALSYHR FLYSHMH (S. ALBAQRT, 185), dibaca: Syahru ramadha-nal lazi- unzila fi-hil qur.a-nu hudal linna-si wabayyina-tim minal huda- walfrqa-ni faman syahida minkumusy syahra falyasumhu (S. albaqarah), artinya: Bulan Ramadhan yang di dalamnya diturunkan Al Quran petunjuk bagi manusia dan penjelasan dari petunjuk itu dan pemisah (antara yang baik dengan yang buruk), maka (jika) di antara kamu telah menyaksikan bulan itu haruslah dipuasakannya (2:185).
AN 'ADT ALSYHWR 'AND ALLH ATSNA 'ASYR SYHRA (S. ALTWT, 36), dibaca: Inna 'iddatasy syuhu-ri 'indaLla-hitsna- 'asyara syahran (S. attawbah), artinya: Sesungguhnya perhitungan bulan disisi Allah adalah 12 bulan (9:36).
Kaitan kedua ayat itu akan ditunjukkan dengan memakai ilmu bantu: sistem penanggalan, ilmu falak dan ilmu bumi-falak. Kita mulai dahulu dengan penanggalan Romawi. Hitungan tahun dimulai dari kelahiran raja Makedonia, Iskandar Agung. Perhitungan hari dalam setahun berdasar atas sistem syamsiyah (solar): Satu tahun menurut sistem ini, adalah satu kali matahari menempuh lintasan garis ekliptika di bola langit, ini dalam pandangan geosentrik. Kalau dalam pandangan sekarang, satu kali bumi mengelilingi matahari dalam bidang ekliptika. Lamanya sekitar 365,25 hari.
Perhitungan bulan berdasar atas penyesuaian sistem qamariyah (lunar) ke sistem syamsiyah. Satu bulan qamariyah adalah dari bulan sabit baru (hilal) ke bulan sabit baru, ini berganti-ganti 29 dengan 30 hari. Namun tidak selamanya angka 29 dan 30 ini silih berganti. Dengan demikian satu tahun terdiri atas sekitar 12,3 bulan. Karena ini bukan bilangan bulat, maka dibulatkan menjadi 12 bulan dalam satu tahun. Kalau dinyatakan dalam hari, kelebihan 0,23 itu adalah 365 - 354 = 11 hari. Maka diadakanlah penyesuaian dari sistem qamariyah ke sistem syamsiyah dengan cara seperti berikut: setiap bulan dianggap 30 hari, kecuali bulan kelima, jumlahnya cuma 28 hari. Ini berarti 1 tahun jumlahnya hanya 11 x 30 + 28 = 358 hari. Adapun 7 hari yang tersisa (365 - 358) disisipkan satu hari berselang seling, kecuali bulan 10 dan 11 berturut-turut 31 hari. Pecahan 0,25 hari yang tersisa dikumpul setelah 4 tahun menjadi 1 hari, lalu setiap 4 tahun yang 1 hari itu diselipkan pada bulan kelima, sehingga 28 menjadi 29. Penanggalan Romawi ini kemudian diubah sedikit oleh Julius Caesar, yaitu dengan mengubah posisi bulan keempat menjadi bulan pertama. Penanggalan yang diubah oleh Julius Caesar ini disebut penanggalan Julius (Julian Calendar).
Penanggalan Miladiyah (Masehi) dimulai dari kelahiran Nabi 'Isa AS. (Sebenarnya kelahiran Nabi 'Isa AS adalah 8 - 6 tahun lebih dahulu dari tahun menurut sistem kalender Miladiyah). Pada dasarnya meniru sistem penanggalan Romawi- Julius. Pada mulanya penanggalan Miladiyah juga menganggap 1 tahun = 365,25 hari. Kemudian dikoreksi menjadi 4 digit di belakang koma, yaitu 365,2422 hari, jadi berbeda 0,0078 hari setiap tahun. Pada tahun 1582 M. atas inisiatif Paus Gregorius XIII diadakanlah revisi penanggalan Miladiyah. Hasilnya ialah tanggal 5 Oktober 1582 M. harus dianggap 15 Oktober 1582 M. Artinya tanggal 5 s/d 14 Oktober 1582 M. dianggap tidak pernah ada, jadi dikoreksi 10 hari. (Koreksi itu tidak akurat, menurut perhitungan saya seharusnya 12,3406 dibulatkan 12 hari). Penanggalan Miladiyah yang sudah direvisi ini disebut penanggalan Gregorius (Gregorian Calendar).
Bangsa Arab di zaman pra-Islam memakai patokan tahun bukan berupa bilangan, melainkan topic of the year. Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW disebut tahun gajah, karena yang menjadi topic of the year pada waktu itu adalah peristiwa hancurnya tentara bergajah Abraha. Sistem ini berlaku juga di zaman Islam, hingga Khalifah Umar ibn Khattab mengubahnya dengan sistem bilangan, yaitu dimulai dari peristiwa hijrah, sehingga disebutlah penanggalan Hijriyah.
Dalam penanggalan pra-Islam ini perhitungan bulan juga berdasar atas penyesuaian sistem qamariyah ke sistem syamsiyah. Namun memakai cara lain untuk menaggulangi kelebihan yang 11 hari tersebut. Yaitu dengan mengumpulkan kelebihan itu setelah tiga tahun. Jadi dalam tiga tahun terkumpullah sekitar 33 hari. Ini dijadikan 1 bulan. Dengan demikian setiap tiga tahun, jumlah bulan dalam tahun tersebut sebanyak 13. Karena penyesuaian ke sistem syamsiyah dalam zaman pra-Islam itulah, maka bulan ke-9 tetap dalam musim panas, sehingga bulan itu diberi bernama Ramadhan, membakar.
Sistem penanggalan pra-Islam ini masih berlaku di kalangan Ummat Islam, hingga turun ayat (9:36), yang menegaskan jumlah bulan 12, artinya dalam perhitungan bulan tidak dibolehkan melakukan penyesuaian sistem qamariyah ke sistem syamsiyah yang mengakibatkan ada tahun dengan jumlah bulannya 13. Demikianlah ayat (9:36) menggariskan sistem qamariyah murni. Ini mempermudah penanggalan Hijriyah, karena orang hanya berurusan dengan bilangan bulat, jadi tidak perlu mengoreksi bilangan pecahan seperti dalam penanggalan Romawi-Julius dan penanggalan Gregorius. Akibat yang lain ialah 1 tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dari 1 tahun syamsiyah.
***
Bumi berpusing pada sumbunya dengan kemiringan 23,5o terhadap bidang ekliptika. Ini menyebabkan dilihat dari bumi proyeksi lintasan matahari pada bola langit berupa garis sinusoide yang garis tengahnya adalah garis Khattulistiwa, jika bola langit itu diratakan menjadi bidang datar seperti peta bumi dengan sistem Mercator. Kedua puncak sinusoide sebelah utara dan selatan Khattulistiwa terletak masing-masing pada garis 23,5o lintang utara (Tropic of Cancer) dan garis 23,5o lintang selatan (Tropic of Capricorn).
Karena 1 tahun qamariyah lebih pendek 11 hari dari 1 tahun syamsiyah, maka seluruh bulan dalam penanggalan Hijriyah setiap 1 tahun syamsiyah juga bergeser 11 hari, sehingga bulan Ramadhan tidaklah lagi tetap bulan membakar. Ibadah puasa dan ibadah haji tidaklah dilaksanakan dalam musim yang tetap.
Akibat matahari pada bola langit bergerak berganti-ganti ke garis Tropic of Cancer di utara dan garis Tropic of Capricorn di selatan, maka terjadilah keadilan. Penduduk pada kedua belahan bumi utara dan selatan secara bergantian berpuasa pada hari yang panjang. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 19 Desember 1999
12 Desember 1999
[+/-] |
402. Undang-undang Tidak Boleh Berlaku Surut?, dan Hukum Harus Ditegakkan Sekalipun Langit Akan Runtuh? |
Firman Allah SWT: YAYHA ALDZYN AMNWA KTB 'ALYKM ALSHYAM KMA KTB ALY ALDZYN MN QBLKM L'ALKM TTQWN (S. ALBQRT, 183), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manu- kutiba 'alaykumush shiya-mu kama- kutiba 'alal ladzi-na ming qablikum la'allkum tattaqu-n (s. albaqarah), artinya: Hai orang-orang beriman, diperlukan atas kamu berpuasa, seperti diperlukan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa (S. Sapi betina, 2:183).
Ayat (2:183) tersebut sangat populer dida'wakan pada permulaan bulan puasa. Ayat itu menjelaskan bahwa puasa merupakan wasilah supaya orang beriman mencapai derajat taqwa. La'allakum tattaqu-n, supaya kamu bertaqwa. Tujuan akhir adalah bertaqwa, derajat yang lebih tinggi dari beriman. Ayat (2:183) adalah berorientasi luaran (output oriented) yang bernilai tambah.
Di bangku SMP diajarkan makna peribahasa: Bahasa menunjukkan bangsa, yaitu tutur sapa dan perilaku sopan santun seseorang menunjukkan bahwa ia dari keturunan orang baik-baik. Sesungguhnya makna peribahasa itu dapat dikembangkan lebih jauh. Bahasa sebuah bangsa menunjukkan visi bangsa itu. Menanak nasi, appallu kanre, mannasu nanre, menunjukkan visi beberapa rumpun dari ras Melayu berorientasi luaran yang bernilai tambah, karena nasi mempunyai nilai tambah ketimbang beras. (Ada penyimpangan yaitu rumah sakit, balla' garring, bukan rumah sehat, balla' gassing, tetapi ini pengaruh dari visi Belanda: zieken huis, ziek = sakit, huis = rumah).
Berdasar atas prinsip berorientasi luaran yang bernilai tambah, akan dibahas kedua penggal dari judul di atas.
Narkoba mengancam kelanjutan generasi anak-anak bangsa. Masyarakat menuntut hukuman mati bagi pengedar Narkoba, termasuk Zarima si genderuwo Narkoba. Sayangnya rasa keadilan masyarakat yang menuntut hukuman mati atas para perusak generasi muda itu tidak dapat dipenuhi. Mengapa? Karena tidak ada sanksi berupa hukuman mati dalam Undang-Undang Psikotropika. Bagaimana kalau Undang-Undang tersebut ditambal sulam dimasukkan sanksi berupa hukuman mati ke dalamnya? Masih tetap tidak dapat menjaring mereka yang dituntut oleh masyarakat itu, karena dihadang oleh Pasal 1 ayat 2 dalam KUHP: "Apabila ada perubahan peraturan perundangan sesudah perbuatan itu dilakukan, maka haruslah dipakai aturan yang ringan bagi tersangka." Kalau demikian Undang-Undang Psikotropika direformasi, dibuat Undang-Undang yang baru, yaitu Undang-Undang Anti Narkoba. Inipun dihadang oleh sebuah visi bahwa tidak perlu membuat banyak-banyak Undang-Undang. Sebab yang penting adalah pelaksanaan Undang-Undang yang baik. Lebih baik Undang-Undangnya jelek tetapi yang menjalankan Undang-Undang itu baik, ketimbang Undang-Undangnya yang bagus, tetapi yang menjalankannya tidak baik. Visi tersebut bertentangan dengan prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah seperti dikemukakan oleh Al Quran dan budaya bangsa. Jadi seharusnya ialah Undang-Undang yang baik dan pelaksanaannya yang baik. Ini barulah namanya berorientasi luaran yang bernilai tambah.
Namun apabila dibuat Undang-Undang Anti Narkoba yang baru dengan sanksi berupa hukuman mati, itupun tidak dapat menjaring para penjahat pengedar Narkoba yang ada sebelum Undang-Undang baru itu lahir karena dihadang oleh ketentuan bahwa Undang-Undang tidak boleh berlaku surut, yang digariskan oleh Pasal 1 ayat 1 KUHP: "Sesuatu perbuatan tidak dapat dihukum selain atas kekuatan aturan Pidana dalam Undang-Undang, yang diadakan sebelum perbuatan itu terjadi." Dasar filosofi Pasal 1 ayat 1 KUHP konon berasal dari nyanyian Paul Johann Anselm von Feurbach (1775 - 1833), seorang jurist dan filosof berbangsa Jerman, spesialist dalam Kriminologi dan orang yang mula pertama mengilmiyahkan atheisme. Ia bernyanyi seperti berikut:
Nulla poena sine lege
Nulla poena sine Crimine
Nullum Crimen
sine poena legali
artinya:
Tak ada hukuman, tanpa Undang-Undang
Tak ada hukuman, tanpa kejahatan
Tak ada kejahatan,
tanpa hukuman berdasar Undang-Undang
Syahdan, tidaklah dapat dijaring para penjahat pengedar Narkoba seperti Alfred yang ditangkap basah Lettu Pol Jamila Andy misalnya, jika tetap "mensakralkan" nyanyian Feurbach (dibaca: Foirbakh), yang dilulur bulat-bulat dalam KUHP made in Holland (Wetboek van Strafrecht, lahir 1 Januari 1918, yang masih dipakai sekarang ini, berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945), yang menggariskan: Undang-Undang tidak boleh berlaku surut tersebut. Oleh sebab itu dalam KUHP made in Indonesia yang sudah lama digodok dalam DPR sejak Orde Baru, dimasukkanlah substansi yang berikut: "Menyangkut tindak pidana Narkoba, Korupsi dan Hak Asasi Manusia haruslah peraturan perundangan dinyatakan berlaku surut selama 20 tahun." Seharusnya hari peringatan HAM kemarin itu menjadi cambuk bagi DPR dan Pemerintah supaya KUHP made in Indonesia itu diselesaikan secepat-cepatnya, sehingga para pelanggar HAM selama dan sesudah DOM di Aceh dapat dijaring dengan Undang-Undang HAM.
Bertahun-tahun lalu saya pernah berbincang-bincang dengan Prof. MG Ohorella yang baru saja pulang dari p. Seram sehubungan dengan penobatan beliau sebagai Raja. Dalam berbincang-bincang itu beliau berkata, bahwa ada seorang pakar ilmu hukum (saya sudah lupa-lupa ingat nama pakar itu) yang sangat ketat memegang prinsip: Hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh. Prinsip yang dinyatakan dalam gaya hiperbolis itu saya baca pula baru-baru ini dalam tulisan Siswanto Sunarso, anggota DPRD Tingkat I Sulsel yang berjudul: Main Hakim Sendiri terhadap Pelaku Kejahatan (FAJAR, edisi Selasa 7 Desember 1999, halaman 4).
Mengenai penggalan kedua dari judul di atas akan dibahas singkat saja. Prinsip hukum harus ditegakkan sekalipun "langit" akan runtuh, adalah prinsip menjadikan hukum sebagai panglima. Sebenarnya tidaklah mesti selalu hukum yang menjadi panglima, karena sewaktu-waktu politik perlu pula menjadi panglima. Jadi lihat sikonnya. Buat apa menjalankan hukum secara ngotot kalau "langit" akan runtuh. Pelaksanaan DOM di Aceh itu berdasar atas hukum dijadikan panglima. Maka runtuhlah "langit" di Aceh, yaitu pelanggaran HAM. Alhasil, haruslah prinsip orientasi luaran yang bernilai tambah yang dipegang. Menghadapi Aceh haruslah menjadikan politik sebagai panglima, jangan hukum yang dijadikan panglima, sebab "langit" akan runtuh, seperti terjadi selama dan sesudah DOM. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 12 Desember 1999
5 Desember 1999
[+/-] |
401. Wasilah Da'wah |
Dalam menghadapi bulan Ramadhan DPP IMMIM melaksanakan kegiatan Refreshing Muballigh, pada hari Kamis 24 Sya'ban 1420 H, 2 Desember 1999. Penulis kolom ini mendapat amanah memberikan materi Wasilah Da'wah, yang sebagian dari padanya dinukilkan dalam seri ini. Dalam Seri 399 yang berjudul: Wasilah dan Paradigma Ilmu telah dijelaskan bahwa wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Dalam Al Quran Allah hanya mengabulkan do'a hambaNya jika ditujukan langsung kepadaNya tanpa perantara disertai dengan syarat: AJYB DA'WATA ALDA'A ADZA D'AAN FLYSTJYBWA LY WLYW"MNWA BY (S. ALBQRT, 186), dibaca: Uji-bu da'watad da-'i idza- da'a-ni falyastaji-bu- liy walyu"minu- bi- (S. albaqarah), artinya: Aku perkenankan permohonan (do'a) pemohon (pendo'a) apabila bermohon (berdo'a) kepadaKu, namun (dengan syarat) haruslah mengikuti perintahKu dan beriman kepadaKu (S. Sapi betina, 2:186).
Wasilah atau perantara dalam bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa barat disebut media. Bentuk kata ini sebenarnya bentuk jama', bentuk tunggalnya adalah medium. Akan tetapi dalam bahasa Indonesia bentuk kata media dipakai baik dalam bentuk tunggal maupun jama'.
Kita dapat baca kata da'wah dalam ayat (2:186) yang dikutip di atas, yaitu dalam bacaan: da'watad da-'i. Kurang begitu jelas kelihatan kata da'wah, karena konsonan d sesungguhnya mesti dilekatkan pada da-'i, jadi da'wata dda-'i. Bunyi ta apabila ada di akhir kata yang berdiri sendiri dibaca: h. Jadi da'wata dibaca da'wah kalau berdiri sendiri atau di akhir perhentian kalimat yang diucapkan. Dalam ayat (2:186) da'wah berarti permohonan, karena ditujukan kepada Allah. Apabila da'wah ditujukan kepada sesama manusia berarti himbauan. Secara substantif kedua terjemahan itu menujukkan bahwa si pemohon ataupun si penghimbau tidaklah mempunyai otoritas atas kepada siapa permohonan ataupun himbauan itu ditujukan. Demikianlah seluk-beluk kedua kata yang membentuk judul di atas.
Demikianlah seorang muballigh (penyampai) ataupun da'i (penghimbau) harus dapat menyadari posisinya bahwa ia tidak berada di atas orang yang dihimbaunya, tidak mempunyai otoritas atas mereka, tidak dapat memerintah mereka. Sehingga seorang muballigh ataupun da'i tidak dapat melakukan amar ma'ruf nahi mungkar (memerintahkan kebajikan, mencegah kemungkaran). Ia hanya dapat yad'u-na ilal khayr (menghimbau, menyampaikan nilai-nilai kebajikan). Oleh sebab itu orang mengenal dua jenis organisasi, yaitu organisasi da'wah dan organisasi (baca: partai) politik. Organisasi da'wah tidak termasuk dalam sistem kekuasaan, seperti misalnya MUI, Muhammadiyah, NU dll, jadi tidak dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran. Partai politik termasuk dalam sistem kekuasaan, sehingga dapat memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran jika Parpol itu menang dalam Pemilu. Sayangnya ummat Islam masih banyak yang tidak menyadari hal ini, sehingga tidak dapat memerintahkan kebajikan menurut nilai Islam, oleh karena tidak atau belum mau mengelompokkan diri dalam partai yang berasaskan Islam.
Hanya pada kesempatan tertentu seorang muballigh dapat menyampaikan pesan-pesan secara langsung kepada ummat yang jumlahnya ratusan ataupun ribuan. Itu hanya dapat dilakukan pada kesempatan membacakan khuthbah Jum'at, khuthbah 'Iydu lFithri dan 'Iydu lQurban, serta pada peringatan hari-hari besar Islam yang lain, seperti peringatan Mawlid dan Isra-Mi'raj Nabi Muhammad SAW. Sedangkan pada kesempatan lain yang lebih sering muballigh menyampaikan pesan-pesan secara langsung hanya terbatas kepada jumlah ummat yang sedikit, seperti dalam pendidikan formal, paling banyak yang mengisi ruang aula.
Oleh sebab itu muballigh dalam keadaan biasa hanya dapat menyampaikan pesan-pesan secara tidak langsung dengan memakai wasilah: media cetak, media elektronik dan kesenian. Wali Songo mempergunakan cerita wayang dengan gamelan sebagai wasilah da'wah. Cerita wayang itu dimodifikasi sedemikan rupa sehingga dapat berwujud da'wah Islam, seperti misalnya mengintroduser senjata pamungkas yang paling tangguh yang disebut senjata Kalimasodo, yang maksudnya tidak lain dari Kalimah Syahadatain. Substansi pesan-pesan yang disampaikan hanya dapat mengenai sasarannya jika keluar sepenuhnya dengan ikhlas dari qalbu muballigh. Apabila pesan-pesan itu keluar dari sektor shadru dari qalbu (hati nurani) para muballigh, maka pesan-pesan itu akan menghunjam masuk juga ke dalam hati nurani pendengarnya. Jika pesan-pesan itu keluar dari sektor fuad dari qalbu (nalar) para mubaligh, maka pesan-pesan itu akan termakan dengan baik oleh nalar pendengarnya.
Kesenian adalah wasilah yang paling cocok untuk substansi yang berhubungan dengan hati nurani. Rhoma Irama dengan lagu dangdutnya, Ainun Najib dengan Kiyai Kanjengnya merupakan wasilah di bidang musik dewasa ini yang populer. Hanya sayangnya lagu-lagu dangdut mempunyai irama yang genit, merayu dan vulgar (irama India), sehingga tidak begitu cocok untuk wasilah da'wah. Buktinya lagu-lagu dangdut itu pada umumnya menjurus kepada rangsangan kekerasan dan libido kaum remaja. Sebenarnya lagu-lagu jenis keroncong dan seriosa yang cocok sebagai wasilah da'wah. Sayangnya lagu-lagu seriosa tidak merakyat, sedangkan lagu-lagu keroncong yang pernah merakyat itu dikalahkan oleh lagu-lagu dangdut. Menjadi tantangan bagi seniman Muslim untuk menggubah lagu-lagu keroncong sebagai wasilah da'wah. Di Tugu di pinggiran Jakarta ada komunitas saudara-saudara sebangsa kita yang beragama Nasrani, konon turunan dari bangsa Portugis, yang memakai lagu keroncong sebagai musik dalam gereja. Walla-hu a'lamu bishshawa-b. *)
*** Makassar, 5 Desember 1999
28 November 1999
[+/-] |
400. Dari Sabang Sampai Merauke, Masalah Aceh |
Wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke (DSSM) tidak disebutkan dalam UUD-1945. Ungkapan DSSM hanya ada dalam sebuah lagu, lengkapnya seperti berikut:
Dari Sabang sampai Merauke,
berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu,
itulah Indonesia
Indonesia tanah airku,
aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku,
tanah airku Indonesia
Karena wilayah Republik Indonesia tidak ditegaskan dalam UUD-1945 itulah, maka salah seorang mahasiswa dalam acara diskusi Partai-Partai di TPI mengemukakan jika Aceh memisahkan diri dari Republik Indonesia tidaklah melanggar konstitusi.
Sebenarnya kalau dikaji tenang-tenang, maka akar permasalahan Aceh terletak dalam hal pencoretan 7 kata tatkala Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD-1945 pada 18 Agustus 1945. Yaitu: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal adanya 7 kata itu adalah hasil kompromi. Sebab menurut konsep semula berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam.
Pencoretan 7 kata itu diusulkan oleh Bung Hatta, karena adanya informasi yang masuk bahwa dari bagian timur Indonesia tidak akan mau bergabung dalam negara yang diproklamasikan sehari sebelumnya oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia jika ke-7 kata itu tidak dicoret. Tepatlah apa yang dikatakan oleh almarhum Alamsyah Ratu Prawiranegara bahwa sesungguhnya Pancasila (baca: Sila I) itu adalah hadiah yang diberikan oleh ummat Islam kepada bangsa Indonesia. Namun ternyata kemudian dari daerah bahagian timur yang tidak mau bergabung itu jika ke-7 kata itu tidak dicoret, muncullah Republik Maluku Selatan (RMS) dan Twapro, yaitu kependekan dari Twaalfde Provintie (provinsi ke-12). Nederland (negeri Belanda) terdiri atas 11 provinsi, maka provinsi ke-12 terletak di seberang laut yaitu di Minahasa. Ya, seperti negara bahagian ke-50 Hawai yang terletak di seberang laut dari USA daratan.
Atas hasil rekayasa van Mook, berdirilah Negara Indonesia Timur (NIT), dengan Presiden Tjokorde Gede Rake Soekawati dan Perdana Menteri Ide Anak Agung Gede Agung. Bukan saja NIT yang terbentuk, melainkan van Mook berhasil pula memicu berdirinya negara-negara seperti Negara Kalimantan Barat, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur dll, pokoknya di mana-mana bertebaran timbulnya negara-negara. Negara Republik Indonesia dengan UUD-1945 menciut menjadi hanya dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Aceh. Negara RI dan negara-negara rekayasa van Mook itu kemudian bersatu dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS), DSSM. Sekali lagi DSSM ini tetap hanya ada dalam nyanyian tidak ada dalam Konstitusi RIS.
Karena proses historis inilah, maka konon ahli Indonesia dari Prancis Francois R. mengatakan bahwa federasi secara historis berkonotasi kurang baik. Rekayasa van Mook ini ditentang oleh rakyat dalam semua negara bagian itu yang bergolak menuntut kembali menjadi negara kesatuan. Hasilnya RIS kembali menjadi negara kesatuan, namun tidak memakai UUD-1945. Mengapa? Karena prosesnya bukan negara-negara rekayasa van Mook itu yang melebur masuk Negara RI Yogyakarta + Aceh, melainkan semua negara dalam federasi itu melebur diri bersama-sama menjadi satu dengan UUD Sementara. Melalui Pemilu 1955 dibentuk Konstituante untuk membuat UUD yang tetap. Pekerjaan Konstituante sudah hampir rampung, namun secara tergesa-gesa Bung Karno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD-1945.
Pencoretan Syari'at Islam setelah Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD-1945 harganya mahal sekali, yaitu timbulnya kemudian pemberontakan Darul Islam dengan pasukan bersenjatanya Tentara Islam Indonesia, yang biasanya disingkat DI/TII, di Aceh (Teungku Daud Bereueh), Jawa Barat (Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar) dan Sulawesi Selatan (Abdul Qahhar Mudzakkar). Kecuali Teungku Daud Bereueh, satu demi satu pimpinan DII/TII Jabar, Kalsel dan Sulsel ditangkap kemudian dihukum mati atau syahid dalam pertempuran. Di Sulawesi Selatan anak buah Abdul Qahhar Mudzakkar yang tersisa aktif menumpas pemberontak komunis Gestapu dengan berbasis masjid, dan itulah cikal-bakal lahirnya Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM)
Teungku Daud Bereueh berhasil dibujuk oleh Soekarno dengan tawaran Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan itu terletak dalam hal Syari'at Islam. Inilah janji pertama Pemerintah Pusat untuk Aceh. Janji ini tidak pernah ditindak lanjuti dalam wujud undang-undang. Maka DI/TII yang mulanya dipimpin Tengku Daud Bereueh kemudian meneruskan mengangkat senjata di bawah pimpinan Teungku Hasan di Tiro, turunan langsung Pahlawan Nasional Tengku Cik di Tiro. Bahkan pada zaman Orde Baru janji itu bukannnya ditindak lanjuti dengan membuat undang-undang melainkan dengan Daerah Operasi Militer (DOM) yang tragis itu.
Perlawanan yang dipimpin Teungku Hasan di Tiro secara remote control dari luar negeri (terakhir dari Swedia) kemudian mengubah organisasi perlawanan dari DII/TII menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kalau TII masih ada Indonesianya, maka GAM sudah hilang sama sekali Indonesianya.
Firman Allah:
-- WALTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: Waltnzhur nafsun ma- qaddamat lighadin (al hasyr), artinya: Mestilah orang mengkaji masa lampau untuk masa depan (S. Mengumpul, 59:18). Melihat apa yang lalu dalam konteks masalah Aceh, maka yang terbaik dikemukakan dalam referendum ialah: opsi pertama: otonomi khusus + Syari'at Islam + kesatuan GAM menjadi Polri di Aceh dan opsi kedua: federasi. GAM harus ada dalam opsi, sebab suka atau tidak suka eksistensi GAM adalah suatu de facto, berhubung DOM tidak berhasil menghapus eksistensi GAM, bahkan menimbulkan pelanggaran HAM.
Tentang hal federasi yang menurut Francois R. secara historis berkonotasi kurang baik, tidak berlaku di sini, oleh karena konteksnya lain. Opini Francois R. dalam konteks skenario van Mook, sedangkan federasi dalam opsi referendum di Aceh dalam konteks janji-janji kosong dan penyakit sentralistik Pemerintah Pusat Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi sosial, kebudayaan, ditambah pula dengan akibat DOM yaitu pelanggaran HAM. Dalam kedua opsi tersebut Indonesia masih tetap dari Sabang sampai Merauke. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 28 November 1999
21 November 1999
[+/-] |
399. Wasilah dan Paradigma Ilmu |
Wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal Allah, buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah yang berarti hamba Allah. Pengenalan kepada Allah ini bersumber dari Nabi Isma'il AS, nenek moyang bangsa Arab. Hal berhala yang dijadikan wasilah ini disindir dalam Al Quran:
-- AWLaK ALDZYN YD'AWN YBTGHWN ALY RBHM ALWSYLT (S. BNY ASRAaYL, 57), dibaca: Ula-ikal ladzi-na yad'u-na yabtaghu-na ila- rabbihim wasilah (S. Bani- Isra-i-l), artinya: Mereka yang berdoa mencari wasilah kepada Tuhan mereka (17:57). Biasanya pula ada yang menjadikan alim-ulama yang telah wafat sebagai wasilah untuk berkomunikasi dengan Allah, tidak terkecuali di Indonesia, khususnya di tanah Makassar ini. Masyarakat Sulawesi Selatan dan dari daerah-daerah lain banyak yang datang menziarahi makam Allahu yarham Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka, seorang ulama besar, menulis banyak buku, mujahid (pejuang) kemerdekaan berkaliber internasional, yang berjihad bergerilya melawan Belanda di Banten dan Ceribon, tetap berjuang di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan, yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Afrika Selatan kemudian secara terlambat sekali disusul oleh Pemerintah Republik Indonesia yang mengangkatnya pula menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Diantara para peziarah ke makam itu tidak kurang yang menjadikan Syaikh Yusuf sebagai wasilah kepada Allah.
Di Indonesia ini dalam bidang politik ekonomi wasilah inipun dipraktekkan juga. Sepatu yang diproduksi di tanah Pasundan dikirim dahulu ke Sungapura, lalu dicap di sana: made in Singapore, kemudian dimasukkan lagi di Indonesia barulah konsumen di Indonesia tergiur membelinya. Dalam hal ini Singapura dijadikan wasilah. Rencana pemerintah membuka hubungan dagang dengan Israel, karena ingin menjadikan Israel sebagai wasilah untuk menarik minat inverstor asing. Dengan menjadikan bangsa asing (baca: Singapura dan Israel) sebagai wasilah dalam bidang politik ekonomi menunjukkan kebanyakan dari masyarakat kita masih bermental jajahan yang disebut kompleks rendah diri (inferiority complex). Apakah dengan menyewa lembaga asing PwC yang upahnya cukup tinggi (ini juga dari uang rakyat) disebabkan pula oleh mental jajahan tersebut, ini perlu direnungkan baik-baik!
***
Fuad Rumi menanggapi tulisan saya dalam kolom ini Seri 397 tentang Isra-Mi'raj, tatkala bertemu di Ruang Tunggu Rektor UMI beberapa hari yang lalu. Ia tidak dapat menerima seluruhnya bahwa peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat didekati secara ilmiyah. Dalam Seri 397 itu saya mengemukakan bahwa orang tidak dapat melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra-Mi'raj.
Ilmu berasal dari akar kata yang dibentuk oleh 'ain, lam, mim artinya tahu. Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu adalah hasil olahan dari sumber informasi, sedangkan pengetahuan hanya sekadar endapan dari sumber informasi tanpa olahan. Olahan adalah sebuah proses dalam qalbu manusia. Ada tiga sektor dalam qalbu yaitu shudr, fuad dan hawa. Sumber informasi yang diolah oleh shudr hasilnya disebut ilmu tasawuf, sumber informasi yang diolah oleh fuad disebut ilmu pengetahuan (science) dan ilmu filsafat, sedangkan sumber informasi yang diolah oleh hawa disebut naluri (instinct). Yang terakhir ini dimiliki juga oleh binatang.
Ketiga komponen dalam qalbu manusia itu untuk setiap orang berbeda-beda kecerdasannya. Kecerdasan emosi dari shudr diukur dalam emotional quotient (EQ), dan kecerdasan berpikir dari fuad diukur dalam intelligence quotient (IQ). Sedangkan kecerdasan naluri (instinct) sepanjang pengetahuan saya belum pernah diukur sehingga belum ada yang disebut instinct quotient.
Dalam diskusi kecil-kecilan itu saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa memang ada kekurangan dalam uraian saya itu mengenai peristilahan ilmiyah. Sesungguhnya semua istilah ilmiyah yang saya tuliskan dalam bahasan itu seharusnya dibaca ilmiyah sekuler. Bahwa makhluk yang bernama sekuler itu bukan hanya terdapat dalam lapangan politik praktis belaka, melainkan terdapat dalam segala bidang yang memisahkan antara wahyu dengan akal serta iman dengan ilmu, alias dikhotomi antara dunia dengan akhirat. Ilmu sekuler (dari secula artinya dunia) bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme, yaitu filsafat yang tanpa sadar diakui ataupun diterima oleh masyarakat ilmuan muslim untuk kelanjutan aktivitas keilmuan mereka. Positivisme adalah sistem filsafat yang hanya mengakui fakta-fakta dan fenomena yang positif, yaitu yang dapat dideteksi oleh pancaindera baik secara langsung maupun tak langsung melalui pertolongan instrumen dalam laboratorium. Dengan demikian ilmu sekuler hanya menerima sumber informasi dari dunia atau alam syahadah.
Saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa peristiwa Isra-Mi'raj dapat saja didekati secara ilmiyah apabila paradigma ilmu itu diubah, bukan lagi bertumpu di atas filsafat positivisme yang hanya mengenal satu jenis sumber informasi. Paket ayat yang mula-mula diturunkan dimulai dengan:
-- AQRA BASM RBK (S. AL'ALQ, 1), dibaca: Iqra' bismi rabbik (S. al'alaq), artinya: Bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S. Segumpal darah, 96:1).
Yang dibaca itu adalah sumber informasi berupa ayat, yang terdiri atas ayat qawliyah (verbal), yaitu Kitab Suci Al Quran dan ayat kawniyah (kosmologis), yaitu alam syahadah (physical world). Alhasil dengan mengubah tumpuan ilmu dari paradigma filsafat positivisme menjadi paradigma S. Al 'Alaq, ayat 1, maka peristiwa Isra-Mi'raj dapatlah didekati secara ilmiyah. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 21 November 1999
14 November 1999
[+/-] |
398. Penyisipan Dalam Terjemahan Al Quran dan Tahlil Dalam Azan di TPI |
Pergolakan politik di tanah air kita tinggalkan dahulu untuk dibahas. Presiden sendiri juga kelihatannya buat sementara tidak mau repot kok (baca: keliling Asean, USA dan Jepang). Tampaknya pemerintah menempuh politik ranca' di labuah, politik luar negeri lebih diprioritaskan ketimbang di dalam negeri, yaitu masalah Aceh yang sangat mendesak dan resistensi yang mulai marak tentang rencana hubungan dagang dengan Israel. Politik ranca' di labuah ini mengandung risiko: Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Seperti yang telah dijanjikan dalam Seri 397, maka dalam seri ini dibahas kedua contoh terakhir tentang penyisipan, yaitu seperti dinyatakan dalam judul di atas.
Firman Allah SWT: WHW ALDZY KHLQ ALYL WALNHAR WALSYMS WALQMR KL FY FLK YSBHWN (S.ALANBYA", 33), dibaca: Wahuwal ladzi- khalaqal layla wannaha-ra wasysyamsa walqamara kullun fi- falakin yasbahu-n (S. al ambiya-',21:33), diterjemahkan: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya. Terjemahan tersebut dapat dibaca dalam halaman 499 dari Buku Terjemahan Al Quran oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, berdasar atas SK Menteri Agama RI no.144, tahun 1989. Eloknya dalam menterjemahkan itu kata-kata sisipan ditaruh di antara dua kurung, jadi cantiknya demikian: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing (dari keduanya itu) beredar dalam garis edarnya.
Rupanya terjemahan itu berlatar belakang pada pemikiran pendekatan kontekstual. Yakni yang beredar itu dalam konteks matahari dan bulan, sehingga perlu disisipkan kata-kata dari keduanya itu, untuk lebih mempertajam makna terjemahan itu. Namun perlu dicamkan bahwa tidaklah selamanya terjemahan ataupun penafsiran itu harus memakai pendekatan kontekstual. Dalam kasus terjemahan di atas penyisipan itu mengakibatkan dua kesalahan, yaitu kesalahan gramatikal dan kesalahan substansial.
Dalam bahasa Arab ada tiga tingkat dalam menyatakan jumlah, yaitu: mufrad (tunggal), mutsanna (dua) dan jama' (banyak, tiga ke atas). Berbeda misalnya dengan bahasa Belanda, yang hanya dua tingkat: enkelvoud (tunggal) dan meervoud (banyak, dua ke atas). Kata terakhir dari ayat (21:33) yang diterjemahkan di atas ialah YSBHWN (dibaca: yasbahu-n), bentuknya jama', lebih dari dua yang beredar. Dengan penyisipan itu, maka terjadilah kesalahan gramatikal. Penyisipan kata keduanya hanya boleh dilakukan jika seandainya kata terakhir ayat (21:33) bukan dalam bentuk YSBHWN, melainkan YSBHAN (dibaca: yasbaha-n), artinya dua yang beredar. Jadi terjemahan itu seharusnya demikian: Matahari dan bulan masing-masing berenang dalam falaknya.
Kesalahan substansial ialah terjemahan Dept Agama mematok bahwa yang beredar hanya matahari dan bulan saja. Padahal ayat (21:33) mengisyaratkan ada yang tersirat. Yaitu setelah menyebutkan matahari dan bulan lalu ditutup dengan kata dalam bentuk jama', lebih dari dua yang beredar, artinya yang beredar itu bukan matahari dan bulan saja. Tiap-tiap sesuatu ciptaan Allah di alam syahadah ini beredar ataupun berenang dalam falaknya, termasuk bumi. Ayat (21:33) mengisyaratkan yang tersirat yaitu bumipun beredar dalam orbitnya.
Bayangkan apabila di zaman Nabi Muhammad SAW Al Quran dengan terang-terangan menyatakan bahwa bumi bergerak, maka masyarakat akan menolak untuk percaya. Itulah gaya Al Quran, informasi yang belum dapat dicerna oleh masyrakat berhubung karena lingkungan budayanya masih belum mampu untuk mencerna informasi itu, Al Quran menyampaikannya secara isyarat yang tersirat. Karena Al Quran diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia dari seluruh tingkat budayanya masing-masing sampai akhir zaman.
Kalimah Tahlil adalah kalimah mengEsakan Allah: LA ALH ALA ALLH dibaca: La- ila-ha illaLla-h, yang artinya: Tiada tuhan kecuali Allah. Ke dalam terjemahan kalimah Tahlil ini dalam azan di TPI disisipkan anak kalimat: yang patut disembah, sehingga menjadi: Tiada tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah. Terjemahan tersebut dicemari oleh polytheisme: Selain Allah yang patut disembah terdapat tuhan-tuhan lain yang tidak patut disembah. Ini disebut faham monolatry, yaitu hanya menyembah satu Tuhan, sementara mengakui eksistensi tuhan-tuhan yang lain yang tidak patut disembah (the worship of but one God, when other gods are recognized as existing).
Dalam kurun waktu (1700-1550) sebelum Miladiyah (SM) Dinasti Hyksos (Raja Gembala) bangsa al 'Ibriyah al Qadimah dari Kan'an memerintah Mesir setelah menundukkan Dinasti Fir'aun. Salah seorang raja Hyksos mengawinkan puterinya Sitti Hajar dengan Nabi Ibrahim AS dari bangsa al 'Ibriyah al Jadidah (Ibrani, Habiru). Tiga generasi sesudahnya bangsa Ibrani diizinkan menetap di delta s.Nil (Goschen) atas prakarsa Raja Muda Mesir Nabi Yusuf AS. Ajaran Tawhid, mengEsakan Tuhan, yang diajarkan Nabi Yusuf AS, beberapa generasi kemudian memberikan inspirasi kepada Fir'aun Akhenaton. Dinasti Fir'aun kembali berkuasa setelah mendesak Dinasti Hyksos keluar Mesir tahun 1550 SM. Sejak itu bangsa Ibrani mulai ditekan dan diperbudak. Akhenaton adalah Fir'aun ke-9 dari 11 Fir'aun dari Dinasti XVIII yang memerintah selama (1377-1360) SM. Pada mulanya ia bernama Amun Hotep IV (Amenophis) artinya dewa Amun puas, kemudian setelah mengumumkan kepercayaan baru hanya boleh menyembah satu tuhan yaitu Aton ia mengubah namanya menjadi Akhenaton artinya bersama dalam Aton. Menurut Akhenaton, Ra (matahari yang dianggap tuhan) adalah manifestasi dari Aton. Sungguhpun demikian ia tidak menolak eksistensi tuhan-tuhan Mesir yang lain seperti dewa Amun, dewa Osiris, dewi Nil dll. Jadi kepercayaan baru bentukan Akhenaton itu termasuk monolatry.
Yang patut diwaspadai oleh para orang tua agar putera-puterinya yang kecanduan menonton tayangan Misteri Gunung Merapi dan Kaca Benggala tidak terseret kepada monolatry: bahwa memang ada dewi Durga yang memberikan kesaktian kepada Mak Lampir dan memang ada dewi Laut Selatan yang menjadi isteri raja-raja Mataram. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 14 November 1999
7 November 1999
[+/-] |
397. Pendekatan Terhadap Isra-Mi'raj dan Penyisipan Kata-Kata serta Anak Kalimat |
Malam Sabtu 27 Rajab, kemarin malam, adalah tanggal kejadian yang maha mentakjubkan, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj RasuluLlah SAW, yang kita peringati setiap tahun. Peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat dicerna dengan pendekatan rasional, juga tidak dapat didekati secara ilmiyah-sekuler (yang hanya bersumber dari informasi ayat Kawniyah), melainkan hanya dapat diterima dengan pendekatan iman, yaitu beriman kepada Al Quran, salah satu di antara keenam rukun iman. WALDZYN YWaMNWN BMA UNZL ALYK WMA UNZL MN QBLK (S. AL BQRT, 4), dibaca: Alladzi-na yu'minu-na bima- unzila ilayka wama- unzila min qablika (S. Albaqarah), artinya: Dan orang-orang yang beriman dengan (Al Quran) yang diturunkan kepada engkau (hai Muhammad) dan (beriman) dengan (Kitab-Kitab) yang diturunkan sebelum engkau (2:4).
Mengulangi yang telah saya kemukakan dalam Seri 015, terkadang sering saya mendengarkan uraian yang berupaya merasionalkan persitiwa Isra-Mi'raj dengan metode qiyas (analogi). Seekor lalat berkata kepada temannya bahwa ia telah terbang ke Jakarta pulang balik dalam wakutu tidak cukup semalam. Lalat temannya itu mendustakannya, mana mungkin jarak sejauh itu dapat ditempuh pulang balik dalam waktu singkat itu. Setelah lalat pertama menjelaskan bahwa ia menumpang pesawat terbang pulang balik, maka lalat temannya baru dapat menerima kebenaran ceritanya itu. Ini adalah rasionalisasi yang naif, bahkan merendahkan derajat RasuluLlah yang diumpamakan sebagai lalat yang naik kapal terbang.
Demikian pula pendekatan ilmiyah-sekuler sangat tidak mungkin. Ada dua unsur dalam pendekatan ilmiyah-sekuler yang tidak mungkin dilakukan pada peristiwa Isra-Mi'raj, yaitu intizhar (observasi) dan eksperimen. Proses yang dapat diobservasi dan dilakukan eksperimen terhadapnya, ialah proses yang terbuka dan berlangsung secara sinambung. Terbuka maksudnya dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan bilamana saja. Kalau tidak terbuka, dan proses itu tidak sinambung, mana mungkin orang dapat mengobservasinya dan melakukan eksperimen atasnya. Peristiwa Isra-Mi'raj tidak terbuka dan hanya terjadi satu kali, sehingga tidak mungkin dapat mengobservasinya apatah pula melakukan eksperimen atasnya. Jadi mustahil orang dapat melakukan pendekatan ilmiyah-sekuler terhadap Isra-Mi'raj.
Mencerna peristiwa Isra-Mi'raj dengan pendekatan iman sangatlah sederhana. Peristiwa itu ada dalam Al Quran, yaitu di S. Bani Israil ayat 1, sehingga sebagai konsekwensi salah satu rukun iman, yaitu beriman kepada Kitab-KitabNya yang dalam hal ini adalah Al Quran, maka peristiwa itu benar adanya.
***
Dalam terjemahan ayat (2:4) di atas disisipkan kata-kata di antara kurung. Maksud sisipan itu ialah untuk lebih memperjelas terjemahan itu. Namun dalam memberikan sisipan baik itu terjemahan maupun salinan harus kita berhati-hati, sebab nanti dapat menyimpang dari makna aslinya. Akan diberikan tiga contoh sisipan yang menyebabkan penyimpangan dari makna yang asli, pertama dari Taurat, kedua dari terjemahan Al Quran dan ketiga dari terjemahan azan di TPI.
Salah satu Kitab yang harus diimani ialah Kitab Taurat yang diturunkan Allah melalui wahyu kepada Nabi Musa AS. Namun perlu dicamkan bahwa Kitab Taurat baru dituliskan setelah Nabi Musa AS sudah wafat. Ini dapat dilihat dalam kalimat berikut: And he buried him in a valley in the land of Moab, over against Beth-peor; but no men knoweth of his sepulchre unto this day. And Moses was an hundred and twenty years old when he died (Deuteronomy 34:6-7), artinya: Dan dikuburkanlah ia dalam suatu lembah di tanah Moab bertentangan dengan Beth-Peor; tetapi tak seorangpun tahu kuburnya hingga hari ini. Dan Musa berumur seratus dua puluh tahun tatkala wafat. Dari kata-kata dikuburkanlah ia, hingga hari ini, tatkala wafat, menunjukkan bahwa Taurat dituliskan oleh seseorang (boleh jadi lebih seorang) setelah wafatnya Nabi Musa AS, jadi seperti menuliskan Hadits RasuluLlah SAW. Bedanya ialah dalam hal Hadits jelas orangnya terutama wataknya dari orang yang pertama yang mendengar dan melihat langsung ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW dan secara sinambung diteruskan kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya hingga sampai kepada perawi Hadits yang menuliskannya. Sedangkan pada penulisan Taurat tidak jelas siapa penulisnya setelah Nabi Musa AS wafat. Juga tidak jelas jangka waktu antara wafatnya Nabi Musa AS dengan yang dimaksud oleh penulis Taurat dengan ungkapan kata: hingga hari ini, hari mulai dia atau mereka menuliskan Taurat.
Contoh pertama, yaitu sisipan kata dalam sebuah ayat dalam Kitab Taurat. Walaupun yang otentik dari Nabi Musa AS tidak ada lagi (karena dituliskan setelah Nabi Musa AS wafat), ada yang dapat dikaji bahwa itu adalah sisipan, seperti contoh yang akan dikemukakan berikut ini: And he said, Take now thy son, thine only son Isaac, whom thou lovest and get thee into the land of Moriah; and offer him there (Genesis 22:2), artinya: Dan Dia berfirman, ambillah sekarang puteramu, putera milikmu satu-satunya Ishak yang kau kasihi, dan bawalah ke tanah Moria; dan korbankanlah ia di sana.
Kata yang disisipkan dalam (Genesis 22:2) adalah Isaac. Hal penyisipan kata Isaac ini dapat ditunjukkan oleh kedua ayat yang berikut: And Abram was fourscore and six years old, when Hagar bare Ishmael to Abram (Genesis 16:16), artinya: Ibrahim berumur delapan puluh enam tahun tatkala Hajar memperanakkan Ismail bagi Ibrahim. And Abraham was an hundred years old, when his son Isaac was born unto him (Genesis 21:5), artinya: Dan Ibrahim berumur seratus tahun tatkala Ishak dilahirkan untuknya. Kedua ayat (Genesis 16:16) dan (Genesis 21:5) itu menunjukkan bahwa Ismail lebih tua dari Ishak, yaitu 100 - 86 = 14 tahun. Jadi putera satu-satunya yang akan dikorbankan mestilah Ismail yaitu sebelum Ishak lahir. Demikianlah, sebelum penyisipan Ishak, semestinya ayat itu berbunyi: thine only son, whom thou lovest.
Contoh yang kedua yaitu penyisipan kata-kata dari terjemahan Al Quran dan contoh ketiga yaitu penyisipan anak kalimat dari terjemahan kalimah tahlil dalam azan di TPI, akan dibahas nanti insya-Allah dalam Seri 398 yang akan datang. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 7 November 1999
31 Oktober 1999
[+/-] |
396. Kinerja |
Kata kinerja dahulu disebut prestasi yang berasal dari bahasa Belanda prestatie. Sebelum kata kinerja ini dipopulerkan, pengertian ini disebut unjuk kerja, dari bahasa Inggris performance. Kata unjuk kerja ini sampai sekarang masih disukai dipergunakan dalam laporan percobaan mesin-mesin.
Kabinet Habibie dibentuk dan dilantik dalam waktu kurang dari 2 kali 24 jam. Abdurahman Wahid sejak terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia baru melantik menteri-menterinya hari Jum'at tgl 29/10'99, sehingga sudah masuk 9 kali 24 jam. Jadi kinerja Habibie dalam hal membentuk kabinet secara kuantitatif 4 setengah kali lebih tinggi dari kinerja Abdurrahman Wahid. Tentang perbandingan kinerja kedua kabinet ini dalam menjalankan roda pemerintahan mari kita lihat nanti setelah 517 atau 518 hari. Yang jelas kabinet Abdurrahman Wahid lebih sukar dikoordinasikan ataupun dikendalikan ketimbang kabinet Habibie. Sebab walaupun kabinet Habibie tidak solid, hanyalah ibarat kereta yang ditarik dua ekor kuda, sedangkan kabinet Abdurrahman Wahid tampaknya lebih tidak solid lagi ibarat kereta yang ditarik oleh enam ekor kuda.
AlhamdulliLlah Presiden Abdurrahman Wahid mengatakan akan meneruskan kebijakan ekonomi yang telah diletakkan dasarnya dan dimulai oleh kabinet Habibie, yaitu ekonomi kerakyatan, yang berat ke bawah, yang sesuai dengan sunnatuLlah, yaitu suatu struktur akan stabil apabila struktur itu berat ke bawah. Tidak seperti kebijakan ekonomi kabinet Soeharto yang menentang sunnatuLlah yang berat ke atas, hasil olahan dapur CSIS dari mafia Berkely. Gus Dur sangat jauh lebih faham akan ayat: KY LA YKWN DWLT BYN ALAGHNYA" MNKM (S. ALHSYR, 59:7), dibaca: Kay la- yaku-na du-latan baynal aghniya-i minkum (S. Alhasyr), artinya: supaya kedaulatan (ekonomi) jangan beredar di antara orang-orang kaya di antara kamu (59:7).
Presiden Abdurrahman Wahid tentu saja sangat arif dalam hal menanggapi gerakan moral anak-anak kita yang tercinta, para mahasiswa di tanah Makassar ini. Artinya tidak dihadapi dengan sikap normatif dengan merujuk kepada KUHP dengan sanksi hukumnya. Oleh karena di samping tidak arif untuk memperhadapkan anak-anak kita itu dengan KUHP, juga secara teknis makan waktu bertahun-tahun untuk menyelidik, menyidik kemudian mengajukannya ke dalam sidang pengadilan untuk divonis oleh hakim terhadap puluhan ribu orang. Anak-anak kita itu walaupun emosinya tinggi, tidak bertindak anarkis, kecuali insiden pembakaran bus Damri kemarin dulu sebagai reaksi keras atas ucapan Riyas Rasyid bahwa mahasiswa di sini cuma main-main saja. Itulah susahnya orang-orang daerah yang ada di Jakarta kurang arif mengangkat bicara. Anak-anak yang berunjuk rasa dengan tertib dan hanya membakar ban dianggap main-main, ujung-ujungnya terjadilah insiden itu untuk menunjukkan mereka tidak main-main.
Emosi yang tinggi yang menyebabkan angkatan 45 tersinggung karena menurunkan bendera merah putih, walaupun tidak dapat dibenarkan, akan tetapi dapat difahami. Emosi anak-anak kita yang tinggi itu banyak-banyak disebabkan oleh ulah massa PDIP yang menyerbu dari luar kota ke Jakarta yang memberikan tekanan ke dalam SU MPR ditambah pula perusakan yang di Solo terhadap rumah keluarga Pak Amin Rais. Anak-anak kita yang masih melekat padanya sikap siri' na pacce merasa ditantang bahwa bukan hanya massa di Jakarta itu yang laki-laki, kita ditanah Makassar ini "buru'-buru'ne tonjaki". Lagi pula gerakan moral anak-anak kita itu juga merupakan shock therapy bagi mereka yang berpenyakit mental sentralistik, yang dikiranya Jakarta itulah Indonesia, tidak terkecuali dua orang Wakil Ketua MPR yaitu Mathori Abd.Jalil dan Kwik Kian Gie yang ikut terjun di lapangan di Jakarta menjadi partisan unjuk rasa menekan SU MPR. Artinya keduanya tidak sadar bahwa di luar gedung MPR ada pula yang disebut di seberang laut. Secara substansial gerakan moral itu menuntut kemandirian daerah. Pak Amin Rais sebagai Ketua MPR dapat merespons gerakan moral anak-anak kita itu untuk menyidangkan dalam SU MPR setahun mendatang guna melakukan amandemen UUD-1945 dari kesatuan menjadi federasi. Tentu lebih elok lagi jika dalam waktu 6 bulan mengadakan SI MPR untuk mengengamandemir bentuk kesatuan menjadi bentuk federasi, atau sekurang-kurangnya mengubah sifat lembaga eksekutif sekarang ini menjadi bersifat kabinet transisional menuju tercapainya negara federasi. Secara substansial penghapusan Departemen Penerangan dan Sosial yang dinilai orang kontroversial itu, menurut hemat saya sesungguhnya itu adalah persiapan untuk menuju negara federasi. Bagi Angkatan 45 sudah tiba saatnya bentuk negara kesatuan diikhlaskan untuk dihentikan sebagai mitos.
Sekali lagi marilah kita memberi kesempatan kepada kabinet Abdurrahman Wahid ini untuk berkinerja, dengan kelebihan dan kekurangannya. Kelebihannya berupa menteri-menteri yang terdiri dari politisi yang profesional dan kekurangannya berupa menteri yang bukan politisi dan tidak pula profesional. Yang politisi sekali-gus profesional ialah kedua pimpinan partai Islam, yaitu Partai Bulan Bintang dan Partai Keadilan. Yang bukan politisi lagi pula sekali-gus tidak profesional adalah AS Hikam. Bagaimana dapat diharapkan seorang pengamat politik yang bersikap suuzzhan (a priori, prejudice) yang melecehkan nilai esensial ilmu pengetahuan, lagi pula dalam bidang politik akan dapat berkinerja dalam lapangan Ristek? Kinerja Ristek ini sangat dibutuhkan dalam abad pertama dalam sepuluh abad (millenium) ketiga! Tentang hal Menteri Pertahanan dijabat orang sipil belum tentu merupakan kelebihan namun belum tentu pula merupakan kekurangan. Itu banyak-banyak ditentukan oleh Prof. Yuwono Sudarsono sendiri. Mc Namara seorang sipil tetapi sukses dalam menjalankan jabatan Menteri Pertahanan Amerika Serikat. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 31 Oktober 1999
24 Oktober 1999
[+/-] |
395. Selamat Berlalu dan Selamat Datang |
Selamat berlalu kepada Kabinet Reformasi Pembangunan yang hanya seumur jagung. Kepada sahabat saya Rudy Habibie yang telah menakodai bahtera Republik Indonesia selama hanya 518 hari, saya ucapkan selamat menunaikan tugas mulia, telah mencegah karamnya bahtera ini. Pertanggung-jawaban anda telah ditolak oleh MPR hanya permainan lawan-lawan politik anda dengan selisih suara yang tidak signifikan. Insya-Allah, palu godam sejarah akan menilai bakti anda itu dengan adil. Karena sesungguhnya susbstansi yang paling esensial yang anda telah berhasil tunaikan ialah telah mencegah karamnya bahtera ini, bukanlah berupa pidato yang ditolak itu. Dan di atas segalanya Allah SWT Yang Maha Adil niscaya menilai dengan sangat adil di Hari Pengadilan.
Saya teringat akan goresan disket yang pernah ditulis beberapa tahun lalu oleh Ishak Ngelyaratan, yang rupanya seorang pengamat bunga yang teliti, tentang bunga mawar dan bunga melati. Berhubung karena hanya bertumpu pada ingatan, maka matannya (redaksionalnya) tentu berbeda dengan tulisan Ishak, namun isinya tidak menyimpang. Bunga mawar lama bertahan di pohon. Baunya telah lama hilang, namun bunganya tetap segar, lambat layu. Setelah layu bunganya gugur dihadang dan ditusuk oleh duri-duri pohon mawar. Bunga melati tidak lama bertahan di pohon. Namun baunya tetap semerbak walaupun telah gugur. Bunganya dirangkai untuk menghias dan mengharumkan yang memberikan inspirasi tergubahnya sebuah lagu: Rangkaian Melati.
H.M.Soeharto ibarat bunga mawar lama bertahan di pohon kekuasaan. Baunya yang harum berwujud jasa menghancurkan komunisme. Bau itu telah lama hilang ketimbang usianya di atas pohon kekuasaan. Setelah layu dilengserkan, ia ditusuk duri pohon (baca: hujatan rakyat). Sahabat saya Rudy Habibie ibarat bunga melati. Ia dipetik rakyat dalam wujud penolakan Pidato Pertanggung-jawaban oleh MPR, namun baunya tetap semerbak dalam wujud kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan (UUD-45, Bab X, psl 28) dan Pemilihan Umum 1999 yang diukir oleh sejarah.
Bagi mereka yang tidak senang kepada B.J. Habibie dewasa ini, karena menganggap Habbie tidak berhasil memberantas KKN, lamban mengusut KKN Soeharto, kelak insya-Allah dikemudian hari hati nuraninya akan berkata seperti ungkapan kelong (syair Makassar) di bawah ini:
Niyattonja antu sallang,
nanuboya' ri pa'mai'
Nanu paccei,
rewasa le'ba' laloa
Kelak waktunya akan datang,
engkau cari aku dalam hatimu
Engkau kenang,
hari-hari yang telah berlalu
Kepada sahabat saya Rudy Habibie saya sampaikan pesan dari langit: FADZA FRGHT FANSHAB. W ALY RBK FARGHB (S. AL ANSYRAH, 7-8), dibaca: Faidza faraghta fanshab. Wa ila- rabbika farghab (S. Al Insyira-h), artinya: Apabila engkau telah selesai mengerjakan suatu pekerjaan, berupayalah mengerjakan yang lain. Dan kepada Maha Pemeliharamu engkau berharaplah (94:7-8)
***
Kemudian dari pada itu saya ucapkan selamat kepada pendatang baru, Presiden Abdurrahman Wahid dan Wapres Megawati Soekarno Puteri. Sementara saya menulis kolom ini di monumen Mandala Jalan Jenderal Sudirman sekitar antara dua belas sampai enam belas ribu mahasiswa memproklamasikan sebuah negara merdeka. Sesungguhnya ini adalah ekses, puncak kekecewaan mahasiswa di negeri Makasaar ini terhadap sikap ataupun cara pandang kebanyakan anggota MPR dan pengerahan massa PDIP dari luar kota ke Jakarta. Mahasiswa di tanah Makassar ini kecewa karena kebanyakan anggota MPR yang berembuk di dalam ruang hanya memperhatikan pula masyarakat di luar ruang sidang yang dianggapnya itulah suara rakyat di lapangan, yang artinya menganggap Jakarta itu identik dengan Indonesia. Mereka yang bersidang itu lupa bahwa di samping di luar gedung, ada pula yang disebut di seberang laut. Mahasiswa di tanah Makssar ini jengkel kepada demonstran mahasiswa seperti Forkot dan kamerad-kameradnya yang mencaplok mempertas-namakan mahasiswa Indonesia. Mahasiswa di tanah Makassar ini jengkel kepada demonstran PDIP yang dikerahkan dari luar kota menjadi pressure group bagi peserta sidang MPR.
Nasi belum menjadi bubur, pemerintah boleh jadi masih dapat mengadakan upaya persuasif untuk secara meredam emosi yang meluap di tanah Makassar ini. Sayangnya kabinet belum terbentuk untuk mengadakan upaya persuasif itu. Ini merupakan pekerjaan rumah yang pertama yang cukup berat bagi kabinet yang akan dibentuk itu.
Boleh jadi Ketua MPR Prof Amin Rais elok berkunjung ke tanah Makassar ini berdialog dengan mahasiswa di sini untuk mencari penyelesaian, yang berupa win-win solution. Ibarat menarik ramput dalam tepung, rambut tidak putus tepung tidak beserak. Boleh jadi gagasan Marwah Daud Ibrahim waktu menginterupsi merupakan solution yang terbaik, yaitu dua orang Wapres, Megawati dan Hamzah Haz. Supaya konstitional, maka ketentuan MPR sekali setahun bersidang gagasan Marwah Daud dapat dikonstitusionalkan berupa Tap MPR. Pada pihak lain mahasiswa dapat menahan diri kembali ke kampus, dan sekali-sekali keluar berunjuk rasa untuk mengingatkan petinggi-petinggi, elit-elit politik. Adalah tugas Pak Amin Rais untuk melakukan persuasi terhadap anak-anak kita mahasiswa yang tercinta. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 24 Oktober 1999
17 Oktober 1999
[+/-] |
394. Pengamat Politik dan Pemain Politik |
Fakhri Ali dalam diskusi yang ditayangkan RCTI mengenai Pidato Pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengatakan bahwa banyak orang sekarang asal yang datang dari Pak Habibie ditolak dahulu, kemudian baru dicari-cari alasannya. Sri Mulyani tersinggung, walaupun ucapan Fakhri itu benar, tetapi pahit dirasa oleh Sri Mulyani yang disindir oleh Umar Juaro sebagai bakal Menteri Keuangan jika andaikata Megawati menang. Apa yang dikatakan oleh Fakhri Ali itu secara substansial sama dengan judul Seri 392: The Singer Not the Song. Kalau pemain politik menganut prinsip tolak dahulu kemudian cari alasan masih dapat difahami, walaupun secara etika tidak terpuji. Namun apabila yang menganut prinsip tolak dahulu baru mencari-cari alasan bukan pemain politik melainkan pemain ilmu seperti Sri Mulyani, Rizal Ramli, Syahrir, AS Hikam dan orang-orang LIPI yang dijuru-bicarai oleh Pabottingi yang menyerukan menolak pertanggung-jawaban Presiden Habibie sebelum pertanggung-jawaban itu dikemukakan, maka mereka itu telah melanggar nilai yang esensial dalam dunia ilmu. Lebih baik orang-orang yang disebut namanya tersebut mengikuti jejak Faisal Basri, Pak Amin Rais dll meninggalkan dunia ilmu pengetahuan, berhenti menjadi pengamat politik, lalu terjun ke dalam kacah politik sebagai pemain poltik.
Ada pepatah yang mengatakan untuk melempar orang mudah didapatkan batu. Hal ini tidak berlaku bagi yang berdemonstrasi secara damai, oleh karena di jalan-jalan raya di kota-kota sukar didapatkan batu. Jadi kalau para demonstran yang melempar petugas keamanan dengan batu, berarti batu itu dicari dan dikumpul terlebih dahulu. Itu berarti maksudnya yang semula memang bukan untuk berdemonstrasi secara damai, apa pula jika telah menyediakan botol berminyak tanah. Bagi Sri Mulyani batu yang dipakai melempar itu berwujud ucapan yang mengatakan utang yang ditumpuk sebagai harga menurunkan inflasi dan menaikkan rupiah baru akan terbayar dalam waktu lebih seratus tahun, yang katanya menurut matematika Habibie. Itu bukan matematika Habibie, melainkan matematika khas Sri Mulyani, yaitu matematika kuda bendi. Mata kuda bendi hanya dapat melihat satu arah, yang dalam konteks matematika khas Sri Mulyani, hanya melihat ke arah privatisasi BUMN. Sangatlah naif, ibarat pandangan kuda bendi, jika untuk membayar utang itu hanya mengandalkan privatisasi BUMN. Masih banyak sumber lain yang dapat dipakai untuk membayar hutang, lebih-lebih jika industri sudah marak kembali. Di zaman Orde Lama utang itu sukar dibayar, karena dana itu dipakai untuk keperluan yang konsumtif, bukan yang produktif. Batu pelempar Abimanyu berupa koreksi data dalam pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie mengenai dana rekapitalisasi perbankan sejumlah tiga ratus sekian triliyun. Menurut Abimanyu seharusnya lima ratus sekian triliyun. Batu pelempar Abimanyu itu dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani dengan menuduh ada apa gerangan dibalik upaya menyembunyikan jumlah uang dua ratus triliyun tesebut. Batu pelempar Abimanyu yang dijadikan bola besi oleh Sri Mulyani tersebut luluh lantak menjadi abu setelah Menteri Keuangan mengatakan bahwa yang mengatakan lima ratus sekian triliyun itu tidak tahu membaca. Jumlah yang tiga ratus sekian triliyun dalam pidato pertanggung-jawaban tersebut, benar tidak salah, yaitu dana rekapitalisasi tok. Sedangkan yang lima ratus sekian triliyun itu adalah dana rekapitalisasi ditambah dengan uang jaminan. Ini adalah cerita tentang pengamat politik, pengamat ekonomi yang telah meninggalkan nilai esensial dalam ilmu pengetahuan, yaitu bersih dari sikap prejudice.
Sekarang kita beralih kepada pembicaraan tentang para pemain politik. Kita mulai dahulu dengan juru bicara fraksi PDIP dalam memberi sanggahan terhadap pidato pertanggung-jawaban Presiden Habibie. Prinsip tolak dahulu baru mencari alasan dipakai di sini, buktinya jauh-jauh sebelumnya sudah dilontarkan akan menolak pidato pertanggung-jawaban tersebut. Prinsip ini dipakai pula oleh dua fraksi lain yang menolak yaitu fraksi PKB dan KKI. Namun yang sangat disesalkan ialah bentuk kalimat yang penuh gaya sarkasme, semangat kebencian dan penampilan juru-bicara PDIP yang vulgar menunjukkan akhlaq yang rendah dari penyusun sanggahan itu. Berbeda dengan gaya kedua fraksi yang lain yang menolak itu. Sikap keduanya tidak menunjukkan rasa kebencian, tidak bernuansa sarkasme, tidak vulgar. Yang lebih disesalkan lagi juru bicara fraksi PDIP tersebut membuka dengan salam ditambah dengan hamdalah serta salawat segala, yang sangat bertentangan dengan sarkasme, semangat kebencian, vulgar dan tidak berakhlaq itu. Inilah yang memancing haa, huu, haa itu, sedangkan Presiden Habibie kelihatannya senyum-senyum saja, tetap sabar. AN ALLH M'A ALSHBRYN, dibaca: InnaLla-ha ma'ash sha-biri-n, artinya: Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar. Yang paling simpatik ialah juru bicara dari fraksi PBB. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar 17 Oktober 1999
10 Oktober 1999
[+/-] |
393. Selamat Atas Pak Amin Rais dan Pak Akbar Tanjung |
Sebelum mulai masuk ke dalam perbincangan tentang hal substansi seperti judul di atas, akan dikemukakan dahulu sedikit yang tersisa dari Seri 392 sepekan yang lalu, yaitu the Singer not the Song. Ada seorang yang menurut pengakuannya bernama Abdul Hakim menelepon saya sehubungan dengan penyanyi dan bukan nyanyian tersebut. Katanya ia pimpinan sebuah kelompok diskusi. Ia menyatakan diri dan kelompok diskusinya adalah penganut "filsafat" the Singer not the Song. Katanya ia dan kelompok diskusinya selama ini, sejak mempunyai hak pilih, tidak pernah menusuk Golkar dalam Pemilu. Akan tetapi barulah, demikian katanya, ia dan kelompoknya menusuk Golkar dalam Pemilu 1999. Itu disebabkan karena Pak Habibie. Ia menyebutkan pula empat orang tambun, demikian ia memberikan predikat kepada mereka, penganut "filsafat" the Singer not the Song, yaitu Rizal Ramli, Syahrir, Wimar Witular dan AS Hikam. Saya bertanya kepadanya buat apa ia mengemukakan perawakan tambun itu, ia menjawab bahwa itu menandakan mereka hidup makmur selama Orde Baru, selama Golkar berkuasa, artinya keempat orang itu mendapat percikan kemakmuran dari Golkar. (Beberapa hari yang lalu saya menyaksikan adegan Pro dan Kontra di TPI. Di situ saya perhatikan baik-baik perawakan AS Hikam tersebut. Memang betul-betul tambun, lehernya terbenam masuk ke dalam tubuhnya).
Ada hal yang menarik mengapa saya tulis komentar Abdul Hakim ini. Saya perhatikan betul kalimatnya dalam ucapannya di telepon. "Semua anggota kelompok diskusi kami belum ada yang sarjana, jadi wajar-wajar saja kalau kami melihat the singer bukan the song, akan tetapi keempat orang itu semuanya doktor, mengapa bermental a priori terhadap Pak Habibie, ada apa gerangan? Apakah mereka iri karena Pak Habibie seorang pakar kapal terbang dapat menjadi negarawan?" Saya perlu koreksi bahwa hanya ada tiga orang yang doktor, Witular tidak.
***
Selamat atas Pak Amin Rais dan pak Akbar Tanjung. Ada hal yang menarik mengenai melesatnya Pak Amin menjadi orang nomor satu di Republik Indonesia ini. Orang-orang yang a priori terhadap Golkar beranggapan bahwa Pak Amin sudah tercemar oleh virus status quo, berhubung naiknya Pak Amin menjadi Ketua MPR, karena dukungan Golkar. Mengenai hal ini saya teringat akan dialog antara Muammar Qaddafi dengan seorang wartawan orang barat. Wartawan itu bertanya kepada Qaddafi: "Negara tuan adalah negara Islam, mengapa hanyut dalam arus Uni Sovyet yang komunis?" Lalu apa jawab Qaddafi? "Saya akan mengoreksi pertanyaan tuan. Mestinya tuan bertanya: 'Uni Sovyet adalah negara komunis, mengapa tuan dapat menyeretnya ke dalam arus pengaruh Libia yang negara Islam?'
Alangkah eloknya kalau kita itu bersikap husnuzzhan (prasangka baik). Dengan sikap yang demikian itu kita dapat berpersepsi yang positif terhadap kenyataan Pak Amin mendapat dukungan dari Golkar, dengan mengacu kepada dialog Qaddafi di atas itu. Pak Amin adalah tokoh reformasi. Ia mendapat dukungan dari Golkar, artinya para anggota Golkar yang memberikan suaranya kepada Pak Amin sudah menjadi reformis juga.
Masih ada satu ganjalan terhadap Pak Amin. Ada yang menganggap Pak Amin itu rupanya berambisi juga untuk berkuasa. Allah SWT berfirman: WLTKN MNKM AMT YD'AWN ALY ALKHYR WYAMRWN BALM'ARWF WYNHWN 'AN ALMNKR (S. AL'AMRAN, 104), dibaca: Waltakum minkum ummatun yad'u-na ilal khayri waya'muru-na bil ma'ru-fi wayanhawna 'anil mungkar (S. Ali 'Imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu golongan yang menghimbau kepada nilai-nilai kebajikan dan memerintahkan berbuat baik serta mencegah kemungkaran (S. Keluarga 'Imra-n, 3:104).
Menghimbau di satu pihak dengan memerintahkan serta mencegah di lain pihak mempunyai perbedaan yang menyolok. Kalau yang dihadapi di luar kekuasaan kita, maka kita tidak dapat memerintahkan ataupun mencegah. Kita hanya dapat memerintahkan ataupun mencegah seseorang apabila kita berkuasa atas mereka. Menghimbau dikerjakan oleh organisasi sosial, sedangkan memerintahkan ataupun mencegah dilakukan oleh organisasi politik yang berkuasa melalui lembaga eksekutif. Politik adalah macht vorming (membina kekuasaan) dan macht aanwending (mempergunakan kekuasaan). WLTKN dalam ayat di atas mengandung lam yang menyatakan perintah. Allah memerintahkan supaya ada golongan yang mempunyai kekuasaan untuk memerintah. Jadi Pak Amin tidak salah jika mempunyai keinginan berkuasa, asal saja kekuasaan itu hanya sasaran antara. Sasaran akhirnya, iya itu, amar ma'ruf nahi mungkar.
Tentang terpilihnya Pak Akbar menjadi ketua DPR ada pula yang menarik. Musyawarah untuk mufakat, metode Orde Lama dicoba dipaksakan oleh Ketua sementara MPR Abdul Majid (baca:PDIP). Abdul Majid merujuk kepada Sila keempat. Apa yang dilaksanakan dengan menghimpun ketua-ketua fraksi untuk musyawarah mufakat, sesungguhnya melampaui batas Sila keempat. Permusyawaratan perwakilan (baca para anggota MPR) diubah menjadi permusyawatan wakil-wakil dari perwakilan (baca: ketua-ketua fraksi). Untunglah fraksi PBB dengan gigih menentang cara Orde Lama tersebut, sehingga akhirnya Abdul Majid menyerah, voting dilaksankan walaupun sudah menjelang dini hari. Dikatakan musyawarah mufakat itu cara Orde Lama, karena itu lahir dalam arena politik pada zaman Demokrasi Terpimpin. Waktu itu dalam proses pengambilan keputusan jika tidak terjadi mufakat, maka keputusannya diserahkan kepada Pemipin Besar Revolusi Bung Karno. Itulah makna Demokrasi Terpimpin. Mengapa Abdul Majid (baca PDIP) menjalankan trik musyawarah perwakilan dari perwakilan, sebenarnya orang sudah tahu, PDIP takut kalah lagi dalam voting. Namun perasaan takut ini dibantah oleh Dimyati Hartono. Katanya PDIP tidak pernah takut, terhadap peluru Orde Barupun PDIP tidak takut. Rupanya Hartono ini tidak faham rasa bahasa. Ada yang tidak takut pada badik, tetapi ia takut kepada ketombe, sebab rasa takut kepada badik atau peluru tidak sama dengan rasa takut kepada ketombe, panau, atapun kalah dalam voting. Jujur saja hai Dimyati Hartono! Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 10 Oktober 1999
3 Oktober 1999
[+/-] |
392. The Singer not the Song |
Para demonstran yang menolak RUU PKB produk DPR yang belum disahkan oleh Presiden sesungguhnya tidaklah solid, melainkan terdiri dari beberapa golongan yang mempunyai kepentingan masing-masing.
Golongan pertama, terdiri atas sebagian (bukan semuanya) mahasiswa yang alergi terhadap apa saja yang dianggapnya berasal dari militer. Walaupun RUU PKB (baca: the song) adalah produk DPR, akan tetapi RUU PKB itu dianggap metamorfose (transformasi) dari RUU KKN, sedangkan RUU KKN itu sendiri walaupun secara formal berasal dari pemerintah, namun dianggap dapurnya dari militer (baca: the singer). Jadi dalam hal ini seperti dinyatakan oleh judul di atas the singer not the song. Bukti yang lain bahwa substansi yang diaspirasikan (the song) tidak dperhatikan ialah tuntutan untuk mencabut dwifungsi ABRI. Tuntutan ini sangat menggelikan dan pandir, sebab jika dwifungsi ABRI dicabut, artinya ABRI tidak berfungsi lagi, artinya fungsi ABRI untuk membela negara ikut dicabut pula.
Golongan kedua, terdiri atas kubu Megawati yang menjadikan RUU PKB yang belum disahkan itu sebagai kuda tunggangan politik untuk membidik Habibie. Buktinya, Arifin Panigoro yang dedengkot PDIP terlibat dalam aksi demonstrasi ini, yaitu rumahnya dipakai sebagai markas logistik (termasuk pula batu-batu dan botol-botol berminyak tanah alias bom molotov). Maka dalam hal ini bukan RUU PKB (the song) yang penting, melainkan siapa yang dibidik (the singer). Apapun dan bagaimanapun pidato pertanggung-jawaban (the song) Presiden Habibie, kelak nanti akan ditolak oleh PDIP, karena yang penting bagi mereka ialah menolak Habibie (the singer). Buktinya, ucapan "huuu" yang diucapkan oleh sebagian yang tidak beradab, yang diprotes AM Fatwa menjelang penutupan Sidang Pleno MPR, adalah dari PDIP walaupun mereka secara pengecut menyangkal. Itu menunjukkan benarnya ungkapan the singer not the song. Boleh jadi ada benarnya ucapan Bailusi yang mengatakan bahwa adanya aliran kekuatan komunisme yang kini sedang mencari posisi penguatan dalam tubuh PDIP tanpa mereka sadari memunculkan dirinya dengan gaya preman kampungan yang berteriak huuu itu.
Golongan ketiga, terdiri atas LSM-LSM yang dari dulu memposisikan diri anti pemerintah, berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai mereka. Misalnya seperti Kontrasnya Munir mengapa gerangan hanya berkoar tentang korban-korban orang hilang oleh Prabowo saja? Mengapa menjadi diam seribu bahasa mengenai korban-korban dan orang-orang hilang pada peristiwa Tanjung Priok yang berdarah dan tragis itu yang dilakukan oleh anak buah Trisutrisno sebagai Pangdam Jaya waktu itu? Mengapa memakai nilai ganda? Jawabannya gampang, yaitu berdasar atas pesanan his master's voice yang mendanai (baca: money politics) mereka. Jadi turut sertanya golongan ketiga ini dalam aksi demonstrasi menentang RUU PKB yang sekarang belum disahkan itu juga termasuk dalam hal the singer not the song.
Golongan keempat, terdiri atas golongan radikal kaum kiri (baca: Marxis gaya baru) yang sejak SI MPR yang lalu meneriakkan komite rakyat yang akan membentuk presidium (baca: diktator proletar). Dengan demikian golongan radikal ini tidak menghendaki reformasi melainkan revolusi, sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx. Golongan radikal inilah yang menjadi biang kerok terjadinya bentrokan dengan petugas keamanan. Dalam hal ini yang patut dipuji Front Pembela Islam yang turun ke lapangan membantu petugas keamanan. Mereka dengan berani terjun di antara demonstran dengan membentuk saf
-- KANHM BNYAN MRSHWSH (S. ALSHF, 61:4), dibaca: kaannahum bunya-num marshu-sh (s. ashshaf), artinya: laksana mereka itu bangunan tembok yang kokoh. Golongan radikal inilah yang mengubah wajah demontran menjadi bringas, sehingga menyebabkan terjadinya bentrokan fisik dengan petugas keamanan, sehingga terjadi korban baik dari pihak demonstran maupun dari pihak petugas keamanan. Bahkan dari semula golongan radikal ini telah mempersiapkan bentrokan fisik yang menimbulkan korban mati dan luka dari kedua pihak. Buktinya, kaum radikal ini telah mempersiapkan ransel di punggung berisi batu-batu dan bom molotov. Kaum radikal ini berhasil menciptakan pertentangan kelas (baca: ajaran Marx) antara mahasiswa dengan militer. Mengenai golongan radikal ini berlaku pula hal the singer not the song. Akan tetapi the singer di sini berbeda. Yang menjadi the singer itu adalah kaum radikal itu sendiri, karena mereka menolak reformasi, menghendaki revolusi sesuai dengan manifesto komunisnya Karl Marx.
Kaum komunis pandai main susup-susupan. Tahun dua puluhan dengan menggunakan saluran "Gerakan Sosialis" dari negeri Belanda pemimpin komunis antara lain Semaun dan Tan Malaka menyusup masuk Syarikat Islam. Setelah pemberontakan tahun 1926 dan 1927 yang persiapannya asal-asalan (tidak matang), banyak pemimpin Islam dan ulama yang ditangkap, sedangkan Semaun dan Tan Malaka secara pengecut melarikan diri keluar negeri. Siapa saja dari ummat Islam yang melawan penjajah Belanda waktu itu dituduh komunis dan dibuang ke Boven Digul.
Kaum komunis pintar memanfaatkan keadaan kritis untuk bergerak. Tatkala Negara Republik Indonesia terdesak dan dalam keadaan sukar, maka pada 18 September kaum komunis menikam rakyat Indonesia dari belakang, seperti Yahudi Bani Quraizhah menikam Negara Kota Madinah dari belakang dalam Perang Parit (Khandaq). Kaum komunis Front Demokrasi Rakyat menikam dari belakang dalam wujud pemberontakan Madiun yang dipimpin oleh Muso dan Amir Syarifuddin. Inilah pemberontakan komunis yang pertama.
Kaum komunis pintar membonceng kekuasaan, yaitu membonceng pada Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno oleh DN Aidit cs dengan PKI-nya yang berujung dengan pemberontakan Gestapu pada 30 September 1965. Inilah pemberontakan komunis yang kedua.
Ada dua golongan dari demonstran anti RUU PKB yang bukan penganut "filsafat" the singer not the song, yaitu golongan preman yang dibayar dan golongan yang ikut-ikutan, seperti contoh yang dikemukakan Amin Rais. Waktu demonstran itu ditanya:
"apa mengerti isi RUU yang didemo itu," mereka menjawab:
"tidak". Serta ditanya lagi:
"mengapa ikut berdemo?," maka mereka menjawab seenaknya:
"ya, sekarang musimnya demo-demoan, ikut ramai saja."
Oleh sebab itu apapun isi RUU PKB yang belum disahkan itu, yang menurut Yusril Ihza Mahendra lebih lunak dari UU No.23, tahun 1959, menurut saya akan tetap didemo, oleh karena para pendemo itu menganut aluran "filsafat" the singer not the song. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 3 Oktober 1999
26 September 1999
[+/-] |
391. Kesenjangan Komunikasi dan Kebudayaan Menulis |
Seri 390 hari Ahad yang lalu kurang komunikatif bagi pembaca, sebab ada bagian paragraf yang senjang berhubung dimakan virus, maka bagian yang senjang itu disisip kembali seperti berikut:
Karena sekarang terjadi boom rekayasa politik, ada kemungkinan penganiayaan Winters itu itu diisukan sebagai usaha pemerintah untuk meredam Winters supaya ia tidak berani lagi mengoceh sebagai pengamat politik. (Sekarang menjamur pengamat politik yang ditokohkan oleh mas media elektronik seperti misalnya Kristiadi dari CSIS yang suka berbohong. Dalam kesempatan mengoceh dalam diskusi Partai aliran orang ini menyangkal keterlibatan CSIS dalam kebijakan strategi pembangunan Orde Baru. Padahal telah umum diketahui orang bahwa CSIS semula adalah peletak dasar strategi pembangunan Orde Baru dengan tokohnya antara lain mendiang Ali Murtopo dan Emil Salim). Dapat saja diisukan bahwa dengan senjata money politics Tri Apri Untoro bersama dua orang kawannya diberi uang untuk menganiaya Winters, dan jika ditangkap polisi supaya anak muda itu mengaku akan dicabuli Winters untuk disodomi. Untunglah rekayasa yang demikian itu tidak mudah akan dipercaya orang, karena bertentangan dengan peribahasa yang bersifat universal: "Berani karena benar, takut karena salah." Winters merasa takut, sehingga Senin dinihari itu juga 13-9-1999 ditempatnya menginap, yaitu Hotel Garuda, Winters minta supaya penganiayaan itu tidak diperpanjang. Pada jam 06:30 hari Senin itu juga Winters chek-out lalu terbang ke Jakarta menggunakan flight yang pertama.
***
Konon ada seorang Australia yang ibarat kodok yang baru lepas keluar tempurung. Katakanlah ia bernama Howard. Ia pergi bertamasya di Amerika Serikat. Pada hari pertama tiba di sana Howard telah mendapat kecelakaan, karena ia menjalankan mobil pada sisi sebelah kiri seperti kebiasaannya di Australia, padahal di AS orang berjalan pada sisi sebelah kanan. Dalam rumah sakit tempat Howard dirawat itu seorang perawat, katakanlah bernama Clinton bersungut kepadanya: I think you visit this country just to die." (Hemat saya anda mengunjungi negeri ini hanya untuk mati). Howard menggelengkan kepalanya: "Not yesterday but today." (Bukan kemarin melainkan hari ini). Kelihatannya jawaban Howard tidak nyambung, sebab Clinton sama sekali tidak mempersoalkan hari kedatangan Howard samada tiba kemarin atau hari ini, sehingga Clinton mengerutkan alis. "Say, my friend, just to die and to die have the same meaning". (Hei sobat, hanya untuk mati dan mati maknanya sama saja). Maka giliran Howard yang mengerutkan alis, kemudian menggelengkan kepalanya pula, kemudian menjawab: "Yesterday is yesterday and today is today." (Kemarin adalah kemarin dan hari ini adalah hari ini). Percakapan terhenti, soal-jawab tidak nyambung. Percakapan antara Howard dengan Clinton betul-betul merupakan komunikasi yang senjang, bukan karena virus seperti dalam paragraf dalam Seri 390 yang lalu.
Mengapa komunikasi antara Howard dengan Clinton itu tidak nyambung? Itu disebabkan oleh komunikasi lisan. "Hari ini" dalam bahasa lisan Inggris gaya Australia diucapkan "tudai", padahal dalam British and American English diucapkan tudei. Sedangkan "kemarin" orang Australia mengucapkan jestudai, dan ini kedengarannya bagi orang Inggris dan Amerika ucapan jestudai dikiranya "just to die". Hal ini tentu tidak akan terjadi jika komunikasi itu dalam wujud tulisan.
***
Tatkala Howard yang John mengancam akan mengadakan invasi ke Timtim katanya mempersiapkan 7000 pasukannya (kemudian katanya naik menjadi 10.000, lalu katanya turun 4500, terakhir hanya 2000) untuk masuk Indonesia, Clinton yang betul-betul Clinton memberikan isyarat "berdiri di belakang" John Howard. Namun tatkala John Howard bersambut, yaitu Presiden Habibie mengadakan serangan balik (baca: balik mengancam), bahwa sebagai Presiden Republik Indonesia masih bertanggung-jawab atas wilayah Timtim. Jika Australia mengadakan invasi ke Timtin maka itu dinilai oleh Indonesia sebaga pernyataan perang dari Australia. Jika demikian, maka Indonesia akan melayani Australia sampai batas terakhir kemampuan sumberdaya ekonomi dan pertahanannya.
Ancaman balik dari Jakarta menyebabkan nyali John Howard menjadi ciut. Ia segera menelpon Gedung Putih meminta bantuan sejumlah pasukan AS. Namun Clinton hanya menjanjikan jika Australia akan mengirim pasukannya ke Timtim tanpa seizin Jakarta, maka AS hanya akan membantunya sebatas keperluan logistik. Di sini terjadi pula kesenjangan disebabkan komunikasi lisan "berdiri di belakang". John Howard salah tafsir atas isyarat lisan Clinton untuk "berdiri di belakang" Australia.
Terlihat berapa pentingnya kebudayaan menulis itu. Bukan hanya dalam konteks mencegah kesenjangan komunikasi belaka, bahkan mulai dari yang penting seperti perjanjian perikatan sampai kepada yang kecil-kecil seperti kejadian hal yang lucu-lucu. Dalam dunia anak-anak "een, twee, drie" menjadi terucapkan "enten dris". Atau dalam dunia perpeloncoan (atau apapun istilahnya) kata "kikkeren", artinya berlaku seperti kikker (= kodok), yaitu loncat kodok. Karena kelebihan vitamin "G" di daerah ini terucap "kengkreng", yang tidak pernah terdengar di tempat lain di Indonesia.
Dalam Al Quran ada sebuah surah yang dinamakan Surah Pena.
-- N WALQLM WMA YSTHRWN (S. ALQLM, 68:1), dibaca: nun walqalami wama- yasthuru-n (s. alqalam), artinya: Nun (sebuah kode matematis), perhatikanlah pena dan apa-apa yang mereka tuliskan. Al Quran memerintahkan untuk menuliskan perikatan perjanjian oleh Katib (notaris).
-- ADZA TDAYNTM BDYN ALY AJL MSMY FAKTBWH WLYKTB BYNKUM KATB BAL'ADL (S. ALBQRt, 2:282), dibaca: idza- tada-yantum bidaynin ila- ajalin musamman faktubu-hu walyaktub baynakum ka-tibun bil'adli (s. albaqarah), artinya: Jika kamu mengadakan perikatan perjanjian utang-piutang sampai waktu tertentu maka tuliskanlah dan mestilah dituliskan di antara kamu oleh seorang katib dengan adil. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 26 September 1999
19 September 1999
[+/-] |
390. Berita Tentang Tahyul, Khurafat dan Sodomi |
Menjelang akhir 10 abad (millenium) kedua yaitu abad ke11-20 di Indonesia terangkat tiga berita yang dapat merusak aqidah dan akhlaq ummat terutama remaja dan pemudanya, yailu berita tahyul, khurafat dan sodomi.
Pertama, berita tahyul ialah tentang hari kiamat pada 9-9-1999, jam 9, yang bersumber dari paranormal, kemudian diekspos oleh mas media. Tidak usah secara naqliyah, secara aqliyahpun berita tahyul itu gampang dinafikan. Jam 9 waktu apa? Di globa ini banyak terdapat yang berbeda jam 9-nya. Juga tanggal 9 di mana? Di globa ini ada dua tanggal 9, satu di sebelah timur international date line (IDL) dan satu lagi di sebelah barat IDL.
Kedua, berita tentang khurafat yaitu catatan harian Rudy Ramli diperlakukan seperti suhuf (lembaran kitab suci), suci dari kesalahan. Dalam pandangan beberapa penganut khurafat itu, tidak terkecuali beherapa anggota DPR, semua bantahan terhadap lembaran khurafat itu dinyatakan salah dan kecewa terhadap pembantah itu. Tokoh Iramasuka (Irian, Maluku, Sulawesi, Kalimantan) Baramuli mencoba menghapus khurafat itu dengan menantang Pansus Komisi VIII DPR supaya pertemuan tabayyun (klarifikasi) antara Pansus dengan dirinya secara terbuka, tetapi Pansus menolak, mengapa takut? Artinya dilihat dari segi mencerdaskan kehidupan bangsa, Pansus itu memelihara khurafat. Padahal demi rakyat Indonesia yang 200 juta (ini meminjam gaya beberapa anggota DPR, boleh bukan?) aqidah rakyat perlu dipelihara dari khurafat melalui tabayyun dengan Baramuli secara terbuka.
Ketiga, berita yang terjadi di Yogyakarta, mengenai Jeifry Winters yang homosexual, idola dan teman akrab Direktur Econit Advisory Group Rizal Ramli. Dalam konteks yang menimpa Winters substansi berita itu termasuk ringan, karena hanya mengenai penganiayaan ringan dan pengejaran. Akan tetapi dalam konteks yang menimpa Tri Apri Untoro mahasiswa sehuah PTN di Yogyakarta, korban percobaan perbuatan cabul sodomi, substansi berita itu serius, karena sodomi itu menyangkut hal yang dilaknat Allah. Qaum Luth dilaknat Allah, karena homosexual dan lesbian. Malaikat diutus Allah ke Sodom dan Gomorrah (Qamran) untuk menghukum negeri itu dengan shayhah, bunyi yang frekwensi getarannya tinggi, seperti disebutkan dalam Al Quran:
-- AN KANT ALA SHYhT WAhDT FADZAHM KHAMDWN (S. YS, 36:29), dihaca: in ka-nat illa- shayhatan wa-hidatan faidzahun kha-midu-n (s. ya-sin), artinya: bukan kejadian biasa melainkan bunyi yang keras, maka dengan itu mereka mati terkapar (36:29).
Sebenarnya Winters pernah disorot dalam kolom ini, yaitu Seri 347, karena Winters menghujat sistem hukum kita yang dikatakannya hukum kolonial warisan Belanda. Kita kutip sebagian kecil:
"Mencerca sistem hukum negara Republik lndonesia yang dikatakannya hukum kolonial, berarti Winters menghina bangsa Indonesia. Tidak percaya? Bacalah hasil wawancara yang berikut ini: Kalau memang pemerintah Habibie menjadikan saya tersangka, maka itu berarti bahwa sebenarnya pemerintah Habibie ingin tetap menggunakan suatu instrumen hukum yang sebenarnya punya sejarah kolonial, yaitu dari zaman Belanda. Negara demokrasi tidak punya hukum kolonial seperti itu. Jadi itu hukum yang dipakai, kemudian dipakai Soeharto dan sekarang dipakai oleh Habibie.
Winters boleh saja tidak mengakui legitimasi sistem perundang-undangan kita, karena ia warga-negara Amerika. Akan tetapi rakyat Indonesia harus melaknat Winters sekeras kerasnya, karena ia menghujat sistem hukum kita yang dikatakannya hukum kolonial warisan Belanda," Sekian kutipan itu.
Karena sekarang terjadi boom rekayasa politik, ada kemungkinan penganiayaan Winters itu diisukan sebagai suatu usaha pemerintah untuk meredam Winters supaya ia tidak berani lagi mengoceh sebagai pengamnat potitik. (Sekarang menjamur pengamat politik yang ditokohkan oleh mas media elektronik seperti misalnya Kristiadi dari CSIS yang suka berbohong. Dalam kesempatan mengoceh dalam diskusi Partai aliran orang ini menyangkal keterlibatan CSIS dalam kebijakan strategi pembangunan Orde Baru. Padahal semua orang tahu CSIS semula adalah peletak dasar strategi pembangunan Orde Baru.
Berani karena benar, takut karena salah, Winters merasa takut, sehingga Senin dini hari 13-9-1999 di tempatnya menginap yaitu Hotel Garuda di depan polisi yang dipanggil oleh petugas Ho tel Garuda, Winters meminta supaya penganiayaan itu tidak diperpanjang. Pada jam 06:30 pagi hari Senin itu juga Winters check-out lalu terbang ke Jakarta menggunakan flight yang pertama. Untuk memperoleh informasi tentang pengakuan Untoro korhan dari predator Jeffry Winters, pembaca dapat membaca pengakuan Untoro di depan polisi seperti diberitakan oleh Harian Fajar, edisi Rabu, 15-9-1999, halaman 3.
Beruntung sekall, Jeffry Winters belum saatnya dicabut nyawanya oleh malakulmaut. Sebab andai kata Jeffry Winters sempat dianiaya sampai mati terkapar, sedangkan yang menganiayanya tidak terungkap, maka peristiwa itu dapat menjadi kuda tunggangan politik untuk membidik Presiden Habibie. Bahwa Winters dibunuh secara gelap oleh pembunuh bayaran dari kubu Habibie untuk membungkam mulut Jeffry Winters.
Ala kulli hal ada yang sangat penting pula dikemukakan. Bahwa peristiwa percobaan sodomi ini merupakan gunung es dari prilaku Winters dalam dunia sodomi di Indonesia. Sangat beralasan untuk ditengarai bahwa setiap ia datang di Indonesia untuk mengoceh sebagai peninjau politik, ia selalu menjadi predator yang memangsa remaja ataupun pemuda kita, bahkan dapat diyakini kebenarannya bahwa Winters berperan pula menjerumuskan pemuda sebagai pemula terjun masuk ke dunia sodomi dan ia sebagai penyebar HIV/AIDS. Seperti diketahui HIV/AIDS ini mula pertama didapatkan pada homoseksual. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 19 September 1999
12 September 1999
[+/-] |
389. Gebrakan Presiden Habibie Menghantam Status Quo dengan Lontaran Dua Opsi |
Gagasan dua opsi Presiden Habibie itu merupakan kebijakan politik yang berani jika dikaitkan dengan statusnya sebagai Capres. Kekalahan opsi otonomi dalam jajak pendapat seperti ternyata sekarang dapat dimanfaatkan dan memang sudah dimanfaatkan oleb kubu Megawati sebagai kendaruan politik untuk tambah sengit membidik Presiden Habibie.
Dalam pada itu para alumni GMNI mengeluarkan pernyataan tidak rasional yang bebal, karena menyuruh Presiden Habibie mundur sebagai presiden. Mengapa saya katakan bebal, oleh karena jika Presiden Habibie mundur sebelum SU MPR, lalu siapa yang akan jadi presiden? Bukankah akan terjadi kevakuman pemerintahan, walaupun Tap MPR No.Vll/MPR/1973 menggariskan pemerintahan diteruskan oleh Mendagri, Menhankam dan Menlu? Pada waktu Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden, lalu Habibie berani menerima tugas jabatan presiden itu tentu saja dengan pertimbangan agar tidak ada kevakuman pemerintahan. Sebab hal itu akan menimbulkan khaos. Atau apakah memang para alumni GMNI itu menghendaki khaos?
Berhubung adanya manuver politik dalam wujud isu bohong: mundur dan kudeta, maka kepada Pak Habibie kita serukan syare gasy. (Syare gasy, adalah ujar-ujar yang populer dalam kalangan pear group Imaam Bonjol l9 Bandung, yang artinya hampir sama dengan howgh dalam bahasa Indian suku Apache).
Bahwa opsi itu dapat pula menjadi senjata kubu Megawati itu untuk menghantam dirinya, Presiden Habibie tentu telah mempunyai kalkulasi yang demikian. Presiden Habibie berani mengambil keputusan calculated risk itu oleh karena ia berpijak di atas pendirian: Jabatan presiden bukan segala-galanya. Dengan pendirian itu ia merasakan tidak ada monyet di punggung. Itulah pula mengapa ia berani tahun lalu memasukkan SI MPR dalam agenda reformasi, tidak takut jika dalam SI itu ia dapat dijatuhkan dari jabatan presiden.
Emil Salim yang selama ini kelihatannya diam, mungkin tahu diri, kini boleh jadi karena melihat situasi Presiden Habibie dapat dipurukkan dengan hasil jajak pendapat itu, mulai pula angkat bicara, bahwa keadaan perekonomian baru akan dapat diperbaiki jika rejim sekarang ini telah berganti. Saya katakan di atas mungkin tahu diri, oleh karena banyak yang tahu bahwa Emil Salim merupakan arsitek utama strategi pembangunan Orde Barn, kebijakan akselerasi modernisasi yang menyebabkan timbulnya segelintir taipan, konglomerat yang bermuara pada timbulnya mekanisme yang melahirkan KKN. Alangkah eloknya jika Emil Salim tidak perlu bicara, sebab buat dia lebih baik memakai amulet: zwijgen is goud, diam itu emas. Saya ingat sebuah kejadian di zamannya Nabi 'Isa AS, seperti tertera dalam Injil:
3.En de schrjftgeleerden en die Farizeers brachten tot hem eene vrow in overspel gegrepen;.... 7.En als zij hem vragen, richte hij zich op en zeide tot hen: Wie van ulieden zonder zonde is, werpe het eerst den steen opt haar... 8.En Jezus zich oprichtende, en niemand ziende dan die vrow zeide tot hoar: Vrouw, waar zijn deze uwe beschuldiger? Heeft niemand veroordeeld? 11.En ziy zeide: Niemand Heere (Johannes 8:3,7,10,11). Artinya: 3.Para ahli kitab dan orang Parisi membawa kepadanya seorang perempuan yang tertangkap basah berzina,... 7.Karena mereka terus bertanya kepadanya, ia mengangkat kepalanya dan berkata kepada mereka: Siapa diantara tuan-tuan yang tidak berdosa dialah yang pertama-tama merajamnya... 1O.Jesus mengangkat muka dan tak seorangpun yang dilihatnya selain perempuan itu, lain lalu berkata kepadanya: Hai perempuan dimanakah mereka yang menyalahkanmu? Tidak adakah orang yang menghukummu? Ia berkata: Tidak ada Tuan.
Kembali kita kepada kebijakan politik dua opsi. Presiden Habibie membuat gebrakan menghantam keadaan status quo Timtim yang berlangsung selama dua puluh tahun lebih. Status quo itu berupa dekolonisasi Portugis yang terbengkalai atas Timtim, yang ibarat duri dalam daging. Keluar, dekolonisasi yang terbengkalai itu ibarat duri dalam daging, karena selalu diusik Portugis dalam arena diplomasi, dikuatirkan jangan-jangan akan menjadi agenda pembicaraan di PBB. Duri dalam daging di dunia diplornatik itulah yang menjadikan pemerintah Orde Baru mengadakan pembangunan fisik di sana sebagai counter attack terhadap upaya Portugis dan diplomasi Ramos Horta. Kebijakan pembangunan fisik yang melahap banyak dana itu menyebabkan timbulnya duri pula ke dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri, karena setiap menyusun APBN merupakan duri tentang banyaknya dana yang dialokasikan ke daerah yang dimanjakan itu, padahal di daerah-daerah lain di Indonesia terdapat pula daerah miskin yang harus mendapat perhatian.
Walaupun pemerintahan Orde Baru, memanjakan Timtim dari segi pembangunan fisik, namun perlakuan terhadap penduduk setempat seakan dianak-tirikan. Jadi suatu ironi yang kontradiktif, yaitu dimanjakan tetapi dianak-tirikan. Keadaan status quo yang demikian itu dipertahankan Orde Baru selama dua puluh tahun lehih. Keadaan status quo inilah yang digebrak Presiden Habibie dengan kebijakan dua opsi. Lalu siapa bilang Presiden Habibie adalah perpanjangan tangan Orde Baru? Buat apa dia membuat kebijakan politik yang tidak populer andaikata ia mesin politik Orde Baru?
Kini tahap kedua agenda kehijakan politik itu sedang berproses dengan mekanisme darurat militer. Sementara ulasan ini ditulis, diberitakan situasi keamanan sudah mengarah kepada perkembangan yang positif. Mudah-mudahan TNI dapat melakukan tugasnya dengan haik dalam arti mencegah perang saudara di Timitim sebelum SU MPR, sehingga tidak ada alasan untuk masuknya pasukan PBB ke Timtim. Dengan demikian Republik Indonesia menjadi terhormat di mata dunia, dapat berpisah secara baik-baik dengan Timtim. Bagi bebenapa anggota DPR, yang barn sekarang mau minta penjelasan dari Presiden Habibie (mengapa bukan dari semula apa mau dikata pahlawan?), yang tidak senang dengan kemenangan opsi pemisahan Timtim, dengarlah ayat ini:
-- W'ASY AN TKRHWA SYYA WHW KHYR LKM (S. AL BQRt, 2:216), dibaca: wa'asa- an takrahu- syaian wahuwa khairul lakum (s. albaqarah}, artinya: Boleh jadi kamu jengkel akan sesuatu padahal ia haik bagimu. Lalu apa baiknya opsi pemisahan itu? Ya duri dalam daging telah tercabut seperti dikemukakan di atas. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 12 September 1999
5 September 1999
[+/-] |
388. Menghadapi Tantangan Krisis Energi dalam Milenium Ketiga |
Amin Rais pernah berkata dalam layar kaca kurang lebih demikian: "Kasus Bank Bali dipolitiser boleh-boleh saja, tetapi jangan kebablasan, sebab nanti akan balik kena sendiri." Ucapan Amin Rais itu ada benarnya. Kubu Megawati menjadikan kasus Bank Bali sebagai kendaraan politik untuk membidik Habibie, Bahkan Megawati di layar kaca meniru gaya ayahnya (lengan lurus sambil menunjuk) sambil menghujat: "Lihatlah betapa bobroknya pemerintah sekarang ini.” Demikian pula kebijakan dua opsi di Timtim tidak luput dijadikan kendaraan politik untuk membidik Habibie.
Menurut TaqdiruLlah (aturan Allah di universum), dalam bidang fisika (yaitu mekanika), dan SunnatuLlah (aturan Allah bagi manusia dan kemanusiaan) dalam bidang sosial berlaku ketentuan aksi menimbulkan reaksi. Apa yang terjadi dalam bidang sosial dalam hal kasus Bank Bali, timbullah reaksi (dalam istilah politik: counter attack) berupa kasus Bank Lippo dipolitiser dengan bidikan ke arah partainya wong cilik yang melimpah dananya untuk mengerahkan massa secara besar-besaran dengan naik helikopter pergi berkampanye. Reaksi dari Presiden Habibie terhadap tudingan yang memperpolitiser kasus Bank Bali itu sangat sederhana namun tegas: "Saya tidak mau jadi presiden dengan cara yang haram, dan jabatan presiden itu bukan segala-galanya bagi saya.”
Lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sangat getol berteriak-teriak menyoraki kasus Bank Bali sangatlah tidak berlaku adil, karena lemhaga-lembaga itu diam seribu bahasa tidak menyoraki Bank Lippo. Karena tidak adilnya itu, secara logika hal ini menimbulkan kecurigaan bahwa lembaga-lembaga itu disuruh berteriak menyoraki Bank Bali dan disuruh diam untuk tidak menyoraki Bank Lippo. Mengapa mau disuruh? Maka logika berikutnya ialah dibayar untuk bersorak-sorak dan dibayar untuk tidak bersorak, alias money politics. Namun insya Allah suhu politik yang berkendaraan kasus Bank Bali dan Bank Lippo akan mereda setelah pemilihan presiden dalam SU MPR yang akan datang. Olehnyaitu kita tinggalkan pembicaraan politik tèrsebut dan selanjutnya akan dibicarakan hal yang tetap aktual, seperti dinyatakan oleh judul di atas.
***
Menurut TaqdiruLlah matahari adalah sumber energi bagi makhluk Allah yang membutuhkan energi, yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia. Orang-orang Mesir kuno menyembah matahari sebagai penjelmaan dewa Ra. Bangsa itu menyembah dewa tri-tunggal, Amun-Ra-Osiris. Amun pencipta, Ra pemelihara yang menitis secara terus-menerus dalam diri para Fir’aun (Per-ah, Phar-aoh) untuk memerintah rakyat Mesir, dan Osinis yang mendera manusia dalam neraka. Sezaman dengan orang Mesir Kuno, bangsa-bangsa di pesisir Laut Tengah dan Asia Kecil dahulu menyembah pula dewa matahari yang namanya mengambil Ra sebagai akar, yaitu Mitras. Dewa ini diyakini lahir pada 25 Desember oleh bangsa-bangsa tersebut di atas. Dewa Amiterusu adalah dewa matahari yang disembah oleh orang Jepang yang beragama Shinto, bahkan menjadi lambang negara Dai Nippong (Jepang), Hinomaru, yaitu bendera Jepang berwarna putih dengan gambar bulatan merah matahari di tengah-tengahnya.
Matahari merupakan sumber tenaga yang tak terhabiskan oleh peradaban manusia. Menurut TaqdiruLlah di matahari terjadi proses penyusunan inti atom, 4 butir atom Hidrogen tersusun menjadi 1 butir Helium. Menurut hukum kekekalan massa adalah logis jika 4 butir Hidrogen sama beratnya dengan 1 butir Helium. Ternyata tidak demikian, karena 4 butir Hidrogen lebih berat dari 1 butir Helium. Jadi menurut TaqdiruLlah tidak ada kekekalan massa.
Di matahari setiap detik sekitar 650-juta ton Hidrogen tersusun menjadi 646-juta ton Helium. Selisih yang 4 juta ton itu oleh TaqdiruLlah berubah wujud menjadi energi yang dipancarkan matahari ke ruang sekelilingnya, antara lain menyinari bumi. Matahari mengalami penyusutan materi oleh proses reaksi fusi inti atom ini dalam 1,5 miliyar tahun hanya sekitar 1% dari massa matahari yang ada sekarang ini. Pakar astro-fisika memperhitungkan umur matahari sekitar 10 miliyar tahun. Dengan demikian selama itu matahari telah susut massanya sekitar 6%. Bumi hanya menerima seper-2000 miliyar dari energi yang dipancarkan matahari itu. Bumi menerima sinar berupa energi photon dari matahari. Photon itu berasal dari sinar gamma dalam inti matahari, yaitu hasil perubahan massa menjadi energi oleh reaksi inti dalam inti matahari itu. Sinar gamma itu mengalami penyusutan energi tatkala menembus keluar, dan itulah photon setelah energi itu tiba pada bagian luar matahari. Bumi menerima energi photon sebanyak 175 milyar mega-wat-jam. Energi sehanyak itu terpakai untuk menjalankan motor-iklim seperti: pemanasan udara, penguapan air yang menjadi hujan, angin, arus laut, dan ombak serta berjenis kejadian lainnya dalam atmosfer bumi.
Photon menyebabkan tumbuh-tumbuhan membangun ikatan kimia organik hidrokarbon (baca: bahan bakar dan makanan) dari bahan baku air dan karbon-dioksida, dan memberikan oksigen kepada binatang dan manusia. Bahan bakar berupa minyak, gas alam dan batu bara yang ada dalam perut bumi disusun oleh tumbuh-tumbuhan selama berjuta-juta tahun dengan bantuan photon tersebut.
Pada waktu langit bersih permukaan bumi menerima setiap meter persegi dalam ketinggian serata dengan permukaan laut dalam setiap hari sekitan 870 watt dari photon itu. Pada ketinggian sekitar 4400 meter dari muka laut hasil pengukuran menunjukkan banyaknya photon yang diterima pada luas permukaan satu meter persegi sekitar 1,16 kilowatt, jadi sehanyak 35% lebih dari permukaan bumi pada muka laut. Satelit Palapa yang terletak lebih tinggi menerima lebih intensif pula, yaitu l,36 kilowatt.
Dari data yang di atas itu, menyebabkan orang menoleh kepada energi matahari sebagai energi alternatif dalam millnium ketiga (abad ke-30). Hal ini disebabkan makin menipisnya sumber energi pada bahan bakar hidro-karbon, sedangkan sumber energi baik dari pemecahan maupun penyusunan inti atom membawa dampak buruk yakni pencemaran radio-aktif. Padahal energi matahari sangat ramah lingkungan dalam makna tanpa pencemaran gas buang, tanpa pencemaran thermal, tanpa pencemaran bising, dan tanpa pencemaran radio aktif. Dengan uraian ini dapatlah disimak dan dinikmati kata DHYAaN (dibaca: dhiya-un) dalam ayat yang berikut:
-- HW ALDZY J’AL ALSYMS DHYAaN WALQMR NWRA (S. YWNS, 10:5), dibaca: Huwal ladzi- ja'alasy syamsa dhiya-an wal qamara nu-ran, (s. yu-nus), anrinya: Dia Yang menjadikan matahani bersinar dan bulan bercahaya. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 5 September 1999