AlhamduliLlah, telah terbit Keputusan Presiden RI No.3 Tahun 1997 tanggal 31 Januari 1997, tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol (C2H5OH). Kepres tersebut tidak terlepas dari respons positif pemerintah terhadap tanggapan ketidak-puasan pressure group di dalam masyarakat terhadap Peraturan Daerah pada beberapa daerah mengenai minuman beralkohol (Miras).
Dalam Bab III, Pasal 3 ayat 1 dari Kepres tersebut dibuat klasifikasi 3 golongan minuman berakohol yaitu: golongan A (kadar alkohol 1% s/d 5%), golongan B (di atas 5% s/d 20%) dan golongan C (di atas 20% s/d 55%). Menurut ayat 2 hanya golongan B dan C yang ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan baik dalam hal produksi, pengedaran dan penjualannya. Sehubungan dengan klasifikasi tersebut, maka minuman tradisional ballo' (tuak), masih menjadi pertanyaan apakah termasuk dalam golongan A ataukah dalam golongan B,C? Harus diadakan penelitian berapa kadar C2H5OH dalam tuak yang tentunya bervariasi pula, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan penelitian tuak tersebut. Maka perlu petunjuk yang dituangkan dalam Peraturan Daerah dalam hal penelitian tentang tuak ini, dan ini merupakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah. Seyogianya petunjuk dalam Perda itu mengarahkan penelitian itu untuk mengambil contoh tuak yang sudah diberi sene (ramuan akar tumbuh-tumbuhan). Tuak dengan standard bersene ini perlu supaya tuak termasuk dalam kategori golongan B, sehingga dapat dijaring dengan Kepres. Dengan demikian lontang (lepau tempat miunum tuak) yang tersebar dapat ditindak dengan tegas, karena tawuran para remaja banyak-banyak dipicu oleh remaja tuna-sa'ring (teler).
Adapun pekerjaan rumah yang kedua sehubungan dengan Bab IV, Pasal 5 dari Kepres tersebut tentang hal larangan mengedarkan dan menjual miras berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit. Pernyataan kualitatif dekat dalam Kepres tersebut perlu penjelasan dalam Perda secara pernyataan kuantitatif, yaitu jarak antara tempat penjualan Miras itu dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit dinyatakan dalam ukuran panjang ataupun dalam jumlah bangunan yang mengantarai.
***
Metode pendekatan menurut Al Quran dalam hal ketentuan larangan minum khamar (Miras), ialah secara bertahap. Tahap pertama ialah memberikan potret tentang khamar. Itsmun Kabiyrun waMana-fi'u linNa-si waItsmuHuma- Akbaru min Naf'ihima- (S. Al Baqarah, 219). Dosa besar dan ada beberapa manfaat, namun dosa keduanya (Miras dan judi) lebih besar dari manfaat keduanya (2:219). Tahap kedua adalah sasaran antara tidak boleh shalat tatkala sedang mabuk. La- Taqrabuw shShalawta wa Antum Suka-ray (S. AnNisa-u, 43). Janganlah kamu dekati shalat tatkala kamu mabuk (4:43). Tahap ketiga adalah sasaran akhir, larangan yang tegas. Rijsun min 'Amali sySyaytha-ni faJtanibuwhu La'allakum Tuflihuwna (S. Al Ma-idah, 90). Itu dari pekerjaan setan, jauhkanlah, supaya kamu mendapat kemenangan (5:90).
Maka diharapkan pula seyogianya Kepres tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol hanya bersifat taktis, yaitu suatu langkah dalam tahap sasaran antara untuk menuju kepada tahapan akhir yang bersifat strategis yaitu Pemerintah bersama dengan DPR membuat Undang-Undang supaya Miras terjauh (faJtanibuwhu) dari seluruh rakyat Indonesia: tutup pabrik Miras. Keputusan penutupan pabrik Miras itu perlu diamankan, yaitu menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur yang diakibatkan oleh penutupan pabrik Miras tersebut.
Seperti diketahui di samping pabrik Miras ada pula pabrik etil alkohol (ethanol, C2H5OH). Baik pabrik Miras maupun pabrik ethanol mempergunakan bahan baku dari tumbuhan bertepung (C6 H10 O5)n, keduanya menghasilkan ethanol, akan tetapi ethanol hasil pabrik ethanol tidak dapat diminum. Ethanol hasil pabrik ethanol ini ialah untuk keperluan proses dalam pabrik kimia, cairan pembersih dan pembunuh kuman, dan (untuk masa depan di Indonesia) sebagai bahan bakar mesin-mesin. Jadi untuk membuka lapangan kerja bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan yang diakibatkan oleh penutupan pabrik Miras tersebut, dapatlah ditempuh dengan memodifikasi semua pabrik Miras menjadi pabrik ethanol.
Sedikit tentang prospek bahan bakar ethanol untuk mesin-mesin di Indonesia. Pergeseran bahan bakar bensin ke bahan bakar ethanol bagi motor bakar, bagi pabrik-pabrik yang memproduksi motor-motor bakar dengan bahan bakar ethanol bukanlah masalah. Yang menjadi masalah ialah bagi masyarakat yang sudah terlanjur mempunyai motor-motor bakar dengan bahan bakar bensin. Untuk itu diperlukan modifikasi motor-motor bakar, tetapi modifikasi ini tidaklah menyeluruh terhadap komponen-komponen mesin, melainkan hanya tertuju utamanya pada karburator dan penukar kalor.
Dengan pemakaian bahan bakar ethanol perbandingan bahan bakar dengan udara akan berubah. Untuk ukuran silinder yang sama pembakaran ethanol akan membutuhkan oksigen yang lebih rendah ketimbang kebutuhan oksigen guna pembakaran besin. Dengan demikian pada karburator saluran udara harus dipersempit sedangkan saluran bahan bakar harus diperbesar. Itu berarti untuk ukuran silinder yang sama akan lebih banyak bahan bakar ethanol yang masuk silinder, sehingga daya mesin akan meningkat. Akan tetapi pada sisi lain suhu mesin akan meningkat pula. Untuk itu akan membutuhkan komponen penukar kalor yang lebih tinggi kinerjanya untuk membuang kalor dari dalam mesin ke udara luar.
Syahdan, yang paling penting ialah dengan adanya Undang-Undang mengenai larangan untuk mendirikan pabrik Miras yang sekaligus mencakup larangan tentang peredaran, perdagangan dan pengkonsumsian (baca: minum), maka setelah Indonesia terjun dalam kancah perdagangan bebas, dapatlah tumpah darah Indonesia dilindungi dari serbuan arus globalisasi Miras dari manca-negara: brandy, vodka, anggur, whiskey dan semacamnya. Melindungi tumpah darah dari serbuan obat bius, extacy (sudah ada Undang-Undangnya) dan Miras (Undang-Undangnya seyogianya segera dibuat) termasuk dalam upaya yang diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 23 Maret 1997
23 Maret 1997
[+/-] |
266. Keputusan Presiden tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol |
16 Maret 1997
[+/-] |
265. Shayhah, Bunyi Yang Menderu dan Mendera |
WatTiyni wazZaytuwni. WaThuwri Siyniyna. WaHadza lBaladi lAmiyna (S. At Tiyn, 1-3) Perhatikanlah ara, perhatikanlah zaitun! Perhatikanlah gunung Sina! Perhatikanlah negeri yang aman ini! (95:1-3).
Pohon Ara memperlambangkan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Musa AS dan gunung Sina(i) adalah tempat mula-mula Nabi Musa AS menerima wahyu. Zaitun memperlambangkan wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan negeri yang aman yaitu al Makkah al Mukarramah adalah tempat mula-mula Nabi Muhammad SAW menerima wahyu. Gunung Sina(i) terletak di semenanjung Sina(i) dan negeri yang aman terletak di semenanjung Arabia.
Di semenanjung Sina(i) dahulu kala bermukim bangsa Madyan. Bangsa ini adalah turunan Madyan (bukan nabi) anak ketiga Nabi Ibrahim AS dari isterinya yang ketiga Sitti Katurah. Kepada bangsa Madyan tersebut diutuslah oleh Allah SWT Nabi Syu'aib AS, yaitu mertua Nabi Musa AS. Waktu dijadikan menantu, Musa belum diangkat Allah menjadi nabi.
Nabi Syu'aib AS memperingatkan bangsa Madyan: YaQawmi 'Buduw Llaha Ma- laKum min Ilahin Ghayruhu waLa- Tanqushuw lMikya-la walMiyza-na (S. Huwd, 84), Hai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada bagimu Tuhan selain daripadaNya dan janganlah kamu mengurangi sukatan dan timbangan (11:84).
Bangsa Madyan kepala batu, tidak mau mendengarkan peringatan Nabi Syu'aib AS, bahkan mereka mengancam Nabi Syu'aib AS: waLaw La- Rahthuka Larajamnaka waMa- Anta 'Alayna- bi'Aziyzin (S. Huwd, 91), dan sekiranya bukan karena keluargamu, kami niscaya merajammu, engkau itu tidaklah berkuasa atas kami (11:91). Karena itu Allah menghukum kaum Madyan tersebut.
waAkhadzati Lladziyna Zhalamuw shShayhatu faAshbahuw fiy Diya-rihim Jatsimiyna (S. Huwd, 94), lalu orang-orang zalim itu disambar bunyi menderu, maka mereka mati tersungkur di dalam rumahnya (11:94).
Peringatan itu patut pula kita perhatikan dewasa ini, jangan menyembah apa saja selain Allah, jangan curang dalam sukatan (volume) dan timbangan (berat). Dewasa ini sudah berbilang yang menyembah berhala tradisional dan berhala modern. Berhala tradisional adalah patung-patung berhala, saukang, sedangkan berhala modern adalah otak manusia. Sikap sekuler, sikap yang semata-mata menghandalkan otak, sikap yang melecehkan kaidah agama yang bersumber dari wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada para Nabi, adalah penyembah berhala modern. Curang dalam sukatan dan timbangan berarti tidak berlaku adil, baik itu dalam hal sukatan dan timbangan yang sebenarnya (baca: aktivitas berekonomi), maupun itu dalam sukatan dan timbangan dalam arti kiasan (baca: aktivitas berpemerintahan dan berpengadilan).
***
Telah berlalu bangsa Madyan yang dihukum Allah dengan Shayhah, bunyi yang mendesah, menderu, melengking, teriakan, cry, kreet. Shayhah adalah Ayat Kawniyah, sehingga untuk dapat mengetahui dengan baik shayhah ini, kita perlu mengkaji Ayat Kawniyah mengenai bunyi. Bunyi itu adalah gelombang udara yang dapat ditangkap oleh pancaindera kita melalui selaput genderang telinga yang bergetar. Getaran itu diubah oleh mekanisme dalam tubuh kita menjadi pulsa, kejutan listrik, kemudian diteruskan ke otak oleh sel-sel saraf. Sel-sel saraf tidak bersentuhan. Pulsa itu diteruskan dari sel ke sel melalui larutan elektrolit. Sel-sel saraf dan larutan elektrolit membentuk jaringan elektrik di dalam tubuh kita. Di otak oleh kesadaran kita, berkat adanya ruh dalam diri kita, pulsa atau kejutan listrik itu diolah sehingga kita (baca: ruh) mendengar bunyi yang berasal dari gelombang udara itu. Tidak semua gelombang udara dapat kita dengar. Gelombang udara yang bilangan getarnya tinggi di atas normal, ataupun yang bilangan getarnya rendah di bawah normal tidak dapat kita dengar.
Bagaimana shayhah itu dapat membunuh manusia, sehingga jatuh tersungkur, bahkan meretakkan bangunan, sampai merobohkannya? Pada tahun 1964 di kota Marseille dibangunlah sebuah gedung untuk penelitian elektroakustik. Lembaga penelitian itu dipimpin oleh Prof. Vladimir Gavreau. Hanya beberapa hari para pakar peneliti itu bekerja dalam gedung itu diserang sakit kepala. Yang dijadikan kambing hitam dalam penyebab sakit kepala itu adalah sinar yang tak terkontrol dalam laboratorum itu. Akan tetapi setelah disidik, diteliti dengan saksama, tidak ada sama sekali sinar yang berdosa yang tak terkontrol itu. Tuduhan terhadap sinar tak terkontrol itu dicabut kembali, berita acara pemeriksan dibatalkan. Ternyata tersangka baru dapat diungkap. Penyebabnya berasal dari ventilasi yang menyebabkan gelombang udara yang berfrekuensi rendah, yang menyebabkan seluruh gedung beresonansi, ikut bergetar dalam wujud infra-bunyi, bunyi yang tak kedengaran.
Mulailah diadakan penelitian infra-bunyi oleh tim peneliti dari laboratorium elektroakustik itu. Hasilnya, dibuatlah di lab elektroakustik di Marseille itu meriam bunyi, yang merupakan meriam bunyi yang mula-pertama di dunia ini. Meriam bunyi itu sangat sederhana. Pada sebuah lubang ventilasi dipasang 61 pipa yang ke dalamnya ditiupkan udara kempa, sehingga menghasilkan gelombang udara dengan getaran 196 Hertz, yaitu batas terendah dari bunyi yang dapat didengar. Akibatnya luar biasa, dinding bangunan yang masih baru itu retak, sedangkan para personel laboratorium di dalamnya gemetar diserang nyeri tak terkira. Meriam bunyi itu dilanjutkan dengan output frekuensi 37 Hertz. Namun tidaklah sepenuhnya diuji-coba karena orang khawatir dapat merusak gedung-gedung dalam ruanglingkar beberapa kilometer sekitar gedung laboratorium itu.
Mungkin ada benarnya dalam cerita silat ada tiupan suling, petikan kecapi, bunyi tertawa dapat mengakibatkan darah keluar dari telinga ataupun mulut yang mendengarnya, yaitu apabila tiupan suling, petikan kecapi, bunyi tertawa, menghasilkan gelombang udara dengan frekuensi 196 Hertz, yaitu batas terendah dari bunyi yang dapat didengar, ataupun dengan frekuensi di bawah 196 Hertz yang berwujud infra-bunyi.
Dari hasil kajian Ayat Kawniyah, dapatlah kita mengerti dengan jelas Ayat Qawliyah dalam hubungannya orang-orang mati tersungkur dalam rumahnya yang dihukum oleh Allah dengan mengirim shayhah kepada mereka itu.
Hukuman Allah melalui shayhah atas kaum yang melecehkan para Nabi dapat kita baca dalam sebelas ayat yang berikut: 11:67, 11:94, 15:73, 15:83, 23:41, 29:40, 36:29, 36:49, 36:53, 38:15, 50:42, 54:31, dan 63:4. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 16 Maret 1997
9 Maret 1997
[+/-] |
264. Manusia Melahirkan Buaya? |
Hari Senin, 3 Maret 1997 saya menerima deringan-deringan telepon, meminta agar saya menulis tentang manusia kembar buaya atau buaya kembar manusia. Ini sehubungan dengan berita yang dimuat oleh FAJAR edisi 3 Maret 1997 dengan judul berita Melahirkan Manusia Kembar Buaya pada halaman 9. Mengapa saya mendapat sasaran telepon mungkin karena dua alasan. Pertama, berita itu relevan untuk dibahas dalam kolom Wahyu dan Akal - Iman dan Ilmu. Kedua, saya berasal dari Selayar, seasal dengan ibu buaya kembar manusia itu.
Sebenarnya peristiwa lucu itu telah dibahas dalam kolom ini 5 tahun yang lalu sebagai sebagian oleh-oleh Mudik dari Selayar, yaitu dalam Seri 25, 26 dan 27.
Menjelang lebaran tahun 1412 H, saya ikut pergi ke udik atau mengudik disingkat menjadi mudik. Sebenarnya bagi saya bukan mudik melainkan menghilir, karena betul-betul pergi ke hilir, bahkan menempuh laut, ke Selayar, kabupaten terselatan dari provinsi ini. Walaupun sebenarnya menghilir, namun akan tetap dipakai istilah mudik, sebab istilah ini sudah mempunyai konotasi yang khas. Oleh-oleh berupa Seri 25 yang berjudul Mudik, 12 April 1992, belumlah memuat laporan khusus tentang buaya yang berkembar manusia. Barulah dalam kedua seri yang berikutnya membicarakan antara lain cerita manusia beranak kembar buaya manusia tersebut.
Saya kutip: Saya teringat di bagian selatan pulau itu masih ada berhala lokal yang disebut Topa. Menurut informasi yang saya dapatkan, berhala Topa itu masih difungsikan orang. Topa itu berupa liang batu pada sebuah muara. Di dalam liang batu itu katanya bersemayam seekor buaya putih dengan lima jari, dianggap nenek moyang sebuah rumpun keluarga. Kata orang, buaya putih itu sudah sedemikian besarnya sehingga tidak dapat lagi keluar dari liang gua, karena mulut liang itu sudah terlalu sempit baginya. Di situlah orang minta rezeki dengan membawa telur yang diselamkan masuk ke dalam liang, dan mengoleskan darah ternak di mulut lubang liang batu itu. (Dari Seri 26, Berhala Tradisional dan Berhala Modern, 26 April 1992. Judul tsb merupakan tema Khutbah Jum'at terakhir dalam bulan Ramadhan yang saya khutbahkan di Masjid Raya Benteng, Selayar)
Selanjutnya saya kutip: Tulisan ini adalah oleh-oleh terakhir pulang mudik. Khuthbah Jum'at mengenai Topa, berhala lokal itu, buaya putih lima jari, berkembang menjadi diskusi yang hangat pada sebuah rumah keluarga tempat saya berkunjung sesudah lebaran dalam rangka silaturrahim. Istilah silaturrahim ini mengalami gejala apocope menjadi silaturrahmi yang kelihatannya lebih
populer. Ini tidak aneh, dalam bahasa Makassar gejala ini juga ada, misalnya biralle menjadi bilarre.
Bahwa rumpun keluarga keturunan buaya putih lima jari di Topa itu tidak mustahil. Di Sulawesi Selatan ini katanya adalah hal yang lazim manusia beranak buaya, anak yang mempunyai kembar buaya. Fa''A-lu Lima- Yuriydu (S. Al Buruwj, 16). Allah berbuat sekehendakNya, ucap salah seorang peserta diskusi mengutip ayat Al Quran. Serta merta ucapan itu didebat oleh kemanakannya
sendiri: Orang beranak buaya? Tidak masuk akal, karena tidak ada dalam Al Quran. Sang paman menimpali pula: Jadi kau anggap paman pembohong? Saya melihat dengan mata kepala sendiri dukun beranak memperlihatkan kepada semua yang hadir di rumah ibu yang baru saja melahirkan bayinya berkembar buaya. Sang kemanakan berucap pula: Terserah, pokoknya itu tidak masuk akal sebab tidak ada dalam Al Quran orang yang beranak buaya. Seorang tamu yang lain turut angkat bicara: Yang penting, kita tidak ikut terlibat dalam minta-minta rezeki di Topa itu. Apakah buaya putih lima jari itu menurunkan rumpun keluarga, atau tidak, tergantung dari keyakinan dan pikiran masing-masing, pokoknya asal kita tidak terlibat dalam menjadikannya berhala. Saya tidak sependapat, sang kemanakan tadi memotong. Justru karena percaya tentang tahyul, buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang melahirkan buaya, atau anak kembar buaya, membuka kesempatan untuk melakukan khurafat, minta-minta rezeki, menyembah berhala. Tahyul semacam itu membuka pintu kepada kemusyrikan. Jadi pada pokoknya tahyul itu harus dikikis habis. (Dari Seri 27, Tahyul Klasik dan Tahyul Kontemporer, 3 Mei 1992).
Kutipan yang berikut adalah komentar saya sebagai kesimpulan dalam diskusi itu: Jadi supaya terpelihara aqidah kita, apabila ada hal yang aneh-aneh kita dengar kita tanya dahulu Ilmu pengetahuan alam syahadah (baca: Ayat Kawniyah). Apakah mungkin manusia beranak buaya menurut biologi, menurut ilmu genetika? Jawabnya bertentangan dengan ilmu genetika. Apakah yang demikian itu ada dalam Al Quran? (baca: Ayat Qawliyah). Tidak ada, jadi tidak masuk akal. Jalan pemikiran sang kemanakan di atas itu benar adanya. Lalu apakah sang paman pembohong? Kita bertanya, pernakah seorang ibu yang melahirkan di rumah sakit bersalin diinformasikan beranak buaya? Tidak pernah. Apa perbedaan orang melahirkan di rumah sakit oleh bidan dengan melahirkan di rumah sendiri oleh dukun beranak? Bedanya adalah di rumah sakit bersalin sifatnya terbuka, bahkan ada berita acaranya. Sedangkan di rumah sendiri sifatnya tertutup. Lalu apa artinya itu? Di ditempat terbuka tidak mungkin atau tidak sempat untuk melakukan manipulasi, sedangkan di tempat tertutup, ada kesempatan bahkan terbuka luas untuk manipulasi. Itulah jawabannya. Sang paman tidak bohong, melainkan terkecoh oleh ulah si dukun beranak. Tujuannya mengecoh? Untuk sensasi sebagai sasaran antara dan komersialisasi untuk sasaran utama (alinea terakhir Seri 27).
Sekianlah kutipan dari kedua seri itu, mudah-mudahan jelas adanya. Kalau kita mendengar atau membaca yang aneh-aneh, maka dengan landasan iman dan mempergunakan akal kita merujuk sekaligus kepada Ayat Qawliyah dan Ayat Kawniyah. Beriman kepada wahyu, mempergunakan akal sehingga berilmu akan membentuk sikap yang tegas menolak tahyul, yang selanjutnya menghasilkan perilaku untuk tidak terseret melakukan khurafat minta-minta rezeki ataupun barakah selain dari Allah SWT.
Semoga terhindarlah kita dari cacat aqidah, terbebas dari pengaruh tahyul, seperti buaya menurunkan rumpun keluarga, atau ibu yang melahirkan buaya, atau anak kembar buaya, dan segala macam cerita, berita aneh-aneh yang tidak ditopang oleh Ayat
Qawliyah dan atau Ayat Kawniyah, Amin! WaLlahu A'lamu bishShawab.
*** Makassar, 9 Maret 1997
2 Maret 1997
[+/-] |
263. Siapa Pelakunya? |
Pada malam Sabtu, 21 Februari 1997, sahabat saya Fuad Rurni sementara ia mengaji Al Quran, terbaca olehnya sebuah ayat, lalu serta-merta setelah mengaji ia menelepon saya, supaya saya menterjemahkan ayat tersebut dan menyarankan puia agar saya tulis dalam kolom ini. Sebenarnya ini adalah merupakan perpanjangan diskusi tentang pemahaman ayat:
WaLlahu Yahdiy Man Yasya-u (S. Al Baqarah 213). Apabila fail (pelaku) Yasya-u adalah Allah, maka tafsiran ayat itu: Allah menunjuki siapa yang Allah kehendaki atau dikehendakiNya. Apabila pelaku Yasya-u adalah Man, maka tafsiran ayat itu: Allah memberi petunjuk kepad siapa yang mau (mendapat petunjuk).
Diskusi tersebut berlangsung di rumah sahabat saya Alwi Hamu untuk mengisi waktu lowong menjelang dimulainya acara resmi Halal bi Halal (baca: silaturrahim). Sebenarnya diskusi dengan materi yang sama telah berlangsung pula menjelang akhir Ramadhan di Pesantren Putera Pendidikan Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al Quran) dalam diskusi itu berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, sedangkan menurut pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.
Menurut metode pendekatan Satu Kutub, dalam hal ada penafsiran yang berbeda, maka perbedaan itu harus diujicoba. Karena hal ini murni bersangkutan dengan Ayat Qawliyah, maka rujukannya tentulah juga semata-mata pada Ayat Qawliyah pula. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang tidak sama itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:
Inna Lla-ha Laa Yughayyiru Maa biQawmin Hatta- Yughayyiruw Maa biAnfusihim (Ar Ra'd, 11). Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga mereka itu mengubah apa (yang ada) dalam dirinya.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing).
Ayat di bawah lebih mempertegas yang dimaksud dengan apa tersebut:
Dza-lika biAnna Lla-ha Lamyaku Mughyyiran Ni'matan An'amahaa 'ala- Qawmin Hatta- Yughayyiruw Maa biAnfusihim (Al Anfal, 53). Demikianlah Allah tidak akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah apa (yang ada) atas dirinya.
Jelas bahwa yang dimaksud dengan apa adalah ni'mat Allah. Adapun ni'mat Allah dapat berupa petunjuk seperti dalam S. Al Baqarah, 213 di atas, ataupun berupa rezeki seperti dalam S. Al Baqarah, 212.
S. Ar Ra'd 11, dan S. Al Anfal 35, menolak pola pikir Madzhab Qadariyah (Allah pasif, manusia aktif), juga menolak pola pikir Madzhab Jabariyah atau Fatalist (Allah aktif, manusia pasif). Allah memberikan ni'mat yang bersyarat. Syaratnya ialah siapa yang berusaha untuk mendapatkan ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia juga aktif. Secara proaktif, nimat Allah dipancarkan oleh Allah tak putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu.
Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan makna ayat. Berikut ini dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya. Firman Allah dalam S. Ar Ra'd 27:
Inna Llaha Yudhillu Man Yasyaau, wa Yahdiy Ilayhi Man Anaaba, sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan Yasyaau dan ataaba.
Adapun ayat yang dimaksud melalui telepon Fuad Rumi seperti berikut:
Inna Rabbaka Yabsuthu rRizqa liMan Yasyaau wa Yaqdiru Innahu Kaana bi'Ibaadihi Khabiyran Bashiyran (S. Isra-, 30).
Menurut hemat saya kalimah (kata) wa adalah untuk menghubungkan jumlah (kalimat) Inna Rabbaka Yabsuthu rRizqa liMan Yasya-u dengan jumlah Yaqdiru Innahu Kaana bi'Iabadihi Khabiyran Bashlyran. Kedua jumlah yang dihubungkan itu mempunyai fa'il (pelaku) yang sama, yaitu Rabbaka. Dengan demikian pelaku dan Yabsuthu dan Yaqdiru adalah Rabbaka dan pelaku dan Yasya-u adalah Man. Sehingga seyogianya menurut hemat saya ayat itu bermakna:
Sesunggunya Maha Pengaturmu melapangkan rezeki bagi siapa yang mau (lapang rezekinya) dan Maha Pengaturmu memberi ukuran (tertentu) sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat atas hambaNYa.
Alhasil penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan manusia aktif, yaitu pola pikir Ahlu sSunnah, seperti yang dirujukkan pada S. Ar Ra'd, l1 dan S. Al Anfal, 35, dan pola redaksional yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,27, sehingga pola pikir kita seyogianya seperti berikut:
Allah hanya berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Dan Allah hanya berkenan memberikan rezeki kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempatyang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina zhZhulumaati ila nNuwri (2:257), dari kegelapan ke terang-benderang. Dengan kebebasan itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihannya itu. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Pemilik Hari Keadilan).
Namun demikian untuk menghayati bahwa Allah Maha Kuasa, sebelum berdoa kepada Allah SWT, sebaiknya membaca: Quli Lla-humma Malika lMulki Tu'tiya IMulka Man Tasyaau waTanzi'u lMulka Mimman Man Tasyaau waTu'azzi Man Tasyaau waTudzillu Man Tasyaau biYadika lKhayru Innaka 'ala- Kulli Syay.in Qadiyrun (S. Ali 'lmraan, 26). Katakanlah, ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan slapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu (3:26).
WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 2 Maret 1997