Saya ingat betul pada hari Senin, 28 Juli 1997, tatkala saya menuju ke Kampus UMI saya dihadang oleh asap kabut yang cukup tebal menyapu kota Makassar. Musim kemarau tahun 1997 ini termasuk lama. Kesulitan mendapatkan air tawar bergaung ke mana-mana dan di mana-mana. Air sungai menjadi payau, sumur-sumur mengering. Air leding megap-megap, menetes, bahkan ada yang berhenti mengalir sama sekali. Lalu timbul pula asap yang menyatu dengan kabut, turun ke bawah menyapu permukaan bumi, di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Singapura, Malaysia, bahkan pula menjenguk Makassar, seperti asap kabut yang menghadang saya tatkala ke kampus yang saya ceritakan di atas itu. Sebelum pulau-pulau Sunda Besar dan negeri jiran itu diliputi asap kabut, telah saya kemukakan dalam Seri 280, 6 Juli 1997 tentang pembentukan kosa kata baru bahasa Inggris smog, dari smoke (asap) + fog (kabut). Barangkali ada baiknya dibentuk pula kosa kata baru dalam bahasa Indonesia asap kabut ini mejadi asbut.
Asbut adalah produk kemarau. Dalam musim kemarau yang panjang hutan-hutan rawan terhadap api, titik-titik rawan api menyebar ke mana-mana dan di mana-mana dalam hutan. Asap yang kemudian menyatu dengan kabut lalu menyapu permukaan bumi hanya dapat dipupus oleh oleh hujan. Tetapi mana mungkin ada hujan dalam musim kemarau. Maka orang menoleh ke teknologi membuat hujan. Membuat hujan? Mungkinkah hujan dibuat?
Dalam Seri 38, 19 Juli 1992 telah ditulis tentang menabur awan. Ungkapan ini saya terjemahkan dari bahasa Inggris seeding the clouds, ataupun dari bahasa Belanda het enten van wolken. Kedua ungkapan asing itu biasanya diterjemahakan kedalam bahasa Indonesia dengan ungkapan membuat hujan. Terjemahan ini dapat menyesatkan, lebih-lebih bagi mereka yang begitu kagum bercampur fanatik, yang hampir-hampir mengkultuskan iptek. Bagi yang tidak begitu mengetahui seluk-beluk hujan buatan itu dikiranya seenaknya saja hujan itu dapat dibuat.
Hujan itu merupakan bagian dari daur hidrologik. Daur adalah suatu yang melingkar. Hidrologi adalah ilmu tentang seluk beluk tabiat air. Daur hidrologik itu dapat dijelaskan seperti berikut. Air hujan turun ke bumi, ada air yang langsung mengalir di atas permukaan bumi, yang disebut sungai. Ada yang masuk meresap dalam tanah, disebut air tanah. Di mana mungkin air dalam tanah mengalir membentuk sungai dalam tanah, dan yang sempat muncul di permukaan tanah disebut mata air, yang menjadi hulu sungai. Sungai-sungai di atas tanah bersama-sama dengan sungai-sungai di bawah tanah mengalirkan air ke laut. Di tengah jalan aliran air itu di beberapa tempat berhenti mengalir, untuk beristirahat sejenak di danau-danau. Air di laut di danau dan di sungai-sungai menguap ke udara, karena dipukul oleh radiasi matahari. Di udara air itu berwujud awan. Dari awan ini turunlah hujan. Demikianlah daur hidrologik itu melingkar terus.
Bagaimana proses terbentuknya hujan dari awan merupakan masalah yang musykil, memusingkan para pakar. Pasalnya ialah walaupun suhu awan sudah jauh di bawah titik beku, air masih berbentuk uap. Seharusnya dalam suhu yang rendah itu sudah terbentuk butir-butir kristal es dari awan itu.
Sampai sekarang baru dikenal dua cara untuk menabur awan, dengan es kering (CO2 padat) dan dengan iodida perak. Keduanya didapatkan tidak dengan sengaja. Vincent Joseph Schaever tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka lemari es, akhirnya ia memperolah hasil menabur awan dengan es kering. Bernard Vonnegut tanpa disengaja suatu hari melihat titik air di udara. Sebuah pesawat terbang dalam rangka reklame Pepsi Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Berdasar atas keyakinannya tentang teori inti hujan, ia akhirnya mendapatkan iodida perak (yang bentuk kristalnya seperti bentuk kristal es) sebagai inti untuk menabur. Kalau suhu awan cukup rendah, dipakailah cara Schaever, awan ditabur dengan es kering saja. Kalau tidak cukup rendah harus pakai inti iodida perak menurut cara Vonnegut.
Walhasil membuat hujan seperti menggali sumur. Bagaimanapun dalamnya tanah digali apabila di bagian bawah tanah galian untuk sumur itu tidak terdapat air resapan ataupun mata air, maka mustahil mendapatkan air. Demikian pula biar ada es kering ataupun iodida perak kalau tidak ada awan yang akan ditabur, niscaya mustahil ada hujan.
Firman Allah:
Alladziy Ath'amahum min Juw'in (S. Quaraisy, 4). Yaitu (Maha Pemelihara) Yang yang memberi kamu makan (sehingga terbebas) dari kelaparan (106:4).
Yang menjadi fa'il (subyek) dalam ayat di atas itu menunjuk kepada ayat sebelumnya, yaitu Rabb artinya Maha Pemelihara. Bumi ini yang mengikuti matahari mengedari pusat Milky Way, sewaktu-waktu masuk ke dalam daerah badai kosmik. Maka pada saat itu iklim tidak teratur. Bagaimanapun profesionalnya insinyur pertanian mendapatkan bibit unggul, kalau kemarau panjang, sawah akan kering, padi mati kekeringan. Sebaliknya jika musim hujan panjang sekali, bagaimanapun profesionalnya insinyur sipil membuat konstruksi bendungan, niscaya bendungan itu akan bobol ataupun air melimpah. Maka sawah-sawah tergenang banjir, padipun mati lemas. Iklim tak dapat dikontrol dengan teknologi, semuanya terpulang kepada Allah Rabbu l'Alamiyn, Yang yang memberi kita makan sehingga terbebas dari kelaparan.
Itulah potret kemarau yang harus dihadapi dengan sikap hemat air dan hati-hati terhadap api, serta management logistik bahan makanan yang sehandal dengan managementnya Nabi Yusuf AS. Wallahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 31 Agustus 1997
31 Agustus 1997
[+/-] |
287. Teknologi Mengontrol Iklim? |
24 Agustus 1997
[+/-] |
286. Operasi Tuba Silakan Jalan Terus, Anjing Menggonggong Kafilah Lalu |
Menurut beberapa pengunjung diskotik di kota ini, betapa rugi dan malunya tatkala digiring petugas hanya karena berdasarkan kecurigaan saja. Selain dipermalukan di depan umum dan secara tidak langsung dicemarkan nama baiknya, juga berapa banyak waktu yang terbuang sampai yang bersangkutan dilepaskan. Sehubungan dengan itu menurut mantan Ketua LBH Ujungpandang (baca: Makassar) yang sekarang telah bermukim di Jakarta, yang merasa dirugikan itu dapat menuntut kepolisian dan ia bersedia menjadi pengacara jika mereka yang merasa dirugikan itu ingin menuntut balik kepolisian. Jika masyarakat ngeri berkunjung ke tempat hiburan malam yang mengakibatkan turunnya omzet, maka terkait dengan itu beberapa pengusaha hiburan malam merajuk: "Yah lebih baik usaha ini kami tutup saja". Rajukan itu disertai dengan embel-embel mengancam secara halus: "Berapa besar kerugian Pemda yang harus kehilangan sumber pendapatan asli daerah dari pemasukan pajak, dan juga berapa banyak karyawan harus kehilangan pekerjaan." Dan dalam nada menggurui mereka (pengunjung + pengusaha hiburan) berkata pula: "Secara pribadi kami sangat mendukung Operasi Tuba yang dilancarkan aparat kepolisian. Penyalah-gunaan narkotika maupun obat-obat terlarang semacam extasi dan sejenisnya, harus ditindak tegas. Namun di satu sisi, kami berharap petugas bisa bertindak lebih profesional dan tidak asal tangkap (garis bawah dan huruf tebal dari penulis).
Razia dalam rangka Operasi Tuba ibarat mengeruk pasir yang mengandung bijih emas ataupun menggali tanah yang mengandung bijih nikkel. Cuma bedanya emas dan nikkel bernilai, sedangkan konsumen extasi tidak bernilai. Mengangkut orang-orang hasil razia ke laboratorium ibarat menaruh emas bercampur pasir ke dalam dulang, atau mengangkut tanah yang bercampur bijih nikkel ke dalam pabrik. Memeriksa air seni di laboratorium ibarat mendulang emas, atau memproses nikkel di dalam pabrik. Maka ungkapan profesional hanyalah dalam kontex explorasi tanah yang mengandung bijih emas ataupun nikkel (baca: tempat hiburan malam yang akan dirazia) dan dalam kontex kinerja pendulang ataupun pabrik (baca: proses mendeteksi MDMA dalam air seni di laboratorium). Jadi dalam kasus ada yang tidak mengidap MDMA dalam air seninya yang terikut dalam razia, tidak ada sama sekali relevansinya dengan profesionalisme. Siapa suruh datang Jakarta, e'doe' sayang, menurut nyanyian para perantau Manado yang merantau ke Jakarta. Yang merasa dirugikan mau keberatan, silakan. Mau membela yang merasa dirugikan, silakan. Cuma, ya itu katek gawe, makkedai to Palembange'.
Pasal mengenai berapa besar kerugian Pemda yang harus kehilangan sumber pendapatan asli daerah dari pemasukan pajak, dan juga berapa banyak karyawan harus kehilangan pekerjaan, jika tempat hiburan malam itu ditutup, itu harus dilihat menurut skala prioritas. Menurut qaidah, menolak mudharat suatu kasus lebih diprioritaskan ketimbang menarik manfaat daripadanya. Mudharat extacy besar dan mahal sekali tidak ternilai dengan uang, karena menyangkut SDM generasi muda, generasi harapan bangsa masa depan. Apalah artinya keuntungan yang secuil yang diperoleh Pemda dari pajak hiburan malam, dan kehilangan pekerjaan sejemput karyawan hiburan malam dibandingkan dengan kerugian rusaknya generasi muda yang mengancam kelanjutan generasi harapan bangsa.
Oleh sebab itu Operasi Tuba silakan jalan terus, tidak perlu mendengarkan suara protes minor dari pengusaha hiburan, pengunjung dan yang akan membela pengunjung secara hukum. Silakan terus, anjing menggonggong kafilah lalu. Kereta api jalan terus, kendaraan-kendaraan lain harus mengalah dan berhenti menunggu kereta api lalu. Hak asasi kereta api tidak sama dengan hak asasi mobil, kendaraan beroda dua ataupun pejalan kaki.
Wakapolri Letjen Pol Luthfi Dahlan mengatakan razia tempat hiburan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya di Indonesia tetap akan dilakukan aparat keamanan untuk mencegah meluasnya peredaran dan penggunaan barang terlarang seperti extasi dan narkotika di kalangan generasi muda. Generasi muda harus dicintai. Jika generasi muda dicekoki dengan extasi dan narkotik, alangkah suramnya masa depan kita. Para pengguna, penyalur dan pengedar extasi harus ditindak sekeras-kerasnya.
Hendaknya Pemda membuat daftar hitam perusahaan hiburan berdasar atas kriteria hasil razia, yaitu terdapat pengunjung yang ditangkap karena air seninya mengandung MDMA. Daftar hitam itu supaya disebar luaskan melalui media massa. Apabila dalam razia berikutnya masih terdapat pengunjung yang air seninya mengandung MDMA, maka izinnya dicabut atau sekurang-kurangnya izinnya tidak diperpanjang. Lebih elok lagi jika dituangkan dalam Perda, ketimbang berupa kebijakan Pemda belaka. Dengan demikian dapatlah berlangsung built in control system, artinya pemilik tempat hiburan aktif mengawasi dan mengontrol sendiri para pengunjungnya yang tripping.
Bagi mereka yang merasa malu tatkala digiring petugas dan juga merasa dirugikan berapa banyak waktu yang terbuang sampai yang bersangkutan dilepaskan, carilah hiburan yang sehat. Hindarkanlah tempat hiburan malam yang pernah dirazia dengan hasil ada yang ditangkap karena mengidap MDMA. Ada resep berupa pesan universal. Dikatakan universal oleh karena pesan ini bersumber dari Pencipta universum (ayat Kawniyah):
WaTtaquw Fitnatan La- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw minKum Kha-shshatan (S. Al Anfa-l, 25). Hindarkanlah fitnah yang tidak hanya khusus menimpa yang zalim saja di antara kamu (8:25).
Fitnah dalam bahasa Al Quran tidak sama dengan pengertian fitnah dalam bahasa Indonesia. Fitnah dalam bahasa Al Quran berarti cobaan bagi yang tidak zalim, akan tetapi berarti bencana bagi yang zalim. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 Agustus 1997
10 Agustus 1997
[+/-] |
285. Nabi Adam AS Memakai Bahasa Apa? |
Firman Allah SWT: Wa 'Allama Adama lAsma-a Kullaha- (S. Al Baqarah, 31), artinya: Dan (Allah) mengajarkan Adam nama-nama tiap-tiap sesuatu (2:31).
Ada dua tujuan utama Allah mengajarkan Adam nama-nama tiap-tiap sesuatu. Pertama, untuk menunjukkan kepada para malaikat kelebihan Adam atas malaikat, karena malaikat meragukan Adam sebagai makhluq dari jenis manusia untuk menjadi khalifah di atas bumi. Kedua, sebagai bakal khalifah, Allah perlu mempersiapkan Adam menjadi sumberdaya manusia yang handal. Adam sebagai manusia yang mempunyai ruh, maka di samping mempunyai naluri mempertahankan diri (dari segi ini terletak persamaan manusia dengan binatang), kepada Adam Allah memberikan mekanisme bagi ruh yang disebut Qalb untuk berdzikir dan berpikir. Dari segi inilah diperlukan bahasa, karena tanpa bahasa orang taidk dapat berdzikir dan tidak dapat berpikir. Adam perlu diajari nama-nama tiap-tiap sesuatu dalam konteks tugasnya sebagai khalifah. Timbullah pertanyaan, yaitu Allah mengajarkan Adam nama-nama itu dalam bahasa apa?
Firman Allah SWT: Ar Rahman. 'Allama lQura-na. Khalaqa alInsa-na. 'Allamahu lBayaana (Ar Rahman, 1-4), artinya: Yang Maha Pemurah. Mengajarkan Al Quran. Menciptakan manusia. Mengajarkan kepadanya alBayan (55:1-4).
Al Bayan yang dibentuk oleh akar kata yang terdiri dari 3 huruf: Ba, Ya dan Nun, bermakna cara untuk ekspresi yang terkandung dalam Qalb, bahasa yang jelas. Ketiga huruf tersebut menurunkan kata Mubiyn dalam ayat yang berikut:
Hadza- Lisa-nun 'Arabiyyun Mubiynun (An Nahl, 104), artinya: (Al Quran) ini bahasa Arab yang jelas (16:104).
Nazala biHi rRuwhu lAmiyn. 'Alay Qalbika liTakuwna mina lMundziriyna. Bi Lisa-nin 'Arabiyyin Mubiynin (Asy Syu'ara-, 193 - 195), artinya: Diturunkan oleh ruh yang tepercaya (Jibril AS). Ke dalam qalbumu (hai Muhammad) supaya engkau memberi peringatan. Dengan bahasa Arab yang jelas (26:193-195).
Inna- Anzalnahu Qura-nan 'Arabiyyan La'allakum Ta'qiluwna (Yuwsuf, 2), artinya: Sesungguhnya Kami turunkan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu mempergunakan akalmu (12:2).
Dari ayat-ayat (55:1-4), (16:104) , (26:193-195: dan (12:2) dengan mempergunakan akal (dari 'Ain, Qaf, Lam, 'Aqala artinya menganalisis dan mensintesis) dapatlah disimpulkan: Allah Yang Maha Pemurah menciptakan manusia. Khusus kepada Adam, Allah mengajarkan kepadanya al Bayan, yaitu bahasa yang jelas, yaitu bahasa Arab. Jadi Nabi Adam AS memakai bahasa Arab.
Kata-kata dalam bahasa Arab itu konsepsional dalam arti bukan hanya sekadar identifikasi benda-benda, melainkan pula ada hubungan erat antara kata dengan bendanya, seakan-akan benda itu dipotret oleh kata yang bersangkutan. Ambillah contoh makanan dasar yang sudah diolah yaitu roti (Indonesia), brood (Belanda), nan (Parsi). Kata roti, brood dan nan hanya sekadar identifikasi makanan pokok yang sudah diolah, tidak lebih dari itu. Dalam bahasa Arab roti dibentuk oleh 3 huruf Kha, Ba dan Zay, Khubzun. Jika diaplikasikan perlakuan secara matematis yaitu permutasi, maka dari ketiga huruf ini terbentuklah kata khabaza dengan permutasi khazaba dan bazakha. Khabaza berarti mengubah cepat-cepat sesuatu dengan tangan, khazaba berarti menjadi gembung dan bazakha berarti memukul-mukul sesuatu. Dan kesemuanya itu menggambarkan proses pembuatan roti: adonan roti itu diberi bubuk supaya terjadi gas yang menyebabkan adonan itu menggembung, adonan itu dibanting-banting dan diubah cepat-cepat dengan tangan. Maka kata Khubzun berarti makanan dasar yang pengolahannya dengan proses membanting adonan, kemudian adonan itu dibuat kembung, dan itulah potret makanan pokok tersebut.
Tafsiran ini bersifat ofensif yaitu membantah teori pertumbuhan bahasa secara perlahan-lahan (evolusi) seperti dindong theory, gesticulation theory dll. Allah SWT mengajarkan kepada Nabi Adam AS bahasa yang berstruktur secara sempurna yang dibentuk dari akar yang terdiri dari 3 bunyi. Kata-kata itu adalah potret benda-benda. Sebuah lagi contoh, yaitu sebuah lauk dari makanan pokok yang umum dikenal sehari-hari yakni telur (Indonesia), ei (Belanda), tama(n)go (Jepang). Telur, ei dan tama(n)go hanya sekadar identifikasi saja. Dalam bahasa Arab telur disebut baydhun yang dibentuk oleh akar dari 3 huruf Ba, Ya, Dhad. Istilah itu menyatakan bahwa benda yang dimaksud putih warnanya dan lonjong bentuknya, sebab putih dalam bahasa Arab adalah abyadh (mudzakkar, jantan) atau baydha-' (muannats, betina), sedangkan lonjong dalam bahasa Arabnya ialah baydha'. Itulah potret telur, berwarna putih, lonjong bentuknya.
Dalam perjalanan sejarah bahasa Arablah yang paling sehat, ketimbang bahasa-bahasa lain, dalam arti bahasa Arab sangat sedikit dihinggapi penyakit kata-kata (deseases of words). Yang dimaksud dengan penyakit kata-kata ialah seperti: Penyakit subtraksi dengan perincian aphesis, aphresis, apocope, elisi, syncope. Penyakit addisi dengan perincian: prothesis, prosthesis, reduplikasi, epenthesis, paragoge atau ephithesis. Penyakit tidak teratur (irregular) dengan perincian metathesis, doublet, variant, korupsi. Penyakit perubahan bunyi dengan perincian zezament, sakari, satva, kasykasya dan homonym.
Mari kita lihat penyakit terakhir, yaitu penyakit homonym dalam bahasa Inggris. Homonym adalah sebuah kata yang mempunyai bermacam-macam arti.
Ketika Qabil (Kain) anak Adam, telah membunuh saudaranya yaitu Habil, ia kebingungan mau diapakan mayat Habil itu. Fa Ba'atsa Llahu Ghura-ban Yabhatsu fiy lArdhi liYuriyahu Kayfa Yuwa-riy Sawata Akhiyhi (Al Ma-idah, 31), artinya: Maka Allah mengirim ghurab (gagak) yang melubangi tanah supaya diperlihatkannya kepadanya (Qabil) bagaimana ia menguburkan mayat saudaranya (5:31). Ghurab dibentuk oleh 3 huruf: Ghain, Ra, Ba, nama sejenis burung yang dapat melubangi tanah dengan paruh dan kakinya. Ghurab bukan hanya sekadar identifikasi burung termaksud, melainkan potret yang merekam pula drama bagaimana Qabil yang telah membunuh itu diajar mengubur mayat. Dalam perjalanan sang waktu GH dan B mengalami perubahan namun tetap dalam makhraj (artikulasi) yang sama menjadi G dan V dalam bahasa Inggris (ingat, semua bangsa manusia berasal dari Adam, termasuk bangsa Inggris), sehingga menjadi GRAVE, yang bersrti "an exavation made in the earth to receive a dead body in burial". Ghurab sebagai nama sejenis burung menurun ke dalam bahasa Inggris CROW. Juga terjadi perubahan bunyi, tetapi tetap dalam makhraj yang sama, GH dengan C, serta B dengan W.
Uwla-ika lMuqarrabuwna. Fiy Jannatin nNa'iymi (Al Wa-qi'ah, 11-12), artinya: Mereka itu Muqarrabun. Dalam surga kesenangan (58:11-12). Muqarrabun dari akar yang dibentuk oleh 3 huruf: Qaf, Ra, Ba. Bunyi Q dan B dalam perjalanan sang waktu berubah, dengan makhraj yang tetap, menjadi G dan V dalam lidah Inggris, sehingga menjadi GRAVE. Itulah homonym Grave dalam arti yang kedua: "indicates a weighty dignity, sedate, solemn".
Fa Najjarnahu wa Ahlahu mina lKarbi lAzhiymi (Al Anbiya-, 76), artinya: Maka Kami selamatkan dia (Nuh) dan keluarganya dari karbun (kegawatan) yang dahsyat (21:76). Karbun dibina oleh 3 huruf: Kef, Ra, Ba. Bunyi K berubah menjadi G, serta B menjadi V dalam makhraj yang tetap, lalu lagi-lagi menjadi GRAVE. Itulah homonym Grave dalam arti yang ketiga: "a grave situation", situasi yang kritis, gawat, genting, suram.
Demikianlah terbentuknya homonym GRAVE yang sesungguhnya berasal dari bahasa asal manusia (bahasanya Nabi Adam AS), dari tiga kata yang berbeda ghurabun (Gh, R,B), qarraba (Q,R,B), karbun (K,R,B), yang dalam perjalanan sang waktu mengalami penyakit perubahan bunyi, ketiga kata yang berbeda itu semuanya berubah menjadi satu kata homonym grave dengan 3 arti yang berbeda. WaLlahu A'lam bi alSawab.
*** Makassar, 10 Agustus 1997
3 Agustus 1997
[+/-] |
284. Dunia dan Akhirat Menurut Visi Kesinambungan, Keseimbangan dan Efektivitas |
Pada pagi hari Ahad, 27 Juli 1997 saya mengikuti tayangan ANTEVE dalam acara Mutiara Subuh. Pembahas di depan majelis dalam tayangan itu ialah DR Jalaluddin Rahmat. Yang menarik bagi saya dalam pembahasan tersebut adalah visi Syaikh Makarim Syirazi tentang dunia dan akhirat. Menurut Syaikh Makarim Syirazi apa saja aktivitas kita yang hasilnya mendekatkan diri kita kepada Allah SWT, maka itulah akhirat; apa saja aktivitas kita yang membuahkan diri kita jauh dari Allah SWT, maka itulah dunia.
Menurut hemat saya visi Syaikh Makarim tersebut dikembangkan dari asas bahwa apa saja yang kita kerjakan itu seharusnya dengan nawaitu murni karena Allah, sehingga semua aktivitas kita itu bernilai ibadah. Aktivitas yang bernilai ibadah hasilnya efektif untuk akhirat, sedangkan aktivitas yang tidak bernilai ibadah hasilnya hanya efektif di dunia. Visi Syaikh Makarim ini sesuai dengan sabda RasuluLlah SAW dalam Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari: Innama- lA'ma-lu binNiya-ti, waInnama- liKulli Mriiy Ma- Nawaw, faMan Ka-nat Hijaratuhu Ilay Llahi waRasuwlihi faHijratuhu Ilay Llahi waRasuwlihi faMan Ka-nat Hijaratuhu Ilay dDunya- Yushiybuha- aw ilay Mraati Yankihuha- faHijratahu Ilay Ma- Ha-jara Ilayhi. Sesungguhnya aktivitas itu dengan niat. Dan bagi setiap orang balasan apa yang diniatkannya. Barang siapa hijrah karena Allah dan RasulNya, maka baginya pahala hijrah karena Allah dan RasulNya. Barang siapa hijrah karena dunia yang diimingnya atau perempuan yang hendak dinikahinya, maka balasan hijrahnya itu menurut niat hijrahnya.
Selama ini yang sering kita dengar tentang dunia dan akhirat adalah visi kesinambungan (continuum, dibaca kon-ti-nu-um), bahwa akhirat itu adalah hasil perjuangan di dunia. Menurut para sufi dunia adalah ladang akhirat. Ungkapan ladang ini dapat diperkembang menjadi pabrik yang menghasilkan amal-amal shalih dan sekali gus yang mengeluarkan pencemaran (baca: amal-amal kejahatan) yang nanti akan dipetik di akhirat. Ibaratnya siapa yang menabur angin di dunia, akan menuai angin sejuk sepoi-sepoi basah ataupun sebaliknya badai di akhirat. Di samping itu kitapun biasa mendengar tentang visi keseimbangan dunia dan akhirat. Yang diseimbangkan dalam hal ini ialah hubungan kita dengan Allah dan hubungan kita dengan sesama makhluk dalam kontex syari'at yang ritual dan syari'at yang non ritual.
Sebenarnya ketiga visi itu menurut hemat saya tidak boleh berdiri sendiri, melainkan hendaklah dilihat sebagai satu sistem. Ketiga visi itu sebagai satu sistem dapat dipetakan menjadi satu pola: menyelam di dunia timbul di akhirat. Menyelam di dunia membawa amal shalih untuk timbul di akhirat dalam kontex visi kesinambungan. Dalam beraktivitas di dunia yang menghasilkan amal shalih dapat membuat diri kita senang sentosa di dunia dan bahagia di akhirat dalam kontex visi keseimbangan. Yang dapat dibawa menyelam di dunia untuk dibawa ke akhirat adalah semua aktivitas yang mendekatkan diri kita kepada Allah, dalam kontex visi efektivitas dari Syaikh Makarim Syirazi.
Sebenarnya di samping pola menyelam di dunia timbul di akhirat seperti telah dikemukakan di atas itu, masih ada tiga pola yang lain: Pertama, menyelam di akhirat timbul di akhirat. Pola yang sama sekali tidak mau pusing tentang dunia ini tidak dibenarkan oleh ajaran Islam, karena mereka yang hidup dengan pola ini akan menjadi beban masyarakat. Kedua, menyelam di dunia timbul di dunia. Pola yang tidak mau pusing tentang kehidupan akhirat ini, bukan hanya sekadar dilarang, melainkan orang yang hidup dengan pola ini sudah bukan muslim lagi, karena sudah melanggar Rukun Iman yang kelima. Ketiga, menyelam di akhirat timbul di dunia. Orang yang hidup dengan pola ini diancam dengan neraka Wayl, karena meraka ini tergolong dalam Yura-uwn, orang-orang riya (berpenampilan). Aktivitasnya kelihatannya untuk akhirat seperti misalnya naik haji, pada hal sesungguhnya tujuannya berhaji itu untuk dunia, agar menempati status tertentu dalam masyarakat. Atau ia dermawan, kelihatannya beramal untuk akhirat pada hal tujuannya hanya untuk mengelabui masyarakat dan alat negara, berhubung ia gembong penyeludup obat bius.
Firman Allah SWT dalam Al Quran:
WaBtaghi fiyMa- Ataka Llahu dDa-ra lAkhirata waLa- Tansa Nashiybaka mina dDunya- ( Al Qashash, 77), tuntutlah pemukiman akhirat dengan apa yang diberikan Allah kepada engkau, dan janganlah kamu lupakan bagian engkau dari dunia (28:77).
Ayat (28:77) dapat ditafsirkan menurut kontex visi keseimbangan, efektivitas dan kesinambungan. Ma- Ataka Llahu, apa yang diberikan Allah kepada engkau, maksudnya adalah harta benda. Janganlah harta benda itu semuanya diberikan untuk membangun masjid, rumah sakit, panti asuhan dll., melainkan tinggalkan juga untuk keperluan pribadi dan anak-isteri. Visi keseimbangan tersebut adalah dalam kontex penggunaan harta benda yang diberikan Allah kepada kita. Yang diseimbangkan adalah penggunaan harta yang didapatkan dengan jalan yang halal, bukan harta yang didapatkan secara tidak halal.
Apa yang diberikan Allah kepada kita ialah rezeki yang kita dapatkan dengan melalui syari'at yang non-ritual, yaitu nilai kerja keras, kejujuran, keikhlasan karena Allah. Aktivitas atas landasan nilai kerja keras, kejujuran, keikhlasan karena Allah, membawa kita dekat kepada Allah dan inilah yang mempunyai nilai akhirat menurut kontex visi efektivitas. Sedangkan sebaliknya harta benda yang didapatkan tidak menurut aturan Allah, akan menjauhkan dirinya dari Allah, dan inilah disebutkan oleh Syaikh Makarim Shirazi dengan dunia, artinya tidak mendapatkan pahala di akhirat.
Bahwa harta benda yang didapatkan menurut aturan Allah, baik itu untuk mesjid, rumah sakit, anak yatim dan sadaqah lainnya serta untuk diri sendiri dan anak isteri pahalanya akan dibawa serta ke akhirat, inilah visi kesinambungan, dunia adalah ladang akhirat.
Dari segi visi kesinambungan, keseimbangan dan efektivitas inilah kita hendaknya meresapkan ma'na permohonan kita kepada Allah: Rabbana- Atina- fiy dDunya- Hasanatan wa fiy lAkhirati Hasanatan waQina- 'Adza-ba nNa-ri (S. Al Baqarah, 201), wahai Maha Pemelihara kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, peliharalah kami dari 'adzab neraka (2:201). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 3 Agustus 1997