Terkait dengan Seri 246 hari Ahad yang baru lalu, saya mendapat dorongan dari beberapa handai-tolan, baik melalui telepon maupun secara tatap langsung, untuk menulis tentang pendapat Padeng Gervanius SH dan Herman SH, yang keduanya Penasihat Hukum terdakwa CW. Fasalnya dalam Seri 246 itu saya telah mengutip pendapat PH itu, yang diangkat dari bagian risalah pembelaan keduanya, yang telah dimuat dalam Harian Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9. Saya kutip ulang: keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.
Sebermula saya merasa tidak perlu menulis tentang itu, oleh karena yang elok menjawab pendapat kedua PH itu sebaiknya dari petugas Labkrim Polri yang dijadikan rujukan oleh mereka itu. Namun setelah pikir punya pikir akhirnya saya putuskan untuk menulisnya, oleh karena ekstasi ini merusak generasi muda, salah satu subsistem yang penting dalam sistem sosial. Rusaknya subsistem ini akan mengancam kelanjutan eksistensi suatu bangsa.
Sangatlah naif untuk berpendapat bahwa penangguk ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya. Memang dengan melihat sepintas lalu secara dangkal ada perbedaan antara orang teler karena ekstasi dengan orang teler karena miras. Orang teler karena ekstasi (kalau itu memang benar) akan merasa damai dengan dunia sekitarnya. Sedangkan sebaliknya orang yang teler karena miras dapat menjadi bringas sehingga mengganggu ataupun membahayakan orang sekitarnya.
Saya katakan naif oleh karena pandangan kedua PH itu ruang lingkupnya sangatlah sempit, yakni hanya melihat pada keadaan sesaat tatkala penangguk ekstasi itu dalam keadaan teler. Kalau logika berpikir itu kita ikuti, maka ganja, candu (opium), hasysyisy, heroin, morphin ataupun obat bius (narkotika) lainnya juga tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, oleh karena pengisap ganja, pengisap candu, pengisap hasysyisy, penyedot (dengan hidung) bubuk heroin, pejarum suntik morphin, kalau mereka sedang menikmati keadaan fly, mereka tidak mengganggu dunia sekitarnya.
Saya katakan naif karena rentang waktu orang hidup bukan tatkala teler karena ekstasi, miras dan obat bius saja. Masih ada rentang waktu yang lebih panjang dalam skenario kehidupan manusia. Yaitu rentang waktu yang lebih panjang sebelum minum dan sesudah berhenti teler. Bahkan ada rentang waktu yang jauh lebih panjang lagi, yaitu kelanjutan kehidupan suatu bangsa.
Dari mana mendapatkan uang untuk minuman setan yang harganya mahal itu? Coba meneliti kehidupan remaja kita utamanya di kota-kota. Sudah mulai timbul feodalisme dalam bentuk yang baru. Terbentuk kelompok remaja yang dikepalai oleh anak orang kaya. War lord ini menggaji body guard dan mendanai sahabat-sahabatnya yang kurang berpunya untuk pergi bersenang-senang menikmati masa remaja berasyik-maksyuk: sex, narkotika, miras, ekstasi dengan air mineral, dan berkelahi bila perlu.
Apa yang terjadi jika war lord itu mengganti body guard dan mengambil sahabat-sahabat baru? Mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu akan ketagihan karena sudah biasa meneguk ekstasi dengan harga semurah-murahnya (baca: tidak
membayar sepeserpun). Upaya-upaya apa yang ditempuh oleh mantan-mantan body guard dan mantan-mantan sahabat itu untuk mendapatkan uang guna memenuhi hasrat ketagihannya itu? Gampang untuk dijawab, yaitu mereka menjadi preman, membentuk kelompok baru dengan program kerja: mencuri, memeras, merampok! Alhasil mereka mengganggu bahkan membahayakan orang sekitarnya, walaupun mereka itu tatkala sementara teler merasa damai dengan dunia sekitarnya (yang digaris-bawahi itu saya kutip ulang dari risalah pembelaan kedua PH yang telah dikutip di atas itu).
Berfirman Allah SWT dalam Al Quran:
Innama- Yuriydu sySyaytha-nu an Yuwqi'a Baynakumu l'Ada-wata walBa'dha-a fiy lKhamri walMaysiri wayashuddakum 'an Dzikri Llahi wa'ani shShalawti faHal Antum Muntahuwna (S. Al Ma-idah, 91). Sesungguhnya setan berkehendak menjerumuskan kamu ke dalam jurang permusuhan dan kebencian di antara kamu dalam miras dan judi untuk menghalangi kamu mengingat Allah dan shalat, maukah kamu menghentikan perbuatan itu! (5:91).
Dalam Al Quran miras dan judi selalu dirangkaikan (2:219, 5:90, 5:91). Miras dan judi ada persamaannya, yaitu orang yang terjerumus, nalurinya selalu menagih dirinya untuk bermiras dan berjudi. Miras dan judi menyebabkan manusia menjadi ketagihan. Dalam hal zakat fithri semua makanan pokok (beras, jagung, sagu) dapat diqiyaskan pada gandum. Maka dalam hal minuman atau makanan apa saja yang menjebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Khamru (miras). Permainan apa saja yang menyebabkan orang ketagihan dapat diqiaskan pada al Maysiru (judi).
Binatang mempunyai naluri mempertahankan kehidupan biologis dan melanjutkan keturunan (makan, minum, sex). Manusia di samping mempunyai naluri yang sama dengan binatang, juga masih mempunyai naluri untuk tidak pernah merasa puas. Pada binatang apabila kebutuhan biologisnya telah terpenuhi, puaslah ia. Singa betapapun buasnya jika telah kenyang, tidak akan menerkam. Akan tetapi manusia karena tidak ada rasa puasnya, walaupun sudah kenyang masih mau menerkam, sehingga manusia cenderung untuk jatuh lebih rendah derajatnya dari binatang.
Allah SWT memberikan ruh pada manusia yang tidak diberikanNya pada binatang. Karena manusia cenderung untuk tercampak derajatnya, maka perlu sekali ruh manusia senantiasa mampu mengendalikan nalurinya. Upaya setan (anak buah iblis) untuk menjerumuskan manusia ialah mengganggu jalur kendali dari ruh ke naluri manusia. Jika jalur kendali telah terganggu maka setan selanjutnya merangsang naluri manusia untuk menjadi ketagihan al Khamru (narkotika, miras, ekstasi) dan al Maysiru (judi dan permainan lain yang menimbulkan ketagihan), sebagai sasaran antara, dan selanjutnya menjerumuskan manusia ke dalam jurang permusuhan dan kebencian, sebagai sasaran lanjutan, yang akhirnya menghalangi manusia mengingat Allah dan shalat, sebagai sasaran akhir. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 27 Oktober 1996
27 Oktober 1996
[+/-] |
247. Ekstasi Tidak Berbahaya Bagi Ketertiban Masyarakat, Katanya |
20 Oktober 1996
[+/-] |
246. Antara Anak Patah Dengan Kelereng |
Pada petang hari Kamis yang baru lalu anak-anak balita dan sedikit di atas balita ramai bermain-main kelereng di atas jalan komplex pemukiman, sehingga mengganggu kendaraan yang liwat. Orang-orang tua bocah-bocah itu memanggil anaknya ke rumah masing-masing. Bermacam gaya yang dipakai untuk menasihati agar mereka tidak bermain di tengan jalan karena berbahaya, walaupun jalan itu hanya jalan dalam komplex pemukiman. Ada yang menjewer telinga, ada pula yang melentik jari, ada yang menasihati dengan lemah lembut. Beberapa bocah yang masih berdiri di atas jalan karena luput dari perhatian orang tua mereka sehingga tidak ada yang memanggilnya, dipanggil masuk pekarangan oleh seorang nenek. Sang nenek menasihati bocah-bocah itu dengan gaya berceritera. "Cucu-cucuku, ada cerita nenek, apa cucu-cucuku mau dengar cerita?" "Mau nek", bocah-bocah itu ramai-ramai menjawab. Maka berceritalah sang nenek.
"Cucu-cucuku, pada bulan yang lalu nenek pergi bermalam di rumah anak nenek di Mariso. Di situ nenek menyaksikan kejadian yang ngeri sekali. Anak-anak kecil besarnya seperti cucu-cucuku ini sedang bermain kelereng di jalanan. Tiba-tiba datang sebuah sepeda motor, terus menabrak seorang anak. Langsung anak itu patah kakinya."
Belum sempat sang nenek mengunci ceritanya dengan kesimpulan betapa bahayanya bermain-main di jalanan, seorang bocah lebih dahulu memotong dengan pertanyaan: "Terus nek, siapa yang memungut kelereng anak-anak itu?" "Betul, betul nek, siapa yang memungut kelereng-kelereng itu," bocah-bocah yang lain ramai-ramai mendukung pertanyaan teman bocahnya, sambil bocah-bocah itu melirik ke jalan tempat mereka bermain sebelumnya. Di sana beserak-serak beberapa kelereng yang belum sempat dipungut.
Reaksi bocah-bocah terhadap cerita nenek di atas itu mengingatkan saya pada peristiwa penangkapan pilot di negeri Kincir Angin yang beritanya kini mulai mendingin, sudah tidak hangat lagi. Yang ramai-ramai diangkat dari peristiwa itu adalah perlakuan tidak wajar oleh polisi Belanda atas MS, pilot sang Garuda. Memang sudah sewajarnya kita menyatakan sikap terhadap perlakuan tidak wajar itu, menyayangkan, atau menyesalkan bahkan kalau perlu, mengutuk. Namun Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan resmi, bahwa apa yang dituduhkan itu sesungguhnya tidak benar. Dan sebagaimana lazimnya pernyataan resmi selalu dikunci dengan untaian kata: bahwa semua apa yang dilakukan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Maka semuanya terpulang kepada kita mana yang akan kita percayai, keterangan dari personel kita di KBRI di negeri Kincir Angin itu, ataukan pernyataan resmi Pemerintah Belanda. Jika masing-masing berdiri di atas landasan semangat kebangsaan, maka tentu saja kita bangsa Indonesia akan lebih mempercayai keterangan dari KBRI kita itu, dan orang-orang Belanda akan lebih mempercayai keterangan resmi pemerintahnya. Di sini tidak berlaku asas (bukan azas!) praduga tak bersalah, melainkan praduga di atas landasan semangat kebangsaan. Dalam hubungannya dengan itu saya pertanyakan di atas landasan semangat apa yang diaplikasikan oleh Suryadi meragukan kejujuran dan ketelitian hasil jerih-payah Komnas HAM dalam memotret peristiwa 27 Juli itu.
Ada hal yang patut kita sayangkan, yaitu semangat keadilan dalam menanggapi peristiwa pilot sang Garuda tersebut. Mengapa yang ramai-ramai diangkat hanyalah perlakuan tidak wajar yang dituduhkan atas polisi Belanda itu. Mengapa jasa aparatur Kerajaan Belanda yang telah membongkar jalur penyeludupan ekstasi melalui udara itu tidak di angkat pula secara ramai-ramai dalam arena perbincangan pemberitaan. Kita telah menghakimi polisi Belanda itu bersalah. Seharusnya dari sisi lain kita patut berterima kasih kepada pemerintah Belanda atas jasanya membongkar jalur ekstasi itu. Kita berterima kasih itu bukan demi hukum, melainkan demi keadilan, salah satu nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan UUD-1945, bahkan salah satu dari kaidah agama.
Dengan tidak diangkatnya secara ramai-ramai jasa pemerintah Belanda dalam membongkar jalur penyeludupan ekstasi itu, terkesan masyarakat tidak serius dalam memerangi racun iblis yang mengancam generasi penerus kita itu. Ibarat cerita nenek yang ditanggapi bocah-bocah itu, yang ramai ditanggapi adalah kelereng yang tercecer, bukan bahaya main di jalanan. Bahkan ketidak-sungguhan memerangi ekstasi itu lebih terkesan lagi setelah saya membaca berita (Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9), PH dari terdakwa CW, yaitu Padeng Gervanius SH dan Herman SH dalam risalah pembelaannya antara lain mengatakan bahwa keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.
Berbeda dengan adanya timbul kesan ketidak-sungguhan masyarakat dalam memerangi ekstasi itu, sebaliknya dari pihak Pemerintah dan DPR tidaklah demikian, ini dapat dilihat dari upaya membuat Undang-Undang anti ekstasi dan sebangsanya, giatnya kepolisian menggrebek tempat-tempat transaksi ekstasi, dan para terdakwa bandar dan pengedar ekstasi sudah diperhadapkan di meja hijau di mana-mana, tidak terkecuali di kota Makassar ini, sehingga mudah-mudahan saja sikap bersahabat dengan ekstasi itu tidak banyak penganutnya dalam kalangan PH khususnya.
Sehubungan dengan sikap tidak adil terhadap pemerintah Belanda yang hanya mengangkat beramai-ramai perlakuan polisi Belanda terhadap MS itu, sedangkan rasa terima kasih kita atas jasa aparatur Kerajaan Belanda dalam membongkar jalur ekstasi itu tidak diangkat, maka ada baiknya dikemukakan kaidah agama seperti difirmakan Allah SWT dalam Al Quran:
Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kuwnuw Qawwa-miyna LiLlahi Syuhada-a bilQisthi waLa- Yajrimannakum Syana-nu Qawmin 'alay Alla- Ta'diluw Huwa Aqrabu liTtaqway waTtaquw Llaha InnaLlaha Khabiyrun biMa- Ta'maluwna (S. Al Ma-idah, 8). Hai orang-orang yang beriman konsistenlah kamu karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu terseret oleh kebencian kepada suatu kaum sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu apa-apa yang kamu kerjakan (5:8).
WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 20 Oktober 1996
13 Oktober 1996
[+/-] |
245. Postpower Syndrome |
Adapun yang dimaksud dengan postpower syndrome adalah suatu gejala penyakit kejiwaan menyusul sirnanya kekuasaan yang pernah dipegang oleh seseorang. Kekuasaan yang pernah dipegangnya itu diberikan oleh suatu jabatan yang pernah didudukinya, ataupun oleh kekayaan yang pernah dimilikinya.
Terkenal dalam tarikh Islam, Jenderal Khalid ibn Walid diturunkan pangkatnya oleh Khalifah 'Umar ibn Khattab RA menjadi prajurit biasa. Alasan-alasan Khalifah menurunkan pangkat Khalid dari jenderal menjadi prajurit biasa telah dikemukakan dalam seri 108 pada 19 Desember 1993 yang berjudul: Dialog antara Kahalifah dengan Panglima Perangnya. Selang beberapa hari setelah Khalid menjadi prajurit biasa terjadi pertempuran melawan musuh. Dalam kontak senjata itu Khalid masih memperlihatkan kesungguhannya dalam bertempur. Sehabis pertempuran Khalid mendapat pertanyaan dari teman prajuritnya:
- Hai Khalid, mengapa engkau masih begitu bersungguh-sungguh bertempur?
Dengan singkat Khalid menjawab:
- Saya berjihad untuk mempertahankan Islam, bukan untuk 'Umar.
Kemudian Khalid dimutasikan oleh Khalifah ke front timur menjadi komandan regu. Pasukan Islam yang dipanglimai oleh Jenderal Sa'ad di front timur ketika itu terhambat karena menghadapi pasukan kavaleri gajah-gajah perang orang Parsi. Sebagai komandan regu Khalid bertempur dengan penuh kesungguhan. Bahkan ia menyumbangkan taktik bertempur melawan pasukan bergajah. Yaitu bukan gajahnya yang dipanah melainkan penunggangnya. Setelah penunggang yang mengendalikan gajah itu tewas baru gajahnya dipanah. Akibatnya gajah perang itu berbalik dan menginjak mencerai-beraikan pasukan infantri Parsi dibelakang barisan kavaleri gajah itu.
Itulah sebuah contoh dalam sejarah orang yang tidak dihinggapi penyakit postpwer syndrome.
Pernah diberitakan oleh harian-harian mengenai adanya beberapa anggota DPR yang tidak datang (malas?) menghadiri sidang berhubung nama mereka tidak ada lagi dalam daftar Caleg. Gejala ini adalah suatu pertanda jika kelak telah berhenti menjadi anggota DPR niscaya akan ditimpa penyakit postpower syndrome. Gejala penyakit kejiwaan itu dengan tepat tergambar seperti apa yang dinyatakan oleh baris kedua dan ketiga dalam bait ketiga dari syair lagu di bawah ini, karya almarhum Madong Lubis dalam buku yang berjudul Taman Kesuma, yaitu buku nyanyian untuk anak-anak.
Jikalau orang senang hidupnya,
martabat tinggi banyak hartanya.
Banyaklah orang datang padanya,
meminta tolong barang kadarnya.
Tiada ubah kayu yang rindang,
baik di hutan maupun di ladang.
Banyaklah burung datang bertandang,
mengambil buah telah terhidang.
Jikalau buah habis semua,
habis dimakan habis dibawa.
Tinggallah pohon sangat kecewa,
tiada suka lagi tertawa.
Bercorak ragam sikap dan tingkah laku yang menggejala dari penyakit postpower syndrome itu.
Ada yang seperti pohon yang sudah tidak berbuah lagi seperti dalam syair lagu di atas itu. Kerjanya duduk bermuram durja, tiada suka lagi tertawa, mengingat kejayaannya di masa silam (tempo doeloe) yang kini sudah sirna, cuma tinggal kenangan. Orang-orang peranakan Indo-Belanda turunan orang-orang Belanda pemilik-pemilik onderneming (perkebunan karet, teh, dll) yang pernah jaya sebelum kemerdekaan Indonesia termasuk dalam golongan ini. Termasuk dalam jenis ini orang-orang pribumi bekas pegawai Hindia Belanda yang telah hilang jabatannya pada waktu revolusi kemerdekaan. Hal ini digambarkan dengan tepat dalam film Bandung Lautan Api yang pernah ditayangkan di televisi baru-baru ini. Seorang ayah yang menderita penyakit postpower syndrome ini dengan sinis menyentil anaknya dan para pejuang lainnya dengan mengatakan bahwa kok mengurus kelurahan saja tidak becus apalagi mau merdeka mengurus negara.
Ada pula yang tidak mau menerima, atau belum sadar akan kenyataan bahwa ia sudah dalam keadaan pascakuasa (postpower), sehingga sikap dan tingkah lakunya masih meneruskan kegiatan yang biasanya ia lakukan pada waktu masih menjadi "sebagai" terhadap orang-orang dekatnya. Ada seorang mantan dekan fakultas setiap hari keranjang tempat membuang kertas-kertas sampah dalam kamar yang dianggapnya kamar kerja penuh berisi dengan nota-nota instruksi kepada anak isterinya bahkan kepada pembantunya di rumah.
Ada seorang mantan wali kota selalu dihantui oleh keinginan tahu apakah ia masih tetap dikenal oleh mantan penduduk kotanya, walaupun telah berhenti jadi wali kota. Ia menelusuri jalan-jalan menahan abang-abang becak untuk menanyai mereka itu apakah mereka masih mengenal bekas wali kotanya. Selama ia menjabat wali kota memang ia menonjol karena kreativitasnya yang unik dan kontroversial. Ia berhasil mengembangkan kotanya dalam arti pembangunan fisik dengan penuh dinamika, walaupun pada waktu itu pemerintah pusat menempuh kebijakan keuangan ketat (tight money policy).
Dalam konteks penyakit Postpower Syndrome ini, bacalah Firman Allah:
-- Wa Tilka lAyya-mu Nuda-wiluha- bayna nNa-si (S. Ali 'Imra-n, 140). Hari-hari kejayaan itu dipergilirkan di antara manusia (3:140).
Kejayaan yang dipergilirkan, itulah SunnatuLLah yang harus diimani kebenarannya oleh orang-orang beriman. Menghayati Aturan Allah SWT tentang kejayaan yang dipergilirkan itu, adalah terapi yang paling mujarrab atas penyakit kejiwaan Postpower Syndrome. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 13 Oktober 1996
6 Oktober 1996
[+/-] |
244. Pengembangan Teknologi yang Sarat Bermuatan Nilai, Apakah Ada Batasnya? |
Untaian kata pengembangan teknologi mengandung muatan nilai, oleh karena mestilah dijawab pertanyaan untuk apa dan ke arah mana pengembangan itu? Bahkan pengertian teknologi itu sendiri tidak luput dari muatan nilai. Teknologi adalah suatu proses pengolahan barang atau komoditi. Bagaimana mengolahnya? Jawaban pertanyaan bagaimana ini bermuatan nilai, yaitu secara tradisional yang padat karya, atau secara lebih maju (advanced) yang seimbang antara padat karya dengan padat modal, atau secara canggih (sophisticated) yang padat modal.
Diolah untuk apa? Jawaban pertanyaan untuk apa ini juga bermuatan nilai, yang dalam hal ini nilai kegunaan dan nilai ekonomis. Komoditi itu diolah untuk mendapatkan nilai tambah. Jadi teknologi adalah proses pengolahan komoditi untuk memperoleh nilai tambah. Contohnya: Logam diolah secara tradisional menjadi kompor minyak tanah. Hasil pengolahan berupa kompor munyak tanah ini mempunyai nilai tambah ketimbang logam yang belum diolah. Dengan teknologi yang lebih maju logam itu dapat diolah menjadi kompor gas. Kompor gas nilai tambahnya lebih tinggi dari kompor minyak tanah. Logam itu dapat diolah dengan teknologi canggih menjadi pesawat terbang. Nilai tambah pesawat terbang jauh lebih tinggi dari kompor gas. Makin canggih teknologi dikembangkan, makin tinggi pula nilai tambah yang diperoleh, sehingga ada kecenderungan untuk mengembangkan terus kecanggihan teknologi dalam suatu negara, oleh karena hal itu akan meningkatkan Gross National Product dari negara yang bersangkatan.
Maka timbul pertanyaan: Apakah pengembangan teknologi ada batasnya? Dan kalau ada apakah yang membatasinya?
***
Perintah membaca: Iqra biSmi Rabbika (S. Al 'Alaq, 1), bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1), bermakna perintah untuk mengkaji Al Quran (ayat-ayat Qawliyah) dan alam syahadah (ayat-ayat Kawniyah), haruslah didahului dengan Basmalah. Dengan sistem pendidikan kita sekarang yang menempatkan kedua jenis ayat itu dalam posisi dua kutub yang terpisah, membawa akibat apabila orang Islam membaca Al Quran didahului dengan Basmalah, akan tetapi kalau membaca alam syahadah tidaklah didahului dengan Basmalah. Adalah suatu kenyataan, pada umumnya guru dan murid, dosen dan mahasiswa tidaklah mengingat nama Allah SWT tatkala mengajar dan belajar di kelas pada lembaga pendidikan umum sewaktu mengkaji alam semesta. Ini adalah suatu kenyataan yang pahit dari segi pendidikan yang harus kita akui, yaitu kurangnya kesadaran akan nilai akhlaq dalam mengkaji ayat Kawniyah.
Manusia dalam statusnya sebagai khalifah Allah SWT di atas bumi ini akan berurusan dengan ayat-ayat Kawniyah yang dapat distratifikasikan sebagai: alam sekitar (surronding), sumber-daya alam (natural resources) dan lingkungan hidup (biosphere).
Alam sekitar adalah ayat Kawniyah yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi ilmu pengetahuan. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk ilmu pengetahuan. Jadi sejak semula ilmu pengetahuan itu tidaklah bebas nilai. Awan di udara adalah alam sekitar, sumber informasi, dipelajari dalam ilmu fisika bagaimana terjadinya hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji, yang menghasilkan teknologi menabur awan guna kepentingan manusia.
Sumber-daya alam adalah ayat Kawniyah yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Awan yang bergumpal-gumpal di udara yang ditabur dengan es kering atau iodida perak adalah sumber-daya alam. Hasil menabur awan itu adalah hujan yang dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia.
Lingkungan hidup adalah ayat Kawniyah yang mempunyai ciri yang disebut hidup, sehingga sangat sarat bermuatan nilai. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak. Maka termasuklah di dalamnya tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia.
Makin canggih teknologi dalam proses pengolahan akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil dan panas bumi ditambah dengan energi matahari, angin, arus laut, ombak, energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara. Maka orang menoleh kepada bahan bakar nuklir, yakni sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, ke dalam inti atom, yang secara populer dikenal dengan ungkapan tenaga nuklir.
Memenuhi kebutuhan energi oleh dunia industri dengan mempergunakan bahan bakar nuklir baru diterima orang dengan sikap enggan, tidak sepenuh hati. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl beberapa tahun lalu di Uni Sovyet sehingga terjadi pencemaran radiasi pada daerah yang luas sekelilingnya, masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung. Dalam waktu-waktu yang akan datang jika PLTN ini makin mengglobal, maka globa kita ini makin terbebani oleh sampah nuklir, dan pengembangan teknologi tertumbuk pada krisis energi.
Maka pertanyaan apakah pengembangan teknologi ada batasnya, dan kalau ada apakah yang membatasinya, terjawablah sudah. Ada tiga batasnya. Pertama, dibatasi oleh kondisi sosiologis yaitu teknologi canggih yang padat modal menghemat tenaga manusia sehingga meningkatkan jumlah pengangguran. Kedua, dibatasi oleh kemampuan dari globa untuk memikul beban pencemaran utamanya sampah nuklir. Ketiga, dibatasi oleh krisis energi.
Alhasil mengkaji ayat Kawniyah umumnya, mengembangkan teknologi khususnya, tidaklah berbeda dengan mengkaji ayat Qawliyah, haruslah berangkat dari Basmalah: Iqra biSmi Rabbika, supaya timbul kesadaran akan nilai akhlaq berupa amanah Allah SWT kepada manusia sebagai kahlifahNya, yaitu dalam memanfaatkan sumber-daya alam, selalu ingat akan persyaratan tidak boleh sekali-kali melupakan tanggung jawabnya untuk memelihara lingkungan hidup. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 6 Oktober 1996