20 Oktober 1996

246. Antara Anak Patah Dengan Kelereng

Pada petang hari Kamis yang baru lalu anak-anak balita dan sedikit di atas balita ramai bermain-main kelereng di atas jalan komplex pemukiman, sehingga mengganggu kendaraan yang liwat. Orang-orang tua bocah-bocah itu memanggil anaknya ke rumah masing-masing. Bermacam gaya yang dipakai untuk menasihati agar mereka tidak bermain di tengan jalan karena berbahaya, walaupun jalan itu hanya jalan dalam komplex pemukiman. Ada yang menjewer telinga, ada pula yang melentik jari, ada yang menasihati dengan lemah lembut. Beberapa bocah yang masih berdiri di atas jalan karena luput dari perhatian orang tua mereka sehingga tidak ada yang memanggilnya, dipanggil masuk pekarangan oleh seorang nenek. Sang nenek menasihati bocah-bocah itu dengan gaya berceritera. "Cucu-cucuku, ada cerita nenek, apa cucu-cucuku mau dengar cerita?" "Mau nek", bocah-bocah itu ramai-ramai menjawab. Maka berceritalah sang nenek.

"Cucu-cucuku, pada bulan yang lalu nenek pergi bermalam di rumah anak nenek di Mariso. Di situ nenek menyaksikan kejadian yang ngeri sekali. Anak-anak kecil besarnya seperti cucu-cucuku ini sedang bermain kelereng di jalanan. Tiba-tiba datang sebuah sepeda motor, terus menabrak seorang anak. Langsung anak itu patah kakinya."

Belum sempat sang nenek mengunci ceritanya dengan kesimpulan betapa bahayanya bermain-main di jalanan, seorang bocah lebih dahulu memotong dengan pertanyaan: "Terus nek, siapa yang memungut kelereng anak-anak itu?" "Betul, betul nek, siapa yang memungut kelereng-kelereng itu," bocah-bocah yang lain ramai-ramai mendukung pertanyaan teman bocahnya, sambil bocah-bocah itu melirik ke jalan tempat mereka bermain sebelumnya. Di sana beserak-serak beberapa kelereng yang belum sempat dipungut.

Reaksi bocah-bocah terhadap cerita nenek di atas itu mengingatkan saya pada peristiwa penangkapan pilot di negeri Kincir Angin yang beritanya kini mulai mendingin, sudah tidak hangat lagi. Yang ramai-ramai diangkat dari peristiwa itu adalah perlakuan tidak wajar oleh polisi Belanda atas MS, pilot sang Garuda. Memang sudah sewajarnya kita menyatakan sikap terhadap perlakuan tidak wajar itu, menyayangkan, atau menyesalkan bahkan kalau perlu, mengutuk. Namun Pemerintah Belanda mengeluarkan pernyataan resmi, bahwa apa yang dituduhkan itu sesungguhnya tidak benar. Dan sebagaimana lazimnya pernyataan resmi selalu dikunci dengan untaian kata: bahwa semua apa yang dilakukan itu sesuai dengan prosedur yang berlaku.

Maka semuanya terpulang kepada kita mana yang akan kita percayai, keterangan dari personel kita di KBRI di negeri Kincir Angin itu, ataukan pernyataan resmi Pemerintah Belanda. Jika masing-masing berdiri di atas landasan semangat kebangsaan, maka tentu saja kita bangsa Indonesia akan lebih mempercayai keterangan dari KBRI kita itu, dan orang-orang Belanda akan lebih mempercayai keterangan resmi pemerintahnya. Di sini tidak berlaku asas (bukan azas!) praduga tak bersalah, melainkan praduga di atas landasan semangat kebangsaan. Dalam hubungannya dengan itu saya pertanyakan di atas landasan semangat apa yang diaplikasikan oleh Suryadi meragukan kejujuran dan ketelitian hasil jerih-payah Komnas HAM dalam memotret peristiwa 27 Juli itu.

Ada hal yang patut kita sayangkan, yaitu semangat keadilan dalam menanggapi peristiwa pilot sang Garuda tersebut. Mengapa yang ramai-ramai diangkat hanyalah perlakuan tidak wajar yang dituduhkan atas polisi Belanda itu. Mengapa jasa aparatur Kerajaan Belanda yang telah membongkar jalur penyeludupan ekstasi melalui udara itu tidak di angkat pula secara ramai-ramai dalam arena perbincangan pemberitaan. Kita telah menghakimi polisi Belanda itu bersalah. Seharusnya dari sisi lain kita patut berterima kasih kepada pemerintah Belanda atas jasanya membongkar jalur ekstasi itu. Kita berterima kasih itu bukan demi hukum, melainkan demi keadilan, salah satu nilai dasar yang tercantum dalam Pembukaan UUD-1945, bahkan salah satu dari kaidah agama.

Dengan tidak diangkatnya secara ramai-ramai jasa pemerintah Belanda dalam membongkar jalur penyeludupan ekstasi itu, terkesan masyarakat tidak serius dalam memerangi racun iblis yang mengancam generasi penerus kita itu. Ibarat cerita nenek yang ditanggapi bocah-bocah itu, yang ramai ditanggapi adalah kelereng yang tercecer, bukan bahaya main di jalanan. Bahkan ketidak-sungguhan memerangi ekstasi itu lebih terkesan lagi setelah saya membaca berita (Fajar, edisi 18 Oktober 1996, halaman 9), PH dari terdakwa CW, yaitu Padeng Gervanius SH dan Herman SH dalam risalah pembelaannya antara lain mengatakan bahwa keterangan ahli dan hasil penelitian Labkrim Polri dapat diketahui secara jelas dan pasti bahwa ekstasi tidak berbahaya bagi ketertiban masyarakat, karena pemakai ekstasi justru merasa damai dengan dunia sekitarnya.

Berbeda dengan adanya timbul kesan ketidak-sungguhan masyarakat dalam memerangi ekstasi itu, sebaliknya dari pihak Pemerintah dan DPR tidaklah demikian, ini dapat dilihat dari upaya membuat Undang-Undang anti ekstasi dan sebangsanya, giatnya kepolisian menggrebek tempat-tempat transaksi ekstasi, dan para terdakwa bandar dan pengedar ekstasi sudah diperhadapkan di meja hijau di mana-mana, tidak terkecuali di kota Makassar ini, sehingga mudah-mudahan saja sikap bersahabat dengan ekstasi itu tidak banyak penganutnya dalam kalangan PH khususnya.

Sehubungan dengan sikap tidak adil terhadap pemerintah Belanda yang hanya mengangkat beramai-ramai perlakuan polisi Belanda terhadap MS itu, sedangkan rasa terima kasih kita atas jasa aparatur Kerajaan Belanda dalam membongkar jalur ekstasi itu tidak diangkat, maka ada baiknya dikemukakan kaidah agama seperti difirmakan Allah SWT dalam Al Quran:

Ya-ayyuha- Lladziyna Amanuw Kuwnuw Qawwa-miyna LiLlahi Syuhada-a bilQisthi waLa- Yajrimannakum Syana-nu Qawmin 'alay Alla- Ta'diluw Huwa Aqrabu liTtaqway waTtaquw Llaha InnaLlaha Khabiyrun biMa- Ta'maluwna (S. Al Ma-idah, 8). Hai orang-orang yang beriman konsistenlah kamu karena Allah, menjadi saksi dengan keadilan. Janganlah kamu terseret oleh kebencian kepada suatu kaum sehingga kamu tidak berlaku adil, berlaku adillah karena keadilan itu lebih dekat kepada taqwa, dan taqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Tahu apa-apa yang kamu kerjakan (5:8).
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 20 Oktober 1996