Tragedi Ketapang mengungkapkan kejengkelan yang terpendam selama ini terhadap kebijakan pemerintah kota mengeluarkan izin perjudian. Betapa banyak mendatangkan kesengsaraan atas kehidupan berumah tangga akibat kepala rumah tangga yang ketagihan bermain judi. Tiga sekawan: tempat bermain judi, bermain sex dan bermain mabuk-mabukan (baca: minuman keras, perangsang dan narkotika), merupakan titik rawan meletusnya konflik semacam di Ketapang itu. Benturan fisik yang terjadi akibat konflik itu membawa ekses yang tidak kurang dahsyatnya, karena birokrat yang mengeluarkan izin tempat maksiyat itu tidak memperhatikan adanya tempat ibadah yang berdekatan dengan rumah judi seperti di Ketapang itu. BL yang mengerahkan sekitar 200 orang preman berwarna kulit legam untuk menyerang pemukiman yang masyarakatnya tidak senang dengan adanya tempat perjudian itu menyebabkan terjadinya bentrokan fisik yang merusak mushalla. Kita dengan gampang saja mengatakan supaya masyarakat jangan mudah timbul emosinya. Kita lupa bahwa bahu memikul lebih berat dari sekadar mata memandang atau telinga mendengar. Dalam situasi yang demikian itu jika ummat secara spontan bereaksi di atas batas kewajaran akibat timbulnya ghirah untuk membela hak asasinya, tidaklah bijakasana untuk mengutuk reaksi spontan itu. Sikap yang wajar terhadap spontanitas itu adalah tidak membenarkan akan tetapi dapat memahaminya.
Tragedi Ketapang menunjukkan masih aktifnya aktor intelektual (aktel) yang terpendam sosoknya namun muncul pula menunggangi tragedi Ketapang ini. Aktel itu mengelurkan dan menyebarkan isu ada mesjid dibakar di Ketapang sehingga membakar kemarahan ummat dengan bertindak di atas batas kewajaran. Aktel yang masih tersembunyi ini terus-menerus berupaya untuk menimbulkan khaos sebagai sasaran antara dan revolusi sosial sebagai sasaran utama. Aktel ini tidak menginginkan Pemilu karena melalui Pemilu aktel tersebut tidak yakin dirinya akan mampu mendapat pasaran dalam bursa Pemilu.
Siapa tahu, hanya Allah Yang Maha Tahu, para tersangka makar dari tokoh-tokoh Barnas, Pudi dan PDI perjuangan yang mengklaim atas nama rakyat (entah dari mana mereka mendapatkan legitimasi untuk mengklaim itu) untuk membubarkan MPR dan menggantinya dengan MPRS atau komite rakyat dan mengganti Pemerintahan Habibie dengan presidium, boleh jadi mereka sang tersangka itu hanya sekadar pion-pion dari seorang atau sekelompok kecil aktel tersebut. Mudah-mudahan konstatering ini tidak benar, sebab jika benar kasihan sekali para tersangka yang pakar-pakar dan mantan-mantan petinggi ABRI itu tidak menyadari diri mereka itu dijadikan hanya sekadar pion-pion belaka.
Kita lihat bagaimana liciknya aktel ini mengirim pion-pionnya mengeruhkan kemurnian gerakan moral reformasi damai anak-anak kita mahasiswa yang berunjuk-rasa membawakan aspirasinya untuk didengarkan oleh anggota SI MPR yang sedang bersidang. Artinya anak-anak kita mahasiswa yang masih murni itu tidak menginginkan untuk menggagalkan SI MPR, sebab kalau gagal lalu bagaimana aspirasinya itu dapat tertampung. Yang sangat perlu digaris bawahi bahwa hampir semua substansi dari Tap MPR hasil SI MPR tersebut tidak mungkin sedemikan hasilnya tanpa unjuk-rasa anak-anak kita mahasiswa. Sayang sekali dan sangat disesalkan terjadinya bentrokan fisik yang disebabkan oleh pion-pion yang dikirim oleh aktel ikut mengambil bagian pada baris terdepan, yang tatkala berhadap-hadapan dengan petugas keamanan menggoda, menghasut, melempari batu bahkan kotoran, sehingga memancing emosi petugas keamanan. Pada saat petugas keamanan terpancing emosinya pion-pion tersebut membuka barisannya, sehingga anak-anak kita mahasiswa yang membawakan aspirasi murni itulah yang menanggung akibat tindakan represif di atas batas kewajaran dari petugas keamanan. Namun harapan atau keinginan aktel itu untuk menciptakan khaos dengan sasaran menggagalkan SI MPR tidak tercapai.
Ada satu hal yang patut dicatat tentang unjuk-rasa. Apabila jumlahnya puluhan ribu, maka sukar sekali bagi pimpinan pengunjuk-rasa itu untuk dapat mengetahui masuknya kelompok kecil pendompleng. Akan tetapi jika jumlahnya relatif kecil maka pimpinan pengujuk-rasa ataupun yang ikut memantau dari luar barisan dapat mengetahui dengan gampang adanya pendompleng yang menyusup. Contoh yang dekat dan baru saja terjadi ialah long march aksi keprihatinan mahasiswa UMI pada hari Selasa, 24 November 1998 ybl. Komite Masyarakat Sulawesi (Komas) mendompleng ikut bergabung yang membagi-bagikan selebaran berisikan seruan aksi. Mahasiswa UMI yang yakin gerakannya itu murni langsung mengumpulkan selebaran berwarna kuning dan merah itu kemudian merobek-robeknya.
Dari segi masih adanya aktivitas pion-pion aktel ini yang mencoba menimbulkan khaos dalam masyarakat, kita dapat memahami gagasan Agum Gumelar untuk mengadakan dialog nasional. Ini penting diselenggarakan walaupun tidak mungkin untuk dapat menyatukan pendapat antara pendukung pemerintah dengan oposan, namun sekurang-kurangnya dapat timbul saling pengertian (ta'arruf), disertai dengan sikap tidak ingin saling memaksakan kehendak. Jika saling pengertian ini telah terjalin, maka setiap kelompok dapat menjaga diri dari hasutan kelompok kecil aktel yang selalu menghendaki khaos sebagai suatu strategi untuk menimbulkan revolusi sosial. Lalu terciptalah keamanan dan rasa aman yang sangat kita butuhkan menjelang Pemilu yad.
Firman Allah:
W J'ALNKM SY'AWBA W QBA"L LT'AARFWA (S.ALHJRAT 49:13), dibaca: wa ja'alna-kum syu'u-ban wa qaba-ila lita'a-rafu- (s. alhujura-t, 13), artinya: dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa (bermacam-macam ummat) supaya kamu berta'arruf.
LA AKRAH FY ALDYN (S. ALBQRT, 2:256) dibaca: la- ikra-ha fiddi-n (s. albaqarah, 256), artinya: tidak ada paksaan dalam agama.
Ta'arruf ialah saling kenal pendapat dan argumentasi antara satu dengan yang lain, serta saling tidak memaksakan kehendak dalam arti sadar akan aturan main (baca: konstitusional). Sedangkan agama tidak boleh dipaksakan, mengapa pula akan memaksakan kehendak!
Mulai seri 349 penulisan ayat-ayat Al Quran ditransliterasikan secara huruf demi huruf demi pertimbangan keotentikan, kemudian disusul cara membacanya, terakhir baru artinya. Ini atas saran para pakar dosen senior IAIN. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 29 November 1998
29 November 1998
[+/-] |
350. Tragedi Ketapang |
22 November 1998
[+/-] |
349. Karena Trauma? |
Ada yang menarik dengan bincang-bincang di TVRI malam Jumat yang lalu. Riyas Rasyid mengeluh tetapi juga menganggap lucu mengapa banyak teman-temannya yang pakar berpikir tidak istiqamah (konsisten). Katanya, ini menurut Riyas Rasyid, mereka itu berpendapat bahwa presiden, gubernur dan bupati mestinya dipilih secara langsung, harus otonomi yang luas bahkan ada yang berpendapat lebih baik negara ini berbentuk federasi, akan tetapi mereka itu tidak setuju dengan sistem distrik dalam Pemilu. Padahal bukankah dengan sistem distrik itu wakil rakyat dipilih secara langsung. Dalam sistem proporsional wakil rakyat itu dipilih secara tidak langsung, karena yang menentukan wakil rakyat itu adalah partai. Dengan sistem distrik begitu perhitungan suara di suatu daerah pemilihan selesai dilakukan, maka wakil rakyat dari daerah berangkutan langsung dapat diketahui.
Apa yang dikatakan oleh Riyas Rasyid itu ada benarnya. Para pakar yang tidak setuju dengan sistem distrik, artinya yang setuju dengan sistem proporsional, kalau mereka itu berpikir konsisten seharusnya tidak pula setuju dengan sistem desentralisasi. Karena sistem proporsional itu sinkron dengan sistem sentralisasi, yaitu wakil rakyat ditentukan di pusat (baca: Jakarta) oleh pimpinan partai.
Riyas Rasyid kemudian menjawab sendiri keluhannya itu mengapa para pakar itu berpikir tidak istiqamah. Rencana UU Pemilu yang menyebutkan sistem distrik itu dibuat oleh pemerintah. Dewasa ini berkembang pendapat umum bahwa semua yang dari pemerintah itu salah dan patut dicurigai.
Menurut hemat saya mengapa terjadi alergi umum bahwa semua yang dari pemerintah itu serba salah dan patut dicurigai, karena trauma terhadap peristiwa yang dialami rakyat Indonesia selama pemerintahan Orde Baru, utamanya kecurangan yang dilakukan oleh Lembaga Pemilihan Umum yang anggotanya melulu terdiri atas para birokrat yang notabene kader-kader Golkar. Para birokrat itu menjadi wasit sekali gus pemain sehingga bebas berlaku curang. Gencarnya tuntutan untuk menghapuskan dwifungsi ABRI adalah juga karena trauma terhadap perlakuan ABRI terhadap rakyat di beberapa daerah seperti DOM di Aceh, peristiwa Lampung dan Tanjung Priok selama Orde Baru, serta banyaknya anggota ABRI yang dikaryakan menjadi gubernur, bupati dll. (Sebenarnya ungkapan menghapuskan dwifungsi ABRI tidak tepat, seharusnya menghapuskan peran sospol ABRI, karena kalau kedua fungsi ABRI dihapus, berarti fungsi pertahanan kemananpun turut dihapus).
Sehubungan dengan penghapusan peran sospol ABRI ini, menurut hemat saya tidak perlu sikap mutlak-mutlakan, oleh karena secara obyektif masih ada fungsi sosial ABRI yang bermanfaat, seperti ABRI masuk desa. Jembatan-jembatan runtuh yang perlu dibangun kembali cepat-cepat, jalan-jalan yang tertutup tanah longsor, apa mesti semuanya itu ditanggulangi oleh PU? Aspirasi ABRI dalam menyusun undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, tidaklah mungkin dikemukakan oleh mantan-mantan ABRI dalam parpol yang duduk dalam DPR, oleh karena anggaran yang dibutuhkan ABRI hanya mungkin secara rasional dapat dikemukakan oleh anggota ABRI yang masih aktif duduk dalam struktur organisasi ABRI. Mengenai tidak adanya dalam UUD-1945 perihal penunjukan anggota ABRI dalam DPR, itu dapat saja dicari jalan keluarnya. Yaitu dengan cara MPR membuat amandemen atas UUD-1945 bahwa sekian persen dari jumlah anggota DPR terdiri atas anggota ABRI. Sekian persennya itu ditentukan oleh undang-undang.
Namun, tidaklah semua yang bersikap bahwa semua dari pemerintah itu serba salah disebabkan oleh trauma. Tokoh-tokoh Barisan Nasional (Barnas) dan tokoh-tokoh "kritis" lainnya, yang bersikap menolak lembaga-lembaga formal, yang sekarang menjadi tersangka makar, bukanlah karena trauma, melainkan ingin menjerumuskan reformasi damai yang dipelopori anak-anak kita para mahasiswa ke arah revolusi yang radikal dengan membentuk komite rakyat dan presidium.
Sekarang ini sedang ramai dibicarakan tentang pro atau kontra tentang apakah ke-17 orang yang telah dinyatakan tersangka itu berbuat makar atau tidak. Para pakar hukum mengemukakan teori subyektif dan obyektif. Menurut teori subyektif kalau ada niat itu berarti sudah makar, sedangkan menurut teori obyektif baru dikatakan makar jika memenuhi dua unsur, adanya niat yang kemudian disusul oleh perbuatan permulaan. Yang melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah kepolisian, sedangkan para pakar itu, siapapun dia, tidak menyelidik dan tidak menyidik. Lalu bagaimana para pakar yang tidak setuju tentang adanya makar dapat mengetahui belum ada perbuatan permulaan? Oleh sebab itu untuk menghemat energi lebih baik kita tunggu saja proses hukum selanjutnya, ke-17 tersangka itu diserahkan ke kejaksaan, selanjutnya ke pengadilan untuk divonis oleh hakim. Yang penting penegak hukum menjaring tersangka dengan KUHP, bukan UU Subversi seperti yang dilakukan oleh rejim Orde Lama dan Baru.
Dalam Seri 344 telah dibicarakan juga tentang makar, namun titik beratnya pada segi etimologi (asal-usul kata). Kita angkat beberapa kalimat dari Seri 344 mengenai kata makar secara etimologis:
Makar berasal dari bahasa Al Quran, dibentuk oleh akar kata yang terdiri atas tiga huruf Mim, Kef, Ra, MaKaRa yang berarti merencanakan pembinasaan, kata bendanya Makr(un). Diriwayatkan dalam Al Quran Allah mengutus Nabi Shalih AS kepada bangsa Tsamud, yang ahli dalam bangunan. Bangsa Tsamud berbuat makar untuk menyerang dan membunuh Nabi Shalih AS beserta keluarganya di malam hari.
Akibat makar bangsa Tsamud itu terhadap Nabi Shalih AS beserta umatnya, Allah merobohkan bangunan-bangunan bangsa Tsamud.
FANZHR KYF KAN 'AAQBT MKRHM ANA DMRNHM WQWMHM AJM'AYN (S. AL NML, 27:51). Dibaca: fanzhur kayfa ka-na 'a-qibatu makriHim anna- dammarna-hum wa qawmahum ajma'i-n. Artinya: Maka perhatikanlah bagaimana akibat makar mereka itu, sesungguhnya Kami binasakan mereka dan kaumnya (Tsamud) sekalian.
Mulai seri ini penulisan ayat-ayat Al Quran ditransliterasikan secara huruf demi huruf demi pertimbangan keotentikan, kemudian disusul cara membacanya, terakhir baru artinya. Ini atas saran para pakar dosen senior IAIN seperti mantan Rektor IAIN Muh.Saleh Putuhena dan ananda Kasim Mathar. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 22 November 1998
15 November 1998
[+/-] |
348. Peluru Karet versus Bom Molotov |
Pada layar kaca saya lihat rektor Universitas Atmajaya mengomel mengapa petugas sampai ke dalam kampus Atmajaya menindaki mahasiswa. Sebelumnya saya saksikan bom molotov dilemparkan keluar ke arah pasukan penjaga keamanan dari dalam pekarangan kampus Atmajaya. Inilah ekses unjuk-rasa "damai" yang yang bernuansa show of force. Juga Kiyai Haji Abdul Qadir Jailani yang pernah dihukum rejim Orde-Baru (kalau saya tidak salah ingat) selama dua setengah tahun, menyaksikan dengan matanya sendiri mahasiswa dari kampus Atmajaya melempari batu kepada mobil yang mengangkut rombongan pengunjuk rasa yang mendukung SI MPR yang dijuluki Pam Swakarsa. Dari mana batu itu diambil kalau tidak disediakan terlebih dahulu. Sebagai senjata tentu tidak ada bedanya antara peluru karet, bom molotov dan batu.
Tiga hari sesudah Suharto lengser keprabon, kolom ini tanggal 24 Mei 1998 menyajikan Seri 323 yang berjudul: MensucikanNya, MemujiNya dan Minta Ampun KepadaNya. Judul ini diangkat dari:
-- FASBh BhMD RBK WASTGHFRH AnH KAN TWABA (S. ALNSHR, 310:3),
dibaca: fasabbih bihamdi rabbikan wastaghfirhu innahu- ka-na tawwaba-, artinya: Maka sucikanlah serta pujilah dan minta ampunlahkamu kepada Maha Pemeliharamu sesungguhnya Dia Maha Penerima taubat.
Surah [310:3] tersebut diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dalam hubungannya dengan kemenangan pendudukan atas kota Makkah secara damai oleh pasukan Islam dari Madinah.
Setelah kita mencapai kemenangan disuruh tasbih (FASabBiH), mensucikan Allah, hanya Allah Yang Maha Suci, suci dari kesalahan. Manusia tidak luput dari kesalahan, terutama yang berwatak impulsif emosional.
Setelah kita mencapai kemenangan disuruh tahmid, memuji Allah Yang Maha Pengatur dan Pemelihara (bihamdi Rabbika). Inilah ajaran berakhlak terhadap Allah SWT. Bahwa yang patut dipuji dalam hasil kemenangan melengserkan Suharto keprabon adalah Allah SWT, tidak boleh memuji manusia, apa pula memuji menyombongkan diri sendiri: "Kalau bukan jasa si anu, kalau bukan jasa saya, kemenangan ini tidak mungkin tercapai."
Setelah mencapai kemenangan disuruh istighfar, minta ampun kepada Allah SWT (wastaghfirrhu), berhubung dalam proses mencapai kemenangan itu memperbuat kesalahan-kesalahan, terutama kesalahan yang dapat mengaburkan tujuan reformasi, yaitu dengan membelok pada kesibukan pro dengan kontra terhadap Presiden Habibie.
Yang terakhir setelah mencapai kemenangan disuruh tawbat kepada Allah SWT (innahu- ka-na tawwa-ba-), karena dirinya telah dimanfaatkan oleh golongan yang mencoba mengeruhkan kemurnian gerakan moral reformasi damai ini.
Namun setelah mencapai kemenangan melengserkan Suharto keprabon, umumnya orang lupa mensucikan Allah, lupa memuji Yang Maha Pengatur dan Pemelihara, lupa minta ampun kepadaNya dan lupa tawbat kepada Allah SWT, sehingga menjadi mabuk kemenangan.
***
Suatu kenyataan yang tak dapat disangkal, setelah Suharto lengser keprabon mahasiswa tidak satu visi lagi, melainkan terpolarisasi menjadi kelompok pro dengan kontra terhadap Presiden Habibie, yang kemudian menjelma menjadi kubu yang menerima dengan yang menentang SI MPR. Padahal SI MPR adalah koridor menuju sasaran terselenggaranya Pemilu yang insya Allah akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang mempunyai letigimasi penuh baik secara formal maupun riel.
Bukan hanya mahasiswa yang pecah menjadi dua kubu. Masyarakat di luar mahasiswapun terpecah pula menjadi kubu yang mendukung dengan yang menentang SI MPR. Secara realitas masyarakat yang mendukung SI MPR jauh mengungguli yang menentang baik secara kuantitas maupun secara kualitas. Secara kuantitas kita dapat lihat tatkala pendukung SI MPR Forum Silaturrahim Ulama-Habaib dan Tokoh Masyarakat menggelar apel akbar ummat Islam se-Jabotabek hari Kamis, 5 November 1998 di Istora Senayan. Unjuk-rasa ummat Islam yang mendukung SI MPR peserta rapat akbar itu menumpah-ruah stadion terbesar di Asia Tenggara itu, yang kapasitasnya 110.000 orang. Secara kualitas pendukung SI MPR tersebut dapat kita lihat Kongres Ummat Islam di Jakarta yang dihadiri oleh seluruh golongan ummat Islam dari seluruh pelosok wilayah Republik Indonesia. Masyarakat yang menentang SI MPR hanya terdiri atas Barisan Nasional (Barnas) dan golongan nasional sekuler lainnya. Mereka ini takut kalah bertarung dalam Pemilu secara demokratis. Mereka berorientasi pada ideologi yang dianut oleh Partai Sosialis Indonesia, yang para pakarnya bertanggung-jawab dalam meletakkan dasar strategi pembangunan Orde Baru yang berat ke atas, rapuh ke bawah yang menyebabkan anak-anak bangsa ini terpuruk ke dalam jurang serba krisis.
Sesungguhnya unjuk-rasa mahasiswa yang menuju ke gedung MPR sudah bercampur-baur antara yang menerima dan yang menentang SI MPR. Mahasiswa yang menerima SI MPR adalah reformis yang membawakan aspirasi secara damai dengan tema pokok: hapuskan dwifungsi ABRI, hapuskan asas tunggal Pancasila, adili Suharto. AlhamduiLlah, ketiga tuntutan itu telah terpenuhi dalam SI MPR, dengan catatan bahwa anggota ABRI dalam DPR akan dihilangkan secara bertahap.
Sayang sekali mahasiswa reformis yang menyuarakan aspirasi secara damai itu dibawa larut dalam arus radikal oleh mahasiswa penentang yang berupaya menggagalkan SI MPR yang bernuansa bukan lagi reformasi melainkan revolusi ingin membentuk komite rakyat, atau MPR Reformasi menurut istilah S.E.Swasono seorang tokoh Barnas. Mahasiswa radikal ini beriintikan Forkot, yang menjadi ujung tombak Barnas, tidak mau tahu dengan UUD-1945, ingin memebentuk komite rakyat. Gerakan Forkot yang radikal ini didanai oleh Arifin Panigoro sebagaimana diakuinya sendiri.
Gerakan radikal yang berupaya menggagalkan SI MPR tersebut membawa larut mahasiswa lain, yang pada mulanya reformis, turut terpancing menjadi radikal pula, sehingga terjadi adu fisik dengan aparat keamanan. Maka timbullah ekses, korban berjatuhan. Ekses korban berjatuhan ini memancing rasa solidaritas mahasiswa, sehingga sasaran menggagalkan SI MPR berubah menjadi isu anti Polri dan menurut pengakuannya sendiri dalam debat melawan Sayidiman di SCTV dijadikan alasan oleh S.E.Swasono (baca Barnas) untuk membentuk komite rakyat. Insya Allah, skenario Barnas ini tidak akan berhasil, Allah SWT melindungi bangsa Indonesia! WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 15 November 1998
8 November 1998
[+/-] |
347. Antara Legitimasi Formal dengan Legitimasi Riel |
Karena Winters menjadi tersangka, ia mencerca sistem hukum Indonesia, yang katanya itu hukum kolonial yang digunakan oleh pemerintah Habibie. Mencerca sistem hukum negara Republik Indonesia yang dikatakannya hukum kolonial, berarti Winters menghina bangsa Indonesia. Tidak percaya? Bacalah hasil wawancara yang berikut ini:
Kalau memang pemerintah Habibie mau menjadikan saya tersangka, maka itu berarti bahwa sebenarnya pemerintah Habibie ingin tetap menggunakan suatu instrumen hukum yang sebenarnya punya sejarah kolonial, yaitu dari zaman Belanda. Negara demokrasi tidak punya hukum kolonial seperti itu. Jadi itu hukum yang dipakai, kemudian dipakai Suharto dan sekarang dipakai oleh Habibie.
Winters boleh saja tidak mengakui legitimasi sistem perundang-undangan kita, karena ia warga-negara Amerika. Akan tetapi rakyat Indonesia harus melaknat Winters sekeras-kerasnya, karena ia menghujat sistem hukum kita yang dikatakannya hukum kolonial warisan Belanda. Selanjutnya rakyat Indonesia sangat patut meminta pertanggungan-jawab kepada meraka yang telah mendatangkan Winters ke Indonesia ini. Bagaimanpun juga mereka yang terlibat dalam aktivitas mendatangkan Winters itu, harus bertanggung jawab, oleh karena kedatangan Winters itu mengakibatkan keluarnya hujatan Winters yang menghina bangsa Indonesia.
"Gara-gara berita anda, orang-orang Barisan Nasional (Barnas) di sini geger. Mereka semua saling menebak siapa calon satria piningit," kata Syamsul, stafhumas Barnas kepada Bangkit, tabloid yang beralamatkan Jl Palmerah Barat 29-33, Jakarta. Menurut Bangkit kantornya kebanjiran telepon menanyakan siapa itu satria piningit, mulai dari bapak-bapak hingga orang tua, yang menurut tabloid itu pula menjadi bahan perembukan para pengurus Barnas. Menurut Mbah Giman alias Sultan H Joko Lelono sang Ratu Adil satria piningit itu kini telah berumur 56 tahun dan berasal dari militer, berpangkat letnan jenderal dan pensiun menjelang Soeharto lengser keprabon.
Kalau keterangan stafhumas Barnas benar demikian, bahwa satria piningit itu menjadi bahan diskusi para pengurus Barnas, saling menebak siapa itu satria piningit di antara mereka, maka Masya-Allah, dalam era globalisasi yang membuang jauh-jauh yang berbau tahyul dan khurafat, pengurus Barnas yang berdiskusi itu masih percaya tahyul dan khurafat dan ingin mendapatkan legitimasi dari tahyul satria piningit tersebut. Kalau memang benar demikian, maka maklumlah kita mengapa Barnas tidak mau mengakui legitimasi pemerintahan Habibie.
Negara Republik Indonesia yang penduduknya hampir 200 juta orang, ditambah pula dengan wilayahnya yang luas, tentu tidak mungkin dapat melakukan musyawarah secara langsung. Sehingga harus menempuh tehnik permusyaratan perwakilan. Orang sekarang digiring ke arah dikhotomi, yaitu legitimasi formal (konstitusional) versus legitimasi informal (legitimasi riel). Ada yang menganggap wakil-wakil rakyat hasil Pemilu yang baru lalu (dan Pemilu-Pemilu sebelumnya) tidak mempunyai legitimasi riel, oleh karena wakil-wakil rakyat yang terpilih itu melalui proses pemilihan yang curang. Ada yang menganggap wakil-wakil rakyat itu mempunyai legitimasi formal, karena telah terpilih secara konstitusional. Golongan pertama menolak SI MPR dan golongan kedua mendukung SI MPR. Kalau kita memakai kriteria pengerahan massa maka sampai kolom ini ditulis, golongan pendukung SI MPR lebih dominan ketimbang dengan yang menolak. Forum Silaturrahim Ulama-Habaib dan Tokoh Masyarakat yang menggelar apel akbar ummat Islam se-Jabotabek hari Kamis, 5 November 1998 di Istora Senayan, merupakan sebagai bentuk unjuk-rasa ummat Islam yang mendukung SI MPR. Ummat Islam peserta rapat akbar itu menumpah-ruah stadion terbesar di Asia Tenggara itu, yang kapasitasnya 110.000 orang. Lagi pula Kongres Ummat Islam di Jakarta mendukung SI MPR.
Kalau kita sedikit rasional sesungguhnya kedua sikap yang dikhotomis itu dapat diakomodasikan. Secara jujur harus diakui kenyataan bahwa dalam Pemilu yang baru lalu terjadi kecurangan di sana sini. Namun kalau kita berpikir secara jernih ada wakil-wakil rakyat yang terpilih yang tidak jadi-jadian, yaitu betul-betul wakil-wakil rakyat yang sesungguhnya. Wakil-wakil rakyat dari PPP dan PDI, kedua kontestan yang dicurangi, tentu mereka yang terpilih itu betul-betul wakil rakyat yang mempunyai legitimasi riel. Dalam pada itu wakil-wakil rakyat dari Golkar harus pula diakui bahwa tidak semuanya yang jadi-jadian, sebab tidak juga masuk akal sehat jika dikatakan terjadi kecurangan 100%, katakanlah hanya puluhan persen. Karena belum ada penelitian tentu tidak dapat disebutkan secara eksak dalam persen kuantitas kecurangan itu, maka kita katakan saja puluhan persen. Jadi wakil-wakil rakyat hasil Pemilu yang tidak jadi-jadian yang mempunyai legitimasi riel adalah semua wakil rakyat dalam PPP + semua wakil rakyat dalam PDI + (100% - puluhan%) dari wakil rakyat dalam Golkar. Mereka inilah wakil-wakil rakyat yang sekali-gus mempunyai legitimasi formal dan legitimasi riel.
Alhasil jika mau berpikir jernih, tidak emosional, tidaklah logis jika menolak SI MPR. Karena SI MPR ini adalah koridor menuju sasaran tercapainya Pemilu yang luber, jurdil dan bersih, yang insya-Allah akan dilaksanakan pertengahan tahun 1999 yang akan menghasilkan wakil-wakil rakyat yang 100% mempunyai legitimasi formal dan riel, yang akan mengadakan SU MPR yang insya-Allah akan bersidang dalam akhir tahun 1999. Secara hakikat SU MPR tersebut tidak lain merupakan konsiliasi nasional yang sesungguhnya. Aspirasi-aspirasi yang sebanyak itu yang dilontarkan dalam unjuk-rasa tentu saja tidak dapat semuanya ditampung dalam agenda SI MPR yang hanya berlangsung dalam tiga hari itu. Namun SI MPR patut memperhatikan betul rekomendasi politik Kongres Ummat Islam utamanya pencabutan ketentuan asas tunggal. Dalam pada itu kelompok-kelompok pengunjuk rasa yang belum tertampung aspirasinya, cobalah bersabar sedikit menunggu SU MPR, karena
-- WALLH YHB ALSHBRYN (S. AL 'AMRAN, 3:146), dibaca: waLla-hu yuhibbush sha-biri-n, artinya: Sesungguhnya Allah mengasihi orangorang sabar. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 8 November 1998
1 November 1998
[+/-] |
346. Bhinneka Tunggal Ika |
Setelah 70 tahun Sumpah Pemuda, maka: Berbangsa satu, bangsa Indonesia, mendapat terpaan hebat, yang menyebabkan sikap anak-anak bangsa ini terkelompok menjadi tiga: negara kesatuan, negara federasi dan separatis. Kelompok pertama dan kedua masih dalam kerangka Sumpah Pemuda, sehingga tidak begitu mengkhawatirkan. Namun kelompok ketiga sudah keluar dari kerangka Sumpah Pemuda. Kelompok ketiga pernah besuara nyaring dari Irian Jaya dan Timtim, yang mengatakan, jika Megawati tidak terpilih jadi presiden akan memisahkan diri. Tentu tidaklah semua rakyat dalam kedua daerah itu yang separatis, tetapi karena bersuara nyaring gaungnya terdengar jauh. Daerah ketiga yang ingin memisahkan diri ialah Bali, karena mereka menganggap agamanya dihina, yaitu agama Hindu Bali. Tentu saja seperti rakyat di kedua daerah yang tersebut pertama itu tidaklah semuanya ingin memisahkan diri, yang berunjuk rasa belum tentu mewakili seluruh rakyat di daerah Bali.
Penguasa Orde Baru disamping mensakralkan UUD-1945 juga membuat sebuah monster yang disebut Sara. UUD-1945 tidak boleh disakralkan, boleh diubah, diamandemen sesuai kebutuhan zaman. Yang tidak boleh diubah ialah pembukaannya, bukan karena disakralkan melainkan karena pembukaan itu pada alinea ketiga terkait dengan proklamasi kemerdekaan. Artinya mengubah pembukaan berarti membubarkan Negara Republik Indonesia yang diprokalamsikan pada 17 Agustus 1945. Adalah hal yang sangat mubadzdzir jika negara ini, yang dipertahankan dengan berkuah darah dan berlinang air mata akan dibubarkan begitu saja. Demikian pula mengenai Sara. Rakyat Indonesia oleh Orde Baru dijadikan ibarat anak kecil dipertakut-takuti dengan hantu. Sara tidak boleh sekali-kali disentuh harena sensitif. Padahal justru sebaliknya, Sara menjadi sensitif karena tidak boleh disentuh.
Adat kebiasaan suku-suku perlu sekali dimasyarakatkan dalam hal menyangkut pergaulan sehari-sehari. Semisal perbedaan dalam tatakrama bertamu. Ada adat kebiasaan yang berorientasi kualitas. Tamu yang disuguhi minuman harus meminumnya sampai habis. Ini mengandung nilai bahwa demikian enaknya (berkualitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu meminum suguhan itu sampai habis. Akan tetapi ada pula yang berorientasi pada kuantitas, maka tamu harus menyisakan minumannya. Ini mengandung nilai, demikian banyaknya (kuantitas) minuman yang disuguhkan sehingga sang tamu tidak sanggup meminumnya sampai habis.
Demikian pula dengan agama. Perbandingan agama jangan hanya dalam ruang lingkup akademis, melainkan dimasyarakatkan, sehingga penganut agama yang satu mengetahui hal-hal yang pokok mengenai agama lain dari saudara-saudaranya sebangsa. Dengan demikian timbullah saling pengertian bahwa memang ada perbedaan pokok di antara agama-agama yang dianut oleh para penganut masing-masing agama di antara saudara-saudara sebangsa yang berlainan agama, sehingga tidak mudah tersinggung. Inilah yang disebut dengan sepakat untuk tidak sama, di antara saudara sebangsa setanah air. Itulah hakekat Bhinneka Tunggal Ika.
***
Maka dalam kolom ini akan dikemukakan keyakinan ummat Islam dalam hal kepemimpinan, untuk diketahui oleh saudara-saudara sebangsa dan setanah air yang tidak beragama Islam dan juga untuk para remaja dan pemuda Islam yang kurang mengenal ajaran agamanya sendiri.
Firman Allah dalam Al Quran:
-- FLA TTKHDZWA MNHM AWLYAa HTY YHAJRWA FY SBYL ALLH (S. ALNSAa, 4:89), dibaca: fala- tattakhidzu- minhum awliya-a hatta- yuha-jiru- fi- sabi-li Lla-hi, artinya: Maka janganlah kamu angkat mereka menjadi wali (pemimpin), kecuali jika mereka telah berhijrah ke jalan Allah.
-- ALRJAL QWAMWN 'ALY ALNSAa (S. ALNSAa, 4:34), dibaca: arrija-lu kawwa-mu-na 'alan nisa-i, artinya: Laki-laki itu tulang-punggung (pemimpin) atas perempuan.
Jadi menurut keyakinan ummat Islam berdasarkan agamanya, dilarang mengangkat kepala negara yang tidak beragama Islam (4:89) dan tidak boleh pula menjadikan perempuan sebagai pemimpin (4:34). Mengenai ayat (4:34) ini ada dua penafsiran, yang jumhur (main stream) menafsirkannya secara tekstual, perempuan tidak boleh diangkat jadi kepala negara. Hanya sedikit yang menafsirkannya secara kontekstual, yaitu laki-laki itu pemimpin perempuan dalam konteks kehidupan berumah tangga.
Ahmad Muflih Saefuddin yang menyatakan siap mencalonkan diri menjadi presiden, ketika ditanya apakah ia siap bersaing dengan Megawati, ia mantap meyatakan kesiapannya. "Diakan agamanya Hindu. Saya Islam. Relakah rakyat Indonesia presidennya beragama Hindu." Ketika para wartawan menyebutkan Megawati seorang Muslim, Saefuddin menukas: "Di koran-koran masa anda tidak tahu, saya lihat (fotonya) sembahyang di pura." Ketika wartawan mendesak: "Tapi ia menikahkan anaknya secara Islam", dengan enteng Saefuddin menjawab: "Mungkin dia agamanya dua."
Pada waktu saya masih di SMA saya mempunyai adik kelas bernama Jalu, anak R. Marjatmo alias Jatmo yang direktur SMA tersebut. Jalu pernah berkata kepada saya: "Nur, saya itu sudah sembahyang di mesjid, juga di gereja, juga di pure." Saya menjadi heran waktu itu, lalu sepulangnya ke rumah saya bertanya kepada ayah saya, mengapa ada orang tiga agamanya. Ayah saya menjawab pendek: "Itu yang disebut sinkretisme."
Jawaban Saefuddin yang spontan secara singkat atas pertanyaan-pertanyaan wartawan, bagi saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air yang beragama Hindu, terkesan menghina agama Hindu dan diskriminatif: "Relakah rakyat Indonesia presidennya beragama Hindu." Semestinya ia menjawab: "Menurut ajaran agama saya, ummat Islam dilarang memilih presiden yang bukan Islam, dan perempuan tidak boleh jadi presiden. Sehingga saya yakin dapat menyaingi Megawati, karena Megawati saya lihat gambarnya sembahyang di pura, jadi ia beragama Hindu, lagi pula ia perempuan sehingga rakyat Indonesia yang beragama Islam yang jumlahnya jauh lebih banyak tentu tidak akan memilihnya menjadi presiden."
Secara substansial kalimat pendek Saefuddin dengan uraian panjang itu adalah sama. Memang orang biasa menjawab pendek-pendek dalam menjawab wawancara. Saefuddin telah menyadari terkesan menghina agama Hindu dengan kalimat pendeknya itu, makanya itu ia telah minta maaf. Andaikan tidak diperpolitiser sesungguhnya hal itu telah selesai. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 1 November 1998