Kosmologi berasal dari kata-kata cosmos (alam syahadah) dan logos (ilmu). Artinya secara ma'nawi ialah cabang ilmu falak (astronomy) yang menyangkut asal-usul alam syahadah (ayat Kawniyah yang nyata) dikaitkan dengan materi, ruang dan waktu serta kausalitas.
Berdasar atas kenyataan hasil intizhar (observasi), alam syahadah ini sedang dalam keadan berexpansi, yaitu semua galaxy yang jumlahnya jutaan sedang bergerak saling menjauhi. Maka timbullah hingga dewasa ini dua madzhab yang saling bertentangan dalam memberikan tafsiran atas observasi tersebut, yaitu madzhab Alpher-Gamow yang bertitik tolak dari asas penciptaan sekali jadi, dan madzhab Bondi-Gold-Hoyle yang bertitik tolak dari asas penciptaan terus-menerus.
Menurut teori madzhab Alpher-Gamow alam shahadah tercipta dari zarrah-zarrah (partikel-partikel) sub-atom seperti proton, neutron, elektron dan zarah-zarrah sub-atom yang lain (jadi atom belum terbentuk), dalam keadaan kerapatan dan suhu yang tinggi. Kemudian terjadi peledakan dahsyat (big bang) sehingga secara bergumpal-gumpal zarrah-zarrah sub-atom itu terlempar saling menjauhi. Sementara itu gumpalan-gumpalan tersebut terpecah-pecah pula menjadi jutaan gumpalan kecil-kecil. Kemudian setiap gumpalan kecil itu "mengembun" menjadi plasma. Dari setiap gumpalan kecil plasma itu terbentuklah gugusan bintang-bintang yang disebut galaxy. (Plasma adalah phase keempat dari materi, phase pertama padat, kedua cair dan ketiga gas). Hasil intizhar bahwa galaxy saling menjauhi artinya alam syahadah ini sedang dalam keadaan berexpansi, disebabkan oleh peledakan dahsyat itu.
Teori Bondi-Gold-Hoyle berasumsikan bahwa alam syahadah ini homogen dalam ruang dan waktu, tetapi tidak statis. Setiap saat muncul materi berasal dari ketiadaan, kemudian materi yang baru muncul itu membentuk galaxy baru, yang menggeser tempat galaxy yang sudah ada. Jadi gerak galaxy yang saling menjauhi menurut teori ini disebabkan oleh terciptanya materi secara sinambung.
Menurut pendekatan ilmiyah yang bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme tidaklah mungkin menyatakan yang manakah dari kedua madzhab itu yang benar, oleh karena menurut prosedur ilmiyah, ialah observasi, kemudian penafsiran dan terakhir uji-coba penafsiran secara experimen. Alam syahadah hanya dapat diobservasi, ditafsirkan, tetapi tidak dapat diuji-coba, oleh karena manusia yang umurnya pendek walaupun dengan bantuan instrumennya tidak dapat menjangkau alam syahadah yang sangat luas ini. Maka pendekatan ilmiyah yang bertumpu pada paradigma filsafat positivisme tidaklah mungkin dapat menghakimi kedua madzhab itu, mana yang benar mana yang salah.
Maka untuk mengetahui yang mana di antara kedua madzhab itu yang benar, haruslah teori yang bertentangan dari kedua madzhab itu diuji-coba menurut ilmu yang Islami yang pertumpu pada Tawhid, dengan merujukkannya pada ayat Qawliyah. Allah berfirman:
-- AN RBKM ALLH ALDZY KHLQ ALSMWT WALARDH FY STT AYAMN TSM ASTWY ALY AL’ARSY YDBR ALAMR (S. YWNS, 3), dibaca: Inna rabbkumuLla-hu aldzy khalaqas sama-wa-ti wal ardha fi- sittati ayya-min tsummas tawa- 'alal 'arsyi yudabbirul amra (s. yu-nus), artinya: Sesungguhnya Maha Pemeliharamu Allah yang telah menciptakan (benda-benda) langit dan bumi dalam enam masa, kemudian ia menyengaja atas 'Arasy mengatur urusan (10:3). IStaway 'alay l'Arsyi terdapat dalam 7 ayat, yaitu: (7:53), (10:3), (13:2), (20:5), (25:59), (32:4) dan (57:4). Dalam ke-7 ayat tersebut dijelaskan setelah Allah SWT mencipta benda-benda langit dan bumi, Allah SWT menyengaja atas 'Arasy, Ia merajai atas daerah kekuasaanNya. Termasuk dalam daerah kekuasaanNya adalah 'Arasy itu sendiri,
-- WHW RB AL’ARSY AL’AZHYM (S. AL TWBT, 129), dibaca: wahuwa rabbul 'arsyil 'azhi-m (s. at tawbah, 129), artinya: dan Dia Maha Pemelihara 'Arasy Yang Maha Agung (9:129). Salah satu urusan Allah SWT di atas 'Arasy adalah mengurus langit yang dipenuhinya dengan dukhan. TSM ASTWY ALY ALSMAa WHY DKHAN (S. FSHLT, 11), dibaca: Tsummas tawa- ilas Sama-i wahiya dukha-n (s. fushshilat), artinya: Kemudian Ia menyengaja kepada langit dan dia dukhan (41-11).
Dalam ayat ini langit dinyatakan dalam bentuk mufrad (tunggal, singular) asSama-u, ini bermakna bukan benda-benda langit asSamawat yang jama', melainkan bermakna ruang antar bintang-bintang (nujuwmun). Ruang inilah yang dipenuhi oleh Allah SWT dengan dukhan dengan proses yang dinyatakan oleh ayat:
-- ANMA AMRH ADZA ARAD SyaA AN YKWLH KN FYKWN (S. YS, 82), dibaca: Innama- amruhu- idza- ara-da syay.an ay yaqu-la lahu- kun fayaku-n (s. ya-sin, 82), artinya Sesungguhnya urusanNya apabila Ia menghendaki sesuatu Ia berkata baginya: jadi, maka jadilah (36:82).
Ada perbedaan antara penciptaan benda-benda langit dengan pengurusan dukhan. Dalam penciptaan benda-benda langit dipakai kata Khalaqa, yaitu dalam bentuk Fi'il Ma-dhiy (past tense), sedangkan dalam pengurusan dari atas 'Arasy, termasuk mengurus dukhan, dipakai kata Yakuwna, yaitu Fi'il Mudha-ri' (present and future tenses). Jadi Allah telah mencipta benda-benda langit dari tidak ada menjadi ada pada titik waktu permulaan, sekali jadi, sedangkan setelah mencipta benda-benda langit, Allah SWT mengurus dukhan menjadikan dukhan secara terus-menerus (becoming), artinya setiap saat Allah SWT menjadikan dukhan dari tidak ada menjadi ada.
Dengan merujukkan teori kedua madzhab itu kepada ayat Qawliyah, alhasil kedua madzhab itu masing-masing mengandung separuh dari kebenaran. Menurut Al Quran benda-benda langit diciptakan Allah SWT pada titik waktu permulaan (beginning), sedangkan dukhan diurus Allah SWT dari tidak ada menjadi ada secara terus-menerus, setelah Dia menciptakan benda-benda langit dan bumi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 Februari 2002
24 Februari 2002
[+/-] |
513. Illustrasi Ilmu Menurut Syari’at Islam Bidang Kosmologi |
17 Februari 2002
[+/-] |
512. Ilustrasi Ilmu Menurut Syari'at Islam di Bidang Matematika |
Yang ideal bagi orang-orang Yunani Kuno adalah keindahan visual. Inilah yang menjadi paradigma ilmu Yunani Kuno. Yaitu keindahan yang berasaskan perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Wajah manusia, patung, atau bentuk arsitektur, bahkan drama harus mempunyai perbandingan-perbandingan tetap di antara bagian-bagiannya supaya indah. Keluar dari hubungan angka-angka perbandingan itu mengakibatkan sesuatu itu "rusak" bentuknya sehingga tidak menjadi indah lagi. Pola pemikiran ini menghasilkan pandangan bahwa alam semesta ini merupakan kesatuan yang statis, oleh karena bagian-bagian dari alam smesta ini harus mempunyai perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Alhasil, pengertian waktu bukanlah hal yang perlu mendapat perhatian, oleh karena alam semesta ini statis. Bahkan menurut Zeno dan Plato waktu adalah sesuatu yang tidak-nyata (unreal). Maka dapatlah kita mengerti apabila para pakar Yunani Kuno hanya menghasilkan matematika yang statis sifatnya, tidak mengandung unsur variabel dan fungsi. Demikianlah paradigma idea orang Yunani Kuno yang menganggap ideal keindahan visual, hanya dapat menghasilkan matematika yang statis.
Paradigma keindahan visual menghasilkan hal yang musykil dalam astronomi. Hukum-hukum yang berlaku pada benda-benda langit tidak sama dengan hukum-hukum yang ada di bumi ini. Ini logis oleh karena orang Yunani Kuno tidak mengenal Tawhid, Keesaan Allah dalam af'al (perbuatan)-Nya. Di langit serba indah, tidak seperti di bumi. Karena di langit serba indah, maka gerak bintang-bintang di langit haruslah menurut bentuk garis yang indah, yaitu gerak lingkaran beraturan. Dan itu cocok dengan gerak bintang-bintang yang mereka kira melekat pada bola langit. Akan tetapi gerak planet TIDAK bergerak menurut lingkaran beraturan. Maka diakal-akali dengan dibuat lingkaran bantu pada titik-titik lintasan lingkaran utama. Inipun belum memuaskan, maka ditambah lagi sampai dua, tiga lingkaran bantu, namun masih belum memuaskan. Inilah kemusykilan yang tak terpecahkan oleh para astronom Yunani kuno.
Paradigma ilmu menurut Syari'at Islam adalah Tawhid, bukanlah keindahan visual seperti paradigma ilmu Yunani, melainkan Allah Yang Maha Tak Terbatas, dengan sifat-sifatnya yang Maha Sempurna. Dalam S. Al Fathihah Allah disebut RB AL'ALMYN (Rabbul 'a-lami-n), Maha Pengatur alam semesta. Dengan demikian alam semesta ini tidak statis, melainkan dinamis, karena diatur. Dan unsur penting dalam dinamika ialah waktu. Jadi menurut pandangan seorang Muslim waktu itu nyata, tidak seperti pandangan Zeno dan Plato di atas itu. Bahkan dalam Al Quran ada sebuah surah yang bernama S. Al 'Ashr. Surah ini dibuka dengan kalimah W AL'ASHR (wal 'ashri), yang artinya perhatikanlah waktu.
Masuknya faktor waktu dalam matematika, mengubah wajah matematika itu menjadi baru sama sekali. Ilmu hitung diperkembang menjadi aljabar. Unsur ilmu hitung yang statis yaitu bilangan, diperkaya dengan unsur yang dinamis yaitu variabel dan fungsi, serta limit. Dalam matematika ada dua cara dalam menyatakan fungsi. Pertama yang langsung y(x), y adalah fungsi dari x, artinya y berubah dengan berubahnya x. Yang kedua melalui parameter waktu berbentuk sperti x(t), y(t). Bentuk parameter ini mulai ditampilkan oleh Al Biruni (793 - 1048) melengkapi aljabar Al Khawarismi. Kemudian Umar Khayyam (1048 - 1123) meperlengkap lagi aljabar itu, sehingga wujudnya hampir mendekati aljabar sekarang ini. Di samping itu Umar Khayyam menciptakan pula sejenis matematika menyerupai aljabar yang disebutnya dengan al khiyam, sayang ilmu itu tidak berkembang hingga dewasa ini.
Kesimpulannya dapatlah kita lihat pakar Yunani Kuno tidak mampu mengembangkan ilmu hitung menjadi aljabar dengan unsur-unsur variabel. Tidak mampu memperkembang ilmu ukur menjadi ilmu ukur analitik yang berkurva dan bergaris asymptot. Tidak mampu "mengawinkan" ilmu hitung dengan ilmu ukur, seperti halnya persamaan aljabar bervariabel dalam wajah y(x) atau x(t), y(t) yang diekspresikan sebagai kurva pada sistem koordinat dalam ilmu ukur analitik (analytische meetkunde). Mengapa pakar Yunani kuno tidak mampu dan mengapa pakar Muslim mampu? Karena paradigma ilmu Yunani Kuno bertumpu pada filsafat keindahan yang statis, karena berasaskan perbandingan yang dinyatakan oleh hubungan angka-angka yang tetap. Paradigma dari ilmu Yunani kuno yang statis itu melecehkan waktu, menganggap waktu tidak nyata. Maka ilmu hitung dan ilmu ukur Yunani kuno tetap terkungkung ibarat katak di bawah tempurung.
Dari ilustrasi di atas tersebut menunjukkan keteledoran Dr El-Baz yang hanya melihat bangunan piramida saja. (Silakan baca kembali Seri 510 ybl). Padahal pondasi bangunan (baca: paradigma) yang diremehkan Dr El-Baz itu sangatlah penting tempat bangunan itu bertumpu. Ilmu sekuler Yunani Kuno yang bertumpu pada keindahan visual menyebabkan matematika tidak dapat berkembang menjadi ilmu bantu untuk ilmu pengetahuan alam. Teori-teori ilmu pengetahuan alam model Yunani kuno, tetap membuntu pada taraf yang spekulatif. Demikian pula paradigma keindahan visual itu membuahkan perkara musykil yang tak terpecahkan dalam astronomi.
Sebaliknya ilmu menurut Syari'at Islam, yang bertumpu pada paradigma Tawhid, Allah Maha Tak Terbatas, Maha Esa dalam af'alNya, Maha Pengatur, menghasilkan perkembangan matematika dari yang statis menjadi dinamis, sistem bilangan menjadi sistem variabel, bilangan terbatas menjadi unsur variabel yang mendekati limit pada tempat tak terhingga. Taqdir (hukum-hukum) Allah di universum berlaku di mana-mana, tidak ada perbedaan hukum-hukum Allah pada benda-benda langit, maupun yang ada di bumi. Aljabar yang berunsur variabel dan ilmu ukur analitik yang berkurva dapat menjadi ilmu bantu untuk perkembangan ilmu pengetahuan alam. WaLlahu a'lamu bi shshawab.
*** Makassar, 17 Februari 2002
10 Februari 2002
[+/-] |
511. Ilmu Menurut Syari’at Islam |
Dr. El-Baz wrote: "Science is international. There is no such thing as Islamic science. Science is like building a big building, a pyramid. Each person puts up a block. These blocks have never had a religion. It's irrelevant, the color of the guy who put up the block." (Ilmu itu sifatnya menginternasional. Tidak ada itu yang disebut dengan ilmu yang Islami. Ilmu itu seperti bangunan, bangunan besar, sebuah piramida. Setiap orang meletakkan bungkah di atasnya. Bungkah-bungkah itu tak pernah punya agama. Itu tidak mengena dengan warna orang yang meletakkan bungkah itu).
Apakah benar, bahwa tidak ada itu yang disebut ilmu yang Islami? Opini El-Baz itu tidak benar. Ada ilmu yang Islami, yaitu ilmu menurut petunjuk Syari’at Islam. Bahwa Syari’at Islam itu bukan hanya menyangkut petunjuk dalam bersosial, berpolitik, berbudaya, berekonomi, bertata-negara dan berpemerintahan, melainkan Syari’at Islam itu memberikan petunjuk pula dalam berilmu, seperti yang telah disajikan dalam kedua seri berturut-turut sebelumnya, yaitu Seri 508 dan 509. Kemdian daripada itu, silakan baca baik-baik uraian di bawah ini dengan hati terbuka dan kepala dingin.
Ilmu menurut opini El-Baz itu sangat sempit wawasannya, ibarat katak di bawah tempurung. Mengapa? Oleh karena ilmu yang seperti dianut oleh El-Baz itu, sehingga dikiranya dengan demikian menjadilah ilmu itu otonom dan polos.
Manusia berdasarkan sikapnya terhadap Tuhan, dapat diklasifikasikan dalam empat golongan, yaitu:
- Golongan yang percaya akan adanya Tuhan sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta. Artinya setelah Tuhan mencipta, lalu disertai tindak lanjut dengan memberikan petunjuk ke pada manusia dengan menurunkan wahyu kepada manusia pilihan yang disebut Nabi, yang akan meneruskan petunjuk itu kepada ummat manusia. Golongan ini disebut dengan theist.
- Golongan yang percaya akan adanya Tuhan hanya sebagai Pencipta saja. Wahyu tidak ada. Manusia cukup mengatur dirinya dengan akalnya saja. Sikap yang berpikir demikian itu disebut sekuler. Golongan yang kedua ini disebut dengan deist. Adalah logis bahwa golongan ini walaupun sudah percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tetapi belum menganut sesuatu agama.
- Golongan yang tidak mau tahu tentang Tuhan. Adanya Tuhan atau tidak adanya Tuhan, bukanlah sesuatu yang penting benar untuk dipikirkan, hanya membuang-buang energi saja. Golongan ini disebut dengan agnostik.
- Golongan yang tidak percaya akan adanya Tuhan. Golongan ini disebut dengan atheist.
Walhasil, karena tidak mungkin ilmu itu tidak memihak di antara keempat golongan itu, maka tentu saja bagi yang berpikiran sehat, akan memilih golongan pertama tempat ilmu itu memihak. Maka dengarlah firman Allah berikut ini:
-- AN FY KHLQ ALSMWT WALARDH WAKHTLAF ALYL WALNHHAR LAYT LUWLY ALBAB. ALDZYN YDZKRWN ALLH QYAMA WQ’AWDA W’ALY JNWBHM WYTFKRWN FY KHLQ ALSMWT WALARDH RBNA MA KHLQT HDZA BATHLA SBHNK FQNA ‘ADZAB ALNAR (S. AL ‘AMRAN, 190-191), dibaca: Inna fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi wakhtila-fil layi wan naha-ri laa-ya-til liulil alba-b. Alladzi-na yadzkuru-naLla-ha qiya-maw wa qu'uwdaw wa 'ala- junuwbihim wa yatafakkaru-na fi- khalqis sama-wa-ti wal ardhi rabbana- ma- khalaqta ha-dza- baathilan subha-naka faqina- 'adza-ban na-r (s. ali ‘imra-n), artinya: Sesungguhnya dalam proses penciptaan benda-benda langit dan bumi, dan pergantian malam dengan siang menjadi keterangan bagi ulul alba-b. (Ulul alba-b), yaitu mereka yang ingat kepada Allah dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, (lalu mereka berkata): Wahai Yang Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau menciptakan semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, peliharalah kami dari azab neraka (3:190-191).
Oleh sebab itu perlu redefinisi ilmu. Khusus ilmu pengetahuan alam diredefinisikan menjadi: "Ilmu pengetahuan alam meliputi pengungkapan taqdir Allah (hukum-hukum Allah) tentang alam syahadah ciptaan Allah sebagai Maha Pencipta (Al Khaliq) dan Maha Pengatur (Ar Rabb), dan perumusan hipotesa-hipotesa sepanjang belum dapat diujicoba dengan eksperimen, yang memungkinkan orang dapat mentakwilkan peristiwa-peristiwa dan gejala-gejala alamiyah dalam kondisi-kondisi tertentu. Para pakar di bidang ilmu pengetahuan alam berurusan dengan penelitian, pengungkapan fakta-fakta tentang sifat alamiyah dari alam semesta dengan mempergunakan sumber informasi dari ayat qawliyah (AlQuran) serta Hadts Shahih dan ayat kawniyah (alam syahadah yang dapat dideteksi oleh pancaindera)."
Dengan demikian filsafat positivisme yang selama ini sebagai paradigma tempat ilmu pengetahuan alam bertumpu di atasnya, perlu diganti menjadi paradigma Tawhid; ayat Qawliyah serta Hadits Shahih dan ayat Kawniyah menjadi sumber informasi. Inilah yang disebut Islamic Science. Dalam rangka peringatan Milad UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA yang ke 41 (1954 - 1995), dalam Orasi Ilmiyah yang saya sajikan pada 25 Muharram 1416 H, setuju dengan 24 Juni 1995 M, saya gagaskan pendekatan ilmiyah yang tidak sekuler. Saya namakan gagasan itu dengan Pendekatan Satu Kutub. Orasi Ilmiyah tersebut lengkapnya berjudul: Metode Pendekatan Satu Kutub dalam Mengkaji Ayat Qawliyah (Al Quran) dan Ayat Kawniyah (alam syahadah). Adapun kerangka gagasan itu seperti berikut:
Sumber informasi: Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan ayat kawniyah (alam syahadah).
Sikap: skeptis terhadap hasil pemikiran manusia
Langkah-langkah:
- Iqra bismi Rabbik, artinya: bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1); yang dibaca atau diobservasi adalah sumber informasi: Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan Ayat Kawniyah;
- Penafsiran dengan memperhatikan Ayat Qawliyah serta Hadts Shahih dan Ayat Kawniyah, yang outputnya tafsir hasil buah pikiran manusia;
- Ujicoba tafsir diperhadapkan pada Ayat Qawliyah serta Hadits Shahih dan Ayat Kawniyah atau salah satu di antara keduanya, yang outputnya pengungkapan TaqdiruLlah (Hukum Allah) yang spesifik.
*** Makassar, 10 Februari 2002
3 Februari 2002
[+/-] |
510. Nahi Mungkar yang Efektif dengan Penegakan Syari’at Islam |
Ketiga kasus di bawah ini adalah kisah nyata dalam bernahi mungkar.
Kasus pertama: Allahu yarham Ahmad Makkarausu’ Amansyah Dg Ngilau, salah seorang tokoh karismatik Muhammadiyah, pernah menuturkan: Ada seorang muballigh muda yang masih penuh semangat pergi bertabligh di daerah Turatea. Begitu turun dari mimbar datang panggilan dari kepala distrik untuk datang ke kantornya. “Harangi bedeng nukana balloka? E anu alle maenrinni balloka” (konon kau katakan tuak itu haram? Hai anu bawa kemari itu tuak). “Anne alle je’ne’ balloka” (Ini mandilah dengan tuak ini), kata kepala distrik sambil mengguyurkan tuak itu keseluruh badan muballigh itu. Inilah konsekwensi yang dipikul oleh muballigh muda itu untuk bernahi mungkar dengan lisan (bilisa-nihi-). Ini terjadi sebelum Perang Dunia kedua, tahun 30-han.
Kasus kedua: Nahi mungkar ini kejadian di Selayar, juga pada tahun 30-han, yang dikorek dari ingatan saya sendiri. Ada yang melapor kepada kakek saya, Opu Tuan Imam Barat Batangmata, ada pesta minum tuak di sebuah kebun di atas bukit di luar kampung. Dengan segera Opu Imam mendatangi tempat itu seorang diri. Bila-bila (tempat tuak) yang masih berisi tuak dihempaskan beliau, kemudian menantang: “Inai ngeha nrinni” (siapa berani melawan di sini). Kata “ngeha” ini pernah dipopulerkan oleh Bupati Sinjai Moh. Rum, mensosialisasikan di kalangan masyarakat Kabupaten Sinjai seruan Gubernur “ewako” menjadi “ngehako”. Para peminum itu tidak ada yang berani, karena Opu Imam tersohor pesilat yang tidak jarang membabak-belurkan beberapa pasolle’ kabarra-barra (istilah sekarang: preman kondang). Setelah menumpahkan habis tuak itu barulah Opu Imam berkata: “Tuak itu haram, berhentilah minum tuak.” Opu Imam berhasil bernahi mungkar single handed dengan tangan (biyadihi-), dengan terlebih dahulu “menegakkan” wibawa.
Kasus ketiga: Pada bulan Ramadhan 1421 H setahun yang lalu Lasykar Jundullah dipimpin oleh komandannya sendiri Agus Dwikarna mempergoki sebuah night club di Jalan Rusa melanggar ketentuan jam-operasi. Segera hal itu dilaporkannya ke polisi. Sementara menunggu polisi datang, Lasykar Jundullah membuat pagar betis menjaga agar para pengunjung club itu tetap di tempat. Sebab dikuatirkan club itu nanti telah kosong baru polisi datang, Agus yang akan kena getahnya, dapat saja dituduh membuat sensasi alias laporan palsu. Celakanya, polsi relatif datang terlambat ketimbang jama’ah Masjid Nurul Amin selesai melaksanakan shalat tarwih. Remaja masjid yang liwat di depan club itu ikut pula mengerumuni bagunan club itu. Remaja masjid itu kurang sabaran, tidak seperti Lasykar Jundullah yang punya disiplin, sabar menunggu polisi. Maka terjadilah perusakan oleh para remaja masjid itu melaksanakan nahi mungkar. Nahi mungkar berhasil dilaksanakan, tetapi dengan embel-embel Agus beberapa kali ke kantor polisi untuk “dimintai keterangan”.
***
Firman Allah SWT: WLTKN MNKM UMT YD’AWN ALY ALKHYR WYaMRWN BALM’ARWF WYNHWN ‘AN ALMNKR WAWLaK HM MFLHWN (S. AL ‘AMRAN 104), dibaca: Waltakum mingkum ‘ummatun yad’u-na ilal lhayri waya”muru-na bil ma’ru-fi wayanhawna ‘anil mungkari waula-ika humul muflihu-n (s. ali ‘imra-n), artinya: Mestilah ada di antara kamu ummat yang mengajak kepada nilai-nilai kebajikan, menyuruh berbuat arif dan mencegah kemungkaran, dan mereka itulah orang-orang yang menang (3:104).
Apabila visi hanya secara parsial ditujukan kepada mengajak kepada nilai-nilai kebajikan, menyuruh berbuat arif, benarlah yang dikemukakan oleh akhi K.H. Drs Nasruddin Razak, ketua DPW Muhammadiyah Sul-Sel bahwa sebenarnya rakyat Sul-Sel telah lama menegakkan Syari’at Islam, seperti pendirian masjid, sikap ramah, berucap salam dalam keseharian serta saling lempar senyum. Cuma saja, sekali lagi hanya saja, bagaimana dengan nahi mungkar? Sekarang sudah hampir tidak ada yang seperti Opu Tuan Imam Barat Batangmata. Kalaupun ada seperti beliau, niscaya akan bentrok dengan polisi. Bahkan dalam kasus Jundullah, komandannya harus berurusan dengan polisi dimintai keterangan. Berunjuk rasa di jalanan, bawa spanduk, tutup semua tempat-tempat maksiyat yang berlabel night club! Berantas pelacuran! Berantas KKN ! Apa itu efektif? Sama sekali tidak!
Industri pelacuran itu berstruktur dalam sistem jaringan. Tidak dapat dihadapi secara single handed seperi cara bernahi mungkar Opu Imam. Organisasi da’wah, seperti MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll. tidak bisa bernahi mungkar bilyad, sebab nanti bentrok dengan polisi. Lebih-lebih lagi hukum positif kita tidak mendukung untuk memberantas pelacuran.
KUHP, yang berasal dari Wetboek van Strafrecht-nya kolonial Belanda, tidak melarang perzinaan. Yang dilarang hanyalah bermukah (overspel = keliwat main). Yang disebut bermukah (assangkili’) adalah hubungan seksual antara suami seseorang atau dengan isteri seseorang. Bermukahpun hanya dilarang berayarat oleh pasal 284 KUHP, yaitu hanya delik aduan. Pranata hukum dalam hal ini polisi tidak berdaya apa-apa jika suami atau isteri yang bermukah tidak keberatan, walaupun masyarakat sekelilingnya (meskipun gabungan MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll) sangat keberatan. Undang-undang kita tidak melarang free sex jika yang berzina itu gadis dengan bujang atas dasar suka sama suka. Kalau sang gadis jadi hamil, lalu gadis atau walinya melapor kepada polisi, maka polisi tidak dapat berbuat apa-apa. Pelacuran tidak dilarang oleh KUHP, karena pelacuran itu adalah free sex suka sama suka antara pelacur dengan hidung belang. Sehabis polisi merazia pelacur, paling-paling diberi nasihat kemudian dilepaskan lagi. KUHP tidak melindungi gadis-gadis dimangsa hidung belang !!! Ini merupakan koreksi bagi Mang Jalal yang mengatakan undang-undang dan berbagai peraturan yang kita anut sekarang sudah sesuai dengan Syari’at Islam. Tolong Mang Jalal bertanya hukum kepada ahli hukum barang sedikit. Sebab malu bertanya sesat di jalan.
Nahi mungkar hanya effektif, jika ketiga kaki tempat hukum bertumpu, tegak dengan sinkron. Ketiga kaki itu adalah masyarakat yang sadar hukum, rancangan hukum yang disebut peraturan perundang-undangan dan pranata hukum (polisi, jaksa, hakim). Dalam kenyataan ketiga kaki itu tidak sinkron misalnya seperti contoh pelacuran tersebut di atas. Nilai-nilai Al Furqan yang ditanamkan dalam masyarakat oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM dll, mengutuk pelacuran, namun KUHP tidak mendukung, sehingga pranata hukum lumpuh tidak dapat bertindak.
Alhasil demi efektifnya nahi mungkar, Syari’at Islam perlu ditegakkan dalam menegara. Maka akan sinkronlah ketiga kaki itu. Masyarakat yang sadar akan nilai-nilai Al Furqan yang selalu tak henti-hentinya ditanamkan oleh MUI, Muhammadiyah, NU, IMMIM, dll, harus sinkron dengan peraturan perundang-undangan yang ditimba dari Syari’at Islam dan juga sinkron dengan pranata hukum pelaksana nahi mungkar (polisi, jaksa, hakim) yang bermafia, dibersihkan melalui sanksi yang keras sesuai dengan Syari’at Islam. WaLlahu a’lamu bishshawab.
*** Makassar, 3 Februari 2002