Timbunan sampah kian menggunung, emisi gas-gas beracun ke udara dari pabrik-pabrik kian mengganas, cairan pestisida beracun disemprotkan, serta berbagai jenis cairan limbah industri mengalir ke sungai-sungai akhirnya ke laut lepas. Demikianlah situasi global dewasa ini. Selain emisi gas-gas beracun yang dikeluarkan oleh pabrik-pabrik ada pula gas-gas yang sebenarnya tidak beracun tetapi berbahaya, yaitu yang disebut dengan gas-gas rumah kaca (green house gases, mengapa tidak diterjemahkan dengan gas-gas rumah hijau?), utamanya gas CO2. Disebutkan demikian oleh karena gas-gas tersebut menjadi penyebab efek rumah kaca.
Apa itu efek rumah kaca? Sebenarnya hal itu telah dijelaskan panjang lebar dalam seri 003, 3 November 1991, dalam rangka pembahasan tentang isyarat Allah SWT tentang timbulnya globalisasi pencemaran thermal dalam ayat: Faidza- Antum Minhu Tuwqiduwna (S. Yasin, 80), dan dengan itu kamu membakar (36:80). Untuk menyegarkan ingatan, maka akan diulangi penjelasan tentang efek rumah kaca itu secara singkat.
Di dalam rumah kaca ditanam sayur-sayuran ataupun buah-buahan yang menghendaki suhu yang lebih tinggi dari udara luar. Fungsi rumah kaca sesungguhnya adalah perangkap panas. Kaca adalah zat bening, tembus cahaya. Radiasi matahari gampang menerobos masuk memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Akibatnya suhu udara naik dalam rumah kaca, udarapun bertambah panas. Kaca adalah pengantar panas yang jelek, sehingga panas yang timbul itu tidak gampang keluar menerobos atap maupun dinding kaca. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Inilah efek rumah kaca. Dengan tingginya kadar CO2 yang dimuntahkan oleh pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor, maka permukaan bumi merupakan rumah kaca dalam skala global. Ruang antara lapisan CO2 dengan permukaan bumi tak ubahnya ibarat ruang dalam rumah kaca, menjadi perangkap panas, oleh karena sifat gas CO2 sama dengan kaca, gampang ditembus cahaya, tetapi sukar ditembus panas. Maka terjadilah pemanasan global atau pencemaran thermal (panas), yang mengakibatkan es pada kedua kutub mencair, permukaan laut secara perlahan tetapi pasti, insya Allah, akan naik terus.
Menurut Menteri Negara Lingkungan Hidup Sarwono Kusumaatmaja diperkirakan sekitar 110 juta penduduk Indonesia harus dipindahkan akibat kenaikan air laut sebagai dampak pemanasan global. Areal-areal pertanian dan persawahan di dataran rendah diperkirakan akan digenangi air laut. Dalam sambutannya pada Loka Karya Regional Activities Implemented Jointly di Jakarta, Selasa, 25 Juni 1996 Sarwono mengemukakan bahwa menurut catatan dalam beberapa dasawarsa terakhir telah terjadi kenaikan suhu permukaan bumi secara rata-rata (0.3 - 0.6)oC serta kenaikan permukaan air laut sekitar (1 - 2) mm per tahun, yang diakibatkan oleh emisi gas-gas rumah kaca ke atmosfer bumi oleh ulah manusia membakar bahan bakar fosil (minyak, gas bumi dan batu-bara). Sarwono mengemukakan lebih lanjut dari kajian ilmiyah diperkirakan suhu permukaan bumi akan bertambah (2.5 - 4.5)o pada tahun 2100.
Emisi gas-gas beracun ke udara, serta berbagai jenis cairan limbah industri dari pabrik-pabrik dicoba dikurangi dengan metode pendekatan yang disebut ecolabelling. Label ini adalah sejenis sertifikat yang menerangkan kepada para konsumen bahwa produk yang berlabel itu diproses dengan teknologi yang akrab dengan lingkungan. Menurut Menteri Sarwono dalam Harian Jakarta Post, 2 Agusutus 1994, industri Indonesia harus sanggup mengikuti standar produksi internasional dengan teknologi yang akrab lingkungan, khususnya di sektor tekstil dan kulit. Karena tanpa produksi yang diberi sertifikat dengan ecolabelling itu, industri Indonesia tidak akan dapat bersaing dengan produsen negara lainnya untuk pemasaran di negeri-negeri yang telah sadar lingkungan. Secara jangka panjang penerapan ecolabelling itu di Indonesia akan sanggup memperkuat posisi ekspor non-migas Indonesia.
Namun ecolabelling ini tidak mungkin diterapkan untuk semua sektor produksi. Industri daya (power industries) yang produksinya berupa daya listrik ecolabelling tentulah tidak mungkin. Industri daya sebahagian besar mempergunakan mesin-mesin kalor, yaitu mesin-mesin yang mengkoversi energi panas menjadi energi mekanis yang selanjutnya dengan alat penggerak utama orde kedua dikonversi lagi menjadi energi listrik. Energi panas didapatkan dari pembakaran bahan bakar utamanya bahan bakar fosil. Dapat pula energi panas diperoleh dari pemecahan inti atom. Yang terakhir ini menimbulkan masalah pula dalam hal pembuangan sampah radio-aktif (pencemaran radiasi).
Pembakaran bahan bakar fosil menghasilkan gas rumah kaca CO2, gas penyebab efek rumah kaca. Yang menaikkan suhu global. Yang mencairkan es di kedua kutub. Yang mengakibatkan banjir global. Yang menurut Menteri Sarwono sekitar sejumlah 110 juta penduduk Indonesia harus dipindahkan.
Bagaimana kalau dalam industri daya penggunaan mesin-mesin kalor disubstitusi dengan sumber energi dari radiasi matahari dan anaknya (energi angin, energi panas laut dan arus laut) serta cucu energi matahari, anak energi angin, yaitu energi ombak, berikut dengan anergi panas bumi dan energi bulan (pasang-surut)? Kerakusan ummat manusia dalam mengkonsumsi energi tidaklah memungkinkan energi alternatif yang diperinci tadi itu untuk dapat mensubstitusi energi hasil pembakaran bahan bakar fosil. Energi matahari beserta anak cucunya, energi panas bumi dan energi bulan hanya dapat menjadi penunjang dalam hal kebutuhan ummat manusia sebagai konsumen energi.
Walhasil kuncinya terletak dalam perubahan sikap secara global. Kalau masih dapat dikerjakan dengan otot tidaklah perlu mengandalkan produk industri daya. Kiranya tiba saatnya kini puasa itu ditingkatkan efektifitasnya dari pembinaan mental secara individual menjadi pembinaan mental komunitas, agar ummat manusia dapat mengendalikan diri untuk tidak mengkonsumsi lagi produk industri daya secara Tubadzdzir Tabdziyran, boros berlebih-lebihan. Perubahan sikap yang ditawarkan ini sebenarnya telah dikemukakan pula dalam seri 214, 4 Februari 1996, dengan judul Aktualisasi Al Quran dalam Mengontrol Nilai Budaya. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 30 Juni 1996
30 Juni 1996
[+/-] |
231. Teknologi yang Akrab dengan Lingkungan, dan Perubahan Sikap Mengkonsumsi Produk Industri Daya |
23 Juni 1996
[+/-] |
230. Dialog Nabi Musa AS Dengan Ummatnya Tentang Al Baqarah |
Dalam Seri 022 yang berjudul Urbanisasi dan Penyakit di Kota Metropolitan, tgl 15 Maret 1992, dikemukakan dialog antara Nabi Musa AS dengan ummatnya Bani Israil, tatkala dalam pengembaraan mereka di gurun pasir selama 40 tahun. Disimak dari dialog itu (2:61) tentang kecenderungan orang desa berurbanisasi, pergi ke kota (habatha mishran, go down town). Mereka itu mempunyai dorongan keinginan akan kehidupan yang lebih baik, makanan yang bermacam-macam, fasilitas yang lebih menyenangkan di kota. Nabi Musa AS memperingatakan mengapa kehidupan yang baik di gurun (baca di desa) akan diganti dengan kehidupan yang tidak baik di kota.
Al Baqarah adalah nama sebuah Surah dalam Al Quran. Kata Al Baqarah diambil dari sebuah dialog antara Nabi Musa AS dengan ummatnya tentang perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih al baqarah (lembu). Kalau tadi dialog itu terjadi di
padang pasir, maka dialog yang diangkat dalam seri ini terjadi di kota.
Seperti diketahui Nabi Musa AS hidup sezaman dengan dua orang Firaun (gelar penguasa Mesir waktu itu), yaitu Firaun Ra Moseh II (Ramses) dari dinasti ke-19 (1292 - 1225) sebelum Miladiyah dan Firaun Merne Ptah (1225 - 1221) sebelum Miladiyah, anak Firaun Ra Moseh II. Musa bersaudara angkat dengan Merne Ptah yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah beserta dengan bala tenteranya yang mengejar rombongan Bani Israil yang hijrah dari Mesir di bawah pimpinan Nabi Musa AS. Mengapa Merne Ptah bersaudara angkat dengan Musa, oleh karena permaisuri Firaun memungut Musa yang masih bayi dari pinggir S. Nil. Ibu Musa mendapat wahyu dari Allah SWT untuk menghanyutkan anaknya yang masih bayi. Dengan demikian Musa yang masih bayi itu luput dari pembunuhan, karena waktu itu Firaun menitahkan membunuh semua bayi laki-laki Habiru (maksudnya Bani Israil) yang baru lahir. Yudzabbihuwna Abna-akum waYastahyuwna Nisa-akum (S. Al Baqarah, 49). Mereka menyembelih anak-anak laki-lakimu dan mereka membiarkan hidup anak-anak perempuanmu (2:49).
Akhirnya Musa mengetahui bahwa ia bukanlah anak istana melainkan dari keturunan Israil. Musa melarikan diri dari Mesir setelah membunuh seorang Mesir yang menyiksa seorang Bani Israil. Walaupun Musa belumlah diangkat menjadi Nabi, akan tetapi Allah menuntunnya dengan memberikan ilham kepada Musa ke mana ia mesti pergi. Musa pergi ke Sinai dan akhirnya menjadi menantu Nabi Syu'aib AS, keturunan dari Midyan, anak Nabi Ibrahim AS dari isteri yang ketiga Sitti Katurah. Setelah Musa diangkat menjadi Rasul oleh Allah SWT, Nabi Musa AS bersama dengan saudaranya Nabi Harum AS diutus oleh Allah SWT kepada Firaun Merne Ptah. Tugas utamanya ialah membawa seluruh ummat Bani Israil yang tertindas itu hijrah dari Mesir. Sementara dalam proses persiapan hijrah itu terjadilah dialog seperti berikut.
Waidzqa-la Muwsay liQawmihi inna Llaha Ya'murukum an Tadzbahuw Baqaratan (S. Al Baqarah, 67), ingatlah tatkala Musa berkata kepada kaumnya sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyembelih baqarah (2:68).
Perintah Allah SWT kepada Bani Israil untuk menyembelih al baqarah itu sesungguhnya adalah dalam rangka persiapan mental, membersihkan aqidah ummat Nabi Musa AS itu dari khurafat dan kemusyrikan yang merasuk ke dalam komunitas Bani Israil, yang berasal dari pengaruh penguasa meraka yaitu orang Mesir yang memandang suci binatang al baqarah.
Mereka tidak dengan segera mengambil seekor baqarah lalu terus menyembelihnya, melainkan mempersulit diri dengan mengemukakan pertanyaan yang sebenarnya tidak perlu.
Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Hiya (S. Al Baqarah, 68), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (ciri-ciri) baqarah itu (2:68). Maka dalam ayat yang sama Nabi Musa AS menjelaskan ciri-ciri sapi itu. Innahu Yaquwlu Innaha- Baqaratun La- Fa-ridhun wa La- Bikrun 'Awa-nun Bayna Dzalika, sesungguhnya (Allah) berkata: bahwa baqarah itu tidak tua dan tidak muda, pertengahan di antara keduanya.
Mereka masih belum puas, masih ingin mendapatkan penjelasan yang lebih tuntas.
Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Lawnuha- (S. Al Baqarah, 69), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa warnanya (2:69), maka dijelaskan kepada mereka itu pula dalam ayat yang sama: Innahu Yaquwlu Innah-Baqaratun Shafra-u Fa-qiun Lawnuha- Tasurru nNa-zhiriyna, sesungguhnya (Allah) berkata bahwa baqarah itu kuning tua warnanya, menggirangkan hati orang yang melihatnya.
Mereka masih belum puas juga mereka ingin mempersulit diri lebih lanjut:
Qa-luw D'ulana- Rabbaka Yubayyin Lana- Ma- Hiya Inna lBaqarah Tasya-baha 'Alayna- (s. Al Baqarah, 70), mereka berkata: tanyakanlah kepada Tuhanmu untuk menjelaskan apa (lagi ciri-ciri) baqarah itu, sesungguhnya al baqarah itu masih belum jelas bagi kami.
Maka kepada mereka itu dijelaskan oleh Nabi Musa AS lebih lanjut ciri-ciri baqarah itu, sehingga hampir-hampir mereka tidak
dapat memperoleh baqarah dengan tambahan ciri-ciri yang mereka minta itu:
Innhu Yaquwlu Innaha- Baqaratun La- Dzaluwlun Tutsiyru lArdha waLa- Tasqiy lHartsa Musallamatan La- Syiyata fiyha- (S. Al Baqarah, 71), sesungguhyna (Allah) berkata: sesungguhnya baqarah itu bukan yang telah patuh membajak bumi, dan bukan pula menyirami ladang, selamat (belum pernah membawa beban), tidak belang warnanya sedikitpun (2:71).
Dari dialog itu dapat dipetik pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan ini, baik dalam kehidupan orang seorang, maupun dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sikap cerewet, banyak cincong, berlebihan tingkah, terjun menelusuri suatu urusan yang sesungguhnya tidak perlu, akan menimbulkan kesulitan terhadap diri sendiri. Sebaliknya sikap membiarkan suatu urusan tanpa banyak cincong tidak akan menimbulkan ekses, sehingga lebih mempermudah kehidupan diri sendiri, kehidupan bermasyarkat dan bernegara. Sikap yang demikian itu akan menghasilkan kinerja yang tinggi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 23 Juni 1996
16 Juni 1996
[+/-] |
229. Menegakkan Disiplin Nasional |
Dalam sebuah peristiwa tatkala Khalifah Umar ibn alKhattab RA (581-644) khalifah kedua (634-644) baru mulai berbicara di atas mimbar, salah seorang sahabat mengintorupsi menyatakan keberatannya.
"Hai Umar, saya tidak akan mau mendengarkan sebelum engkau menjelaskan tentang pakaian yang engkau pakai!"
Mendengarkan itu Khalifah Umar RA tersenyum. Maklumlah beliau akan keberatan sahabat itu. Belum lama sebelumnya berlangsung pembagian kain. Kain pembagian itu tidak cukup untuk dijadikan jubah panjang oleh Khalifah Umar RA, karena badan beliau tinggi besar. Khalifah Umar RA memberi isyarat kepada Abdullah untuk menjawab keberatan sahabat itu.
"Ayah saya dapat membuat jubah panjang dari kain pembagian itu, karena saya memberikan jatah saya kepada beliau", ujar Abdullah.
Pengalaman dialog itu mengilhami Khalifah Umar RA untuk mengeluarkan peraturan Annay Laka Hadza-, dari mana kau dapatkan ini, yang diambil dari ayat Annay Laki Hadza- (S. Ali 'Imra-n, 37). Peraturan ini untuk mencegah pejabat agar tidak menyelewengkan sebagian uang negara ke dalam koceknya (istilah sekarang: korupsi). Peraturan Annay Laka Hadza- ini adalah kebalikan dari praduga tak bersalah. Dalam hal menyangkut keuangan maka bukanlah pengadilan yang harus membuktikan penyelewengan seorang pejabat, melainkan pejabat yang bersangkutanlah yang harus membuktikan kebersihan dirinya. Inilah yang disebut dengan pembuktian terbalik.
(Kedua asas yang bertentangan itu telah diangkat dalam Seri 120 tertanggal 20 Maret 1994. Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dalam kasus pencurian kelas kakap betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku menganut asas Annay Laka Hadza- dalam kasus pencurian, sedangkan Wieling menganut asas praduga tak bersalah. Wieling adalah Wakil Gubernur Ambon yang ditempatkan di Ternate. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun. Nuku diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Kepala Negara dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1995. Dan pada 11 Juni 1996 di pelabuhan Goto Soasio di P. Tidore, Panglima ABRI mengukuhkan nama Nuku pada kapal perang jenis Korvet KRI Nuku dengan nomor lambung 373).
Suatu waktu isteri Khalifah Umar RA menerima hadiah yang mahal-mahal dari permaisuri Heraclius Kaisar Romawi Timur.
Khalifah Umar RA bertanya kepada isterinya, "Gerangan apakah yang menyebabkan engkau memperoleh hadiah yang mahal-mahal itu dari permaisuri Raja Hiraqla?"
Ibu Negara menjawab, "Pada waktu utusan kita akan pergi kepada Raja Rum itu saya titipkan hadiah minyak wangi untuk permaisuri raja".
"Hai isteriku", kata Khalifah Umar RA pula, "engkau mendapatkan hadiah yang mahal itu dari permaisuri karena engkau isteri Khalifah, bukan karena engkau pribadi. Masukkan hadiah-hadiah itu ke baytulmal (kas negara) dan ambillah dari baytulmal
sejumlah dinar untuk harga minyak wangimu".
Khalifah Umar RA lebih senang mendapatkan data primer dari keadaan rakyatnya ketimbang menerima laporan dari bawahannya. Beliau senang menyamar seperti rakyat biasa, turun ke bawah (turba). Sasaran utamanya ialah daerah pinggiran. Pada suatu malam Khalifah Umar RA di suatu daerah pinggiran Madinah sempat mendengar dialog antara seorang anak gadis dengan ibunya dari dalam sebuah gubuk.
"Hai ibu, mengapa engkau mencampur susu yang akan dijual itu dengan air? Bukankah itu melanggar aturan yang dikeluarkan Khalifah?"
"Dengan mencampurkan air ke dalam susu ini, kita akan memperoleh harga yang lebih dari semestinya, bukankah itu menguntungkan? Perihal melanggar aturan Kahlifah, mana mungkin Umar tahu tentang pencampuran susu ini dengan air!" Demikian jawaban sang ibu yang dilandasi oleh pertimbangan bisnis.
"Hai ibu, boleh jadi Khalifah tidak tahu, akan tetapi Pencipta Khalifah Maha Tahu".
Pada malam itu juga Khalifah Umar membangunkan Abdullah.
"Hai anakku, aku telah mendapatkan calon isteri yang baik bagimu".
"Siapakah orangnya, hai ayahku?"
"Seorang gadis yang miskin, tetapi mulia akhlaqnya. Dan pada malam itu juga Khalifah Umar RA membawa anaknya memperlihatkan gubuk di daerah pinggiran itu".
Bayangkan seorang anak kepala negara akan dikawinkan dengan gadis miskin dari daerah pinggiran. Namun Abdullah menerima saran ayahnya dengan segala senang hati. Perkawinan Abdullah dengan gadis itu menurunkan seorang cucu yang juga terkenal dalam sejarah, yaitu Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz.
Pada suatu malam isteri Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz masuk ke dalam kamar kerja Khalifah, karena ada urusan yang penting yang perlu dibicarakan dengan suaminya. Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz bertanya.
"Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara, atau keperluan keluarga, hai isteriku?"
"Untuk keperluan keluarga, hai suamiku. Maka Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz memadamkan lampu yang sedang menyala, kemudian beliau menyalakan lampu yang lain".
"Lampu yang menyala tadi mempergunakan minyak dari anggaran negara, sedangkan lampu yang baru kunyalakan ini mempergunakan minyak milik pribadi. Kemukakanlah maksudmu, hai isteriku".
Dari kisah nyata di atas itu kita dapat memperoleh nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kita bangsa Indonesia untuk menegakkan Disiplin Nasional, karena Disiplin Nasional itu umumnya melemah disebabkan oleh pengaruh fulus dan keluarga, sikap ketidak-jujuran dan ketidakterbukaan. WaLlahu A'lamu bishShawab.
*** Makassar, 16 Juni 1996
9 Juni 1996
[+/-] |
228. Aktualisasi Musyawarah |
Terkadang kita lihat jalan raya sudah mulus, kemudian digali lagi untuk pemasangan kabel telkom. Sudah itu galian ditutup kembali tetapi bekas galian meninggalkan cacat di jalan. Datang pula PAM menggali alur untuk pipa air, yang menimbulkan cacat pula setelah ditimbuni. Jalan digali pula kembali untuk pemasangan kabel listrik bawah tanah, jalan bercacat pula. Penyebabnya adalah egoisme sektoral, masing-masing jawatan vertikal sama-sama bekerja, tetapi tidak bekerjama sama, karena tidak ada koordinasi. Sektor yang gesit mencairkan dana yang paling dulu bekerja, disusul oleh sektor yang kurang gesit mengurus dana dan yang paling belakang menggali jalan adalah yang terlamban mencairkan dana. Padahal dalam nilai instrumental cukup aturan-aturan mengenai tata-kerja. Siapa yang seharusnya menjadi koordinator, bahkan dalam Diklat telah diajarkan pula Network Planning. Aktualisasi musyawarah tidak berjalan mulus dalam kontex nilai praxis.
Aktualisasi musyawarah dalam kontex komunikasi sosial yang bersifat dialogis juga dalam kenyataannya tidak berjalan mulus. Ketua MPR/DPR Wahono berpendapat bahwa saluran dialogis yang tersumbat pada tahap kesadaran dan pengetahuan politik rakyat yang sudah meningkat, terutama tidak efektifnya forum-forum antar muka eksekutif dan legislatif sebagai pembawa aspirasi rakyat di tingkat pusat dan daerah, akan mendorong ke arah stagnant (buntu-pen) yang penuh risiko timbulnya gejolak-gejolak sosial. Wahono menegaskan bahwa gejolak-gejolak sosial itu hendaknya mendapatkan forum atau saluran dialog yang terbuka, tertib dan berbudaya. Gejolak-gejolak sosial yang semakin marak belakangan ini menurut Ketua MPR/DPR itu tak dapat diselesaikan dengan tindakan represif judisial semata, dan juga tidak efektif dengan himbauan dan kecaman-kecaman saja. Ia menambahkan pula bahwa tidak ada manfaatnya mencoba mengarahkan kehendak politik warga dengan informasi-informasi yang tidak sebenarnya. Ia mengingatkan tentang ketidak-terbukaan informasi perihal rendahnya integritas sementara pimpinan yang tidak layak diterapkan terhadap seluruh lapisan mayarakat.
Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia bangsa Indonesia telah berupaya mengaktualisasikan musyawarah itu dalam kehidupan bernegara. Bangsa Indonesia menetapkan musyawarah itu di dalam ke empat Pembukaan UUD-1945. Musyawarah melibatkan sejumlah orang bertukar pikiran yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, mengolah informasi-informasi yang berjenis-jenis, mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang terkait untuk dapat
menghasilkan keputusan-keputusan yang optimal.
Terkadang aktualisasi musyawarah dalam konteks nilai praxis itu bukanlah bertukar pikiran, melainkan berwujud tuntunan dari atas (tuntas). Yakni pemikiran orang seorang atau segelintir oranglah yang disodorkan untuk harus diterima oleh perserta musyawarah. Penyebabnya mungkin karena pimpinan musyawarah suka tergesa-gesa, atau mungkin pula pimpinan musyawarah bersikap otoriter. Jika ini yang terjadi maka keputusan yang diambil itu sifatnya tidaklah komunikatif, sehingga harus disosialisasikan kepada masyarakat. Keputusan itu barulah komunikatif dan tidak perlu disosialisasikan, apabila musyawarah itu berjalan seperti yang disebutkan di atas: Melibatkan sejumlah orang bertukar pikiran yang mempertemukan kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda, mengolah informasi yang berjenis-jenis, mengkoordinasikan kelompok-kelompok yang terkait. Contoh-contohnya ada. Undang-undang Peradilan Agama tanpa sosialisasi tidak menimbulkan gejolak. Sebaliknya undang-undang lalu-lintas yang terkesan diputuskan tergesa-gesa, membutuhkan waktu satu tahun sosialisasi, karena ada gejolak.
Tentu saja pimpinan musyawarah dapat saja menyodorkan pendapat untuk memancing pikiran-pikiran kreatif dari peserta musyawarah. Seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam proses musyawarah dengan penduduk Madinah. RasuluLlah sebagai Kepala Negara dan Panglima Perang mengumpulkan penduduk Madinah yang terdiri atas tiga golongan (Islam, penganut kepercayaan jahiliyah dan Yahudi) untuk bermusyawarah, karena Madinah akan diserbu pasukan kafir Quraisy dari Makkah. RasuluLlah SAW mengaktualisasikan musyawarah itu dalam bidang pertahanan negara dengan melibatkan pula penduduk sipil dari segala golongan. Dalam musyawarah itu Rasulullah SAW mengeluarkan gagasan bagaimana kalau bertahan dalam kota saja. Sesudah Rasulullah mengemukakan tawaran itu, beliau memberi kesempatan kepada penduduk Madinah untuk lobying antara satu dengan yang lain. Hasilnya ialah pada umumnya penduduk Madinah tidak sependapat dengan gagasan Rasulullah. Tentu saja Rasulullah SAW sangat tahu bahwa bertahan di Madinah adalah tidak taktis. Ini disengaja untuk memancing kreativitas berpikir penduduk Madinah. Mereka terlibat dalam proses bertukar pikiran untuk mendapatkan keputusan yang mereka rasakan bahwa keputusan itu adalah dari gagasan mereka sendiri, yaitu pasukan Quraisy dari Makkah harus dihadang di luar kota dengan posisi bukit Uhud sebagai benteng alam yang melindungi pasukan Madinah dari belakang.
Musyawarah adalah bahasa Al Quran, terdapat dalam dua ayat:
WaSya-wirhum fiy lAmri faIdza- 'Azamta faTawakkal 'alay Llahi (S. Ali 'Imra-n, 159) Dan musyawaralah dengan mereka dalam urusan dan apabila kamu telah mengambil keputusan maka tawakkallah kepada Allah (3:159).
WaAmruhum Syuray Baynahum (S. AsySyuray, 38) Dan urusan mereka dimusyawarakan di antara mereka (42:38).
Ayat yang pertama (3:159) adalah dalam kontex antara yang mengurus dengan yang diurus, antara pemerintah dengan (wakil) rakyat. Ayat yang kedua (42:38) adalah dalam kontex intern kedua belah pihak, yaitu intern kelompok yang mengurus dengan intern kelompok yang diurus, antara intern lembaga pemerintah dengan intern lembaga yang mewakili rakyat. Ayat (3:159) dan (42:38) juga dapat ditafsirkan dalam kontex komunikasi sosial yang bersifat dialogis. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 9 Juni 1996