16 Juni 1996

229. Menegakkan Disiplin Nasional

Dalam sebuah peristiwa tatkala Khalifah Umar ibn alKhattab RA (581-644) khalifah kedua (634-644) baru mulai berbicara di atas mimbar, salah seorang sahabat mengintorupsi menyatakan keberatannya.

"Hai Umar, saya tidak akan mau mendengarkan sebelum engkau menjelaskan tentang pakaian yang engkau pakai!"

Mendengarkan itu Khalifah Umar RA tersenyum. Maklumlah beliau akan keberatan sahabat itu. Belum lama sebelumnya berlangsung pembagian kain. Kain pembagian itu tidak cukup untuk dijadikan jubah panjang oleh Khalifah Umar RA, karena badan beliau tinggi besar. Khalifah Umar RA memberi isyarat kepada Abdullah untuk menjawab keberatan sahabat itu.

"Ayah saya dapat membuat jubah panjang dari kain pembagian itu, karena saya memberikan jatah saya kepada beliau", ujar Abdullah.

Pengalaman dialog itu mengilhami Khalifah Umar RA untuk mengeluarkan peraturan Annay Laka Hadza-, dari mana kau dapatkan ini, yang diambil dari ayat Annay Laki Hadza- (S. Ali 'Imra-n, 37). Peraturan ini untuk mencegah pejabat agar tidak menyelewengkan sebagian uang negara ke dalam koceknya (istilah sekarang: korupsi). Peraturan Annay Laka Hadza- ini adalah kebalikan dari praduga tak bersalah. Dalam hal menyangkut keuangan maka bukanlah pengadilan yang harus membuktikan penyelewengan seorang pejabat, melainkan pejabat yang bersangkutanlah yang harus membuktikan kebersihan dirinya. Inilah yang disebut dengan pembuktian terbalik.

(Kedua asas yang bertentangan itu telah diangkat dalam Seri 120 tertanggal 20 Maret 1994. Perselisihan antara Nuku dengan Wieling perihal asas tersangka harus membuktikan dirinya bersih bertentangan dengan asas praduga tak bersalah dalam kasus pencurian kelas kakap betul-betul pernah terjadi dalam sejarah yang merobek gencetan senjata menjadi perang yang tidak dimaklumkan pada tahun 1805. Nuku menganut asas Annay Laka Hadza- dalam kasus pencurian, sedangkan Wieling menganut asas praduga tak bersalah. Wieling adalah Wakil Gubernur Ambon yang ditempatkan di Ternate. Nuku adalah Sultan Tidore yang membebaskan kerajaannya dari bagian-bagian wilayah tiga gubernuran Kompeni Belanda (de drie Oostersche Provintien van Gouvernementen): Ternate, Ambon dan Banda. Nama lengkapnya Nuku Sulthan Said alJihad Muhammad alMabus Amiruddin Syah Kaicil Paparangan Gelar Tuan Barakat Sultan Tidore, Papua dan Seram. Ia membebaskan (1780-1797) dan mempertahankan (1797-1805) wilayah kerajaannya dengan jalan peperangan yang sengit diselingi dengan diplomasi yang handal dan dengan siasat mengadu domba ketiga gubernur itu selama 25 tahun. Nuku diangkat menjadi Pahlawan Nasional oleh Kepala Negara dalam rangka memperingati Hari Pahlawan 10 November 1995. Dan pada 11 Juni 1996 di pelabuhan Goto Soasio di P. Tidore, Panglima ABRI mengukuhkan nama Nuku pada kapal perang jenis Korvet KRI Nuku dengan nomor lambung 373).

Suatu waktu isteri Khalifah Umar RA menerima hadiah yang mahal-mahal dari permaisuri Heraclius Kaisar Romawi Timur.

Khalifah Umar RA bertanya kepada isterinya, "Gerangan apakah yang menyebabkan engkau memperoleh hadiah yang mahal-mahal itu dari permaisuri Raja Hiraqla?"

Ibu Negara menjawab, "Pada waktu utusan kita akan pergi kepada Raja Rum itu saya titipkan hadiah minyak wangi untuk permaisuri raja".

"Hai isteriku", kata Khalifah Umar RA pula, "engkau mendapatkan hadiah yang mahal itu dari permaisuri karena engkau isteri Khalifah, bukan karena engkau pribadi. Masukkan hadiah-hadiah itu ke baytulmal (kas negara) dan ambillah dari baytulmal
sejumlah dinar untuk harga minyak wangimu".

Khalifah Umar RA lebih senang mendapatkan data primer dari keadaan rakyatnya ketimbang menerima laporan dari bawahannya. Beliau senang menyamar seperti rakyat biasa, turun ke bawah (turba). Sasaran utamanya ialah daerah pinggiran. Pada suatu malam Khalifah Umar RA di suatu daerah pinggiran Madinah sempat mendengar dialog antara seorang anak gadis dengan ibunya dari dalam sebuah gubuk.

"Hai ibu, mengapa engkau mencampur susu yang akan dijual itu dengan air? Bukankah itu melanggar aturan yang dikeluarkan Khalifah?"

"Dengan mencampurkan air ke dalam susu ini, kita akan memperoleh harga yang lebih dari semestinya, bukankah itu menguntungkan? Perihal melanggar aturan Kahlifah, mana mungkin Umar tahu tentang pencampuran susu ini dengan air!" Demikian jawaban sang ibu yang dilandasi oleh pertimbangan bisnis.

"Hai ibu, boleh jadi Khalifah tidak tahu, akan tetapi Pencipta Khalifah Maha Tahu".

Pada malam itu juga Khalifah Umar membangunkan Abdullah.
"Hai anakku, aku telah mendapatkan calon isteri yang baik bagimu".
"Siapakah orangnya, hai ayahku?"
"Seorang gadis yang miskin, tetapi mulia akhlaqnya. Dan pada malam itu juga Khalifah Umar RA membawa anaknya memperlihatkan gubuk di daerah pinggiran itu".

Bayangkan seorang anak kepala negara akan dikawinkan dengan gadis miskin dari daerah pinggiran. Namun Abdullah menerima saran ayahnya dengan segala senang hati. Perkawinan Abdullah dengan gadis itu menurunkan seorang cucu yang juga terkenal dalam sejarah, yaitu Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz.

Pada suatu malam isteri Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz masuk ke dalam kamar kerja Khalifah, karena ada urusan yang penting yang perlu dibicarakan dengan suaminya. Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz bertanya.
"Apakah kedatanganmu ini untuk keperluan negara, atau keperluan keluarga, hai isteriku?"
"Untuk keperluan keluarga, hai suamiku. Maka Khalifah Umar ibn Abdul'Aziz memadamkan lampu yang sedang menyala, kemudian beliau menyalakan lampu yang lain".
"Lampu yang menyala tadi mempergunakan minyak dari anggaran negara, sedangkan lampu yang baru kunyalakan ini mempergunakan minyak milik pribadi. Kemukakanlah maksudmu, hai isteriku".

Dari kisah nyata di atas itu kita dapat memperoleh nilai-nilai yang sangat bermanfaat bagi kita bangsa Indonesia untuk menegakkan Disiplin Nasional, karena Disiplin Nasional itu umumnya melemah disebabkan oleh pengaruh fulus dan keluarga, sikap ketidak-jujuran dan ketidakterbukaan. WaLlahu A'lamu bishShawab.

*** Makassar, 16 Juni 1996