Perang Uhud, pertempuran untuk mencegat pasukan kafir Quraisy yang bermaksud menyerang Madinah, adalah perang yang paling sengit di zaman RasuluLlah SAW. Hamzah, pamanda RasuluLlah SAW syahid dan RasuluLlah SAW luka dalam perang itu. Dalam perjalanan pulang ke Madinah ketika pasukan Islam sementara diistirahatkan, RasuluLlah SAW bersabda: "Kita baru saja melakukan Jihaadu lAshghar dan akan kita menghadapi lagi Jihaadu lAkbar". Dengan nada heran seorang sahabat bertanya: "Ya RasulaLlah, jika tadi di Bukit Uhud itu, pertempuran yang sesengit itu masih termasuk perang yang sangat kecil (ashghar = sangat kecil, bentuk isim tafdhiyl dari shaghiyr = kecil), maka musuh yang bagaimana hebatnya (akbar = sangat besar, dari bentuk kabiyr = besar) yang akan dihadapi nanti?" RasuluLlah SAW menjawab: Yaitu musuh yang senantiasa manusia hadapi, musuh yang ada dalam diri manusia."
Adapun musuh yang senantiasa kita hadapi yang ada dalam diri kita adalah naluri mempertahankan diri dan naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material yang salah kiprah, yang disebut Al Hawa-. Itulah yang senantiasa bergesek dengan kekuatan ruhaniyah yaitu akal yang berdzikir dengan mekanisme qalb (hati nurani) dan berpikir dengan mekanisme otak, yang menjadi jati diri kemanusiaan. Kedua naluri mempertahankan dan meningkatkan itu sebenarnya perlu bagi manusia, namun tidak boleh salah kiprah, tidak boleh liar, harus dikendalikan oleh kekuatan ruhaniyah yaitu akal kita yang menjadi jati diri kemanusiaan itu. Al Hawa itu mendorong manusia untuk mencari makan dan minum serta nafsu sex untuk mempertahankan jenisnya. Ini harus dikendalikan oleh kekuatan ruhaniyah agar kita tidak menjadi rakus, tidak menjadi sex maniak, tidak menjadi pemangsa, yang walaupun sudah kenyang masih mau menerkam. Adapun naluri yang kedua, naluri meningkatkan kwalitas kehidupan material, itulah yang mendorong manusia untuk pertumbuhan ekonomi (economic growth), sebagai bagian dari kebudayaan. Naluri inilah yang mendorong iradah manusia untuk memacu tiga sekawan: modal - industri - teknologi, ibarat roda yang berputar makin lama makin cepat.
Menurut SunnatuLlah tidak ada yang gratis bagi ummat manusia di bumi ini, semua ada harganya. Apa yang dicapai oleh ummat manusia sekarang dalam memenuhi hasrat nalurinya meningkatkan kwalitas kehidupan materialnya, yaitu berpacunya tiga sekawan itu makin lama makin cepat, akan Allah perlihatkan dalam abad ke-21 nanti: Liyuzhiyqahum ba'dha Lladziy 'Amiluw, diperlihatkan kepada mereka sebagian dari yang telah dikerjakannya. (S.Ar Ruwm,41).
Dalam seri 115 telah dikemukakan harga itu yang berjumlah 8 butir, dengan merujuk kepada Jay W. Forrester, Guru Besar Massachusetts Institute of Technology. Pada pokoknya ada dua harga dasar yang dipakai untuk membayar hasrat meningkatkan kwalitas kehidupan material itu, yakni pengurasan sumberdaya alam dan pencemaran. Dalam diskusi subuh yang pesertanya kebanyakan dosen-dosen senior Unhas di Mesjid Ikhtiar Kampus Baraya pada 4 Ramadhan yang baru lalu, yang topiknya oleh panitia diserahkan kepada saya, saya kemukakanlah kedua masalah yang menghadang kebudayaan ummat manusia dalam abad ke-21 nanti. Ada beberapa penyanggah yang tidak sependapat dengan saya, yaitu masih sangat menaruh harapan pada teknologi, bahwa kedua masalah itu dapat dipecahkan oleh teknologi dalam perkembangannya kelak. Sumberdaya alam yang non renewable yang penting-penting akan dapat didaur ulang kembali oleh teknologi, limbah industri semuanya dapat dibersihkan oleh teknologi, dan dengan teknologi canggih akan menghasilkan industri yang bersih (clean industries). Untuk mendaur ulang sumberdaya alam perlu energi, yang diperoleh dari pembakaran minyak dan batubara. Artinya pemecahan masalah sumberdaya alam dengan cara mendaur ulang harus dibayar dengan pencemaran termal dan radio aktif. Pencemaran termal itu diakibatkan gas buang CO2, suhu global menanjak, es di kutub mencair, air laut naik. Pencemaran radiasi dapat mencederai gen manusia oleh mutasi paksa, manusia akan mengalami degradasi biologis. Jelaslah pula takkan pernah ada yang disebut industri bersih, karena setiap industri memerlukan tenaga.
Berikut ini akan diberikan sebuah ilustrasi sumberdaya alam yang renewable, dapat diperbaharui kembali oleh TaqdiruLlah yang disebut daur hidrologis: menguap ke atas, turun kembali dalam wujud hujan, masuk ke dalam tanah menjadi air tanah (ground water) mengalir ke laut melalui sungai di atas tanah dan di dalam tanah. Jangan dikira kebutuhan akan air ini tidak membawa masalah. Naluri mempertahankan diri mencari air karena haus ini sekarang sudah menjadi masalah, akibat naluri ingin meningkatkan kwalitas kehidupan material.
Air untuk minum diperluas wawasannya untuk air minum bagi mesin-mesin pabrik industri. Pemakaian ground water untuk keperluan industri katakanlah di Jakarta misalnya menimbulkan masalah. Karena air tanah disedot maka air laut merembes masuk. Tiang-tiang pancang gedung-gedung bertingkat yang waktu dahulu masih belum dibungkus dengan lapisan yang tahan air laut, karena waktu itu pembangunan belum berwawasan lingkungan, dalam keadaan tidak berdaya terhadap infiltrasi air laut yang bergaram itu. Di Jakarta tidak kurang jumlahnya gedung-gedung bertingkat yang tiang-tiang pancangnya masih telanjang. Gedung-gedung tersebut dalam keadaan rawan menanti nasibnya akan ambruk insya Allah, karena tiang pancangnya dimakan air laut.
Alhasil, upaya untuk menyelamatkan kebudayaan ummat manusia dari kerusakan global, strateginya bukanlah ditujukan pada hasil yang berupa tiga sekawan itu, melainkan pada penyebabnya, yaitu hasrat naluri manusia yang ingin meningkatkan kwalitas kehidupan material yang tak ada puas-puasnya itu. Upaya penyelamatan itu terletak dalam hal kemampuan manusia untuk menahan dorongan Al Hawa- meningkatkan kehidupan material itu. Kemampuan itu hanya dapat diperoleh dengan jalan latihan yang intensif yaitu berpuasa. Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu shShiyaamu Kamaa Kutiba 'ala Llaziyna Min Qablikum La'allakum Tattaquwn (S. Al Baqarah, 2:183), artinya: Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa, seperti telah dowajibkan atas mereka sebelum kamu, supaya kamu bertraqwa. WaLla-hu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 27 Februari 1994
27 Februari 1994
[+/-] |
118. Makna Puasa dalam Kebudayaan Ummat Manusia |
20 Februari 1994
[+/-] |
117. Komputerisasi dalam Bidang Pendidikan, Menyimak Inti Permasalahannya |
Sebenarnya komputerisasi dalam bidang pendidikan telah pernah dibahas dalam kolom ini dalam seri 086 lebih 7 bulan yang lalu, tepatnya 4 Juli 1993, dalam situasi hangatnya, kalau tidak dapat dikatakan demam komputerisasi dalam bidang pendidikan yang digalakkan oleh penanggung jawab pendidikan formal dasar dan menengah di provinsi ini. Yang disorot pada waktu itu adalah tentang komputerisasi dalam kedewasaan bersikap. Untuk menyegarkan ingatan saya angkat sebuah kalimat dalam seri 086 itu: Sudah banyak komentar baik tertulis maupun terlisan dari segi silau atau cemerlangnya komputerisasi di bidang pendidikan ini. Kita akan soroti dari segi kesuramannya, supaya kita dapat berpikir secara dewasa, karena pikir itu pelita hati.
Kini dengan kebijakan penanggung jawab pendidikan formal dasar dan menengah yang baru, yang tidak seiring dengan yang lama, maka mulai lagi hangat dibicarakan oleh para pakar, ada yang setuju, ada yang menolak dan ada pula yang setuju ataupun menolak dengan bersyarat. Kitapun ikut turun rembuk pula dengan memperluas menjadi pendidikan formal dasar, menengah dan tinggi. Yang akan disorot kali ini bukanlah masalah yang temporer. Para guru katanya belum dijamin tentang objektivitasnya, ini adalah masalah temporer. Para guru dapat dibina ditingkatkan kwalitasnya. Masyarakat belum siap menerima teknologi yang katanya canggih ini, ini adalah masalah temporer. Dengan social engineering masyarakat dapat saja digiring pada kesiapan itu. Fasilitas mendapatkan komputer belum merata ke eselon bawah, ini adalah masalah temporer. Suatu waktu insya Allah APBN yang meningkat dapat menyebar luaskan fasilitas memperoleh perangkat itu. Para murid kurang bergairah belajar, ini adalah masalah temporer. Dan lain lain, dan lain lain, yang temporer.
Sorotan ini ditujukan pada masalah inti. Yaitu dengan menyisihkan semua masalah yang temporer itu, akan dapatkah terwujud tujuan yang ingin dicapai pendidikan formal itu dengan jalan komputerisasi dalam evaluasi?
Pendidikan formal itu dicirikan antara lain dengan kurikulum yang isinya menyangkut pengajaran: pengetahuan (kognisi), keterampilan (psikomotor) dan pendidikan: sikap (afeksi). Dalam kurikulum itu ada sejumlah mata-ajaran. Setiap mata-ajaran mempunyai: Tujuan Mata-ajaran (TMA), Tujuan Instruksional Umum (TIU dari GIO, General Instructional Objective) dan Tujuan Instruksional Khusus (TIK, dari SIO, Special Instructional Objective, sekarang disebut Sasaran Belajar). TMA berhubungan dengan kaitan antara mata-ajaran menjadi satu sistem yang relevan dengan program pendidikan tertentu. TIU merupakan pedoman untuk menyusun TIK, yang berisikan luasnya lingkup Pokok Bahasan dan tingkat penguasaan materi. Namun belum berisikan kemampuan akhir yang harus dicapai yang dapat diobservasi untuk diukur dalam rangka evaluasi. Hal ini baru tercantum dalam TIK yang sekaligus merupakan penjabaran TIU.
Komputer digital elektronik yang antara lain dipakai dalam evaluasi di bidang pendidikan bekerja atas dasar mutsanna, binary, karena menurut TaqdiruLlah hanya ada dua keadaan dalam hal aliran elektron, ada aliran dan tidak ada aliran, yang pertama disebut on dan yang akhir disebut off, ya atau tidak. Sehingga jika komputer digital mengambil peranan dalam komputerisasi dalam hal evaluasi, maka bentuk soal haruslah berwujud pilihan ganda (multiple choice). Nah, di sinilah masalah inti itu!
Bagaimana mungkin anak didik dapat dievaluasi kemampuannya dalam hal keterampilan dan sikap, beruhubung karena dengan cara pilihan ganda itu keterampilan dan sikap anak didik tidak mungkin dapat diobservasi. Paling-paling pilihan ganda itu hanya dapat mengobservasi kognisi anak-didik itupun hanya terbatas pada kemampuan yang kurang berarti, yaitu kemampuan memilih. Itupun tidak ada jaminan apakah betul anak-didik memilih bukan hanya sekadar menebak, menghitung kancing baju, atau menurut cara kampung mengikuti suara tokek. Dengan pilihan ganda sebagai alat evaluasi tidak mungkin anak didik dapat diobservasi dalam hal kemampuannya untuk menyusun pikiran yang sistematis dengan kaitan logis seperti menafsirkan, menyimpulkan, merangkum, berdialog, menganalisis dan membuat sintesa. Lebih celaka lagi jika evaluasi akhir sebagai penentu dipaksakan secara pilihan ganda karena ingin komputerisasi. Maka yang menjadi tujuan bukan lagi menurut apa yang di kurikulum, di TMA, di TIU dan TIK. Terjadi pergeseran nilai, teknologi dari alat menjadi tujuan. Dengan teknologi (baca komputerisasi) maka keterampilan dan sikap sama sekali luput dari evaluasi, mutu keterampilan dan akhlak luaran tidak dapat dijamin, hilanglah unsur pendidikan yang tertinggal hanya pengajaran yang kognitif, itupun hanya sekadar yang dapat diobservasi oleh pilihan ganda yaitu kemampuan memilih.
Ada makna strategis yang terkandung dalam TIU dan TIK itu, yang lebih dari sekadar hanya untuk evaluasi belaka. Makna strategis ini dapat disimak dari Rukun Islam yang pertama, Kalimah Syahadatain: Asyhadu an laa Ila-ha illa Lla-hu wa Asyhadu anna Muhammadan Rasuwlu Lla-h, diyakinkan di qalbu, dibenarkan dipikiran dan diucapkan oleh mulut. Ilmu itu tidak cukup hanya dengan disimpan dalam hati dan pikiran, melainkan harus pula dikomunikasikan keluar.
Alhasil, makna strategis dari TIU dan TIK itu, anak didik setelah selesai pendidikannya harus mampu mengkomunikasikan ilmunya kepada orang lain. Tanpa kemampuan mengkomunikasikan ilmunya orang itu tidak akan terpakai dan tidak berguna di masyarakat, ibarat pohon buah-buahan yang tidak berbuah. Komputerisasi dalam evaluasi di bidang pendidikan dengan pilihan ganda itu tidak akan mampu menghasilkan luaran yang komunikatif dan berakhlak. Komputerisasi tidaklah satu sistem dengan TIU dan TIK. Ini bukanlah hal yang temporer, melainkan menghunjam masuk ke dalam inti permasalahan pendidikan. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 20 Februari 1994
13 Februari 1994
[+/-] |
116. Ru'yah atau Hisab? |
Adapun kedua metode ru'yah dan hisab itu, sesungguhnya dikombinasikan penggunaannya baik oleh Ahlu rRu'yah, maupun Ahlu lHisab. Ahlu rRu'yah, sesuai petunjuk RasuluLah, terkadang menghisab dengan metode istikmal, menyempurnakan Sya'ban atau Ramadhan menjadi 30 hari, seperti yang dilakukan dalam penentuan 1 Ramadhan tahun 1414 H ini. Untuk dapat meru'yah (dari RaAY, melihat) para Ahlu rRu'yah sebelumnya harus menghisab dahulu, supaya dapat menentukan bilamana waktunya meru'yah. Untuk dapat menghisab (dari HaSaBa, menghitung) para Ahlu lHisab sebelumnya harus meru'yah posisi bulan dahulu, tanpa atau dengan bantuan instrumen. Alhasil, Ahlu rRu'yah menghisab dahulu, kemudian baru meru'yah sebagai upaya terakhir. Sedangkan Ahlu lHisab meru'yah dahulu, baru menghisab sebagai upaya terakhir. Yang menjadi masalah sekarang, yang mana di antara kedua metode itu yang lebih baik?
Pertanyaan itu tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking. Maka sebelum menjawab pertanyaan yang tidak dapat dijawab dengan hitam putih itu, akan disodorkan sebuah ilustrasi sebagai bahan perbandingan. Einstein menghisab penyimpangan lintasan cahaya bintang akibat pengaruh medan gravitasi matahari. Hisab Einstein itu diujicoba dengan ru'yah Eddington cs pada waktu gerhana matahari total. Pada saat itu instrumen yang meru'yah cahaya bintang tidak silau oleh terangnya matahari, karena langit gelap di siang hari. Hasil ru'yah menunjukkan bahwa teori Einstein tentang adanya pengaruh medan gravitasi terhadap cahaya terbukti benar, namun hasil hisab dengan ru'yah tentang besarnya sudut penyimpangan itu terdapat sedikit perbedaan. Kalau pertanyaan yang sama dikemukakan dalam hal ini: Mana yang lebih tepat di antara ru'yah Eddington cs dengan hisab Eintein, maka jawabannyapun tetap sama: Tidak dapat dijawab dengan sikap black and white thinking.
Kebudayaan ummat manusia menetapkan International Date Line, yaitu batas hari berupa garis yang tetap. Bayangkan sebuah pulau yang dipotong IDL itu dua orang bertetangga yang satu rumahnya sebelah timur IDL dan yang satu lagi di sebelah barat IDL. Tetangga yang sebelah timur itu sudah merayakan tahun baru, sedangkan yang sebelah barat baru keesokan harinya. Setiap tahun penduduk pulau itu merayakan dua kali tahun baru. Bukan hanya setiap tahun ada perbedaan, bahkan setiap hari terjadi perbedaan hari. Kalau di sebelah timur IDL hari Ahad, maka yang di sebelah barat IDL baru hari Sabtu.
Seperti halnya IDL ada pula daerah perbatasan antara akhir Sya'ban (29 atau 30) dengan 1 Ramadhan. Artinya pada daerah itu matahari dan bulan bersamaan saat terbenamnya. Karena dilihat dari bumi gerak matahari lebih cepat dari bulan, maka sebelah barat daerah batas itu matahari sudah mendahului bulan di bawah ufuk, sehingga belahan bumi sebelah barat daerah batas itu sudah masuk 1 Ramadhan, sedangkan sebelah timur batas masih akhir Sya'ban, karena matahari masih di atas ufuk setelah bulan terbenam. Itulah penjelasannya mengapa Makkah misalnya lebih dahulu masuk 1 Ramadhan ketimbang Indonesia, apabila garis batas itu terletak di antara Makkah dengan Indonesia.
Ada perbedaan sifat antara IDL dengan daerah batas Sya'ban dengan Ramadhan, Ramadhan dengan Syawwal. Daerah batas antara akhir bulan dengan awal bulan berikutnya itu bergerak, karena batas itu dibina oleh posisi dan gerak matahari, bumi dan bulan. Setiap mathla' di globa ini akan mendapat giliran secara adil dilalui oleh garis batas itu. Dalam kenyataannya batas itu bukan berupa garis melainkan bidang. Mengapa? Dilihat dari metode hisab, tidak ada hasil hisab yang eksak. Dilhat dari segi ru'yah sukar ditentukan batas silau baik untuk mata maupun instrumen. Sebagai perbandingan adalah adanya batas antara (range) sekitar 10 menit antara imsak dengan subuh. Tidak dapat ditarik garis tajam batas subuh, begitu imsak, begitu subuh. Menurut pengalaman di Indonesia nilai ambang batas bulan dapat diru'yah ialah sekitar 4 derajat busur, artinya mata ataupun instrumen tidak silau lagi oleh sinar matahari, jika tinggi alHilal di ufuk barat sekitar 4 derajar setelah matahari terbenam. Itulah latar belakang mengapa batas itu tidak eksak sebagai garis, melainkan sebagai bidang.
Pada daerah di luar bidang batas itu akan terjadi kecocokan antara ru'yah dengan hisab. Pada belahan bumi yang di sebelah baratnya menurut hisab bulan sudah di atas ufuk pada waktu matahari terbenam dan dapat diru'yah. Pada belahan bumi yang di sebelah timurnya bulan belum dapat diru'yah dan menurut hisab bulan masih di bawah ufuk. Jadi bagi suatu negara yang cukup panjang dan memanjang dari barat ke timur, seperti Indonesia misalnya, jika dipotong oleh bidang batas itu, tidaklah mesti berpuasa dan berlebaran dalam satu hari yang sama. Di sebelah barat bidang batas itu yang terdapat kecocokan antara ru'yah dan hisab awal bulan sudah masuk, mereka berpuasa. Sedangkan di sebelah timur bidang batas itu yang terdapat kecocokan antara ru'yah dan hisab bulan baru belum masuk, mereka belum berpuasa. Tahun ini wilayah Indonesia berada di sebelah barat bidang batas permulaan Ramadhan, sehingga semuanya berpuasa pada hari Sabtu.
Dengan demikian tidaklah semestinya seluruh ummat Islam dalam suatu negara berpuasa dan berlebaran dalam hari yang sama, dan ini sama sekali tidak ada relevansinya dengan kesatuan ataupun Ukhuwwah Islamiyah, juga tidak ada korelasinya sama sekali dengan daerah territorial kenegaraan, oleh karena batas itu dibina oleh posisi kita di permukaan bumi, dibina oleh perputaran bumi pada sumbunya, gerak bulan mengorbit bumi dan gerak bumi mengorbit matahari.
Jelaslah pula tidaklah beralasan sama sekali adanya gagasan untuk menyatukan hari puasa ataupun lebaran bagi Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam.
Lalu bagaimana yang di dalam bidang batas? Di dalam bidang batas inilah terdapat perbedaan antara ru'yah dengan hisab. Nah, kalau kita sedang berada dalam daerah bidang batas antara akhir dengan awal bulan, maka kita pulangkan ke qalbu (hati nurani) kita masing-masing, pilihan mana yang kita rasakan paling menenteramkan. Pilihan dengan tujuan untuk menenteramkan qalbu kita: liyuthmainna Qalby, yaitu ungkapan Nabi Ibrahim AS. Kalau bagi saya sendiri qalbu saya lebih tenteram jika memilih metode hisab.
*** Makassar, 13 Februari 1994
6 Februari 1994
[+/-] |
115. Fasada yang Dilemmatis, dalam Menghadapi Abad ke-21 |
Kata fasada dalam judul di atas itu adalah bahasa Al Quran yang berarti merusak. Begitu Allah SWT memberitahu para malaikat:
Inniy Jaa'ilun fiy lArdhi Khalifatan, sesungguhnya akan Kujadikan khalifah di bumi, para malaikat mengemukakan kata fasada tersebut. Ataj'alu fiyhaa Man Yufsidu fiyhaa, apakah Engkau akan menjadikan di atasnya yang akan merusak di atasnya? (S.Al Baqarah, 2:30).
Akan dikemukakan lagi tiga ayat yang mengandung kata fasada ini.
Wa idzaa Qiyla lahum laa Tufsiduw fiy lArdhi Qaaluw Innamaa Nahnu Mushlihuwna, apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu merusak di atas bumi, mereka berkata, sesungguhnya kami hanya berbuat baik. (S.Al Baqarah, 2:11)
Alaa innahum Humu lMufsiduwna wala-kin Laa Yasy'uruwna, ketahuilah, sesungguhnya mereka itu merusak tetapi mereka tidak sadar. (S. Al Baqarah, 2:12)
Zhahara lFasaadu fiy lBarri wa lBahri Bimaa Kasabat Aydi nNaasi, muncullah kerusakan di darat dan di laut akibat tangan-tangan manusia. (S.Ar Ruwm 41)
Dorongan Al Hawa, naluri mempertahankan diri dan meningkatkan kehidupan material, jalur yang dilalui iblis masuk ke dalam diri manusia, senantiasa bergesek dengan qalb (hati nurani), yang menjadi jati diri kemanusiaan. Hati nurani manusia yang lepas kontrol dari bimbingan wahyu, akan melemah dan akhirnya dapat dikalahkan oleh nalurinya sehingga mengakibatkan manusia itu merusak. Hati nuraninya menjadi kabur, lalu menyangka bahwa mereka sebenarnya berbuat baik. Sistem moral yang dianutnya bertopang pada keinginan nalurinya, keinginan yang mengacu pada asas manfaat, dan keasyik-maksyukan, utilitarianisme dan hedonisme.
***
Dalam buku World Dynamics, karya Jay W. Forrester, diterbitkan oleh Wright-Allen Press, Inc, Massachusetts, 1971, yang terdaftar pada Library of Congress dengan nomor katalog 70-57752, ada dikemukakan 8 butir mengenai kerusakan di global kita ini. Ke-8 butir itu saya sajikan di bawah ini, yang tentu saja saya olah kembali, dengan menambah materi, mengubah gaya penyajian dengan gaya saya sendiri.
- Industrialisasi boleh dikatakan penyebab utama timbulnya gangguan terhadap keseimbangan dunia (world ecology) ketimbang peledakan penduduk (population explotion). Peledakan penduduk pada hakekatnya dapat dipandang sebagai akibat dari teknologi dan industrialisasi. (Obat-obatan manjur dan kesehatan masyarakat adalah hasil dari teknologi dan industrialisasi).
- Dalam abad ke-21, kebudayaan akan diperhadapkan pada empat dilemma. Lumpuhnya masyarakat industri modern karena kekurangan sumberdaya alam, penduduk merana karena pencemaran, bahaya kelaparan karena berkurangnya produksi bahan makanan, terjadinya peperangan, penyakit, masyarakat yang tegang (stress) akibat hiruk-pikuk (crowding) baik secara fisis maupun secara psikologis.
- Kebudayaan ummat manusia sekarang ini sesungguhnya secara material (ditakar dengan GNP) dalam kondisi abad keemasan (golden age), artinya rata-rata kwalitas kehidupan material lebih tinggi dari abad-abad yang lalu dan pula insyaAllah lebih tinggi dalam abad-abad mendatang.
- Upaya-upaya yang diarahkan pada pengendalian jumlah penduduk mengandung keadaan potensial timbulnya serangan balik. Yaitu apabila jumlah penduduk dapat ditekan seperti yang diharapkan, maka keberhasilan ini menyebabkan persediaan bahan makanan per kapita akan meningkat, standar kehidupan material juga akan meningkat. Perbaikan-perbaikan ini akan melemahkan mekanisme pengendalian penduduk, lalu menjadi bumerang yang memicu pelatuk yang memacu peningkatan jumlah penduduk kembali.
- Tingginya standar kehidupan material dari masyarakat industri modern adalah hasil dari produksi komoditi. Akan tetapi karena lahan untuk produksi makanan terbatas, juga sumberdaya alam untuk industrialisasi terbatas pula, akhirnya standar kehidupan yang tinggi itu akan jatuh terhempas ke bawah.
- Tidaklah realistis harapan negara-negara yang belum maju (selatan) untuk dapat mencapai standar kehidupan material yang tinggi seperti negara-negara industri (utara). Adalah suatu kenyataan bahwa hal ini disebabkan oleh sumberdaya alam yang telah dilahap oleh negara-negara utara, sehingga orang-orang selatan tidak mendapatkan lagi bahagian yang cukup untuk mengejar orang-orang utara itu. Sumberdaya alam yang dilahap oleh orang-orang utara per kapita adalah sekitar 20 sampai 50 kali jumlahnya yang dikonsumsi oleh orang-orang selatan per kapita. Jurang yang menganga antara utara dengan selatan itu insyaAllah akhirnya akan tertimbun dengan sunnatuLlah hukum bejana berhubung-hubungan dalam kehidupan sistem sosial. Standar kehidupan material orang-orang utara akan menurun, sedangkan pada pihak selatan akan menanjak. Dengan menurunnya standar kehidupan material masyarakat industri itu, maka tidaklah akan tercapai masyarakat informasi, seperti yang diramalkan oleh sebagian kecil peramal modern (futurelog).
- Masyarakat yang tinggi kadar industrialisasinya tidak akan dapat bertahan lama, ibarat nyala lilin yang padam dengan sendirinya, karena terlalu rakus melahap sumberdaya alam. Walaupun ditunjang teknologi canggih untuk mendaur ulang sumberdaya alam itu, namun akan mengalami ketegangan internasional karena pencemaran. Hak asasi masyarakat untuk dapat hidup dalam lingkungan yang sehat akan menjadi isu sentral dalam skala internasional.
- Dalam menghadapi empat dilemma seperti yang dikemukakan dalam butir dua, negara-negara selatan akan lebih mampu bertahan ketimbang negara-negara utara. Kerakusan orang-orang utara melahap sumberdaya alam 20 sampai 50 kali itu menyebabkan lingkungan hidup negara-negara utara akan menerima beban pencemaran 20 sampai 50 kali juga. Inilah yang menyebabkan negara-negara utara itu akan lebih rapuh dalam menghadapi keempat dilemma itu dalam abad ke-21 nanti insyaAllah. WaLlahu a'lamu bishshawab