Tersebutlah seorang teknisi yang membuat ujicoba yang mubadzdzir. Ia melihat gampangnya saja. Ia merasa sudah cukup dengan melihat data input tekanan fluida kerja dan data daya output yang dikonversikan oleh sebuah turbin air. Ia kemudian membuat turbin uap dengan data input dan output yang sama dengan data input dan output pada turbin air itu. Ia mempergunakan material turbin uap yang sama dengan material turbin air itu, sebab ia pikir data input dan outputnya sudah sama.
Apa yang terjadi, setiap selesai membuat turbin uap kemudian mengadakan ujicoba, hasilnya selalu gagal, sudu-sudunya patah menyusul porosnyapun patah. Apabila konstruksi turbin uap yang demikian itu disodorkan kepada seorang yang mengerti, yaitu sarjana teknik mesin, ia tidak akan mau mengadakan ujicoba. Kalau sarjana teknik mesin itu tahu sedikit tentang sastera, ia akan mengatakan:
Arang habis, besi binasa. Tukang bekerja, penat saja.
Atau dengan bahasa Al Quran: Mubadzdzir. Ini dilarang Allah:
.....wa la- Tubadzdzir Tabdziyran, ..... dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (tenaga, pikiran dan dana) secara boros (S.Isra-,26).
Mengapa ujicoba itu selalu gagal? Ada dua kondisi yang luput dari pemikiran sang teknisi. Pertama, turbin uap itu akan mengalami tegangan termal (thermal stress), sedangkan pada turbin air tidak, oleh karena keduanya beroperasi dalam kondisi suhu yang berbeda. Yang kedua, putaran poros turbin air rendah, pada turbin uap tinggi, sehingga kondisi berputar poros turbin air
tidak dalam daerah putaran kritis, jadi tidak akan patah. Sedangkan perputaran poros turbin uap berada dalam daerah putaran kritis, maka patahlah poros itu.
***
Nilai mutlak bersumber dari Yang Maha Mutlak. Nilai relatif bersumber dari akal budi manusia yang disebut nilai budaya. Setiap bangsa mempunyai nilai budaya sendiri. Dalam rentang waktu yang lama nilai budaya itu itu berproses berkristal menjadi nilai utama. Nilai utama itu diperkaya dengan nilai-nilai instrumental dan nilai-nilai operasional.
Nilai-nilai instrumental lebih diarahkan ke dalam, yaitu diambil dari nilai-nilai budaya daerah. Seumpama nilai siri' sangat berguna dijadikan sebagai nilai instrumental dari kemanusiaan dan nilai pacce menjadi nilai instrumental untuk persatuan bangsa.
Nilai-nilai operasional lebih diarahkan keluar, diambil dari negara-negara maju, seumpama nilai operasional kinerja (performance) dalam organisasi dan teknologi. Salah satu jenis nilai kinerja dalam organisasi ialah lima hari kerja. Oleh karena nilai kinerja itu diambil dari luar, maka belumlah tentu sesuai benar dengan kondisi kita. Maka haruslah diujicoba dahulu.
Namun dalam hal ujicoba lima hari kerja di bidang pendidikan tidak ubahnya dengan perumpamaan di atas: turbin air dan turbin uap. Ujicoba lima hari kerja di bidang pendidikan yang dijalankan sekarang, ternyata tanpa perhitungan cermat lebih dahulu, ibarat ujicoba yang dikerjakan oleh sang teknisi di atas tadi. Anak-anak didik itu tak ubahnya sebagai material pada turbin itu. Yaitu anak-anak didik pada negara maju ibarat material pada turbin air. Anak-anak didik kita ibarat material pada turbin uap. Anak-anak didik kita mengalami thermal stress, karena ruang belajarnya tidak ber-AC. Anak-anak didik kita ibarat poros turbin uap yang putarannya tinggi, intensitas belajarnya menjadi 8 + 2 jam sehari, jadi memikul beban yang lebih berat ketimbang rekan-rekannya di negara maju. Mengapa? Sehabis sekolah mereka masuk Madrasah Diniyah, atau sekurang-kurangnya belajar mengaji Al Quran, ataupun membantu orang tuanya mencari nafkah. Ibarat turbin uap yang patah porosnya, anak-anak kita akan berhenti masuk Madrasah Diniyah, atau berhenti mengaji, atau berhenti membantu orang tuanya mencari nafkah. Tanpa ujicoba kita sudah
dapat memperhitungkan, turbin uap itu akan patah porosnya!
Maka sesungguhnya tidaklah perlu mengadakan ujicoba, seperti sikap sarjana teknik mesin yang disodorkan padanya turbin uap dengan material yang sama dengan turbin air. Sebab insya Allah akan gagal, seperti gagalnya ujicoba yang dikerjakan oleh teknisi di atas itu. Ujicoba baru ada artinya apabila diadakan pengkondisian lebih dahulu: Ruangan belajar yang sejuk dan kurikulum sekolah negeri yang dapat menampung apa yang telah diberikan oleh Madrasah Diniyah, atau oleh guru-guru mengaji.
Mampukah kita menjadikan semua ruang belajar anak-anak kita ber-AC? Mampukah kita menampung di dalam kurikulum sekolah negeri apa yang dapat diberikan oleh Madrasah Diniyah dan guru-guru mengaji itu dalam rentang waktu lima hari kerja, untuk dapat menempa anak-anak didik kita menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas seperti yang dikehendaki oleh tujuan pendidikan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara, yaitu manusia yang bertaqwa?
Kita bergembira membaca di koran (Fajar, 19 Oktober 1994, halaman 5) dengan judul berita: Ujicoba Lima Hari Sekolah Dihentikan. Kakandep Dikbud Terima Telepon Kakanwil dan Laporan dari Sekolah. AlhamduliLlah, ujicoba yang menguras tenaga, pikiran dan dana ekstra dari orang tua murid untuk ongkos makan siang telah dihentikan. Sebab menguras tenaga, pikiran dan dana untuk hal yang sebenarnya tidak perlu, termasuk Tubadzdzir Tabdziyran.
*** Makassar, 23 Oktober 1994
23 Oktober 1994
[+/-] |
150. Ujicoba yang Mubadzdzir |
16 Oktober 1994
[+/-] |
149. Salah Dengar Karena Pesan Lisan, Sertakan Ayat Otentik Kitab Suci Bersama Terjemahannya |
Pernah suatu hari tangan saya ditarik cucu saya ke depan televisi sambil mengatakan namanya disebutkan lagi dalam televisi, yang waktu itu sedang menyiarkan lagu-lagu. Memang cucu saya itu yang masih duduk di kelas nol besar TK ABA Cabang Tallo' biasa mendengarkan namanya disebut dalam warta berita, karena namanya Yasser Arafat. Selama ini apabila namanya disebut dalam warta berita, tidak pernah Yasser menarik tangan saya ke depan televisi, karena saya selalu menyempatkan diri mendengarkan warta berita. Demikian pula Yasser selalu tertarik pada warta berita yang disiarkan di luar jam tidurnya, karena ingin mendengar apakah namanya disebutkan lagi. Apa yang terjadi, bukanlah Yasser Arafat yang sedang menyanyi, melainkan nyanyian itu berjudul I swear, yang di telinga Yasser kedengarannya sebagai yasser.
Pada waktu perpeloncoan di Makassar ini tidak jarang kita dengar perintah kepada pelonco untuk kengkreng. Saya tetap memakai istilah pelonco ini oleh karena apapun istilah yang dipakai yang dipoles ataupun dikemas dengan beberapa peristilahan dari tahun ke tahun, pada hakekatnya tetaplah perpeloncoan. Istilah kengkreng berasal dari bahasa Belanda kikkeren, yang artinya berlaku seperti kikker (kodok), lompat katak. Kalau adil dari bahasa Arab menjadi adele' dalam bahasa Makassar, maka itu adalah penyesuaian lidah. Namun apabila kikkeren diubah menjadi kengkreng itu bukanlah penyesuaian lidah, melainkan salah dengar, akibat proses awal penyerapan kata asing itu berlangsung secara lisan, tak ubahnya seperti bunyi I swear yang didengar oleh cucu saya sebagai yasser.
Salah dengar I swear menjadi yasser wajar-wajar saja, karena yang salah dengar itu murid TK. Namun dalam proses lahirnya kengkreng karena salah dengar itu, sesungguhnya merupakan salah satu petunjuk kurangnya minat tulis-baca dalam lingkungan kampus. Maka eloklah kiranya diadakan penelitian seberapa jauh minat tulis-baca dalam kalangan masyarakat akademis kita.
***
Al Quran artinya yang dibaca. Ayat yang mula-mula diterima oleh RasuluLlah SAW, yaitu Iqra Bismi Rabbika, bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S.Al'Alaq,1). Untuk dapat dibaca haruslah dituliskan, sehingga Al Quran disebut pula Al Kitab, artinya yang ditulis: Dza-lika lKita-bu La- Rayba fiyhi Hudan li lMuttaqiyna, itulah Al Kitab tak ada keraguan dalamnya petunjuk bagi orang-orang yang taqwa (S.AlBaqarah,2). Dalam teknis pelaksanaannya bagimana RasuluLlah mengkomunikasikan wahyu yang diterimanya kepada ummatnya, dapat kita simak dalam Hadits: "Janganlah kamu menulis tentang aku selain Al Quran, dan barang siapa yang menulis tentang aku selain Al Quran, maka hendaklah dihapusnya." Ada dua hal penting yang dapat disimak dari Hadits tersebut.
Pertama, larangan RasuluLlah untuk menuliskan dari beliau selain Al Quran, menghindarkan tercampurnya wahyu dengan ucapan RasuluLlah yang tidak bersumber dari wahyu. Dengan demikian tidak ada yang bukan wahyu yang diselipkan dalam Al Quran dan sebaliknya tidak ada wahyu yang diterima RasuluLlah yang luput dituliskan dalam Al Kitab.
Kedua, bahwa Al Quran itu dikomunikasikan kepada ummat secara tertulis, dengan demikian menghindarkan menyimpangnya pesan-pesan wahyu baik dari segi maknanya, maupun dari segi redaksionalnya, bahkan sampai kepada sistem ejaannya. Memang ada sebagian kecil ummat Islam penghafal Al Quran, namun mereka itupun tetap memerlukan Al Quran yang tertulis. Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni, guru Pesantren Putera Pendidikan Al Quran, IMMIM Tamalanrea, penghafal Al Quran, setiap hari menyediakan waktu khusus untuk upaya tetap dapat memelihara hafalannya, dan untuk itu ia memerlukan Al Quran yang tertulis.
Pesan yang disampaikan dapat pula berubah dari maknanya yang asal, apabila pesan itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa lain. Itulah sebabnya diharuskan jika orang menuliskan terjemahan ayat Al Quran, hendaklah senantiasa menyertakan kutipan ayat dalam wujud bahasa aslinya yang otentik, yaitu bahasa Al Quran. Hal ini sangat penting untuk dapat mengetahui apabila terjadi perubahan makna dalam terjemahan itu.
Seperti misalnya dalam terjemahan Al Quran yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Dengan segera tampak kesalahan terjemahan S. Baniy Isra-iyl,1: al Bashiyr diterjemahkan dengan Maha Mengetahui, semestinya Maha Melihat.
S.Al Anbiya-,33: Kullun fiy Falakin Yasbahuwna, diterjemahkan dengan masing-masing dari keduanya itu beredar di dalam garis edarnya. Terjemahan itu menambah materi, yaitu menyisipkan penggalan kalimat: dari keduanya itu. Yasbahuwna, bentuknya jama', sehingga fa'il (pelaku, subyek) jumlahnya tiga ke atas. Seperti diketahui dalam bahasa Arab terdapat 3 tingkat ordinal
dalam hal jumlah, yaitu: mufrad-mutsanna-jama', (tunggal, dual, jamak). Tidak seperti dalam bahasa-bahasa Indo-Jerman yang hanya mempunyai 2 tingkat: singular-plural (Inggeris), enkelvoud-meervoud (Belanda). Penambahan embel-embel sisipan dari keduanya itu dalam terjemahan, merupakan suatu kesalahan oleh karena 2 tidak termasuk dalam rentang (range) 3 ke atas. Tanpa menyertakan ayat yang asli pada terjemahan tidaklah akan dapat ketahui terjadinya penyisipan yang salah.
Hendaknya Departem Agama Republik Indonesia yang bertanggung jawab atas publikasi Al Quran dan Terjemahannya membetulkan terjemahan Al Bashiyr dan membuang sisipan dari keduanya itu! Menuliskan kutipan ayat sebaiknya dalam huruf aslinya. Namun jikalau terbentur dalam kesulitan teknis, maka dipakailah huruf Latin dengan mengikuti sistem ejaannya, seperti misalnya Dza-lika lKita-bu, bukan Dzalikal Kitabu.
*** Makassar, 16 Oktober 1994
9 Oktober 1994
[+/-] |
148. Pasca-ICPD, What Next? |
International Confrence on Population and Development (ICPD), Konferensi Internasional Kependudukan dan Pembangunan, pada 5 - 13 September 1994 di gedung Cairo International Conventio Center sangat kontroversial, membangkitkan protes beberapa negara seperti Arab Saudi, Sudan, Libanon, Irak, Nauru, Lichtenstein dan Maroko, karena mengandung materi jahiliyah modern, yaitu: legalisasi abortus, legalisasi perkawinan sejenis (homo-lesbian), legalisasi hubungan sex pranikah dan pemasyarakatan kondom. Abortus, perkawinan sejenis, hubungan sex pranikah dan pemasyarakatan kondom dianggap sebagai mekanisme pengendalian kelahiran (birth control). Walaupun upaya penggunaan mekanisme pengendalian kelahiran yang diperinci di atas itu dapat digagalkan dalam arti tidak mesti dilaksanakan oleh negara-negara anggota peserta konfrensi tersebut, namun telah membuka mata kita, bagaimana derasnya arus nilai jahiliyah modern dalam badan dunia PBB tersebut. Upaya pemanfaatan badan dunia PBB oleh para penganut jahiliyah modern tersebut dalam menyebarkan virus jahiliyah modern itu, niscaya tidaklah berhenti setelah ICPD di Kairo itu, dan ini perlu diwaspadai, karena virus tersebut lebih dahsyat daya rusaknya ketimbang virus penyebab penyakit AIDS.
Tak jemu-jemunya kita kemukakan peringatan Allah dengan FirmanNya dalam S.Al Anfa-l 25:
Wattaquw Fitnatan la- Tushiybanna Lladziyna Zhalamuw Minkum Kha-shshatan ...., hindarkanlah bencana dahsyat (parahara) yang tidak hanya secara khusus menimpa orang-orang zalim saja di antara kamu. Sudah saya jelaskan dalam Seri 137 mengapa ittaquw tidak saya terjemahkan dengan takutlah, dan mengapa fitnah tidak saya terjemahkan dengan cobaan, oleh karena tiga pertimbangan. Pertama, Ittaquw berasal dari akar kata yang dibentuk oleh ketiga huruf: waw, qaf, ya yang artinya menjaga diri sehingga terhindar, terpelihara. Yang kedua, terhadap orang zalim tidak ada cobaan. Yang ketiga, kata fitnah dalam bahasa Indonesia tidak sama pengertiannya dengan fitnah dalam bahasa Al Quran. Fitnah dalam bahasa Indonesia bermakna menyebarkan isu tentang ucapan ataupun perbuatan orang yang sesungguhnya tidak diucapkan dan tidak dilakukan oleh orang itu.
Upaya yang dilancarkan oleh para penganut jahiliyah modern dalam badan dunia PBB di Kairo, itulah antara lain contoh yang dimaksud dengan bahasa Al Quran: fitnah.
What next? Pertanyaan dalam judul di atas itu kita tujukan kepada negeri-negeri belahan bumi bagian selatan, yang biasa disebut dengan Dunia Ketiga (the 3rd World). Mengapa? Karena negeri-negeri Selatan sangat patut menuntut keadilan kepada negeri-negeri Utara. Dalam ICPD di Kairo itu, huruf P itu ditujukan kepada negeri-negeri Selatan. Tidakkah terpikir oleh negeri-negeri Selatan untuk juga melancarkan kampanye dalam badan dunia PBB itu tentang hal pengendalian "penduduk" budak-budak tenaga (energy slaves population) dalam kalangan negeri-negeri Utara?
Birth control on energy slaves ini di negeri-negeri Utara tidak kurang, bahkan lebih penting dari pengendalian penduduk di negeri-negeri Selatan. Pertumbuhan "penduduk" budak-budak tenaga yang berupa mesin-mesin konversi tenaga di negeri-negeri Utara sudah dalam taraf kritis, bahkan lebih kritis dari pertambahan penduduk di negeri-negeri Selatan.
Pencemaran udara dalam wujud pencemaran thermal (panas) oleh CO2, yang menaikkan suhu global, berasal dari kotoran budak-budak tenaga itu. Bahan makanan yaitu bahan bakar konvensional yang berupa bahan bakar fosil (minyak bumi) yang dimakan oleh budak-budak tenaga itu menjadi penyebab ketegangan dunia, bahkan meledak menjadi peperangan, seperti perang teluk yang dahsyat beberapa tahun yang lalu.
What next? Setelah IPCD di Kairo itu, maka perlu pula tindak lanjut berupa International Confrence on Energy Slaves Explotion Control. Barangkali Indonesia dapat aktif memprakarsai terwujudnya ICESEC itu. Ada dua hal pertimbangan mengapa Indonesia elok rasanya aktif menjadi pemrakarsa: Pertama, Indonesia mengaplikasikan strategi teknologi tepat guna dalam pembangunan seperti tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara. Dengan teknologi tepat guna dapat dicapai titik optimum dari dua kriteria yang bertentangan, yaitu kebutuhan mesin-mesin konversi tenaga untuk pertumbuhan ekonomi pada pihak yang satu, yang bertolak belakang dengan pencemaran CO2 yang ditimbulkan oleh mesin-mesin konversi tenaga itu pada pihak yang lain. Yang kedua, Indonesia adalah ketua Negara-negara Non-Blok. Maka, BismiLlah!, wajarlah apabila Indonesia menjadi pemrakarsa ICESEC. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 9 Oktober 1994
2 Oktober 1994
[+/-] |
147. Iman dan Taqwa, Wattaqaw, Ittaquw, Tattaquwn |
Baru-baru ini (14 September 1994) keluarga besar Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM), yaitu Yayasan Dana Islamic Center IMMIM (YASDIC), Persatuan Jamaah Wanita Islam Indonesia (PERMAWI), Ikatan Alumni Pesantren IMMIM (IAPIM) dan Badan Komunikasi Pemuda Remaja Masjid Indonesia (BKPRMI), di bawah Koordinasi DPP IMMIM memperingati Mawlud Nabi Besar Muhammad SAW. Pada waktu konsep undangan disodorkan kepada saya oleh Drs. M.Saiful, Seketaris IMMIM, ada kata yang saya coret. Yaitu kata iman dalam kalimat: Dalam rangka meningkatkan kualitas iman dan taqwa.
Namun setelah undangan itu usai dicetak, kata iman tetap ada. Saya tegur Saiful mengapa kata itu tidak jadi dicoret, dengan nada merasa bersalah berucap: Biarlah ustadz, sudah terlanjur, mereka yang mengetik naskah undangan di percetakan itu sudah terbiasa dengan rangkaian kata-kata iman dan taqwa.
Kata penghubung dan menghubungkan kata ataupun penggalan kalimat yang termasuk dalam kategori skala nominal (nominal scale) dan kategori skala ordinal (ordinal scale). Dalam skala nominal yang dihubungkan itu sederajat, seperti misalnya skala nominal jenis kelamin: laki-laki dan perempuan, skala nominal profesi: guru, dan pedagang, dan petani, menurut kelaziman dipendekkan menjadi guru, pedagang dan petani, skala nominal peternakan: sapi, kerbau, domba dan lain-lain. Sedangkan dalam skala ordinal yang dihubungkan itu tidak sederajat melainkan berjenjang naik bertangga turun, seperti misalnya skala ordinal kepangkatan: dalam jajaran ABRI: overste, mayor dan kapten, dalam jajaran pemerintahan: gubernur, bupati dan camat, skala ordinal topografi: gunung, bukit, lembah dan ngarai. Itu dalam bahasa Indonesia.
Dalam bahasa Al Quran skala ordinal di samping yang disebutkan di atas, kata WA dapat pula menyatakan skala ordinal dalam kategori proses, yaitu berarti TSUMMA (lalu).
Maka di sinilah terjadi salah kiprah, karena dalam bahasa Indonesia kata DAN tidak pernah menyatakan skala ordinal dalam kategori proses, maka dalam bahasa Indonesia kata DAN tidak pernah berarti LALU. Sehingga rangkaian iman dan taqwa disalah-kiprahkan dalam skala nominal, artinya salah kiprah iman difahamkan sederajat dengan taqwa.
Ayat-ayat di bawah menunjukkan kata WA yang menyatakan skala ordinal dalam kategori proses, artinya bermakna TSUMMA (=LALU).
Fankihuw maa taaba lakum mina nnisaai matsna- wa tsula-tsa wa ruba-'a (S. An Nisaau, 3), maka nikahilah apa yang baik bagimu dari perempuan berdua, lalu bertiga, lalu berempat. Dalam ayat itu jelas WA menunjukkan skala ordinal dalam kategori proses. {Namun ada pula sedikit ulama antara lain almarhum Kiyai H. Maksum, Menteri Agama DII/TII Sulawesi Selatan yang memahamkan kata WA dalam skala nominal, sehingga mereka tambahkan: 2 + 3 + 4 = 9).
Walaw annahum a-manuw wattaqaw lamatsuwbatun min 'indiLla-hi khayrun law kaanuw ya'lamuwn (S. Al Baqarah, 103. Kalau mereka beriman lalu bertaqwa, sesungguhnya pahala dari sisi Allah lebih baik, jika mereka mengetauinya (2:103). Yang perlu menjadi perhatian rangkaian iman dengan taqwa dengan kata WA dalam kategori ordinal proses, maka selalu diucapkan wattaqaw (qaf didhamma U), bukan wattaquw (qaf difatah A).
Contoh lain:
Walaw anna ahla lkita-bi a-manuw wattaqaw lakaffarnaa annahum sayyia-tihim waladkhana-hum janna-tin na'iym (S. An Nisaau, 65), Kalau sekiranya orang-orang ahli kitab beriman lalu bertaqwa, niscaya Kami tutup kesalahan mereka dan Kami masukkan mereka ke dalam surga keni'matan (5:65).
Adapun rangkaian iman dengan taqwa tanpa diselingi kata WA, maka itu menyatakan kategori ordinal maqam (derajat, posisi), maka itu selalu diucapkan ittaquw, tattaquwn, seperti contohnya:
Ya-ayyuha- lladziyna a-manuw ittaquw Lla-ha (S. Al Haysr, 18), hai orang-orang beriman taqwalah kepada Allah (59:18).
Ya-ayyuha- lladziyna a-manuw kutiba 'alaykumu shshiya-mu kama- kutiba 'ala lladziyna min qablikum la'allakum tattaquwna, hai orang-orang beriman diwajibkan atasmu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu supaya kamu bertaqwa (2:83).
Menilik ayat (59:18) seruan untuk bertaqwa itu tidak ditujukan kepada manusia pada umumnya (bukan Ya-ayyuha nNa-s), melainkan hanya dibatasi kepada orang-orang beriman saja. Artinya untuk dapat bertaqwa persyaratannya harus beriman dahulu. Jadi bertaqwa lebih tinggi derajatnya dari beriman, sehingga kedua kata itu tidak termasuk dalam kategori skala nominal, melainkan skala ordinal. Skala ordinal itu akan lebih jelas jika kita tilik ayat (2:183). Orang-orang beriman diseru untuk berpuasa agar mencapai derajat taqwa. Artinya taraf iman seseorang dapat ditingkatkan ke taraf taqwa dengan jalan berpuasa.
Rangkaian iman dengan taqwa dalam kategri ordinal dapat pula dengan jelas dalam ayat-ayat S. Baqarah yang berikut:
Alif Lam Mim (1). Dza-lika lkita-bu laa rayba fiyhi hudan lilmuttaqiyna (2). Alladziyna yu'minuwna bilghaybi wa yuqiymuwna shshala-ta wa mimmaa razaqna-hum yunfiquwna (3). Waladziyna yu'minuwna bimaa unzila ilayka wamaa unzila min qablika wabil.a-khirati hum yuwqinuwna (4).
(1)Alif Lam Mim. (2)Itulah Al Kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya menjadi petunjuk orang-orang yang taqwa. (3)Yaitu yang beriman kepada Yang Ghaib, dan mendirikan shalat, dan dari sebagian yang Kurezekikan kepada mereka, dikeluarkannya untuk fungsi sosial (4). Dan mereka yang beriman kepada apa yang kuturunkan kepadamu dan kepada apa yang Kuturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan hari akhirat.
Skala ordinal dapat dijelaskan dengan baik melalui pendekatan matematis, yaitu secara aljabar kelas (algebra of classes). Dengan diagram Venn orang-orang beriman dilambangkan dengan lingkaran X, orang-orang bertaqwa dilambangkan dengan lingkaran Y. Lingkaran Y seluruhnya terletak dalam lingkaran X. Semua titik dalam lingkaran Y menjadi anggota sekali gus dari Y dan X, artinya tiap-tiap orang bertaqwa sekali gus beriman. Sedangkan titik-titik dalam lingkaran X di luar lingkaran Y, adalah orang-orang beriman yang belum bertaqwa. Kesimpulannya, jika menyebutkan bertaqwa, tidaklah perlu diikutkan pula kata beriman, oleh karena beriman sudah tercakup dalam bertaqwa, kecuali jika itu dalam skala ordinal proses.
Jadi yang betul bukanlah meningkatkan iman dan taqwa, melainkan meningkatkan iman untuk menjadi taqwa. Akan tetapi jika dikatakan memperingati Mawlud ataupun Isra Mi'raj RasuluLlah SAW dalam rangka meningkatkan iman untuk menjadi taqwa, itupun juga tidak benar, karena yang benar menurut ayat (2:183), untuk meningkatkan iman menjadi taqwa adalah dengan jalan berpuasa.
Khatimah:
Dalam Al Quran ada dua jenis rangkaian iman dengan taqwa, yaitu pertama dalam kategori ordinal proses, dengan dua ciri, yaitu dihubungkan oleh kata DAN dan dibaca wattaqaw (qaf difatah A), dalam hal ini WA (DAN) berma'na TSUMMA (LALU), dan kedua skala ordinal tidak dihubungkan dengan kata DAN, dibaca / ditulis Ittaquw / Tattaquwn (qaf didhamma U). WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 2 Oktober 1994