"Cuma yang saya pertanyakan apakah relevan kalau menggunakan istilah cendekiawan pada organisasi itu," demikian antara lain omongan Sarwono Kusumaatmaja," setelah ia menghadiri rapat kerja dengan Komisi X DPR RI baru-baru ini. Omongan itu diomongkannya dalam menanggapi penggunaan istilah cendekiawan pada Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) dan pada sebuah organisasi cendekiawan yang bakal lahir, yaitu Persatuan Cendekiawan Pembangunan Pancasila (PCPP). Selanjutnya Meneg Lingkungan Hidup itu beromong pula: "Kalau kita menggunakan istilah cendekiawan, seolah-olah yang berkumpul di organisasi itu merasa paling cendekiawan. Yang benar aja."
Tanpa melihat pada data statistik yang akurat kita berani mengatakan bahwa ummat Islam di Indonesia ini kebanyakan menempati posisi pinggiran (marginal). Untuk mengangkat harakat mereka itu baik dari segi kesejahteraan maupun dari segi kecerdasan perlu penanganan khusus. Organisasi-organisasi ummat Islam antara lain seperti Muhammadiyah, NU, ICMI didirikan oleh kaum Muslimin Indonesia untuk beramal shalih menjawab tantangan itu, sebagai mitra pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, dua di antara empat Tujuan Nasional seperti tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Ada pula yang mensinyaler bahwa terdapat erosi nasionalisme khususnya di kalangan remaja kita. Boleh jadi kelahiran PCPP dimotivasi oleh adanya erosi kebangsaan ini, dan ingin pula menjadi mitra pemerintah untuk menanggulanginya.
***
Gayung bersambut untuk Sarwono saya mulai dengan mengubah sedikit omongannya: "Cuma yang saya pertanyakan apakah relevan kalau menggunakan istilah ulama pada organisasi itu. Kalau kita menggunakan istilah ulama, seolah-olah yang berkumpul di organisasi itu merasa paling ulama. Yang benar aja." Saya pikir para ulama kita yang merupakan Waratsatu lAnbiyai yang tergabung dalam Nahdhatu l'Ulama, ataupun dalam Majelis Ulama Indonesia sangat terjauh dari merasa paling ulama.
Memang ada perbedaan antara cendekiawan dengan ulama. Yang pertama hanya dalam bidang pengkajian ayat Kawniyah, sedangkan yang kedua dalam bidang pengkajian ayat Qawliyah dan ayat Kawniyah dengan pembobotan pada bidang pengkajian ayat Qawliyah. Namun dalam hal sifat dan sikap ada persamaan. Tidak semua lulusan perguruan tinggi adalah cendekiawan, demikian pula tidak semua luaran pesantren ataupun IAIN berpredikat ulama. Baik cendekiawan maupun ulama sifatnya berupa pengakuan masyarakat. Dalam hal sikap, baik cendekiawan maupun ulama bersikap menerima pengakuan itu dengan rendah hati (low profile) terjauh dari sikap pongah (arogan).
Apakah sesungguhnya kriteria seorang cendekiawan? Itu dapat kita baca dalam Al Quran:
Yatafakkaruwna fiy Khalqi sSamawati wa lArdhi (S. Ali 'Imra-n 191), memikirkan seluk beluk terciptanya sejumlah langit dan bumi (3:191).
Cendekiawan yang berpikir berarti melaksanakan perintah: Iqra. Menjadi cendekiawan saja belumlah cukup, karena belum melaksanakan perintah Allah secara utuh: Iqra Bismi Rabbika. Bagian ayat yang telah dikutip di atas itu didahului oleh:
Alladziyna Yadzkuruwna Llaha Qiya-man wa Quuwdan wa 'alay Junuwbihim, yaitu yang berzikir kepada Allah (dzikruLlah) dalam keadaan tegak, duduk dan berbaring.
Maka dalam skala prioritas harus muslim dahulu untuk berzikir barulah cendekiawan yang berpikir. Sesuai hukum DM dalam bahasa Indonesia, seyogianya dalam rangkaian kedua kata itu muslim dahulu baru cendekiawan: Muslim Cendekiawan. Inilah yang disebut dengan predikat Ulu lAlbab, yang melaksanakan perintah Iqra Bismi Rabbika, yaitu dalam mengkaji ayat Kawniyah tidak melepaskan diri dari ayat Qawliyah, memakai pendekatan Satu Kutub dalam meng-ilmu. Maka hasilnya adalah kesadaran seperti yang dinyatakan dalam penutup ayat (3:191):
Rabbana- Ma- Khalaqta Hadza Ba-thilan Subhanaka faQina- 'Adz-ba nNa-ri, wahai Maha Pengatur kami, tidaklah Engkau ciptakan semuanya ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka jauhkanlah kami dari siksaan neraka.
Adapun berzikir kepada Allah ada tiga jenis, pertama berzikir secara lisan, seperti mengucapkan: tasbih, tahmid, takbir, tahlil, tamjid dll. Berzikir dengan lisan ini yang paling rendah nilainya. Kedua berzikir dengan hati. Zikir jenis yang kedua ini mempunyai tiga bentuk yaitu mengingat dalil-dalil Dzat dan Sifat Allah, selanjutnya mengingat dalil-dalil taklif berupa perintah, larangan, janji dan ancaman, berusaha keras untuk memahami hikmah dan rahasianya sehingga menjadi mudah melakukan perbuatan taat dan meninggalkan perbuatan maksiyat, kemudian akhirnya mengingat rahasia seluruh makhluk Allah SWT sehingga setiap bagian yang terkecil akan mampu olehnya dijadikan cermin untuk menampak alam ghaib dengan mata hati. Inilah derajat zikir yang tidak berujung dan tidak bertepi. Jenis zikir yang ketiga adalah berzikir dengan jasmani yaitu memanfaatkan seluruh anggota tubuh untuk beramal shalih. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 24 September 1995
24 September 1995
[+/-] |
195. Disekitar Kelahiran PCPP dan Gayung Bersambut Untuk Sarwono Kusumaatmaja |
17 September 1995
[+/-] |
194. Oposisi atau Pressure Group? |
Menurut Dictionary of Social Science, opposition berarti: a category of social processes including both competition and conflict, in which groups of people are essentially antagonistic to each other, and seek to destroy, subordinate, or thwart each other.
Pressure berarti: any means of trying to influence of others by informal or extra-institutional methods.
Yang manakah di antara keduanya: oposisi atau pressure group menurut pengertian di atas itu yang sinkron dengan sistem mekanisme pembangunan dalam Negara Republik Indonesia? Untuk itu maka berikut ini disajikan sistem mekanisme pembangunan:
UUD-1945 sebagai sumber hukum yang tertinggi adalah masukan rujukan (reference input) ke dalam proses yang berwujud Sidang Umum MPR. Luaran SU MPR antara lain adalah GBHN. Pola Pembangunan Lima Tahun dalam GBHN dijabarkan berwujud Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Karena Repelita ini adalah rencana, maka tidak berwujud UU, melainkan dalam wujud Kepres, sehingga mudah diubah kalau perlu. Namun demikian setiap tahun dari Repelita itu berwujud undang-undang, yaitu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang menjadi rujukan pembangunan.
Selanjutanya hasil-hasil pembangunan ini diumpan balik ke rujukan GBHN yang berwujud Pertanggung-jawaban Presiden, sekali dalam lima tahun. Apabila dalam selang waktu lima tahun itu DPR melihat bahwa Presiden dalam proses pembangunan sungguh-sungguh menyimpang dari rujukan GBHN, maka DPR dapat mengundang anggota MPR lainnya untuk Sidang Istimewa. Dalam Sidang Istimewa itu MPR dapat mencabut mandat yang telah diberikannya kepada Presiden dalam Sidang Umum sebelumnya.
Adapun umpan balik yang kedua, ialah hasil-hasil pembangunan diumpankan langsung ke UUD-1945, yang pada hakekatnya adalah penilaian atas MPR oleh rakyat yang memilihnya melalui Pemilihan Umum. Jika rakyat menilai bahwa hasil pembangunan menyimpang dari rujukan UUD-1945, maka rakyat yang sadar tidak akan memilih lagi wakilnya yang pernah dipilihnya dahulu.
Demikianlah, maka ada tiga gelanggang percaturan pendapat: SU MPR, Pemerintah dengan DPR dalam dalam proses membuat undang-undang dan dalam proses pembangunan. Dalam percaturan pendapat itu diusahakan secara maximal musyawarah mufakat (aklamasi), yaitu untuk menghindarkan tirani mayoritas. Akan tetapi jika waktunya sudah tidak memungkinkan lagi, karena SU MPR dibingkai oleh jadwal, sedangkan musyawarah mufakat belum tercapai, maka diadakanlah voting (sesuai dengan psl.37 UUD-1945). Ini untuk menghindarkan tirani minoritas.
Jelaslah bahwa oposisi seperti pengertian yang di atas itu tidak sinkron dengan sistem mekanisme pembangunan. Adapun pressure group dalam prakteknya dapat sinkron sehingga dapat menjadi sub-sistem dalam mekanisme pembangunan. Aktivitas bersuara pressure group berbanding terbalik dengan aktivitas bersuara DPR. Apabila mekanisme recall dihilangkan, maka DPR insya Allah akan dapat mengimbangi aktivitas pressure group.
Berikut ini dikemukakan beberapa aktivitas pressure group. Karena adanya tekanan pressure group dari masyarakat, maka pelaksanaan UU-Lalu Lintas ditunda satu tahun. Penundaannya dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
Dalam proses pembangunan tentu masih segar dalam ingatan kita tentang pressure group yang terdiri dari para alim ulama. Pertama, demonstrasi sejuk dari para alim ulama dalam wujud berdoa di luar gedung DPR. Hasilnya, eksekutif tidak memperpanjang lagi izin SDSB. Menurut KH Hasan Basri, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI), demonstrasi atau unjuk rasa dibolehkan, asal selama menyatakan sikap dibarengi dengan sikap santun dan tahu tata-krama. Kedua, tanggapan para alim ulama terhadap gebrakan Silalahi yang pertama, yaitu dampaknya penambahan jam belajar akibat pengurangan hari belajar menjadi 5 hari terhadap anak didik. Suara alim ulama ini didengar, Presiden memerintahkan agar ujicoba dihentikan. Ketiga, tanggapan alim ulama terhadap gebrakan Silalahi yang kedua: rencana penarikan guru PNS di Sekolah Swasta. 68 orang ulama Jawa Timur mengeluhkan hal itu kepada Presiden. Alim ulama itu menyatakan keprihatinannya akan banyaknya lembaga pendidikan swasta yang akan gulung tikar. Maka Presiden memerintahkan untuk meninjau kembali rencana Silalahi itu.
Alim ulama itu mempunyai dimensi ataupun cakrawala yang lebih luas ketimbang pemikiran satu dimensi, yang hanya memikirkan soal uang saja. Alim ulama kita itu pemikirannya menjangkau ke arah terjadinya hambatan oleh rencana Silalahi itu terhadap salah satu tujuan nasional dalam alinea keempat UUD-1945: mencerdaskan kehidupan bangsa. Jangkauan cakrawala pemikiran para ulama yang lebih luas itu adalah wajar, oleh karena Al 'Ulama-u Waratsatu lAnbiya-i, ulama adalah pewaris para Nabi. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 17 September 1995
10 September 1995
[+/-] |
193. Belajar dari Walk Out Ny.Mire |
Pada halaman satu Harian Fajar edisi Kamis, 7 September 1995 dapat kita baca berita yang berjudul: Seorang Anggota DPR Walk Out. Ny.Mire Laksmiari Priyonggo dari Fraksi PDI keluar ruangan sidang rapat Komisi X DPR RI. Dalam rapat dengar pendapat itu Ny.Mire walk out tatkala Direktur Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) Bidang Pemetaan dan Aplikasi, Azar Djaloeis melontarkan kata-kata yang diterima sebagai peremehan oleh Ny.Mire. "Seharusnya anggota DPR memperlajari dulu apa itu nuklir, apa itu atom, sehingga pertanyaan yang diajukan tidak ngawur". Itulah bunyi ucapan Djaloeis yang menurut Ny.Mire, "terlalu meremehkan anggota DPR RI. Saya tersinggung. Itu tidak etis". Ucapan Djaloeis dilontarkan keluar untuk menangkis pertanyaan Ny.Mire mengenai hal diambil dari mana oleh BATAN sumber dana untuk tim pengontrol Pusat Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Jepara itu. Melihat akibat ucapannya yang menyuruh anggota DPR mempelajari nuklir itu, Djaloeis minta maaf dan langsung menyatakan menarik semua omongannya. Akan tetapi Ny.Mire tidak mau menerima. "Pertanyaan anggota DPR hanya bersifat politis. Jadi kita tidak perlu bertanya secara detail. Tapi DPR berhak mempertanyakan kebijaksanaan BATAN dalam membangun PLTN," kata Ny.Mire dalam nada tinggi, kemudian Ny.Mire langsung angkat kaki meninggalkan ruangan. Di luar ruangan Ny.Mire berkata lagi bahwa lebih baik memberi pelajaran etika kepada Djaloeis, tatkala di luar ruangan Ny.Mire berusaha dibujuk oleh beberapa staf BATAN. "Sangat wajar kalau saya mempertanyakan dana untuk biaya tim pengontrol PLTN. Karena di Perancis dianggar 150 juta franc setahun. Itu kan sangat besar. Terus biayanya dari mana, jangan-jangan nanti dibebankan pada APBN," lanjut Ny.Mire kepada pimpinan fraksinya, sesudah ia berusaha dibujuk oleh beberapa staf BATAN tersebut.
Ada dua hal yang menarik yang dapat dijadikan pelajaran dalam insiden walk out itu.
Pertama, alangkah mudahnya minta maaf. Mengeluarkan ucapan, kemudian setelah itu minta maaf. Ucapan itu ingin ditelan kembali dengan minta maaf. Teringatlah kita akan salah satu gambaran dalam peristiwa Isra Nabi Muhammad RasuluLlah SAW. Tatkala Allah SWT memproyeksikan kepada RasuluLlah SAW yang melihat seekor lembu yang besar keluar dari lubang yang sempit. Kemudian lembu itu hendak masuk kembali ke dalam lubang kecil tadi, tetapi lembu itu sudah tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. RasuluLlah SAW bertanya kepada Jibril AS yang menuntun buraq kendaraan RasuluLlah: "Apakah ini, wahai Jibril?" Maka Jibril AS menjawab: "Ini adalah perumpamaan bagi orang yang mengeluarkan suatu perkataan, kemudian ia berusaha untuk menarik perkataan yang telah terucapkan tadi, namun apa daya, ucapan yang sudah terulur itu tak dapat lagi ditarik masuk ke dalam mulutnya kembali."
Omongan Djaloeis itu ibarat lembu besar yang keluar dari lubang yang sempit itu. Lembu itu hendak masuk kembali ke dalam lubang kecil tadi, tetapi sudah tidak mampu lagi kembali masuk ke dalamnya. Djaloeis mengeluarkan kata-kata, kemudian ia berusaha untuk menarik perkataan yang telah terucapkan tadi. Ia minta maaf dan langsung menyatakan menarik semua omongannya, tetapi Ny.Mire tidak memaafkannya, ia keluar ruangan sidang rapat Komisi X DPR RI. Ny.Mire walk out.
Kedua, masih adanya sikap arogansi dalam kalangan yang menganggap dirinya pakar, yang diakibatkan oleh kepicikan dengan menganggap bidang ilmu yang dikuasainya itulah yang paling penting. Semua bidang ilmu di luar yang dikuasainya diremehkannya, dianggapnya tidak penting. Pada hal Allah SWT berfirman dalam Al Quran:
Wa Ma- Uwtiytum mina l'Ilmi Illa- Qaliylan (S. Al Isra, 85). Kamu tiada diberikan ilmu kecuali sedikit (17:85).
Maka dengan adanya peristiwa Ny.Mire yang walk out itu menjadi pelajaran bagi yang menganggap dirinya pakar yang berpandangan picik, yang menganggap ilmu yang sedikit dikuasainya itu yang paling top, ilmu yang lain tidak ada artinya. Bahwa sikap arogansi, sikap chauvinisme dalam berilmu, tidak disenangi oleh Allah SWT, seperti dalam FirmanNyya:
Wa La- Tamsyi fiy lArdhi Marhan Innaka Lan Takhriqa lArdha (S. Al Isra, 37). Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong, sesungguhnya engkau tiada dapat menembus bumi (17:37). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 10 September 1995
3 September 1995
[+/-] |
192. Yang Lucu-Lucu |
Pada malam Sabtu yang lalu Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia Cabang Tallo' menyelenggarakan peringatan maulud Nabi Muhammad SAW bertempat di masjid Syura. Pembawa acara sekali-sekali menyisipkan ilustrasi yang lucu dalam ceramahnya. Seperti misalnya ketika ia mengemukakan pentingnya shalat berjama'ah, dikatakannya apabila tidak sempat shalat berjama'ah di masjid, maka shalatlah mengimami keluarga yang sedang ada di rumah. Shalat berjama'ah dengan isteri dan anak-anak sungguh sangat bagus efeknya dalam membina keluarga sakinah. Akan tetapi ibu-ibu harus hati-hati mengamini doa para suami setelah shalat. Hendaknya meminta kepada suaminya agar menyuarakan doanya hingga jelas kedengaran. Jangan sampai mengamini doa suami yang berbunyi: "Ya Allah tambahlah rezekiku hingga aku dapat beristeri lagi."
Karena saya duduk bersandar pada dinding barat masjid mengarah ke timur berhadapan dengan para hadirin, saya sempat memperhatikan bahwa ada yang menganggapnya lucu, namun ada pula yang tidak bereaksi apa-apa. Demikianlah sesuatu itu lucu atau tidak tergantung dari selera masing-masing.
***
Pada malam sebelumnya, yaitu malam Jum'at, saya bersama isteri naik taksi untuk berta'ziyah. Sudah beberapa bulan ini saya sudah tidak berminat lagi menyupir sendiri di malam hari, karena persepsi saya mengenai ruang sudah tidak akurat lagi di waktu lampu-lampu jalanan dan kendaraan bermotor mulai menyala terang-benderang. Tepat di samping Bamboden lampu merah menyala, taxi berhenti bersebelahan truk pengangkut sampah Pemda. Karena saya tidak suka AC taxi dinyalakan, maka sejak berangkat dari rumah kaca jendela taxi diturunkan, sehingga masuklah menyengat bau sampah menusuk hidung yang berasal dari sampah yang sedang dikais dari tempat sampah Bamboden masuk ke dalam truk pengangkut sampah Pemda. Walaupun kaca taxi dinaikkan, namun proses gerak menutup kaca mengambil waktu, maka terjadilah balapan antara gerak menutup kaca dengan serbuan masuk bau busuk sampah. Maka terperangkaplah bau busuk di dalam taxi. Siapapun akan jengkel jika ruang yang ditempatinya menjadi perangkap bau busuk. Rasa jengkel itu tidak saya tujukan kepada karyawan Pemda yang mengais sampah itu, karena mereka itu hanya melaksanakan tugas untuk kebersihan, salah satu di antara Sapta Tertib yang dicanangkan Walikota. Rasa jengkel itu saya tujukan kepada Bamboden yang menjadi sumber polusi itu.
Dalam situasi kejengkelan itu tiba-tiba supir taxi berucap:
- Lucu Pak.
- Apanya yang lucu, saya cepat menyela.
- Itu pak, mestinya Pemda yang memberi contoh tentang Tertib Lalu Lintas, ini malahan truknya memacetkan jalur kiri.
- Kau tahu apa itu Sapta Tertib?
- Tahu Pak, tetapi tidak hapal semua. Yang saya hafal betul dua di antaranya yaitu tertib tentang kebersihan dan lalu lintas.
***
Pada zaman jahiliyah orang-orang Arab menyembah sejumlah patung-patung berhala. Ada berhala yang bertaraf inter-qabilah, disembah oleh seluruh qabilah penyembah berhala. Ada pula berhala yang hanya bertaraf nasional, yang disembah oleh qabilah Quraisy. Ada pula berhala harian, semuanya mendapat giliran disembah dalam satu tahun, karena setiap berhala harian itu disembah bergilir setiap hari sepanjang tahun. Ada pula berhala khusus untuk keluarga dalam sebuah rumah. Berhala keluarga ini ada yang terbuat dari tepung dan kurma, jadi dapat dimakan. Dan betul-betul berhala ini dimakan jika dalam keadaan paceklik.
Pernah suatu waktu Khalifah 'Umar ibn Khattab RA dipergoki tertawa sendirian oleh seorang sahabat. Maka bertanyalah sahabat itu:
- Hai 'Umar, mengapa tertawa sendrian, ada apa gerangan?
'Umar menjawab:
- Saya teringat zaman jahiliyah. Saya tertawa sendirian itu, karena sedang membayangkan bagaimana mempreteli patung berhala untuk dimakan. Saya mulai dengan mencungkil matanya yang dari kurma itu. Kemudian saya mengiris telinganya. Bukankah itu lucu? Alangkah jahilnya kita waktu itu.
***
Ada seorang yang bernama Azar. Dia itu pemahat patung berhala. Ia mempunyai seorang anak namanya Ibrahim, yang kelak diangkat Allah SWT menjadi salah seorang Nabi dan Rasul. Semasa remajanya, sebelum menjadi nabi, Ibrahim sudah giat memperingatkan Azar dan kaumnya supaya berhenti menyembah berhala.
Wa Idzqa-la Ibrahiymu Liabiyhi Azara Atattakhidzu Ashna-man Alihatan Inny Ara-ka wa Qawmaka fiy Dhala-lin Mubiynin (S.Al An'a-m 74), dan ingatlah tatkala Ibrahim berkata kepada bapaknya, Azar: Mengapa engkau mengambil berhala menjadi Tuhan? Sesungguhnya aku melihat engkau dan kaummu dalam kesesatan yang nyata (6:74).
Suatu hari ketika rumah berhala ditinggalkan kosong karena semuanya pergi ke tempat pesta, Ibrahim masuk kedalamnya dan merusakkan patung-patung berhala. Hanya patung berhala yang paling besar yang dibiarkannya utuh. Setelah orang banyak menyaksikan kerusakan patung-patung itu, mereka terus berkesimpulan bahwa itu adalah ulah Ibrahim.
Qa-luw Sami'na- Fatan Yadzkuruhum Yuqa-lu Lahu Ibra-hiymu (S.Al Anbiya-u, 60), mereka berkata kami dengar seorang pemuda yang mencela tuhan kita namanya Ibrahim (21:60).
Setelah Ibrahim dipanggil diperhadapkan kepada orang banyak, terjadilah dialog yang lucu.
Qa-luw Aanta Fa'alta Hadza- Bialihatina- Ya- Ibra-hiymu. Qa-la Bal Fa'alahu Kabiyrahum Hadza- Fasaluwhum in Ka-nuw Yanthiquwna (S.Al Anbya-u 62-63). (Mereka) berkata: Engkaukah yang berbuat ini terhadap tuhan kami, hai Ibrahim? Jawab (Ibrahim): Justru yang berbuat ialah patung yang besar ini, tanyakanlah kepada berhala-berhala itu jika mereka dapat berbicara (21:62-63). WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 3 September 1995