Dikutip dari JAWA POS, edisi Jumat, 30 Nov 2007. Tak banyak yang tahu, penemu bahan bakar blue energy yang sedang dikampanyekan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) ternyata berasal dari Nganjuk. Dia adalah Joko Suprapto, warga Desa Ngadiboyo, Kecamatan Rejoso. Kemarin (maksudnya 29/11 –HMNA-), tim uji coba kendaraan berbahan bakar tersebut mengunjunginya. Mereka dipimpin staf khusus Presiden SBY, Heru Lelono. Rombongan itu dalam perjalanan dari Cikeas, Bogor menuju Nusa Dua, Bali, tempat digelarnya United Nation Framework Conference on Climate Change (UNFCCC) 2007. "Luar biasa. Ini mobil Mazda Six punya Patwal Mabes (Polri) yang bisa berkecepatan 240 kilometer per jam ini kami coba lari 180 kilometer per jam tanpa ada persoalan. Jadi, moga-moga apa yang kita uji coba ini benar-benar bermanfaat. Insya Allah," ujar Heru begitu turun dari Ford Ranger B 9648 TJ. Selain hemat dan mampu meningkatkan performa kendaraan, lanjut Heru, keunggulan bahan bakar tersebut adalah rendahnya emisi karbon (maksudnya CO2 –HMNA-) yang dihasilkan. Ini sesuai dengan pesan UNFCCC.
"Intinya adalah pemecahan molekul air menjadi H plus dan O2 min. Ada katalis dan proses-proses sampai menjadi bahan bakar dengan rangkaian karbon tertentu," terang peneliti yang mengaku banyak mengambil ide dari Alquran itu.
***
Tentu saja kita gembira dengan berita penemuan di atas itu. Namun ada yang menanggapi di cyber space secara sinis, berhubung dalam berita itu adanya kalimat: "terang peneliti yang mengaku banyak mengambil ide dari Alquran itu." Gabriela Rantau menulis di cyber space: "Yg jelas tidak ada satu ayat Qur'an-pun yg menyebut ttg bahan bakar untuk internal combustion engines. Zaman turunnya al Qur'an kendaraan yg paling populer adalah onta dan kuda! Kedua binatang ini tidak perlu BBM."
Tanggapan sinis ini, tentu dimotivasi oleh hasad (kedengkian), dan itu perlu dijawab dalam Kolom WAHYU DAN AKAL – IMAN DAN ILMU ini. Sumber energi diklasifikasikan dalam tiga jenis:
Pertama, yang dapat diperbaharui (renewable), seperti pasang-surut yang berulang secara berirama setiap sekitar 24 jam, akibat tarikan gravitasi bulan terhadap selubung cair (laut) dari bumi. Energi pasang surut ini diserap oleh turbin air dengan intake arus dua arah, arah aliran arus air laut dari laut ke darat waktu pasang dan arus dari darat ke laut waktu surut. Juga akibat daur air menguap ke udara lalu turun berwujud hujan, air ditampung oleh bunga tanah di hutan lebat di tempat ketinggian. Air di tempat ketinggian mempunyai tenaga potensial yang dikenal dalam ilmu bumi sebagai batu-bara putih, yaitu air terjun. Batu bara putih ini banyak dipakai di Norwegian dan Swedia. Tenaga air ini juga diserap oleh turbin air.
Kedua, yang tak dapat diperbaharui seperti bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu-bara). Penyerapan tenaga dari bahan bakar fosil ini melalui pembakaran, inilah penyebab emisi gas rumah kaca CO2 yang merusak iklim itu. Dengan pembakaran minyak, kalor (panas) itu dipakai untuk menggerakkan torak dari internal combustion engine. Atau dengan pembakaran batu bara ataupun minyak bakar (fuel oil), itu dipakai untuk menguapkan air dalam al-ghallayah (boiler, ketel) dan tenaga kalor dalam uap air itu diserap oleh turbin uap. Ada pula bahan bakar fosil yang berupa gas bumi, juga dari hidrokarbon, sehingga ini juga menyebabkan emisi CO2 itu.
Ketiga, yang tak terhabiskan (non-exhausted), seperti sinar dalam wujud photon dari matahari termasuk anak-cucunya. Adapun anak photon adalah energi angin dan energi arus laut. Bagian atmosfer dan air laut yang kena pukulan photon suhunya akan naik. Maka mengalirlah udara dan air laut dari tempat yang lebih dingin ke tempat yang panas itu, lalu terjadilah hembusan angin dan aliran arus laut. Adapun cucu photon adalah anak energi angin, yaitu energi ombak. Terjadinya ombak karena tekanan angin pada muka laut atau danau. Energi arus laut telah dipergunakan oleh nenek moyang kita orang Bugis-Makassar berlayar sampai di Madagaskar, dan energi angin juga telah dipergunakan sampai sekarang oleh alat transportasi laut berupa perahu layar. Energi angin ini diserap oleh turbin angin. Energi photon dari matahari juga sudah dipergunakan oleh nenek moyang kita untuk mengawetkan ikan, yaitu ikan digarami kemudian dijemur di bawah sinar photon dari matahari. Garam adalah sumber daya alam yang juga masuk dalam klasifikasi tak terhabiskan. Energi ombak diserap oleh mesin torak ombak. Torak digerakkan oleh pelampung yang turun naik oleh ombak.
Masih kutipan dari JAWA POS: Yang menarik, bahan dasar air yang digunakan adalah air laut. "Kalau air tanah bisa menyedot ribuan atau jutaan meter kubik. Kasihan masyarakat, paling bagus nanti bahannya air laut," terang pria yang selalu menyembunyikan identitasnya, termasuk almamater tempatnya meraih gelar insinyur, itu.
***
Firman Allah:
-- WALBhR ALMSJWR (S. ALThWR, 52:6), dibaca:
-- walbahril masju-r, artinya:
-- Perhatikan laut yang berapi
Api adalah energi, dan apabila energi dalam laut ini dapat dimanfaatkan, maka energi dalam laut ini adalah juga termasuk energi yang tak terhabiskan. Jadi keterangan Joko Suprapto yang mengaku bahwa ia mengambil ide dari Alquran itu, bukanlah omong kosong dan tidaklah wajar jika ditanggapi secara sinis atas dasar kedengkian oleh Gabriela Rantau, atau siapapun namanya yang sebenarnya.
Catatan tentang terjemahan "walbahri". Itu biasanya diterjemahkan dengan "demi laut". Wa yang diikuti oleh isim (kata benda) yang dikasrah, adalah sebuah QSM, "sumpah", namun tidak cocok untuk diterjemahkan dengan "demi". Sebab dalam bahasa Indonesia "demi" itu menyatakan penguatan yang disandarkan kepada sesuatu yang lebih "tinggi", yaitu Allah. Sedangkan QSM dengan wa dalam ayat (52:6) itu adalah "sumpah" di mana yang "bersumpah" kedudukannya itu Maha Tinggi. Jadi "walbahri" tidak cocok diterjemahkan dengan "demi laut", melainkan "perhatikanlah laut", karena yang ber-QSM di sini adalah Allah SWT. Singkatan SWT dari subhanahu wa ta'ala, artinya Yang Maha Suci dan Maha Tinggi. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 30 Desember 2007
30 Desember 2007
[+/-] |
808. Joko Suprapto Penemu Bahan Bakar Blue Energy |
23 Desember 2007
[+/-] |
807. Bali Roadmap: Apa Hubungan Antara Emisi CO2 Dengan Hutan? |
Melalui jalur pribadi saya menerima e-mail yang minta tidak disebutkan mamanya, pertanyaan seperti berikut: "Ustadz setelah saya mengikuti sikit Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim di Bali, setelah membaca isu penting dalam konfrensi tsb adalah berjubelnya emisi gas rumah kaca dan menipisnya hutan, timbullah serta-merta dalam benak saya rentetan pertanyaan, apa itu rumah kaca serta apa hubungannya emisi gas rumah kaca di satu pihak dan menipisnya hutan di lain pihak ?"
Sebelum menjawab pertanyaan tsb, saya kemukakan dahulu hal yang berikut. Inter-governmental Panel on Cimate Change (IPCC) telah mempublikasikan hasil pengamatan ilmuwan dari berbagai negara. Isinya sangat mengejutkan. Selama tahun 1990-2005, ternyata telah terjadi peningkatan suhu merata di seluruh bagian bumi, antara 0,15 – 0,3o C. Jika peningkatan suhu itu terus berlanjut, diperkirakan pada tahun 2040 lapisan es di kutub-kutub bumi akan habis mencair, lalu mengalir ke laut lepas dan menyebabkan permukaan laut bumi (termasuk laut di seputar Indonesia) terus meningkat. Pulau-pulau kecil terluar kita bisa lenyap dari peta bumi, sehingga garis kedaulatan negara bisa menyusut. Dan diperkirakan dalam 30 tahun mendatang sekitar 2.000 pulau di Indonesia akan tenggelam. Bukan hanya itu, jutaan orang yang tinggal di pesisir pulau kecil pun akan kehilangan tempat tinggal. Di Indonesia peningkatan suhu itu berwujud tanda yang kasatmata adalah menghilangnya salju yang dulu menyelimuti satu-satunya tempat bersalju di Indonesia, yaitu Gunung Jayawijaya di Papua. Menurut hasil studi yang dilakukan ilmuwan di Pusat Pengembangan Kawasan Pesisir dan Laut, Institut Teknologi Bandung (2007), jika suhu bumi terus meningkat, maka diperkirakan, pada tahun 2050 daerah-daerah di Jakarta (seperti: Kosambi, Penjaringan, dan Cilincing) dan Bekasi (seperti : Muaragembong, Babelan, dan Tarumajaya) akan terendam semuanya.
Hasil Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim (UNCCC) yang dirangkum dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap) tidak memuaskan kalangan aktivis lingkungan. Penempatan target spesifik penurunan emisi dari gas rumah kaca (GRK) dalam catatan kaki pembukaan, adalah untuk melayani kepentingan Amerika Serikat. Ini meremehkan kajian ilmiah ahli iklim . Pembahasan kesepakatan akhir di Bali berlangsung alot akibat sikap AS yang didukung Kanada dan Jepang. Mereka menolak target pengurangan emisi bagi negara-negara maju 25-40 persen dari angka pada 1990 yang harus terealisasi tahun 2020. Delegasi AS yang dikirim pemerintahan Presiden Bush sebagai biang keladi tumpulnya kesepakatan konferensi.
***
Emisi itu sangat beragam: CO, CO2, SO2, H2S, CS2 dan CFC. CO2 dan CFC tidak beracun, sedangkan yang lain semuanya beracun. Namun yang berbahaya secara global justru yang tidak beracun. CFC merusak lapisan ozon perisai yang ditempatkan Allah di angkasa utuk melindungi bumi dari sengatan fraksi ultra violet yang berbahaya dari photon (sinar matahari). Sedangkan GRK CO2 itulah yang memegang peranan dalam hal pemanasan global. Apa hubungan antara emisi GRK CO2 dengan pembabatan hutan ? Dalam menjawab pertanyaan apa saja, maka biasanya metode yang saya tempuh, pertama-tama mencari jawabannya dalam Al-Quran (ayat qawliyah), sebab Al-Quran secara spesifik adalah petunjuk orang bertaqwa (S. Al-Baqarah 2:2) dan secara umum petunjuk manusia (S. Al-Baqarah, 2:185). Allah SWT berfirman:
-- ALDzY J'ALLKM MIN ALSyJR ALAKhDhR NARA FADzA ANTM MNH TWQDWN (S. YS, 36:80), dibaca:
-- alladzi- ja'alalakum minasy syajaril akhdhari na-ran faidza- antum minu tu-qidu-n, artinya:
-- Yaitu Yang menjadikan bagimu api dalam (zat) hijau pohon dan dengan itu kamu dapat membakar.
Selanjutnya hasil pengungkapan sains dalam ayat kawniyah (alam syahadah, physical world), dipakai sebagai ilmu bantu dalam memahamkan ayat qawliyah. Tumbuh-tumbuhan dibangun oleh bahagian-bahagian kecil yang disebut sel. Di dalam inti sel terdapat butir-butir pembawa zat warna. Yang terpenting di antara butir-butir itu adalah pembawa zat warna hijau, yaitu ALSyJR ALAKhDhR, zat hijau pohon (istilah ilmiyahnya: khlorophyl, zat hijau daun, dari bahasa Yunani, Kholoros = hijau, Phyllon = daun). Zat hijau pohon yang terdapat dalam seluruh bagian pohon yang hijau (jadi bukan di daun saja), menangkap photon dari matahari dan mengubah wujud tenaga photon itu menjadi tenaga potensial kimiawi dalam makanan dan bahan bakar hidrokarbon di dalam molekul-molekul melalui proses photosynthesis. Dalam proses photosynthesis oleh zat hijau pohon ini dari bahan baku CO2 dan air dan photon, dihasilkan makanan dan bahan bakar hidrokarbon dan oksigen. Selanjutnya melalui proses respirasi dalam tubuh manusia dan binatang serta mesin-mesin pabrik, makanan dan bahan bakar itu dengan oksidasi oksigen dari udara berubahlah pula menjadi CO2 dan air. Demikianlah sterusnya daur atau siklus itu berlangsung. Tumbuh-tumbuhan mengambil CO2 dan mengeluarkan oksigen. Sebaliknya manusia, binatang dan mesin-mesin mengambil oksigen dan mengeluarkan CO2. Demikianlah oksigen dihisap/disedot dari udara, dalam pada itu makanan dan bahan bakar dibakar dengan oksigen dalam tubuh manusia dan mesin-mesin pabrik. Itulah ma'na Yang menjadikan bagimu api dalam (zat) hijau pohon dan dengan itu kamu dapat membakar.
Di daerah yang beriklim dingin, sayur-sayuran ataupun buah-buahan yang menghendaki suhu yang lebih tinggi dari udara sekeliling, ditanam di dalam rumah kaca. Fungsi rumah kaca sesungguhnya adalah perangkap panas. Kaca adalah zat bening, tembus cahaya. Photon dari matahari gampang menerobos masuk memukul molekul-molekul udara dalam rumah kaca. Akibatnya suhu udara naik dalam rumah kaca, udarapun bertambah panas. Kaca adalah pengantar panas yang jelek, sehingga panas yang timbul itu tidak gampang keluar menerobos atap maupun dinding kaca. Maka terperangkaplah panas itu dalam rumah kaca. Inilah efek rumah kaca. Dengan tingginya kadar CO2 yang dimuntahkan oleh pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor, maka permukaan bumi merupakan rumah kaca dalam skala global. Ruang antara lapisan CO2 dengan permukaan bumi tak ubahnya ibarat ruang dalam rumah kaca, menjadi perangkap panas, oleh karena sifat gas CO2 sama dengan kaca, gampang ditembus photon, tetapi sukar ditembus panas. Itulah sebabnya CO2 disebut GRK.
Demikianlah pentingnya hutan lebat. Bukan hanya sekadar mengendalikan air di dalam tanah dan permukaan bumi, tidak banjir di musim hujan dan tidak kering di musim kemarau. Akan tetapi, dan ini yang lebih penting, adalah untuk terjadinya daur: tumbuh-tumbuhan penghasil oksigen, yang membutuhkan CO2 - manusia dan binatang penghasil CO2, yang membutuhkan oksigen. Itulah hubungannya antara emisi CO2 dan hutan lebat dalam konteks pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim menjadi liar. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 23 Desember 2007
16 Desember 2007
[+/-] |
806. 'Iyd al-Qurbaan Terkait pada Waktu dan Tempat: Wuquf di 'Arafah |
Tulisan ini saya ambil dari penggalan yang saya sajikan dalam Mujadalah (diskusi) bulanan di hadapan Majelis Para Muballigh IMMIM yang diselenggarakan oleh DPP IMMIM
Sebermula mengenai peristilahan, yaitu ada perbedaan antara qurban dgn kurban dgn korban. Kurban dan korban diadopsi dari qurban.
Korban, hanya terkhusus atas manusia dan itu terdiri atas dua jenis. Pertama adalah mereka yang ditimpa musibah, oleh bencana alam. Yang kedua adalah mereka yang menjadi sasaran perbuatan jahat. Mati atau tidak mati, cedera atau tidak cedera, adalah mereka yang menjadi sasaran perbuatan jahat yang rumahnya hancur di Palestina, Afghanistan dan Iraq kena rudal para imperialis yang bengis, yaitu Israel, Amerika dan Inggris. Termasuk dalam hal sasaran jahat ini adalah Korban 40 000 di Sulawesi Selatan, yang baru-baru ini diperingati pada 11 Desember 2007 . Korban menurut arti yang kedua ini mempunyai arti spesifik yang sama artinya dengan mangsa.
Kurban, yaitu upacara khurafat ritual "accera'" (mengucurkan darah), seperti contohnya kepala kerbau, atau bahkan dalam agama primitif bisa berupa manusia juga, untuk dipersembahkan kepada hantu-hantu penguasa di tempat upacara khurafat itu, ataupun untuk persembahan kepada dewa-dewa. Persembahan itu dimaksudkan agar daging dan darahnya disantap dan diminum oleh para hantu dan dewa penguasa itu. Alhasil kata kurban berarti suguhan (offering) dan sesajen yang sakral (sacrifice), dan itu dapat saja terdiri dari manusia, binatang dan makanan.
Qurban adalah bahasa Al-Quran yang dibentuk oleh akar kata 3 huruf: Qaf-Ra-Ba [QRB], dengan wazan (pola) Fa-'Ain-Lam-Alif-Nun [F'ALAN], fu'laan, menjadi [QRBAN] qurbaan, artinya "dekat". Jika ditasrifkan menjadi taqarrub berarti mendekatkan diri. Seperti telah disebutkan di atas qurban ini telah diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam bentuk korban dan kurban. Akan tetapi kata-kata korban dan kurban dalam cita-rasa bahasa Indonesia sudah menyimpang dari makna "dekat" seperti dijelaskan di atas. Namun dalam pada itu apabila [QRB] dalam bentuk qarib, yang diserap ke dalam bahasa Indonesia dalam ungkapan sahabat karib, serta bentuk tafdhil (superlatif) yaitu aqrab dalam ungkapan pergaulan yang akrab, masih terasa maknanya yang asli. Kedua kata karib dan akrab tersebut masih kental cita-rasa makna bahasa asalnya, "dekat".
Qurban sama sekali tidak bermakna suguhan (offering) juga tidak bermakna sesajen yang sakral (sacifice). Firman Allah:
-- FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR , LN YNAL ALLH LHWHMA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (S. ALHJ, 22:36-37), dibaca:
-- Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wa ath'imul qa-ni'a walmu'tar , Lay yana-lal la-ha luhu-muha wala- dima-uha- wala-kiy yana-lut taqwa- mingkum, artinya:
-- Apabila rebah tubuhnya (binatang qurban) itu, maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang-orang miskin yang tidak mau meminta dan orang miskin yang meminta. Tidak sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketaqwaan kamu.
Alhasil, binatang-qurban disembelih, dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk diberikan kepada orang miskin sebagai fungsi sosial, sedangkan darahnya dibuang, karena haram hukumnya untuk dimakan, sama sekali tidak sakral. Secara tekstual binatang-qurban itu betul-betul disembelih, dan secara kontekstual, yaitu dalam konteks 'Ilm al Nafs (psikologi), bermakna metaforis, yakni menyembelih nafsun ammarah, binatang dalam Nafs (diri) manusia, sehingga dapat taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT.
***
Dalam hal permulaan puasa dan Idulfitri ada perintah spb:
-- 'An Abiy Hurayrata yaquwlu qaala nNabiyyu Sh M shuwmuw liru'yatihi wafthuruw liru'yatihi fain ghubbiya 'alaykum fakmiluw 'iddata sya'baana tsalaatsiyn, artinya:
-- Dari Abu Hurayrah (ia) berkata: Nabi SAW (telah) bersabda puasalah kamu apabila melihatnya (al Hilal) dan berbukalah apabila kamu melihatnya dan jika (al Hilal) tertutup atasmu maka sempurnakanlah bilangan Sya'ban tiga puluh (HR Bukhari).
-- FMN SyHD MNKM ALsYHR FLYSMH (s. aLBQRt, 2:185), dibaca:
-- Faman syahida minkumusy syahra falyasumhu, artinya:
-- maka siapa menyaksikan syahr (month) wajiblah ia puasa.
Jadi dalam konteks puasa dan Idul Fithri ada perintah umum kepada semua ummat Islam untuk melihat bulan sabit (HR Bukhari) atau menghitung syahr (ayat 2:185), sehingga saat mulai puasa (shuwmuw) dan 'Iyd al-Fithri (wafthuruw) tergantung dari mathla', di tempat mana pada permukaan bumi ini kita berpijak, maka tidak perlu kita di Indonesia ini ataupun di mana saja harus sama dengan Makkah dalam hal waktu pelaksanaan mulai puasa ataupun shalat 'Iyd al-Fithrii.
Dalam hal Iyd al-Qurbaan tidak ada perintah melihat dan menghitung bulan kepada seluruh ummat Islam. Iyd al-Qurbaan adalah bagian dari ibadah haji, yang sentralnya ialah wuquf di 'Arafah, dengan demikian 'Iyd al-Qurbaan terkait di samping pada waktu, juga terkait pada tempat. Sedangkan dalam hal 'Iyd al-Fitjri hanya terkait pada waktu saja. Alhasil ummat Islam di seluruh dunia wajib mengikuti Makkah dalam hal shalat 'Iyd al-Qurbaan, pada 19 Desember 2007 termasuk puasa sunnat Hari 'Arafah sehari sebelumnya, yaitu 18 Desember 2007. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 16 Desember 2007
9 Desember 2007
[+/-] |
805. Seribu Balon Kondom, dan Meningkatnya Penderita AIDS Karena Kondom |
Tingkat pengidap HIV/AIDS di Sulsel yang terus meningkat dan mencapai 1600 orang membuat seluruh pihak prihatin. Pada halaman satu Harian Fajar edisi Minggu, 2 Desember 2007 terpampang gambar sepasang muda-mudi (?), yang mudi PD, sedangkan yang muda kurang PD karena pakai kaca mata hitam, dengan ceria berada di antara "gumpalan" seribu balon kondom dalam acara pelepasan kondom, dalam rangka Pekan Kondom Nasonal yang pertama kalinya diselenggarkan di Indonesia, menyaingi pelepasan burung merpati yang biasa dilepaskan. Ayak ayak wae, kotek (kita pinjam ungkapan yang disenangi Wapres Republik BBM, kecuali kata kotek), dari bahasa daerah Sunda, yang artinya ada-ada saja, sedangkan kata kotek dari bahasa Manado, yang artinya kurang lebih sama dengan bela di daerah ini, cenah dalam bahasa Sunda, atau onde-mande bahasa Minang, yang bahasa Indonesianya, amboi.
Saya teringat diskusi bulanan di IMMIM, (maaf saya lupa tanggalnya), tatkala membicarakan kegunaan kondom, seorang aktivis kampanya kondom untuk menangkis "serangan" terhadap kondom, ia mengatakan itu kodom telah dites ditiup menjadi balon dan tidak kempes. Serangan terhadap kondom itu berupa perbandingan antara virus HI (tanpa V, karena sudah ada kata virus di depannya), dengan pori-pori kondom, ibarat pintu gerbang dengan tikus. Sedangkan serangan balik terhadap kondom balon yang dikatakan tidak kempes, yakni itu ban mobil juga tidak kempes setelah diisi udara kempa, bahkan pori-pori ban mobil itu jauh lebih besar dari pori-pori kondom. Dipakai ungkapan kondom balon, ialah untuk membedakan dengan balon kondom seperti termaktub dalam judul di atas: balon kondom. Yang pertama berarti betul-betul kondom, sedangkan yang kedua ialah betul-betul balon, hanya kondom-kondoman. Yah, memakai hukum DM.
Baiklah saya kutip dari situs msn :
Updated: 4:57 p.m. ET Aug. 16, 2005
NEW YORK - Many visitors to a sexual health clinic report the usage of condoms, which appears to lead to a statistically significant increase risk of gonorrhea among men, according to the results of a new study.
Nah, ternyata kondom tidak menjamin, karena si "mas bakteri" bisa menembus kondom, apatah pula si "Bloody HIV" pun bisa mendahului "mas bakteri" inviltrasi ke organ reproduksi kaum "female".
Ini juga saya kutip (minta izin bos) dari tulisan Achmad Harun Muchsin berjudul: Kondom Bukan Solusi Cegah Penyebaran HIV/AIDS, Refleksi Peringatan Hari Aids Sedunia pada rubrik OPINI, Harian FAJAR, edisi Hari Sabtu 1 Desember 2007, seperti berikut:
Pori-pori kondom ternyata lebih besar dari pada ukuran HIV/AIDS itu sendiri. Dalam konferensi AIDS Asia Pacific di Chiang Mai, Thailand (1995) dilaporkan bahwa penggunaan kondom aman tidaklah benar. Disebutkan bahwa pada kondom (yang terbuat dari bahan latex) terdapat pori-pori dengan diameter 1/60 mikron dalam keadaan tidak meregang, sedangkan bila dalam keadaan meregang lebarnya pori-pori tersebut mencapai 10 kali (=1/6 mikron-HMNA-). Sementara kecilnya virus HIV berdiameter 1/250 mikron. Dengan demikian jelas bahwa HIV dapat dengan leluasa menembus pori-pori kondom.
Ini juga kutipan dari http://waii-hmna.blogspot.com/1996/04/224-kampanye-penggunaan-kondom-dalam.html:
Nilai-nilai Al Furqan (aqidah, akhlaq dan hukum syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak:
-- ALHQ MN RBK (S. ALBQRt, 2:147), dibaca:
-- al haqqu mirrabbika, artinya:
-- Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu
Di negara-negara barat kebebasan seks sudah menirbudaya bahkan sudah menjadi nilai nirbudaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh komunitas. Hubungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan hakim berdasar atas pola-pikir bahwa rentang kekuasaan hakim hanya menjangkau hingga pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan sistem peradilan jika suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang berhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya pola-pikir ini masih dianut oleh sistem peradilan di Indonesia, karena masih tertera dalam fasal 284 dalam KUHP.
Kondomisasi menyangkut nilai operasional kinerja, khususnya efektivitas. Kondomisasi tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai komunitas di barat, yaitu kebebasan seks. Bagi komunitas yang menerima nilai bebas seks sebagai suatu kesepakatan (nilai nirbudaya), kondomisasi bukan masalah. Dalam kondisi yang demikian itu, kondomisasi yang bertumpukan nirbudaya bebas seks hanyalah menjadi urusan pribadi, sehingga dalam kalangan lembaga (dan para anggota lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV itu, kondomisasi bukanlah masalah yang harus ditentang, bahkan sangat dianjurkan oleh karena menyangkut nilai operasional kinerja khususnya efektivitas. Kondomisasi yang bertumpu di atas nilai nirbudaya bebas seks tidak sesuai dengan nilai agama terkhusus nilai akhlaq. Itu berarti bahwa atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, kondomisasi itu harus ditolak. Maka harus ditempuh upaya penaggulangan penyakit AIDS yang bersifat strategis tanpa kondomisasi. Hal ini telah dibahas dalam Seri 206, 10 Desember 1995 dengan judul: Upaya Strategis Menangkal Penyakit AIDS. Sekian kutipan itu.
Menurut alinea ke-4 Pembukaan UUD-1945, bahwa negara harus melindungi rakyatnya, yang dalam hal ini tunas-tunas bangsa, yaitu Anak Baru Gede (ABG). Berdasar atas struktur piramida penduduk tanpa penelitian kita yakin bahwa ABG yang masih labil jiwanya jauh lebih banyak, karena berada pada posisi yang dekat ke dasar piramida. ABG bisa lebih tergiur berseks bebas akibat kampanye kondom merasa aman berseks, padahal mereka tertipu bahwa itu adalah keamanan semu berhubung kondom tidak menjamin memproteksi dari terobosan HIV.
Alhasil, berseks bebas meningkat, samada intensitas mapun kuantitas. HIV tambah meraja lela merambat bebas, karena "anggota" kelompok pemakai kondom bertambah jumlahnya, yang berarti bertambah pula orang terinveksi HIV, berhubung berkondom tidak menjamin kemanan terhadap HIV, tikus (1/250 mikron) dengan leluasa masuk ke pintu gerbang (1/6 mikron). Itulah penjelasan dari judul di atas: Meningkatnya Penderita AIDS Karena Kondom. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 9 Desember 2007
2 Desember 2007
[+/-] |
804. Masalah Ejaan dan Pengembangan Makna Kata |
Saya terima e-mail, bunyinya demikian: Ana baca di Fajar ente tulis paham, pi'il amr, ditasripkan, ditapsirkan dan science piction. Ana tidak percaya ente allergi bunyi f sehingga Ana melayari link ini, ternyata ente tulis faham, fi'il amr, ditasrifkan, ditafsirkan dan science fiction. Wah, rupanya ada "virus" yang mengubah f menjadi p, lama-lama nama Harian FAJAR, diubah itu "virus" menjadi PAJAR. Demikian bunyi e-mail yang saya terima itu.
Memang EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) tidak meng-"haram"-kan f, sehingga tidak semua bunyi f yang berasal dari kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia diubah menjadi bunyi p. Faham dan paham, tafsir dan tapsir, tasrif, fiksi semuanya ada dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Poerwadarminta, Diolah Kembali Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh Balai Pustaka di Jakarta 1999 (edisi terbaru). Sedangkan tasrip dan piksi tidak terdapat dalam Kamus edisi terbaru tersebut. Akan halnya dengan fi'il, tetap f bukan p hanya saja 'i diubah menjadi I, demikian menurut Kamus edisi terbaru tersebut.
Apa itu tasrif ? Yaitu perubahan bentuk kata kerja oleh pelaku dan waktu, bahasa Inggrisnya, conjugation, contoh:
DKhL (dakhala=masuk) ditasrifkan menjadi YDKhLWN (yadkhulu-na):
YDKhLWN FY DYN ALLH AFWAJA (S. ALNShR, 110:2), dibaca:
Yadkhulu-na fi- di-niLla-hi, afwa-jan, artinya
Mereka (manusia) masuk agama (yang diturunkan) Allah dengan berduyun-duyun
Waktu kini:
ana aktubu, huwa yaktubu, hiya taktubu
I write, he writes, she writes (Ing)
Ik schrijf, hij schrijft, zij schrijft (Bld)
Waktu lalu
ana katabtu, huwa kataba, hiya katabat
I wrote, he wrote, she wrote
ik schreef, hij schreef, zij schreef
Dalam bahasa Indonesia tidak dikenal tasrif:
Saya makan, dia makan
Tetapi dalam bahasa Bugis-Makassar, ada tasrif:
Iya' manreka, alena manrei (Bgs)
Nakke angganrea, iya angnganrei (Mks)
Menurut EYD tidak boleh ada konsonan ganda, seperti misalnya tammat menjadi tamat, ummat menjadi umat. Akan tetapi bahasa hukum ada kesengajaan melanggar EYD dalam kata sangsi dan sanksi, untuk membedakan antara pengertian ragu dengan hukuman. Demikian pula dalam bahasa matematika dalam kata fungsi dan funksi, untuk mebedakan antara pengertian kegunaan dengan peubah, y = funksi x, maksudnya y berubah karena berubahnya x.
***
Ada ketentuan bahwa jenazah itu harus cepat dikebumikan. Kata cepat itu diperkembang menjadi laju. Padahal cepat itu dimensinya waktu, sedangkan laju itu dimensinya jarak/waktu. Baru-baru ini saya bersama dengan besan saya Pak H.M. Rahmat Ibrahim mengantar duduk dalam mobil jenazah cucu-tersayang almarhum Muh. Fr. Al-Khair Asad, di mana kedua sepupu almarhum, yaitu Yasser Arafat dan Muammar Qaddhafi masing-masing membawa bendera putih, kanan dan kiri di antara barisan "pengawal" bermotor. Bendera putih itu berfungsi sebagai aba-aba pada setiap simpang jalan, supaya barisan kendaraan pengiring mobil jenazah tidak terpotong. Polisi yang menjadi voorijder di depan "menterjemahkan" cepat itu menjadi laju, sehingga kedua pembawa bendera itu setelah selesai bertugas agar barisan pengiring jenazah tidak terpotong, keduanya harus melaju mengejar ke depan agar tidak ketinggalan, sekitar 125 km/jam (saya tanya kepada mereka sesudahnya), menuju simpang jalan berikutnya.
Hendaknya muballigh yang memberikan ceramah ta'ziyah menekankan bahwa cepat itu tidaklah berarti pula melaju, ya cukup 30 sampai 40 km/jam saja. Tidak sama tentunya dengan laju ambulance yang membawa orang gawat sakitnya, karena itu memang perlu. Ta'ziyah secara teknis diadakan modifikasi. Pada zaman RasuluLlah SAW dan para sahabat, ta'ziyah itu secara indivudual datang melayat membawa makanan. Jadi waktu melayat itu bisa panjang waktunya. Kalau sekarang secara teknis berubah. Tidak lagi secara individual, melainkan seluruh keluarga dan handai tolan serempak datang melayat biasanya selama tiga malam berturut-turut untuk mendengarkan ceramah ta'ziyah. Perubahan teknis ini bukanlah merupakan bid'ah.
Dalam ibadah, menurut ushul fiqh yang berlaku adalah: hukum asal dalam ibadah mahdhah/ritual adalah ikut pada apa yang diperintahkan Nash, singkatnya semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan - tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi. Sedangkan dalam hal ibadah ghayr mahdhah/ non-ritual, menyangkut hubungan sosial/mu'amalah berlaku qaidah: Semua boleh kecuali yang dilarang oleh Nash. Ta'ziyah itu termasuk dalam hal ibadah yang non-ritual, sehingga melayat dengan serempak boleh saja dilakukan asal saja tidak betentangan dengan Nash. Dalam hal apa bertentangan dengan Nash? Jika berkumpul itu diniatkan untuk orang yang sudah meninggal me-3 hari, me-7 hari, me-40 hri, me-100 hari, berdasar atas kepercayaan paganisme, bahwa ruh orang mati itu dalam waktu-waktu sekian masih ada datang berkunjung di rumahnya. Itulah yang terlarang, sebab ruh orang yang sudah mati sudah pindah ke alam lain, yakni ke alam barzakh, tidak lagi bisa kembali ke alam nyata, proses perpidahan ruh itu "irreversible". Kalaupun ada "penampakan" yang mengaku ruh yang telah meninggal, itu adalah tipuan jin anak buah iblis (ingat, ada juga jin yang baik) yang menyamar memperatasnamakan ruh orang yang sudah meninggal. WaLlahu a'lamu bisshawab.
***
Makassar, 2 Desember 2007