2 Desember 2007

804. Masalah Ejaan dan Pengembangan Makna Kata

Saya terima e-mail, bunyinya demikian: Ana baca di Fajar ente tulis paham, pi'il amr, ditasripkan, ditapsirkan dan science piction. Ana tidak percaya ente allergi bunyi f sehingga Ana melayari link ini, ternyata ente tulis faham, fi'il amr, ditasrifkan, ditafsirkan dan science fiction. Wah, rupanya ada "virus" yang mengubah f menjadi p, lama-lama nama Harian FAJAR, diubah itu "virus" menjadi PAJAR. Demikian bunyi e-mail yang saya terima itu.

Memang EYD (Ejaan Yang Disempurnakan) tidak meng-"haram"-kan f, sehingga tidak semua bunyi f yang berasal dari kata asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia diubah menjadi bunyi p. Faham dan paham, tafsir dan tapsir, tasrif, fiksi semuanya ada dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, susunan W.J.S. Poerwadarminta, Diolah Kembali Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diterbitkan oleh Balai Pustaka di Jakarta 1999 (edisi terbaru). Sedangkan tasrip dan piksi tidak terdapat dalam Kamus edisi terbaru tersebut. Akan halnya dengan fi'il, tetap f bukan p hanya saja 'i diubah menjadi I, demikian menurut Kamus edisi terbaru tersebut.

Apa itu tasrif ? Yaitu perubahan bentuk kata kerja oleh pelaku dan waktu, bahasa Inggrisnya, conjugation, contoh:
DKhL (dakhala=masuk) ditasrifkan menjadi YDKhLWN (yadkhulu-na):
YDKhLWN FY DYN ALLH AFWAJA (S. ALNShR, 110:2), dibaca:
Yadkhulu-na fi- di-niLla-hi, afwa-jan, artinya
Mereka (manusia) masuk agama (yang diturunkan) Allah dengan berduyun-duyun

Waktu kini:
ana aktubu, huwa yaktubu, hiya taktubu
I write, he writes, she writes (Ing)
Ik schrijf, hij schrijft, zij schrijft (Bld)

Waktu lalu
ana katabtu, huwa kataba, hiya katabat
I wrote, he wrote, she wrote
ik schreef, hij schreef, zij schreef

Dalam bahasa Indonesia tidak dikenal tasrif:
Saya makan, dia makan

Tetapi dalam bahasa Bugis-Makassar, ada tasrif:
Iya' manreka, alena manrei (Bgs)
Nakke angganrea, iya angnganrei (Mks)

Menurut EYD tidak boleh ada konsonan ganda, seperti misalnya tammat menjadi tamat, ummat menjadi umat. Akan tetapi bahasa hukum ada kesengajaan melanggar EYD dalam kata sangsi dan sanksi, untuk membedakan antara pengertian ragu dengan hukuman. Demikian pula dalam bahasa matematika dalam kata fungsi dan funksi, untuk mebedakan antara pengertian kegunaan dengan peubah, y = funksi x, maksudnya y berubah karena berubahnya x.

***
Ada ketentuan bahwa jenazah itu harus cepat dikebumikan. Kata cepat itu diperkembang menjadi laju. Padahal cepat itu dimensinya waktu, sedangkan laju itu dimensinya jarak/waktu. Baru-baru ini saya bersama dengan besan saya Pak H.M. Rahmat Ibrahim mengantar duduk dalam mobil jenazah cucu-tersayang almarhum Muh. Fr. Al-Khair Asad, di mana kedua sepupu almarhum, yaitu Yasser Arafat dan Muammar Qaddhafi masing-masing membawa bendera putih, kanan dan kiri di antara barisan "pengawal" bermotor. Bendera putih itu berfungsi sebagai aba-aba pada setiap simpang jalan, supaya barisan kendaraan pengiring mobil jenazah tidak terpotong. Polisi yang menjadi voorijder di depan "menterjemahkan" cepat itu menjadi laju, sehingga kedua pembawa bendera itu setelah selesai bertugas agar barisan pengiring jenazah tidak terpotong, keduanya harus melaju mengejar ke depan agar tidak ketinggalan, sekitar 125 km/jam (saya tanya kepada mereka sesudahnya), menuju simpang jalan berikutnya.

Hendaknya muballigh yang memberikan ceramah ta'ziyah menekankan bahwa cepat itu tidaklah berarti pula melaju, ya cukup 30 sampai 40 km/jam saja. Tidak sama tentunya dengan laju ambulance yang membawa orang gawat sakitnya, karena itu memang perlu. Ta'ziyah secara teknis diadakan modifikasi. Pada zaman RasuluLlah SAW dan para sahabat, ta'ziyah itu secara indivudual datang melayat membawa makanan. Jadi waktu melayat itu bisa panjang waktunya. Kalau sekarang secara teknis berubah. Tidak lagi secara individual, melainkan seluruh keluarga dan handai tolan serempak datang melayat biasanya selama tiga malam berturut-turut untuk mendengarkan ceramah ta'ziyah. Perubahan teknis ini bukanlah merupakan bid'ah.

Dalam ibadah, menurut ushul fiqh yang berlaku adalah: hukum asal dalam ibadah mahdhah/ritual adalah ikut pada apa yang diperintahkan Nash, singkatnya semua tidak boleh kecuali yang diperintahkan - tidak boleh menambahi, ataupun mengurangi. Sedangkan dalam hal ibadah ghayr mahdhah/ non-ritual, menyangkut hubungan sosial/mu'amalah berlaku qaidah: Semua boleh kecuali yang dilarang oleh Nash. Ta'ziyah itu termasuk dalam hal ibadah yang non-ritual, sehingga melayat dengan serempak boleh saja dilakukan asal saja tidak betentangan dengan Nash. Dalam hal apa bertentangan dengan Nash? Jika berkumpul itu diniatkan untuk orang yang sudah meninggal me-3 hari, me-7 hari, me-40 hri, me-100 hari, berdasar atas kepercayaan paganisme, bahwa ruh orang mati itu dalam waktu-waktu sekian masih ada datang berkunjung di rumahnya. Itulah yang terlarang, sebab ruh orang yang sudah mati sudah pindah ke alam lain, yakni ke alam barzakh, tidak lagi bisa kembali ke alam nyata, proses perpidahan ruh itu "irreversible". Kalaupun ada "penampakan" yang mengaku ruh yang telah meninggal, itu adalah tipuan jin anak buah iblis (ingat, ada juga jin yang baik) yang menyamar memperatasnamakan ruh orang yang sudah meninggal. WaLlahu a'lamu bisshawab.

***
Makassar, 2 Desember 2007