Musibah 13 dan 14 Mei 1998 menyebabkan sejumlah besar warga keturunan Cina meluputkan diri ke luar negeri dari amukan massa yang sangat brutal, yang sepantasnya tidak mungkin dapat dilakukan oleh bangsa yang beradab. William Soeryadjaya, pendiri Astra yang bangkrut gara-gara bank Summa yang diundang oleh Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid ke rumahnya, menghimbau hendaknya warga keturunan Cina yang telah mengungsi ke luar negeri secepatnya kembali. William Soeryadjaya sengaja diundang oleh KH Abdurrahman Wahid ke rumahnya untuk mengajak warga keturunan Cina yang telah lari ke luar negeri akibat musibah 13 dan 14 Mei 1998 tersebut, sebab menurut ucapan KH Abdurrahman Wahid: "untuk mengajak kembali saudara-saudara kita yang sudah keluar negeri, tidak bisa sembarang orang, karena itu mestinya yang memanggil mereka kembali, ya, Oom William ini." Dengan memperkenalkan pandangan dan tindakan sosok warga turunan Cina di bawah ini, kita akan mendapat gambaran tentang sikap penduduk asli terhadap warga Cina timbal balik.
Di sebelah Timur Jalan Muhammadiyah berhadapan dengan perguruan Muhammadiyah, dahulu berdiri sebuah rumah warga keturunan Cina bernama Ho Eng Djie. Dahulu Jalan Muhammadiyah masih disebut Diponegoro Weg. Jadi Diponegoro Weg dahulu tegak lurus dengan Jalan Diponegoro yang sekarang. Ho Eng Djie juga disebut dengan nama Baba' Lompo, karena ia anak sulung, jadi waktu kecilnya lebih besar dari adik-adiknya. Lompo berarti besar dalam bahasa Makassar. Saudaranya yang bungsu bernama Ho Eng GoE, dipanggil Baba' Ca'di. Dalam bahasa Makassar ca'di artinya kecil, karena anak bungsu ini yang terkecil waktu masih anak-anak.
Waktu saya masih remaja biasa pergi kerumah Ho Eng Djie bersama-sama sepupu saya Ruku' Dg Mappata' (seorang veteran yang tidak mau pusing mengurus kartu veterannya, semua veteran dari Selayar tahu hal itu). Di rumah Ho Eng Djie terdapat sebuah kotak tanpa penutup berisi lembaran-lembaran kertas. Setiap lembar bertuliskan Kelong Mangkasara' hasil gubahannya dalam aksara Lontara'. Menurut sejarah aksara Lontara' ini dikarang oleh Sabannara' Daeng Pammatte. Sabannara' artinya syahbandar, karena Daeng Pammatte ini adalah syahbandar Kerajaan Gowa dahulu.
Suatu waktu tatkala kami berdua berkunjung ke rumah Ho Eng Djie, ia menyodorkan lembaran kertas: "E turungka niassedeng ribangngiya kelong le'ba' kupare', apanne (hai anak muda, tadi malam saya berhasil menggubah kelong, ini dia)", sambil mengambil lembaran yang bertuliskan Kelong Mangkasara' seperti yang dikutip di bawah ini.
Kamma memangi' linoa,
tena tojeng kabajikang.
Kodi nicalla,
Bajika nikimburui.
Begitulah adat di dunia
Tak dibiarkan berlalu mulus
Kalau buruk dicela
Yang baik merangsang cemburu
"Tena kussituru' kelongta Baba', nasaba' tena nakamma ngaseng tauwa ri lino, sipa'gangji kammanjo. Napunna niya' ancallaki iyareka nasere ati rikalenta, nia baca-bacana ilalang ri Koranga (saya tidak sependapat dengan isi kelong yang Baba' gubah, sebab tidak semua orang dalam dunia demikian sikapnya, hanya sebagian saja yang demikian. Namun jikalau ada yang mencela ataupun dengki kepada kita ada baca-bacanya di dalam Al Quran)". "Ha, niya baca-bacana? Antekamma! (Oh ya, ada baca-bacanya? Bagaimana!). Maka saya bacakanlah S. Al Falaq: Qul A'uwdzu bi Rabbi lFalaqi. Min Syarri maa Khalaqa. Wa min SYarri Ghasiqin Idzaa Waaaba. Wamin SYarri nNafFatssati fi l'Uqadi. Wamin SYarri Haasidin idzaa Hasada. Katakan, saya berlindung kepada Yang Maha Pengatur falak. Dari kejahatan makhluk. Dan dari kejahatan malam bila telah gelap. Dan dari kejahatan penyihir yang meniup dengan air ludahnya pada buhul tali. Dan dari kejahatan orang yang iri-hati bila ia melahirkan dengkinya.
Sejenak Ho Eng Djie tertegun, kemudian berkata: "Baji' sikali antu baca-bacayya, mingka sitojeng-tojengna niya' ilalanganna anjo kelonga (baik benar itu baca-baca, namun sebenarnya ada yang tersirat dalam syair itu)". Kemudian Ho Eng Djie menjelaskan. Sikap warga asli pada umumnya terhadap warga peranakan Cina tidak ada yang baik. Kalau warga peranakan buruk kelakuannya mereka dicela, dan itu memang wajar. Yang tidak wajar ialah warga asli memukul rata. Punna niya Cina kodi sipa'na, e, iya ngaseng Cinayya anggappa passepolo' (Kalau ada warga Cina tidak baik sifatnya, buruk kelakuannya, maka semua Cina yang kena semprot). Kalau baik dalam pengertian maju dalam usaha dagangnya mereka dicemburui.
Kemudian Ho Eng Djie melanjutkan. Sikap warga asli yang demikian itu karena kesalahan warga keturunan Cina juga dalam bersikap. Assingkammai sipa'na Yahudiya ri Eropa, iyamintu naallei kalenna (seperti sikapnya orang Yahudi di Eropa, yaitu eksklusif). Itulah latar belakangnya saya mendirikan Orkes Kullu-Kulluwa. (Orkes Kullu-Kulluwa, adalah orkes lagu-lagu daerah Makassar, beberapa yang direkam di atas piring hitam. Dahulu belum ada pita kaset). Ho Eng Djie berupaya a'bengkoro' (membaur) dengan warga asli melalui seni suara, karena dalam Orkes Kullu-Kulluwa kedua warga yang seperti air dengan minyak itu dibaurkan bersama. Waktu saya masih menjadi mahasiswa di Bandung, saya selalu mengikuti acara siaran lagu-lagu Makassar yang secara rutin disiarkan oleh studio RRI Bandung, yang hampir semuanya diambil dari piring hitam rekaman dari Orkes Kullu-Kulluwa. Di antaranya ialah Ati Raja, Amma' Ciyang, Sailong, yang sekarang di Makassar ini telah direkam dalam kaset yang dinyanyikan oleh Iwan Tompo'.
Kesimpulannya dari kedua belah pihak harus ada perubahan sikap. Dari pihak warga asli mengubah sikap seperti yang dinyatakan oleh kelong Ho Eng Djie, dan dari pihak warga keturunan Cina mengubah sikap eksklusifnya. WaLlahu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 28 Juni 1998
28 Juni 1998
[+/-] |
328. Warga Keturunan Cina |
21 Juni 1998
[+/-] |
327. Para Pakar Penganut Mazhab Berkeley yang Bertanggung Jawab Secara Moral dan Intelektual |
Keputusan pemerintah yang populis mendapat kritikan dari pakar madzhab Berkeley, seperti yang dapat kita ikuti dalam diskusi-diskusi dan wawancara tayangan Indosiar.
Dalam kolom ini hari Ahad lalu yang berjudul: Perahu Bocor, telah dikemukakan antara lain seperti berikut. Negara Republik Indonesia dengan seluruh penduduknya adalah perahu yang memuat penumpang. Sayangnya perahu kita ini telah bocor, oleh karena tidak ada yang mencegah tatkala perahu kita ini digerek oleh mata gurdi (boor) yang berwujud akselerasi modernisasi, untuk mendapatkan air dengan cepat. Konseptor strategi pembangunan akselerasi modernisasi ini adalah CSIS, yang diotaki oleh para pakar madzhab Berkeley. Strategi akselerasi modernisasi ini ialah mempercepat (acceleration) petumbuhan ekonomi yang diukur dalam gross national product (GNP). Maka muncullah para taipan, konglomerat yang dekat istana (baca: nepotisme), yang disusul oleh anak cucu Presiden Suharto. Para taipan yang konglomerat ini bersama-sama dengan anak cucu Presiden Suharto memberikan imbas pada birokrat yang menumbuh suburkan kolusi dan korupsi.
Demikianlah madzhab Berkeley ini yang tidak menghiraukan kebijakan yang populis dalam strategi pembangunan, yang bersinergi dengan gerakan "sikap kebulatan tekad" di bidang politik menjelang pemilihan presiden, itulah sesungguhnya yang bertanggung-jawab secara moral dan intelektual tumbuhnya KKN dalam era Suharto.
Dalam kolom ini pula tanggal 1 Maret 1998 dengan judul Sekapur Sirih Untuk Sidang Umum MPR, telah dikemukakan ulasan mengenai Firman Allah SWT:
Kay Laa Yauwna Duwlatan Bayna lAghniyaai Minkum (S. AL Hasyr, 59:7), supaya kedaulatan (ekonomi) itu jangan (beredar) di antara orang-orang kaya di antara kamu.
Apa-apa yang dilarang Allah SWT niscaya membawa mala-petaka apabila dikerjakan, tidak terkecuali kekayaan yang hanya beredar di antara orang-orang kaya saja. Selama ini kita bangsa Indonesia sadar atau tidak sadar telah melanggar ayat (59:7) tersebut.
Konglomerat sebelum terjadinya polykrisis telah menguasai peredaran dana sekitar 70%, padahal jumlah mereka hanya sedikit sekali, sekitar 200 orang. Perekonomian kita selama ini ditopang oleh para konglomerat, yang nota bene juga mempunyai bank, yang menarik dana dari rakyat banyak melalui sistem tabungan berbunga. Yang juga meminjam dana dari negeri-negeri atas angin, yang sudah tiba masanya harus dikembalikan bersama bunganya. Yang harus mendapatkan dollar untuk membayarnya. Yang menyebabkan dollar menjadi barang dagangan, yang berujung pada krisis moneter. Bersinergi pula dengan kredit macet, akibat ulah petinggi bank yang berkolusi dengan pengusaha, yang menyebabkan bank-bank sakit parah, yang 16 buah di antaranya telah dilikwidasi.
Sudah terlalu lama kita melanggar ayat (59:7). Oleh karena kekayaan itu selama ini hanya sekitar 30% yang beredar dalam kalangan pengusaha menengah dan pengusaha kecil yang jumlahnya ribu-ribuan, maka landasan perekonomian menjadi rapuh. Lalu dengan ambruknya kebanyakan dari para konglomerat itu, karena menanggung utang dari negeri-negeri atas angin yang tak sanggup mereka bayar, maka ambruk pulalah perekonomian kita (baca: krisis ekonomi).
Para penganut madzhab Berkeley dengan strategi pembangunan akselerasi modernisasi yang tidak populis menyangka bahwa mereka itu berbuat baik. Namun seperti kita lihat dalam kenyataan sejarah di Indonesia yang telah dikemukakan di atas sesungguhnya menjuruskan negara yang kita cintai kepada ambruknya perekonomian yang diakibatkan ambruknya para pelaku ekonomi tingkat atas, para taipan tersebut. Mereka yang menyangka dirinya berbuat baik, namun sesungguhnya merusak, inilah yang diisyaratkan oleh Firman Allah SWT:
-- Wa Idzaa Qiyla laHum Laa Tufsiduw fiy lArdhi Qaaluw Innamaa Nahnu Mushlihuwn (S. Al Baqarah, 2:11), apabila dikatakan kepada mereka janganlah kamu merusak di atas bumi, mereka berkata, sesungguhnya kami hanya berbuat baik.
-- ALaa InnaHum Humu lMufsiduwna wa La-kin laa Yasy'uruwn (S. Al Baqarah, 2:12), ketahuilah, sesungguhnya mereka itu merusak tetapi mereka tidak sadar.
Perahu Republik Indonesiia sedang bocor, seperti yang dikemukakan dalam kolom ini hari Ahad yang lalu. Di atas geladak tidak perlu dahulu berpesta retorika dan banyolan politik, ataupun teori-teori ekonomi yang tidak populis untuk melayarkan perahu Republik Indonesia. Yang penting bagaimana menutup lubang supaya kapal tidak tenggelam, yaitu seperti yang dikemukakan dalam kolom yang lalu: Pertama, membantu pemerintah dalam hal penyaluran sembako, sehingga terjadi distribusi yang merata, sehingga harga menjadi stabil dalam bingkai daya beli rakyat. Kedua, membersihkan birokrasi dari KKN sampai ke daerah-daerah.
Semoga Allah SWT mengampuni dosa-dosa kita semuanya karena kita telah menzalimi diri kita telah melanggar perintah-perintahNya, sehingga perahu Republik Indonesia tidak tenggelam, sehingga dapat berlayar dengan konsep-konsep teori politik ekonomi yang populis, bukan seperti konsep akselerasi modernisasi yang tidak populis ala madzhab Berkeley. WaLla-hu a'lamu bishshawab.
*** Makassar, 21 Juni 1998
14 Juni 1998
[+/-] |
326. Perahu Bocor |
Firman Allah SWT:
-- WATQWA FTNT LA TSHYBN ALDZYN ZHLMWA MNKM KHASHt (S. AL ANFAL 8:25), dibaca: wattaqu- fitnatal la- tushiybannal ladzi-na mingkum khaashshah, artinya: Peliharalah dirimu dari bencana yang ditimpakan tidak hanya khusus atas yang berlaku aniaya di antara kamu (saja).
Ayat di atas itu sepertinya sulit dipahami, oleh karena seyogianya yang berlaku aniaya saja yang akan ditimpa bencana. Kalau ada ayat yang terasa sukar dicerna secara langsung, maka kita harus melihat dahulu pada Hadits RasuluLlah SAW.
Nabi Muhammad RasuluLlah SAW mengibaratkan kita ini menumpang sebuah perahu. Apabila kita ingin mendapatkan air haruslah menempuh tata-cara, yaitu pergi ke geladak, mengambil timba, kemudian menimba air. Tata-cara tersebut untuk mendapatkan air lambat prosesnya. Ada tata-cara yang membuahkan proses yang cepat untuk mendapatkan air, yaitu dengan melubangi dinding perahu, ia serta merta akan mendapatkan air, tanpa susah-susah mengikuti posedur yang dilazimkan. Apabila ada seorang penumpang lain memegang tangan orang itu sebelum sempat membuat lubang, maka demikian sabda Nabi Muhammad RasuluLlah SAW, si pencegah ini telah bertindak menyelamatkan dirinya, menyelamatkan si pembuat terobosan, bahkan telah menyelamatkan seluruh penumpang dan isi perahu dari bencana terkubur di dalam laut. Jadi yang akan mendapat celaka bukan hanya yang berbuat aniaya melobangi perahu, melainkan yang ditimpa bencana adalah juga mereka yang tidak berbuat aniaya. Inilah maksud ayat (8:25) yang dikutip di atas itu.
Negara Republik Indonesia dengan seluruh penduduknya adalah perahu yang memuat penumpang. Sayangnya perahu kita ini telah bocor, oleh karena tidak ada yang mencegah tatkala perahu kita ini digerek oleh mata gurdi (boor) yang berwujud akselerasi modernisasi, untuk mendapatkan air dengan cepat. Konseptor strategi pembangunan akselerasi modernisasi ini adalah CSIS, para
pakar dari Berkely. Strategi akselerasi modernisasi ini ialah mempercepat (acceleration) petumbuhan ekonomi yang diukur dalam gross national product (GNP). Perbesar kuenya dahulu baru dibagi-bagi. Maka muncullah para taipan, konglomerat yang dekat istana (baca: nepotisme), yang disusul oleh anak cucu Presiden Suharto. Para taipan yang konglomerat ini bersama-sama dengan anak cucu Presiden Suharto memberikan imbas pada birokrat yang menumbuh-suburkan kolusi dan korupsi.
Demikianlah strategi akselerasi modernisasi ini membuahkan kepincangan pelaku ekonomi yang berat ke atas, keropos kebawah. Ambruknya para pelaku ekonomi tingkat atas ini menyebabkan ambruknya pula pereokonomian kita karena tidak ditopang oleh kekuatan pelaku eknomi tingkat bawah dan menengah. Inilah lubang yang digerek oleh mata gurdi akselerasi modernisasi. Di samping lubang utama kebocoran perahu ini, menyebar pula lubang-lubang yang digerek oleh oknum-oknum birokrat yang melakukan praktek KKN. Dampak langsung yang lubang-lubang kebocoran ini adalah derita penumpang di ruang bawah karena naiknya harga sembako.
Perahu yang perlahan-lahan akan tenggelam ini karena air masuk melalaui kebocoran-kebocoran pada dinding perahu, menumbuhkan keberanian sebagian penumpang perahu yang muda-muda. Itulah gerakan moral mahasiswa yang mencanangkan reformasi pada segala bidang. Gerakan reformasi ini berhasil menurunkan nakoda perahu yang menurut tata-cara dalam kepemimpinan melayarkan perahu, jika nakoda berhenti, maka juru-mudi yang menggantikan nakoda.
Maka terjadilah pergolakan politik di geladak perahu. Yang dipermasalahkan adalah sah atau tidaknya proses peralihan juru-mudi menjadi nakoda perahu. Retorika politik menjadi hangat, sehingga perhatian bocornya perahu terlupakan. Retorika politik itu bahkan ada yang turun nilainya menjadi banyolan politik, seperti apa yang ditayangkan oleh Indosiar, yaitu banyolan Selo Soemarjan, Rizal Ramli(?) dll. Tanda tanya itu saya bubuhkan karena namanya yang akurat saya lupa, karena tidak saya catat namanya sewaktu ia membanyol. Sepertinya banyolan itu akhir-akhir ini sudah berhenti, barangkali karena pengaruh pertandingan sepak bola di Perancis.
Yang penting sekarang bagaimana kita membantu pemerintah yang telah memperlihatkan prestasinya dalam hal reformasi. Langkah-langkah strategis sudah dikemukakan untuk melayarkan perahu, yaitu mereformasi undang-undang: Pemilu, komposisi MPR, DPR dan kepartaian. Disusul dengan SI untuk mengubah beberapa Tap MPR yang berhubungan dengan Pemilu, melaksanakan Pemilu, langkah terakhir SU MPR untuk memilih presiden dan wakil presiden, dan pemerintahan baru pada permulaan tahun 2000.
Alhasil retorika politik, apa pula banyolan politik hendaknya dihentikan karena dapat menjurus pada hambatan reformasi. Sasaran utama sekarang ialah bagaimana dengan cepat dapat menutup lubang-lubang pada dinding perahu yang bocor, jangan sampai sebelum berlayar, perahu terlanjur tenggelam. Bagimana caranya menutup lubang? Pertama, membantu pemerintah dalam hal penyaluran sembako, sehingga terjadi distribusi yang merata, sehingga harga menjadi stabil dalam bingkai daya beli rakyat. Kedua, membersihkan birokrasi dari KKN sampai ke daerah-daerah. WaLlahu a'lamu bisshawab.
*** Makassar, 14 Juni 1998
7 Juni 1998
[+/-] |
325. Jabariyah dengan Qadariyah Bukanlah Dikhotomi |
"Suatu ketika saya pernah menangis tersedu-sedu. Sungguh-sungguh saat itu saya menangis. Yaitu ketika di mushalla dibacakan suatu ayat, bahwa kalau Tuhan menghendaki Dia akan berikan rezeki kepadamu yang dari mana saja asalnya yang kamu tak bakal mengira. Kurang lebih begitu. Saya mendengarnya di sel nomor 6 yang dipakai untuk mushalla. Sel saya nomor 7. Ayat tadi dibacakan saudara Joko saat kultum (kuliah tujuh menit), seusai shalat. Dalam kondisi biasa ayat itu sudah sering saya dengar. Tetapi pada ketika itu saya betul-betul merasakan bahwa itu seperti petunjuk yaitu 'kamu itu tidak usah khawatir tentang rezeki anak isterimu'. Sebab ada kekhawatiran juga di dalam hati saya, bagaimana mereka mendapatkan kebutuhan hidup sehari-hari." Inilah pengakuan Sri Bintang Pamungkas seperti dapat dibaca pada halaman 8 Harian FAJAR, edisi Minggu 31 Mei 1998.
Adapun ayat yang dibaca oleh Joko pada saat kultum tersebut ialah: -- WALLH YRZQ MN YSYAa BGHYR HSAB (S. ALBQRT, 212), dibaca: Walla-hu yarzuqu bighayri hisa-b (s. albaqarah), artinya: Allah memberi rezeki kepada siapa yang menghendaki (rezeki) dengan tidak disangka (dari mana asalnya). Ayat tersebut dapat pula diartikan: Allah memberi rezeki kepada siapa yang (Allah) kehendaki dengan tidak disangka (dari mana asalnya).
Perbedaan terjemahan itu terletak dalam hal fa'il (pelaku) dari fi'il (perbuatan) yasya-u (menghendaki). Apabila pelaku yasya-u adalah man (siapa), maka itulah terjemahan yang pertama. Sedangkan apabila pelaku yasya-u adalah Allah maka itulah terjemahan yang kedua. Pada terjemahan yang pertama Allah aktif memberi rezeki dan manusia juga aktif berkehendak untuk mencari rezeki. Allah aktif dan manusia aktif. Sedangkan pada terjemhan yang kedua Allah aktif berkemauan untuk memberi rezeki namun manusia pasif menerima rezeki. Allah aktif manusia pasif. Terjemahan yang pertama cenderung pada aliran Qadariyah dan terjemahan yang kedua cenderung pada aliran Jabariyah.
Pemahaman tentang Allah aktif dan manusia aktif meruju' pada ayat: AN ALLH LA YGHYR MA BQWM HTY YGHYRWA MA BANFSHM (S. ALR’AD, 11), dibaca: innaLla-ha la- yughayyiru ma- biqawmin hatta- yughayyiru- ma bianfusihim (s. arra’d), artinya: sesungguhnya Allah tidak mengubah apa (keadaan) pada suatu kaum hingga mereka mengubah apa (keadaan) pada diri mereka (13:11).
Sedangkan pemahaman tentang Allah aktif dan manusia pasif meruju' pada ayat: -- QL ALLH HM MLK ALMLK TwaTY ALMLK MN TSYAa WTNZ’A ALMLK MMN TSYAa WT’AZ MN TSYAa WTDZL MN TSYAa BYDK ALKHYR ANK ‘ALY KL SYAYa QDIYR (S. AL ‘AMRAN, 26), dibaca: quliLla-humma ma-likal mulki tu’til mulka man tasya-u watanzi’ul mulka mimmn tasya-u wa tu’azzi man tasya-u wa tudzillu man tasya-u biyadikal khayru innaka ‘ala- kulli syay.ing qadi-r (3:26), artinya: Katakanlah, ya Allah yang mempunyai kerajaan Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki Engkau muliakan kepada siapa yang Engkau kehendaki dan engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki di tangan Engkaulah segala kebajikan sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu.
Terus terang selama ini saya berpihak kepada penafsiran yang pertama: Allah aktif, manusia aktif. Namun dengan pengalaman batin Sri Bintang dalam penjara, yang sangat merasakan bagaimana Allah memberikan rezeki kepada anak isterinya yang tak terkira dari mana asalnya, maka saya sekarang menyadari bahwa kedua jenis penafsiran itu bukanlah dikhotomi. Penafsiran ayat itu tergantung pada sikap kejiwaan seseorang. Kepada mereka yang tidak bebas, seperti Sri Bintang dalam penjara, maka penafsiran kedualah yang dijiwai oleh ayat (13:11) yang cocok dengan sikap kejiwaannya. Akan tetapi bagi mereka yang bebas di luar penjara, penafsiran pertamalah yang dijiwai oleh ayat (3:26) yang cocok dengan sikap kejiwaannya.
Di pesantren-pesantren pada umumnya, termasuk Pesantren IMMIM Tamalanrea menganut penafsiran yang kedua. Ini adalah produk sejarah penjajahan Belanda. Penafsiran kedua yang dijiwai oleh ayat (13:11) itulah sikap kiyai-kiyai dan santri-santri dalam pesantren. Dengan sikap ini pesantren menutup diri dari pemerintahan penjajah. Ini bermanfaat karena pesantren-pesantren dapat bertahan dari penjajahan mental dan nilai non-Islami dari penjajah Belanda. Demikian pula sikap dari rakyat yang merasa tidak berdaya pada rejim Orde Pra Reformasi. Namun setelah Orde Reformasi membuka pintu kebebasan, hendaknya sikap kita seyogianya kita ubah menjadi sikap yang dijiwai oleh ayat (3:26): Allah aktif memberi rezeki, manusia aktif berkehendak dan mencari rezeki.
Alhasil sikap yang condong pada Jabariyah, Allah aktif manusia pasif, bukanlah dikhotomi dari sikap yang condong pada Qadariyah, Allah aktif manusia aktif. Sikap jiwa yang condong pada Jabariyah sangat bermanfaat supaya dapat bertahan dalam derita bagi yang tidak berdaya melawan rejim yang berkuasa, sedangkan sikap jiwa yang condong pada Qadariyah sangat bermanfaat untuk mengatasi, mencari jalan keluar bagi pemecahan penderitaan bagi mereka yang telah bebas dari cengkeraman rejim yang berkuasa. WaLla-hu a’lamu bishshawab.
*** Makassar, 7 Juni 1998