Wilayah Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke (DSSM) tidak disebutkan dalam UUD-1945. Ungkapan DSSM hanya ada dalam sebuah lagu, lengkapnya seperti berikut:
Dari Sabang sampai Merauke,
berjajar pulau-pulau
Sambung menyambung menjadi satu,
itulah Indonesia
Indonesia tanah airku,
aku berjanji padamu
Menjunjung tanah airku,
tanah airku Indonesia
Karena wilayah Republik Indonesia tidak ditegaskan dalam UUD-1945 itulah, maka salah seorang mahasiswa dalam acara diskusi Partai-Partai di TPI mengemukakan jika Aceh memisahkan diri dari Republik Indonesia tidaklah melanggar konstitusi.
Sebenarnya kalau dikaji tenang-tenang, maka akar permasalahan Aceh terletak dalam hal pencoretan 7 kata tatkala Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD-1945 pada 18 Agustus 1945. Yaitu: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya diganti dengan: Ketuhanan Yang Maha Esa. Padahal adanya 7 kata itu adalah hasil kompromi. Sebab menurut konsep semula berbunyi: Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam.
Pencoretan 7 kata itu diusulkan oleh Bung Hatta, karena adanya informasi yang masuk bahwa dari bagian timur Indonesia tidak akan mau bergabung dalam negara yang diproklamasikan sehari sebelumnya oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa Indonesia jika ke-7 kata itu tidak dicoret. Tepatlah apa yang dikatakan oleh almarhum Alamsyah Ratu Prawiranegara bahwa sesungguhnya Pancasila (baca: Sila I) itu adalah hadiah yang diberikan oleh ummat Islam kepada bangsa Indonesia. Namun ternyata kemudian dari daerah bahagian timur yang tidak mau bergabung itu jika ke-7 kata itu tidak dicoret, muncullah Republik Maluku Selatan (RMS) dan Twapro, yaitu kependekan dari Twaalfde Provintie (provinsi ke-12). Nederland (negeri Belanda) terdiri atas 11 provinsi, maka provinsi ke-12 terletak di seberang laut yaitu di Minahasa. Ya, seperti negara bahagian ke-50 Hawai yang terletak di seberang laut dari USA daratan.
Atas hasil rekayasa van Mook, berdirilah Negara Indonesia Timur (NIT), dengan Presiden Tjokorde Gede Rake Soekawati dan Perdana Menteri Ide Anak Agung Gede Agung. Bukan saja NIT yang terbentuk, melainkan van Mook berhasil pula memicu berdirinya negara-negara seperti Negara Kalimantan Barat, Negara Pasundan, Negara Sumatera Selatan, Negara Sumatera Timur dll, pokoknya di mana-mana bertebaran timbulnya negara-negara. Negara Republik Indonesia dengan UUD-1945 menciut menjadi hanya dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Aceh. Negara RI dan negara-negara rekayasa van Mook itu kemudian bersatu dalam negara federasi Republik Indonesia Serikat (RIS), DSSM. Sekali lagi DSSM ini tetap hanya ada dalam nyanyian tidak ada dalam Konstitusi RIS.
Karena proses historis inilah, maka konon ahli Indonesia dari Prancis Francois R. mengatakan bahwa federasi secara historis berkonotasi kurang baik. Rekayasa van Mook ini ditentang oleh rakyat dalam semua negara bagian itu yang bergolak menuntut kembali menjadi negara kesatuan. Hasilnya RIS kembali menjadi negara kesatuan, namun tidak memakai UUD-1945. Mengapa? Karena prosesnya bukan negara-negara rekayasa van Mook itu yang melebur masuk Negara RI Yogyakarta + Aceh, melainkan semua negara dalam federasi itu melebur diri bersama-sama menjadi satu dengan UUD Sementara. Melalui Pemilu 1955 dibentuk Konstituante untuk membuat UUD yang tetap. Pekerjaan Konstituante sudah hampir rampung, namun secara tergesa-gesa Bung Karno mengeluarkan dekrit kembali ke UUD-1945.
Pencoretan Syari'at Islam setelah Piagam Jakarta menjadi Pembukaan UUD-1945 harganya mahal sekali, yaitu timbulnya kemudian pemberontakan Darul Islam dengan pasukan bersenjatanya Tentara Islam Indonesia, yang biasanya disingkat DI/TII, di Aceh (Teungku Daud Bereueh), Jawa Barat (Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo), Kalimantan Selatan (Ibnu Hadjar) dan Sulawesi Selatan (Abdul Qahhar Mudzakkar). Kecuali Teungku Daud Bereueh, satu demi satu pimpinan DII/TII Jabar, Kalsel dan Sulsel ditangkap kemudian dihukum mati atau syahid dalam pertempuran. Di Sulawesi Selatan anak buah Abdul Qahhar Mudzakkar yang tersisa aktif menumpas pemberontak komunis Gestapu dengan berbasis masjid, dan itulah cikal-bakal lahirnya Ikatan Masjid Mushalla Indonesia Muttahidah (IMMIM)
Teungku Daud Bereueh berhasil dibujuk oleh Soekarno dengan tawaran Daerah Istimewa Aceh. Keistimewaan itu terletak dalam hal Syari'at Islam. Inilah janji pertama Pemerintah Pusat untuk Aceh. Janji ini tidak pernah ditindak lanjuti dalam wujud undang-undang. Maka DI/TII yang mulanya dipimpin Tengku Daud Bereueh kemudian meneruskan mengangkat senjata di bawah pimpinan Teungku Hasan di Tiro, turunan langsung Pahlawan Nasional Tengku Cik di Tiro. Bahkan pada zaman Orde Baru janji itu bukannnya ditindak lanjuti dengan membuat undang-undang melainkan dengan Daerah Operasi Militer (DOM) yang tragis itu.
Perlawanan yang dipimpin Teungku Hasan di Tiro secara remote control dari luar negeri (terakhir dari Swedia) kemudian mengubah organisasi perlawanan dari DII/TII menjadi Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kalau TII masih ada Indonesianya, maka GAM sudah hilang sama sekali Indonesianya.
Firman Allah:
-- WALTNZHR NFS MA QDMT LGHD (S. ALHSYR, 18), dibaca: Waltnzhur nafsun ma- qaddamat lighadin (al hasyr), artinya: Mestilah orang mengkaji masa lampau untuk masa depan (S. Mengumpul, 59:18). Melihat apa yang lalu dalam konteks masalah Aceh, maka yang terbaik dikemukakan dalam referendum ialah: opsi pertama: otonomi khusus + Syari'at Islam + kesatuan GAM menjadi Polri di Aceh dan opsi kedua: federasi. GAM harus ada dalam opsi, sebab suka atau tidak suka eksistensi GAM adalah suatu de facto, berhubung DOM tidak berhasil menghapus eksistensi GAM, bahkan menimbulkan pelanggaran HAM.
Tentang hal federasi yang menurut Francois R. secara historis berkonotasi kurang baik, tidak berlaku di sini, oleh karena konteksnya lain. Opini Francois R. dalam konteks skenario van Mook, sedangkan federasi dalam opsi referendum di Aceh dalam konteks janji-janji kosong dan penyakit sentralistik Pemerintah Pusat Orde Lama dan Orde Baru yang menimbulkan ketidak-adilan di bidang politik, ekonomi sosial, kebudayaan, ditambah pula dengan akibat DOM yaitu pelanggaran HAM. Dalam kedua opsi tersebut Indonesia masih tetap dari Sabang sampai Merauke. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 28 November 1999
28 November 1999
[+/-] |
400. Dari Sabang Sampai Merauke, Masalah Aceh |
21 November 1999
[+/-] |
399. Wasilah dan Paradigma Ilmu |
Wasilah berarti perantara. Orang-orang Arab pada zaman jahiliyah ada yang menyembah berhala, namun ada pula yang tidak menyembah berhala melainkan menjadikan berhala itu sebagai wasilah dalam menyembah Allah. Masyarakat Arab pra-Islam sudah mengenal Allah, buktinya ayahanda Nabi Muhammad SAW bernama Abdullah yang berarti hamba Allah. Pengenalan kepada Allah ini bersumber dari Nabi Isma'il AS, nenek moyang bangsa Arab. Hal berhala yang dijadikan wasilah ini disindir dalam Al Quran:
-- AWLaK ALDZYN YD'AWN YBTGHWN ALY RBHM ALWSYLT (S. BNY ASRAaYL, 57), dibaca: Ula-ikal ladzi-na yad'u-na yabtaghu-na ila- rabbihim wasilah (S. Bani- Isra-i-l), artinya: Mereka yang berdoa mencari wasilah kepada Tuhan mereka (17:57). Biasanya pula ada yang menjadikan alim-ulama yang telah wafat sebagai wasilah untuk berkomunikasi dengan Allah, tidak terkecuali di Indonesia, khususnya di tanah Makassar ini. Masyarakat Sulawesi Selatan dan dari daerah-daerah lain banyak yang datang menziarahi makam Allahu yarham Syaikh Yusuf Tuanta Salamaka, seorang ulama besar, menulis banyak buku, mujahid (pejuang) kemerdekaan berkaliber internasional, yang berjihad bergerilya melawan Belanda di Banten dan Ceribon, tetap berjuang di Ceylon dan di Tanjung Pengharapan, yang diangkat menjadi Pahlawan Nasional Afrika Selatan kemudian secara terlambat sekali disusul oleh Pemerintah Republik Indonesia yang mengangkatnya pula menjadi Pahlawan Nasional Indonesia. Diantara para peziarah ke makam itu tidak kurang yang menjadikan Syaikh Yusuf sebagai wasilah kepada Allah.
Di Indonesia ini dalam bidang politik ekonomi wasilah inipun dipraktekkan juga. Sepatu yang diproduksi di tanah Pasundan dikirim dahulu ke Sungapura, lalu dicap di sana: made in Singapore, kemudian dimasukkan lagi di Indonesia barulah konsumen di Indonesia tergiur membelinya. Dalam hal ini Singapura dijadikan wasilah. Rencana pemerintah membuka hubungan dagang dengan Israel, karena ingin menjadikan Israel sebagai wasilah untuk menarik minat inverstor asing. Dengan menjadikan bangsa asing (baca: Singapura dan Israel) sebagai wasilah dalam bidang politik ekonomi menunjukkan kebanyakan dari masyarakat kita masih bermental jajahan yang disebut kompleks rendah diri (inferiority complex). Apakah dengan menyewa lembaga asing PwC yang upahnya cukup tinggi (ini juga dari uang rakyat) disebabkan pula oleh mental jajahan tersebut, ini perlu direnungkan baik-baik!
***
Fuad Rumi menanggapi tulisan saya dalam kolom ini Seri 397 tentang Isra-Mi'raj, tatkala bertemu di Ruang Tunggu Rektor UMI beberapa hari yang lalu. Ia tidak dapat menerima seluruhnya bahwa peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat didekati secara ilmiyah. Dalam Seri 397 itu saya mengemukakan bahwa orang tidak dapat melakukan pendekatan ilmiyah terhadap Isra-Mi'raj.
Ilmu berasal dari akar kata yang dibentuk oleh 'ain, lam, mim artinya tahu. Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara ilmu dengan pengetahuan. Ilmu adalah hasil olahan dari sumber informasi, sedangkan pengetahuan hanya sekadar endapan dari sumber informasi tanpa olahan. Olahan adalah sebuah proses dalam qalbu manusia. Ada tiga sektor dalam qalbu yaitu shudr, fuad dan hawa. Sumber informasi yang diolah oleh shudr hasilnya disebut ilmu tasawuf, sumber informasi yang diolah oleh fuad disebut ilmu pengetahuan (science) dan ilmu filsafat, sedangkan sumber informasi yang diolah oleh hawa disebut naluri (instinct). Yang terakhir ini dimiliki juga oleh binatang.
Ketiga komponen dalam qalbu manusia itu untuk setiap orang berbeda-beda kecerdasannya. Kecerdasan emosi dari shudr diukur dalam emotional quotient (EQ), dan kecerdasan berpikir dari fuad diukur dalam intelligence quotient (IQ). Sedangkan kecerdasan naluri (instinct) sepanjang pengetahuan saya belum pernah diukur sehingga belum ada yang disebut instinct quotient.
Dalam diskusi kecil-kecilan itu saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa memang ada kekurangan dalam uraian saya itu mengenai peristilahan ilmiyah. Sesungguhnya semua istilah ilmiyah yang saya tuliskan dalam bahasan itu seharusnya dibaca ilmiyah sekuler. Bahwa makhluk yang bernama sekuler itu bukan hanya terdapat dalam lapangan politik praktis belaka, melainkan terdapat dalam segala bidang yang memisahkan antara wahyu dengan akal serta iman dengan ilmu, alias dikhotomi antara dunia dengan akhirat. Ilmu sekuler (dari secula artinya dunia) bertumpu di atas paradigma filsafat positivisme, yaitu filsafat yang tanpa sadar diakui ataupun diterima oleh masyarakat ilmuan muslim untuk kelanjutan aktivitas keilmuan mereka. Positivisme adalah sistem filsafat yang hanya mengakui fakta-fakta dan fenomena yang positif, yaitu yang dapat dideteksi oleh pancaindera baik secara langsung maupun tak langsung melalui pertolongan instrumen dalam laboratorium. Dengan demikian ilmu sekuler hanya menerima sumber informasi dari dunia atau alam syahadah.
Saya katakan kepada Fuad Rumi bahwa peristiwa Isra-Mi'raj dapat saja didekati secara ilmiyah apabila paradigma ilmu itu diubah, bukan lagi bertumpu di atas filsafat positivisme yang hanya mengenal satu jenis sumber informasi. Paket ayat yang mula-mula diturunkan dimulai dengan:
-- AQRA BASM RBK (S. AL'ALQ, 1), dibaca: Iqra' bismi rabbik (S. al'alaq), artinya: Bacalah atas nama Maha Pengaturmu (S. Segumpal darah, 96:1).
Yang dibaca itu adalah sumber informasi berupa ayat, yang terdiri atas ayat qawliyah (verbal), yaitu Kitab Suci Al Quran dan ayat kawniyah (kosmologis), yaitu alam syahadah (physical world). Alhasil dengan mengubah tumpuan ilmu dari paradigma filsafat positivisme menjadi paradigma S. Al 'Alaq, ayat 1, maka peristiwa Isra-Mi'raj dapatlah didekati secara ilmiyah. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 21 November 1999
14 November 1999
[+/-] |
398. Penyisipan Dalam Terjemahan Al Quran dan Tahlil Dalam Azan di TPI |
Pergolakan politik di tanah air kita tinggalkan dahulu untuk dibahas. Presiden sendiri juga kelihatannya buat sementara tidak mau repot kok (baca: keliling Asean, USA dan Jepang). Tampaknya pemerintah menempuh politik ranca' di labuah, politik luar negeri lebih diprioritaskan ketimbang di dalam negeri, yaitu masalah Aceh yang sangat mendesak dan resistensi yang mulai marak tentang rencana hubungan dagang dengan Israel. Politik ranca' di labuah ini mengandung risiko: Yang dikandung berceceran, yang dikejar tidak dapat. Seperti yang telah dijanjikan dalam Seri 397, maka dalam seri ini dibahas kedua contoh terakhir tentang penyisipan, yaitu seperti dinyatakan dalam judul di atas.
Firman Allah SWT: WHW ALDZY KHLQ ALYL WALNHAR WALSYMS WALQMR KL FY FLK YSBHWN (S.ALANBYA", 33), dibaca: Wahuwal ladzi- khalaqal layla wannaha-ra wasysyamsa walqamara kullun fi- falakin yasbahu-n (S. al ambiya-',21:33), diterjemahkan: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing dari keduanya itu beredar dalam garis edarnya. Terjemahan tersebut dapat dibaca dalam halaman 499 dari Buku Terjemahan Al Quran oleh Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, berdasar atas SK Menteri Agama RI no.144, tahun 1989. Eloknya dalam menterjemahkan itu kata-kata sisipan ditaruh di antara dua kurung, jadi cantiknya demikian: Dan Dialah yang telah menciptakan malam dan siang, matahari dan bulan masing-masing (dari keduanya itu) beredar dalam garis edarnya.
Rupanya terjemahan itu berlatar belakang pada pemikiran pendekatan kontekstual. Yakni yang beredar itu dalam konteks matahari dan bulan, sehingga perlu disisipkan kata-kata dari keduanya itu, untuk lebih mempertajam makna terjemahan itu. Namun perlu dicamkan bahwa tidaklah selamanya terjemahan ataupun penafsiran itu harus memakai pendekatan kontekstual. Dalam kasus terjemahan di atas penyisipan itu mengakibatkan dua kesalahan, yaitu kesalahan gramatikal dan kesalahan substansial.
Dalam bahasa Arab ada tiga tingkat dalam menyatakan jumlah, yaitu: mufrad (tunggal), mutsanna (dua) dan jama' (banyak, tiga ke atas). Berbeda misalnya dengan bahasa Belanda, yang hanya dua tingkat: enkelvoud (tunggal) dan meervoud (banyak, dua ke atas). Kata terakhir dari ayat (21:33) yang diterjemahkan di atas ialah YSBHWN (dibaca: yasbahu-n), bentuknya jama', lebih dari dua yang beredar. Dengan penyisipan itu, maka terjadilah kesalahan gramatikal. Penyisipan kata keduanya hanya boleh dilakukan jika seandainya kata terakhir ayat (21:33) bukan dalam bentuk YSBHWN, melainkan YSBHAN (dibaca: yasbaha-n), artinya dua yang beredar. Jadi terjemahan itu seharusnya demikian: Matahari dan bulan masing-masing berenang dalam falaknya.
Kesalahan substansial ialah terjemahan Dept Agama mematok bahwa yang beredar hanya matahari dan bulan saja. Padahal ayat (21:33) mengisyaratkan ada yang tersirat. Yaitu setelah menyebutkan matahari dan bulan lalu ditutup dengan kata dalam bentuk jama', lebih dari dua yang beredar, artinya yang beredar itu bukan matahari dan bulan saja. Tiap-tiap sesuatu ciptaan Allah di alam syahadah ini beredar ataupun berenang dalam falaknya, termasuk bumi. Ayat (21:33) mengisyaratkan yang tersirat yaitu bumipun beredar dalam orbitnya.
Bayangkan apabila di zaman Nabi Muhammad SAW Al Quran dengan terang-terangan menyatakan bahwa bumi bergerak, maka masyarakat akan menolak untuk percaya. Itulah gaya Al Quran, informasi yang belum dapat dicerna oleh masyrakat berhubung karena lingkungan budayanya masih belum mampu untuk mencerna informasi itu, Al Quran menyampaikannya secara isyarat yang tersirat. Karena Al Quran diperuntukkan bagi seluruh ummat manusia dari seluruh tingkat budayanya masing-masing sampai akhir zaman.
Kalimah Tahlil adalah kalimah mengEsakan Allah: LA ALH ALA ALLH dibaca: La- ila-ha illaLla-h, yang artinya: Tiada tuhan kecuali Allah. Ke dalam terjemahan kalimah Tahlil ini dalam azan di TPI disisipkan anak kalimat: yang patut disembah, sehingga menjadi: Tiada tuhan (yang patut disembah) kecuali Allah. Terjemahan tersebut dicemari oleh polytheisme: Selain Allah yang patut disembah terdapat tuhan-tuhan lain yang tidak patut disembah. Ini disebut faham monolatry, yaitu hanya menyembah satu Tuhan, sementara mengakui eksistensi tuhan-tuhan yang lain yang tidak patut disembah (the worship of but one God, when other gods are recognized as existing).
Dalam kurun waktu (1700-1550) sebelum Miladiyah (SM) Dinasti Hyksos (Raja Gembala) bangsa al 'Ibriyah al Qadimah dari Kan'an memerintah Mesir setelah menundukkan Dinasti Fir'aun. Salah seorang raja Hyksos mengawinkan puterinya Sitti Hajar dengan Nabi Ibrahim AS dari bangsa al 'Ibriyah al Jadidah (Ibrani, Habiru). Tiga generasi sesudahnya bangsa Ibrani diizinkan menetap di delta s.Nil (Goschen) atas prakarsa Raja Muda Mesir Nabi Yusuf AS. Ajaran Tawhid, mengEsakan Tuhan, yang diajarkan Nabi Yusuf AS, beberapa generasi kemudian memberikan inspirasi kepada Fir'aun Akhenaton. Dinasti Fir'aun kembali berkuasa setelah mendesak Dinasti Hyksos keluar Mesir tahun 1550 SM. Sejak itu bangsa Ibrani mulai ditekan dan diperbudak. Akhenaton adalah Fir'aun ke-9 dari 11 Fir'aun dari Dinasti XVIII yang memerintah selama (1377-1360) SM. Pada mulanya ia bernama Amun Hotep IV (Amenophis) artinya dewa Amun puas, kemudian setelah mengumumkan kepercayaan baru hanya boleh menyembah satu tuhan yaitu Aton ia mengubah namanya menjadi Akhenaton artinya bersama dalam Aton. Menurut Akhenaton, Ra (matahari yang dianggap tuhan) adalah manifestasi dari Aton. Sungguhpun demikian ia tidak menolak eksistensi tuhan-tuhan Mesir yang lain seperti dewa Amun, dewa Osiris, dewi Nil dll. Jadi kepercayaan baru bentukan Akhenaton itu termasuk monolatry.
Yang patut diwaspadai oleh para orang tua agar putera-puterinya yang kecanduan menonton tayangan Misteri Gunung Merapi dan Kaca Benggala tidak terseret kepada monolatry: bahwa memang ada dewi Durga yang memberikan kesaktian kepada Mak Lampir dan memang ada dewi Laut Selatan yang menjadi isteri raja-raja Mataram. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 14 November 1999
7 November 1999
[+/-] |
397. Pendekatan Terhadap Isra-Mi'raj dan Penyisipan Kata-Kata serta Anak Kalimat |
Malam Sabtu 27 Rajab, kemarin malam, adalah tanggal kejadian yang maha mentakjubkan, yaitu peristiwa Isra-Mi'raj RasuluLlah SAW, yang kita peringati setiap tahun. Peristiwa Isra-Mi'raj tidak dapat dicerna dengan pendekatan rasional, juga tidak dapat didekati secara ilmiyah-sekuler (yang hanya bersumber dari informasi ayat Kawniyah), melainkan hanya dapat diterima dengan pendekatan iman, yaitu beriman kepada Al Quran, salah satu di antara keenam rukun iman. WALDZYN YWaMNWN BMA UNZL ALYK WMA UNZL MN QBLK (S. AL BQRT, 4), dibaca: Alladzi-na yu'minu-na bima- unzila ilayka wama- unzila min qablika (S. Albaqarah), artinya: Dan orang-orang yang beriman dengan (Al Quran) yang diturunkan kepada engkau (hai Muhammad) dan (beriman) dengan (Kitab-Kitab) yang diturunkan sebelum engkau (2:4).
Mengulangi yang telah saya kemukakan dalam Seri 015, terkadang sering saya mendengarkan uraian yang berupaya merasionalkan persitiwa Isra-Mi'raj dengan metode qiyas (analogi). Seekor lalat berkata kepada temannya bahwa ia telah terbang ke Jakarta pulang balik dalam wakutu tidak cukup semalam. Lalat temannya itu mendustakannya, mana mungkin jarak sejauh itu dapat ditempuh pulang balik dalam waktu singkat itu. Setelah lalat pertama menjelaskan bahwa ia menumpang pesawat terbang pulang balik, maka lalat temannya baru dapat menerima kebenaran ceritanya itu. Ini adalah rasionalisasi yang naif, bahkan merendahkan derajat RasuluLlah yang diumpamakan sebagai lalat yang naik kapal terbang.
Demikian pula pendekatan ilmiyah-sekuler sangat tidak mungkin. Ada dua unsur dalam pendekatan ilmiyah-sekuler yang tidak mungkin dilakukan pada peristiwa Isra-Mi'raj, yaitu intizhar (observasi) dan eksperimen. Proses yang dapat diobservasi dan dilakukan eksperimen terhadapnya, ialah proses yang terbuka dan berlangsung secara sinambung. Terbuka maksudnya dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja dan bilamana saja. Kalau tidak terbuka, dan proses itu tidak sinambung, mana mungkin orang dapat mengobservasinya dan melakukan eksperimen atasnya. Peristiwa Isra-Mi'raj tidak terbuka dan hanya terjadi satu kali, sehingga tidak mungkin dapat mengobservasinya apatah pula melakukan eksperimen atasnya. Jadi mustahil orang dapat melakukan pendekatan ilmiyah-sekuler terhadap Isra-Mi'raj.
Mencerna peristiwa Isra-Mi'raj dengan pendekatan iman sangatlah sederhana. Peristiwa itu ada dalam Al Quran, yaitu di S. Bani Israil ayat 1, sehingga sebagai konsekwensi salah satu rukun iman, yaitu beriman kepada Kitab-KitabNya yang dalam hal ini adalah Al Quran, maka peristiwa itu benar adanya.
***
Dalam terjemahan ayat (2:4) di atas disisipkan kata-kata di antara kurung. Maksud sisipan itu ialah untuk lebih memperjelas terjemahan itu. Namun dalam memberikan sisipan baik itu terjemahan maupun salinan harus kita berhati-hati, sebab nanti dapat menyimpang dari makna aslinya. Akan diberikan tiga contoh sisipan yang menyebabkan penyimpangan dari makna yang asli, pertama dari Taurat, kedua dari terjemahan Al Quran dan ketiga dari terjemahan azan di TPI.
Salah satu Kitab yang harus diimani ialah Kitab Taurat yang diturunkan Allah melalui wahyu kepada Nabi Musa AS. Namun perlu dicamkan bahwa Kitab Taurat baru dituliskan setelah Nabi Musa AS sudah wafat. Ini dapat dilihat dalam kalimat berikut: And he buried him in a valley in the land of Moab, over against Beth-peor; but no men knoweth of his sepulchre unto this day. And Moses was an hundred and twenty years old when he died (Deuteronomy 34:6-7), artinya: Dan dikuburkanlah ia dalam suatu lembah di tanah Moab bertentangan dengan Beth-Peor; tetapi tak seorangpun tahu kuburnya hingga hari ini. Dan Musa berumur seratus dua puluh tahun tatkala wafat. Dari kata-kata dikuburkanlah ia, hingga hari ini, tatkala wafat, menunjukkan bahwa Taurat dituliskan oleh seseorang (boleh jadi lebih seorang) setelah wafatnya Nabi Musa AS, jadi seperti menuliskan Hadits RasuluLlah SAW. Bedanya ialah dalam hal Hadits jelas orangnya terutama wataknya dari orang yang pertama yang mendengar dan melihat langsung ucapan dan perbuatan Nabi Muhammad SAW dan secara sinambung diteruskan kepada orang kedua, ketiga dan seterusnya hingga sampai kepada perawi Hadits yang menuliskannya. Sedangkan pada penulisan Taurat tidak jelas siapa penulisnya setelah Nabi Musa AS wafat. Juga tidak jelas jangka waktu antara wafatnya Nabi Musa AS dengan yang dimaksud oleh penulis Taurat dengan ungkapan kata: hingga hari ini, hari mulai dia atau mereka menuliskan Taurat.
Contoh pertama, yaitu sisipan kata dalam sebuah ayat dalam Kitab Taurat. Walaupun yang otentik dari Nabi Musa AS tidak ada lagi (karena dituliskan setelah Nabi Musa AS wafat), ada yang dapat dikaji bahwa itu adalah sisipan, seperti contoh yang akan dikemukakan berikut ini: And he said, Take now thy son, thine only son Isaac, whom thou lovest and get thee into the land of Moriah; and offer him there (Genesis 22:2), artinya: Dan Dia berfirman, ambillah sekarang puteramu, putera milikmu satu-satunya Ishak yang kau kasihi, dan bawalah ke tanah Moria; dan korbankanlah ia di sana.
Kata yang disisipkan dalam (Genesis 22:2) adalah Isaac. Hal penyisipan kata Isaac ini dapat ditunjukkan oleh kedua ayat yang berikut: And Abram was fourscore and six years old, when Hagar bare Ishmael to Abram (Genesis 16:16), artinya: Ibrahim berumur delapan puluh enam tahun tatkala Hajar memperanakkan Ismail bagi Ibrahim. And Abraham was an hundred years old, when his son Isaac was born unto him (Genesis 21:5), artinya: Dan Ibrahim berumur seratus tahun tatkala Ishak dilahirkan untuknya. Kedua ayat (Genesis 16:16) dan (Genesis 21:5) itu menunjukkan bahwa Ismail lebih tua dari Ishak, yaitu 100 - 86 = 14 tahun. Jadi putera satu-satunya yang akan dikorbankan mestilah Ismail yaitu sebelum Ishak lahir. Demikianlah, sebelum penyisipan Ishak, semestinya ayat itu berbunyi: thine only son, whom thou lovest.
Contoh yang kedua yaitu penyisipan kata-kata dari terjemahan Al Quran dan contoh ketiga yaitu penyisipan anak kalimat dari terjemahan kalimah tahlil dalam azan di TPI, akan dibahas nanti insya-Allah dalam Seri 398 yang akan datang. Walla-hu a'lamu bishshawa-b.
*** Makassar, 7 November 1999