Menurut hasil investigasi Sukarelawan Antisipasi Remaja AIDS PKBI dan Kelompok Relawan Antisipasi AIDS terdapat berjenis kelas (kls) pelacur, yaitu kls jalanan, kls perek (perempuan eksperimen), kls bordel, kls perusahaan (pub, bar, karaoke, bilyar room), kls salon, kls panti pijat, kls penghuni hotel dan kls telepon serta pager, demikian diberitakan Harian "Pedoman Rakyat" edisi Kamis, 18 April 1996. Nampaknya efektivitas dakwah hanya bersifat preventif, yaitu maksimal hanya terbatas dalam hal memelihara orang-orang baik agar tidak terjerumus ke dunia hitam. Jerih payah dakwah tidak signifikan (bermakna) dalam meredam bisnis jasa seks yang transaksinya berlangsung menjamur.
Jadi di satu pihak dakwah jalan terus, sedangkan pada pihak yang lain transaksi jual beli jasa seks juga jalan terus. Hal inilah yang dirisaukan oleh para aktivis yang terjun dalam lapangan upaya pencegahan penularan penyakit AIDS, oleh karena dengan kondisi yang masing-masing jalan terus itu, maka jalur agama dinilai kurang efektif dalam upaya pencegahan itu. Maka tinggallah kondomisasi yang dianggap lebih efektif walaupun disadari bahwa kondomisasi itu hanya sekadar mengurangi intensitas penularan HIV, virus penyebab AIDS tersebut. Dikatakan mengurangi intensitas (bukan mencegah) penularan, oleh karena menurut Prof DR H.Roesli Ngatimin, yang pakar di bidang Kesehatan Masyarakat itu, hasil penelitian menunjukkan, pemakaian kondom hanya mampu menanggulangi risiko infeksi HIV sebesar 26%.
Sesungguhnya kondomisasi itu telah dikampanyekan sebelumnya dalam hal upaya pembatasan kelahiran, dalam rangka kampanye keluarga berencana, ataupun dalam gerakan zero population growth, karena kondom termasuk salah satu alat yang dapat mencegah kehamilan. Kondomisasi dalam rangka keluarga berencana itu ditujukan kepada pasangan suami isteri, bukan ditujukan kepada para remaja. Kalaupun ada remaja yang mempergunakan kondom, maka itu adalah penyalah-gunaan alat itu. Jadi berbeda sifatnya dengan kampanye kondomisasi dalam pencegahan penularan HIV, karena kampanye ini justeru ditujukan pada remaja yang tidak dapat menahan hasrat seksualnya.
Seperti diketahui penyebaran HIV itu melalui salah satu ataupun kombinasi jalur: seks bebas, homoseksual, jarum suntik (narkotika) dan melalui darah, baik itu dari ibu yang mengandung ke jabang bayi, maupun melalui transfusi darah dari orang ke orang. Dan sudah kita maklum pula bahwa para ulama baik sebagai lembaga (MUI) maupun sebagai orang per orang tidak ada yang setuju, artinya menolak dengan tegas pemakaian kondom dalam upaya mengurangi intensitas penularan HIV, virus yang melumpuhkan sistem pertahanan tubuh tersebut.
***
Untuk kelancaran Pembangunan Nasional, bangsa Indonesia perlu membuka diri secara selektif. Kita tidak boleh menutup diri dari nilai-nilai operasional dari luar. Yang baik kita terima, seperti misalnya nilai operasional kinerja (produktivitas, efektivitas, efisiensi). Dalam konteks pembangunan di Indonesia ini yang disebut baik adalah nilai operasional yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, khususnya nilai akhlaq.
Kiranya perlu dijelaskan istilah akhlaq dengan moral, untuk menghindarkan kerancuan peristilahan. Aktualisasi nilai syari'at yang berlandaskan nilai aqidah berwujudkan ibadah, dan ibadah membuahkan akhlaq. Sedangkan aktualisasi nilai budaya membuahkan moral. Nilai budaya dianggap benar berdasar atas kesepakatan komunitas.
Nilai-nilai Al Furqan (aqidah dan syari'at) adalah kebenaran mutlak, karena bersumberkan wahyu dari Yang Maha Mutlak: Al Haqqu min Rabbika (S. Al Baqarah, 147). Kebenaran itu dari Maha Pemeliharamu (2:147). Di negara-negara barat kebebasan seks sudah membudaya bahkan sudah menjadi nilai budaya, oleh karena kebebasan seks itu sudah disepakati oleh komunitas. Hubungan seks tidak lain adalah masalah perdata. Kekuasaan hakim berdasar atas pola-pikir bahwa rentang kekuasaan hakim hanya menjangkau hingga pintu kamar tidur. Barulah menjadi urusan sistem peradilan jika suami dari isteri, ataupun isteri dari suami yang berhubungan seks itu berkeberatan. Sayangnya pola-pikir ini masih dianut oleh sistem peradilan di Indonesia, karena masih tertera dalam fasal 284 dalam KUHP.
Kondomisasi menyangkut nilai operasional kinerja, khususnya efektivitas. Kondomisasi tidak dapat dilepaskan dari sistem nilai komunitas di barat, yaitu kebebasan seks. Bagi komunitas yang menerima nilai bebas seks sebagai suatu kesepakatan (nilai budaya), kondomisasi bukan masalah. Dalam kondisi yang demikian itu, kondomisasi yang bertumpukan budaya bebas seks hanyalah menjadi urusan pribadi, sehingga dalam kalangan lembaga (dan para anggota lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV itu, kondomisasi bukanlah masalah yang harus ditentang, bahkan sangat dianjurkan oleh karena menyangkut nilai operasional kinerja khususnya efektivitas.
Alhasil, kondomisasi yang mengandung nilai operasional kinerja khususnya efektivitas yang bertumpu di atas nilai budaya bebas seks tidak sesuai dengan nilai agama terkhusus nilai akhlaq. Itu berarti bahwa atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, kondomisasi itu harus ditolak. Maka seharusnya pula kondomisasi ditolak oleh lembaga Islami (dan orang-orang dalam lembaga itu) yang aktif dalam penanggulangan penyebaran HIV tersebut di Indonesia, atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar tersebut.
Oleh karena kondomisasi harus dirolak atas dasar amar ma'ruf nahi mungkar, maka harus ditempuh upaya penaggulangan penyakit AIDS yang bersifat strategis tanpa kondomisasi. Hal ini telah dibahas dalam Seri 206, 10 Desember 1995 dengan judul: Upaya Strategis Menangkal Penyakit AIDS. WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar, 21 April 1996
21 April 1996
[+/-] |
224. Kampanye Penggunaan Kondom dalam Upaya Pencegahan Inveksi HIV? |
14 April 1996
[+/-] |
223. Antara Fiqh, Normatif dan Rechtmatigheid dengan Hakikat, Fundamental dan Doelmatigheid |
OBT, seorang mahasiswa ITB dahulu mendapat tugas sarjana pada bagian mesin yaitu merancang (to design). Tugas sarjana OBT itu adalah merancang ketel (al ghallayah, boiler). Dalam sidang ujian meja OBT mendapat serangan dari bidang hukum. Rancangan ketel OBT tersebut melanggar Undang-undang Keselamatan Kerja (UUKK). Fasalnya, OBT cuma memakai satu buah pompa pengisi air ketel, sedangkan ketentuan dalam UUKK pompa pengisi air ketel harus dua buah. UUKK turut campur dalam urusan ketel ini oleh karena jika pompa pengisi air ketel macet, sedangkan tidak ada pompa reserve, maka ketel akan meledak, jadi harus dilindungi oleh hukum.
Dalam rancangan ketel OBT itu, OBT capek-capek merancang mekanisme pengontrol untuk mencegah ledakan. Begitu pompa pengisi air ketel macet, mekanisme itu bekerja dan dalam sekejap itu juga api dalam ketel padam, sehingga tidak akan terjadi ledakan. Tentu saja OBT ngotot mempertahankan rancangannya itu. OBT menjawab, bahwa secara normatif dia itu kelihatannya tidak memperdulikan keselamatan karyawan pabrik (baca melanggar UUKK), akan tetapi secara fundamental OBT sungguh-sungguh memperhatikan keselamatan karyawan pabrik. Ketentuan normatif UUKK harus mempergunakan dua buah pompa pengisi air ketel, secara fundamental telah digantinya dengan mekanisme pengontrol yang mencegah ledakan. Atau dalam bahasa hukum, jangan hanya dilihat dari segi yang rechtmatigheid menurut UUKK secara kaku, melainkan sangat patut pula dengan sungguh-sungguh dilihat dari segi yang doelmatigheid, yaitu tercegahnya bahaya peledakan oleh mekanisme pengontrol.
***
Penghuni asrama mahasiswa OBT rumah G (barrac) mempunyai keunikan dalam bermain bola. Apabila kekurangan pemain, maka wasit ikut main di salah satu pihak. Dapat dibayangkan jika wasit ikut main, maka bagaimanapun juga sukar untuk jadi obyektif, dan itu manusiawi.
Barangkali terbentuknya KIPP (Komite Independen Pengawas Pemilu) ataupun (Komisi Intelektual Peduli Pemilu) antara lain didorong oleh adanya sifat "manusiawi" dalam kalangan birokrat yang di samping sebagai panitia pelaksana Pemilu (tahap pendaftaran, pemungutan dan perhitungan suara), adalah pula anggota Korpri yang berafiliasi pada Golkar. Jadi ia sebagai wasit juga sekali gus sebagai pemain, dan ini ada persamaannya dengan permainan bola unik yang diceritakan di atas itu. Tidak persis sama betul, oleh karena permainan bola di atas itu hanya main-main saja, sedangkan aktivitas Pemilu tidaklah main-main.
Secara normatif KIPP tidak seperti Panwaslak. Sebagai unit pemantau KIPP berada di luar sistem panitia Pemilu, karena tidak ada dalam undang-undang. Akan tetapi dilihat secara hakikat, bukankah rakyat seluruhnya diminta pula mengawasi Pemilu. Apa salahnya rakyat membentuk unit organisasi semacam KIPP itu. Apabila jalannya Pemilu bersih dalam arti Luber (istilah yang normatif), dan Jurdil (istilah yang tidak normatif) akan dipantau pula oleh KIPP yang akan disebar luaskan. Bukankah itu menolong mempertinggi keyakinan rakyat tentang suksesnya Pemilu? Dan adaikata belum Luber betul ataupun belum Jurdil betul, jika disebar luaskan oleh KIPP dilihat dari segi hakikat, bukankah KIPP membantu pula untuk apa yang dikehendaki bersama, yaitu sifat keterbukaan? Bahkan ini dapat memacu mempertinggi kinerja dan kejurdilan Panitia (yang normatif) untuk Pemilu yang akan datang?
***
Satu generasi sebelum generasi saya adalah generasi terakhir yang masih menjumpai Selayar sebagai penghasil jeruk manis. Jika musim jerus manis tiba, maka aktiflah pula pedagang musiman yang berdagang jeruk manis. Modal pedagang musiman itu berasal dari hasil "penjualan" ringgit emas pada "pedagang khusus" emas. Seperti lazimnya harga jual emas berbeda dengan harga beli (bandingkan misalnya harga beli uang seumpama $ berbeda dengan harga jualnya di bank). Biasanya waktu itu harga jual ringgit emas 2% lebih rendah, sedangkan harga beli lebih tinggi 2% dari harga di pasar bebas. Setelah pedagang musiman itu selesai berdagang jeruk, maka mereka itu pergi pula kepada "pedagang khusus" emas yang bersangkutan menanyakan apakah ada tersedia ringgit emas yang akan "dijual". Maka "pedagang khusus" itu menjawab tersedia ringgit emas yang akan "dijual", yang jumlahnya sebanyak keping ringgit emas yang pernah "dijual" oleh pedagang musiman itu kepada "pedagang khusus" itu sebelumnya. Maka terjadilah pula transaksi "jual-beli", sehingga pedagang musiman itu memperoleh lagi keping ringgit emasnya, yang akan "dijual" nanti pada musim jeruk tahun berikutnya untuk mendapatkan modal berdagang jeruk. Namun transaksinya berbeda dengan harga pasar, harga jual dahulu 20& lebih rendah, namun harga beli 20& lebih tinggi dari "pedagang khusus" emas itu ketimbang harga pasar .
Apa yang terjadi dalam proses jual beli ringgit emas itu tidak melanggar syari'at menurut penjabaran fiqh. Ketentuan syari'at menurut Al Quran: Ahalla Llahu lBay'a wa Harrama rRibaw- (S.Al Baqarah, 275). Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba (2:275).
Akan tetapi kalau kita melihatnya menurut kacamata hakikat, maka proses "jual-beli" antara "pedagang khusus" emas dengan pedagang musiman itu berbeda dengan kacamata fiqh. "Pedagang khusus" emas itu pada hakikatnya adalah bankir gelap, rentenir pemakan riba yang biasa dijuluki dengan ungkapan lintah darat, yang mendapat keuntungan 40% dalam waktu 2 bulan.
***
Dalam buku Di Bawah Bendera Revolusi karangan Bung Karno ada pula cerita yang menarik. Walaupun buku itu sudah tidak ada pada saya (dipinjam teman dan tidak dikembalikan), namun masih mengendap dalam ingatan saya. Di suatu tempat di Jawa Barat terdapat sebuah rumah "penghulu". Orang yang menginginkan "isteri" dapat datang ke rumah itu yang menyediakan "calon-calon" isteri. Apabila terjalin kesepakatan antara yang bersangkutan dengan "penghulu" dan "calon isteri", maka "yang mencari isteri" dinikahkanlah dengan "calon isteri" oleh "penghulu", di hadapan para "saksi". Bung Karno mengeritik hal ini, bagaimana pelacuran dapat dihalalkan dengan upaya fiqh. Bukankah secara hakikat "yang mencari isteri" itu adalah pelanggan yang hidung belang, "penghulu" pada hakikatnya adalah germo, "calon isteri" itu secara hakikat adalah pelacur, dan para "saksi" adalah karyawan rumah bordel itu? WaLlahu A'lamu bi shShawab.
*** Makassar 14 April 1996