23 Maret 1997

266. Keputusan Presiden tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol

AlhamduliLlah, telah terbit Keputusan Presiden RI No.3 Tahun 1997 tanggal 31 Januari 1997, tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol (C2H5OH). Kepres tersebut tidak terlepas dari respons positif pemerintah terhadap tanggapan ketidak-puasan pressure group di dalam masyarakat terhadap Peraturan Daerah pada beberapa daerah mengenai minuman beralkohol (Miras).

Dalam Bab III, Pasal 3 ayat 1 dari Kepres tersebut dibuat klasifikasi 3 golongan minuman berakohol yaitu: golongan A (kadar alkohol 1% s/d 5%), golongan B (di atas 5% s/d 20%) dan golongan C (di atas 20% s/d 55%). Menurut ayat 2 hanya golongan B dan C yang ditetapkan sebagai barang dalam pengawasan baik dalam hal produksi, pengedaran dan penjualannya. Sehubungan dengan klasifikasi tersebut, maka minuman tradisional ballo' (tuak), masih menjadi pertanyaan apakah termasuk dalam golongan A ataukah dalam golongan B,C? Harus diadakan penelitian berapa kadar C2H5OH dalam tuak yang tentunya bervariasi pula, sehingga menyulitkan dalam pelaksanaan penelitian tuak tersebut. Maka perlu petunjuk yang dituangkan dalam Peraturan Daerah dalam hal penelitian tentang tuak ini, dan ini merupakan pekerjaan rumah bagi Pemerintah Daerah. Seyogianya petunjuk dalam Perda itu mengarahkan penelitian itu untuk mengambil contoh tuak yang sudah diberi sene (ramuan akar tumbuh-tumbuhan). Tuak dengan standard bersene ini perlu supaya tuak termasuk dalam kategori golongan B, sehingga dapat dijaring dengan Kepres. Dengan demikian lontang (lepau tempat miunum tuak) yang tersebar dapat ditindak dengan tegas, karena tawuran para remaja banyak-banyak dipicu oleh remaja tuna-sa'ring (teler).

Adapun pekerjaan rumah yang kedua sehubungan dengan Bab IV, Pasal 5 dari Kepres tersebut tentang hal larangan mengedarkan dan menjual miras berdekatan dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit. Pernyataan kualitatif dekat dalam Kepres tersebut perlu penjelasan dalam Perda secara pernyataan kuantitatif, yaitu jarak antara tempat penjualan Miras itu dengan tempat peribadatan, sekolah, dan rumah sakit dinyatakan dalam ukuran panjang ataupun dalam jumlah bangunan yang mengantarai.

***

Metode pendekatan menurut Al Quran dalam hal ketentuan larangan minum khamar (Miras), ialah secara bertahap. Tahap pertama ialah memberikan potret tentang khamar. Itsmun Kabiyrun waMana-fi'u linNa-si waItsmuHuma- Akbaru min Naf'ihima- (S. Al Baqarah, 219). Dosa besar dan ada beberapa manfaat, namun dosa keduanya (Miras dan judi) lebih besar dari manfaat keduanya (2:219). Tahap kedua adalah sasaran antara tidak boleh shalat tatkala sedang mabuk. La- Taqrabuw shShalawta wa Antum Suka-ray (S. AnNisa-u, 43). Janganlah kamu dekati shalat tatkala kamu mabuk (4:43). Tahap ketiga adalah sasaran akhir, larangan yang tegas. Rijsun min 'Amali sySyaytha-ni faJtanibuwhu La'allakum Tuflihuwna (S. Al Ma-idah, 90). Itu dari pekerjaan setan, jauhkanlah, supaya kamu mendapat kemenangan (5:90).

Maka diharapkan pula seyogianya Kepres tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Berakohol hanya bersifat taktis, yaitu suatu langkah dalam tahap sasaran antara untuk menuju kepada tahapan akhir yang bersifat strategis yaitu Pemerintah bersama dengan DPR membuat Undang-Undang supaya Miras terjauh (faJtanibuwhu) dari seluruh rakyat Indonesia: tutup pabrik Miras. Keputusan penutupan pabrik Miras itu perlu diamankan, yaitu menyediakan lapangan kerja bagi para penganggur yang diakibatkan oleh penutupan pabrik Miras tersebut.

Seperti diketahui di samping pabrik Miras ada pula pabrik etil alkohol (ethanol, C2H5OH). Baik pabrik Miras maupun pabrik ethanol mempergunakan bahan baku dari tumbuhan bertepung (C6 H10 O5)n, keduanya menghasilkan ethanol, akan tetapi ethanol hasil pabrik ethanol tidak dapat diminum. Ethanol hasil pabrik ethanol ini ialah untuk keperluan proses dalam pabrik kimia, cairan pembersih dan pembunuh kuman, dan (untuk masa depan di Indonesia) sebagai bahan bakar mesin-mesin. Jadi untuk membuka lapangan kerja bagi para pekerja yang kehilangan pekerjaan yang diakibatkan oleh penutupan pabrik Miras tersebut, dapatlah ditempuh dengan memodifikasi semua pabrik Miras menjadi pabrik ethanol.

Sedikit tentang prospek bahan bakar ethanol untuk mesin-mesin di Indonesia. Pergeseran bahan bakar bensin ke bahan bakar ethanol bagi motor bakar, bagi pabrik-pabrik yang memproduksi motor-motor bakar dengan bahan bakar ethanol bukanlah masalah. Yang menjadi masalah ialah bagi masyarakat yang sudah terlanjur mempunyai motor-motor bakar dengan bahan bakar bensin. Untuk itu diperlukan modifikasi motor-motor bakar, tetapi modifikasi ini tidaklah menyeluruh terhadap komponen-komponen mesin, melainkan hanya tertuju utamanya pada karburator dan penukar kalor.

Dengan pemakaian bahan bakar ethanol perbandingan bahan bakar dengan udara akan berubah. Untuk ukuran silinder yang sama pembakaran ethanol akan membutuhkan oksigen yang lebih rendah ketimbang kebutuhan oksigen guna pembakaran besin. Dengan demikian pada karburator saluran udara harus dipersempit sedangkan saluran bahan bakar harus diperbesar. Itu berarti untuk ukuran silinder yang sama akan lebih banyak bahan bakar ethanol yang masuk silinder, sehingga daya mesin akan meningkat. Akan tetapi pada sisi lain suhu mesin akan meningkat pula. Untuk itu akan membutuhkan komponen penukar kalor yang lebih tinggi kinerjanya untuk membuang kalor dari dalam mesin ke udara luar.

Syahdan, yang paling penting ialah dengan adanya Undang-Undang mengenai larangan untuk mendirikan pabrik Miras yang sekaligus mencakup larangan tentang peredaran, perdagangan dan pengkonsumsian (baca: minum), maka setelah Indonesia terjun dalam kancah perdagangan bebas, dapatlah tumpah darah Indonesia dilindungi dari serbuan arus globalisasi Miras dari manca-negara: brandy, vodka, anggur, whiskey dan semacamnya. Melindungi tumpah darah dari serbuan obat bius, extacy (sudah ada Undang-Undangnya) dan Miras (Undang-Undangnya seyogianya segera dibuat) termasuk dalam upaya yang diamanahkan oleh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV. WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 23 Maret 1997