2 Maret 1997

263. Siapa Pelakunya?

Pada malam Sabtu, 21 Februari 1997, sahabat saya Fuad Rurni sementara ia mengaji Al Quran, terbaca olehnya sebuah ayat, lalu serta-merta setelah mengaji ia menelepon saya, supaya saya menterjemahkan ayat tersebut dan menyarankan puia agar saya tulis dalam kolom ini. Sebenarnya ini adalah merupakan perpanjangan diskusi tentang pemahaman ayat:
WaLlahu Yahdiy Man Yasya-u (S. Al Baqarah 213). Apabila fail (pelaku) Yasya-u adalah Allah, maka tafsiran ayat itu: Allah menunjuki siapa yang Allah kehendaki atau dikehendakiNya. Apabila pelaku Yasya-u adalah Man, maka tafsiran ayat itu: Allah memberi petunjuk kepad siapa yang mau (mendapat petunjuk).

Diskusi tersebut berlangsung di rumah sahabat saya Alwi Hamu untuk mengisi waktu lowong menjelang dimulainya acara resmi Halal bi Halal (baca: silaturrahim). Sebenarnya diskusi dengan materi yang sama telah berlangsung pula menjelang akhir Ramadhan di Pesantren Putera Pendidikan Quran IMMIM Tamalanrea. Al Ustadz Drs H.Saifullah (guru bahasa Arab) dan Al Ustadz Drs H. Hasnawi Marjuni (hafiz, penghapal Al Quran) dalam diskusi itu berpendapat pelaku Yasya-u adalah Allah, sedangkan menurut pendapat saya pelaku Yasya-u adalah Man.

Menurut metode pendekatan Satu Kutub, dalam hal ada penafsiran yang berbeda, maka perbedaan itu harus diujicoba. Karena hal ini murni bersangkutan dengan Ayat Qawliyah, maka rujukannya tentulah juga semata-mata pada Ayat Qawliyah pula. Marilah kita rujukkan kedua penafsiran yang tidak sama itu terhadap ayat-ayat di bawah ini:
Inna Lla-ha Laa Yughayyiru Maa biQawmin Hatta- Yughayyiruw Maa biAnfusihim (Ar Ra'd, 11). Sesunggunya Allah tidak akan mengubah apa (yang ada) atas suatu kaum, hingga mereka itu mengubah apa (yang ada) dalam dirinya.
(Kata mengubah ada yang menulis dengan merubah. Asal katanya ubah, mendapat awalan me÷sengau ng menjadi mengubah, sedangkan rubah adalah binatang sejenis keluarga anjing).

Ayat di bawah lebih mempertegas yang dimaksud dengan apa tersebut:
Dza-lika biAnna Lla-ha Lamyaku Mughyyiran Ni'matan An'amahaa 'ala- Qawmin Hatta- Yughayyiruw Maa biAnfusihim (Al Anfal, 53). Demikianlah Allah tidak akan membuat perubahan untuk memberi ni'mat atas suatu kaum, hingga mereka mengubah apa (yang ada) atas dirinya.
Jelas bahwa yang dimaksud dengan apa adalah ni'mat Allah. Adapun ni'mat Allah dapat berupa petunjuk seperti dalam S. Al Baqarah, 213 di atas, ataupun berupa rezeki seperti dalam S. Al Baqarah, 212.

S. Ar Ra'd 11, dan S. Al Anfal 35, menolak pola pikir Madzhab Qadariyah (Allah pasif, manusia aktif), juga menolak pola pikir Madzhab Jabariyah atau Fatalist (Allah aktif, manusia pasif). Allah memberikan ni'mat yang bersyarat. Syaratnya ialah siapa yang berusaha untuk mendapatkan ni'mat itu. Jadi Allah aktif, manusia juga aktif. Secara proaktif, nimat Allah dipancarkan oleh Allah tak putus-putusnya, ibarat matahari yang memancarkan sinarnya ke sekelilingnya. Pada pihak yang lain manusia harus aktif pula berikhtiar untuk mendapatkan ni'mat Allah yang dipancarkan Allah itu. Ibarat seorang manusia yang ada di dalam gua yang gelap gulita, mana mungkin akan mendapatkan sinar matahari, apabila orang itu tetap tinggal di dalam gua itu. Ia harus berikhtiar, keluar dari gua untuk mendapatkan sinar matahari itu.

Ayat-ayat rujukan di atas itu berhubungan dengan makna ayat. Berikut ini dikemukakan rujukan ayat mengenai pola redaksionalnya. Firman Allah dalam S. Ar Ra'd 27:
Inna Llaha Yudhillu Man Yasyaau, wa Yahdiy Ilayhi Man Anaaba, sesungguhnya disesatkan Allah orang yang menghendaki (kesesatan) dan memberi petunjuk kepadaNya siapa yang tobat. Pola secara redaksional ini jelas. Man adalah pelaku perbuatan Yasyaau dan ataaba.

Adapun ayat yang dimaksud melalui telepon Fuad Rumi seperti berikut:
Inna Rabbaka Yabsuthu rRizqa liMan Yasyaau wa Yaqdiru Innahu Kaana bi'Ibaadihi Khabiyran Bashiyran (S. Isra-, 30).
Menurut hemat saya kalimah (kata) wa adalah untuk menghubungkan jumlah (kalimat) Inna Rabbaka Yabsuthu rRizqa liMan Yasya-u dengan jumlah Yaqdiru Innahu Kaana bi'Iabadihi Khabiyran Bashlyran. Kedua jumlah yang dihubungkan itu mempunyai fa'il (pelaku) yang sama, yaitu Rabbaka. Dengan demikian pelaku dan Yabsuthu dan Yaqdiru adalah Rabbaka dan pelaku dan Yasya-u adalah Man. Sehingga seyogianya menurut hemat saya ayat itu bermakna:
Sesunggunya Maha Pengaturmu melapangkan rezeki bagi siapa yang mau (lapang rezekinya) dan Maha Pengaturmu memberi ukuran (tertentu) sesungguhnya Dia Maha Mengetahui dan Maha Melihat atas hambaNYa.

Alhasil penafsiran yang dikukuhkan oleh hasil ujicoba di atas adalah Allah aktif dan manusia aktif, yaitu pola pikir Ahlu sSunnah, seperti yang dirujukkan pada S. Ar Ra'd, l1 dan S. Al Anfal, 35, dan pola redaksional yang ditunjukkan oleh S. Ar Ra'd,27, sehingga pola pikir kita seyogianya seperti berikut:
Allah hanya berkenan memberikan petunjuk kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan petunjuk. Dan Allah hanya berkenan memberikan rezeki kepada orang yang berkeinginan dan berikhtiar untuk mendapatkan rezeki. Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menentukan pilihannya: Apa mau sesat di tempatyang gelap, atau berikhtiar mendapatkan petunjuk, mina zhZhulumaati ila nNuwri (2:257), dari kegelapan ke terang-benderang. Dengan kebebasan itu manusia memikul tanggung jawab penuh atas hasil pilihan dan perbuatannya. Allah Maha Adil, Yang menghukum manusia atas hasil pilihannya itu. Manusia harus mempertanggung-jawabkan hasil pilihannya itu kepada Pemilik Hari Keadilan).

Namun demikian untuk menghayati bahwa Allah Maha Kuasa, sebelum berdoa kepada Allah SWT, sebaiknya membaca: Quli Lla-humma Malika lMulki Tu'tiya IMulka Man Tasyaau waTanzi'u lMulka Mimman Man Tasyaau waTu'azzi Man Tasyaau waTudzillu Man Tasyaau biYadika lKhayru Innaka 'ala- Kulli Syay.in Qadiyrun (S. Ali 'lmraan, 26). Katakanlah, ya Allah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada siapa yang Engkau kehendaki, Engkau cabut kerajaan dari siapa yang Engkau kehendaki, Engkau muliakan slapa yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan siapa yang Engkau kehendaki; di tangan Engkaulah segala kebajikan, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu (3:26).
WaLlahu A'lamu bi shShawab.

*** Makassar, 2 Maret 1997