29 Februari 2004

615. Inilah Ujung-Ujungnya Praktek Sekularisme

Parlemen Prancis telah menyetujui rancangan undang-undang (RUU) tentang larangan jilbab. Setelah dilakukan voting yang dilakukan pada Selasa (11/02/2004) malam (Rabu dinihari WIB), 494 anggota majelis rendah menyetujui RUU tersebut, sedangkan 36 anggota menolak. Dukungan tersebut berasal dari partai berkuasa pimpinan Presiden Jacques Chirac dan partai oposisi, Partai Sosialis. Selanjutnya, RUU ini akan diserahkan kepada majelis tinggi parlemen (Senat) yang dikuasai oleh Partai UMP pimpinan Chirac, pengusul RUU itu.

Supaya tidak tampak sebagai pengebirian atas keyakinan kaum Muslim, dalam RUU tersebut dipakai kalimat umum: "penggunaan pakaian atau simbol-simbol yang menunjukkan pada suatu agama adalah illegal, termasuk jilbab. RUU ini sebenarnya lebih ditujukan pada Islam dan umatnya. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hal. Pertama, penyebab disusunnya RUU ini merupakan respon atas meningkatnya penggunaan jilbab di kalangan umat Islam negeri tersebut yang jumlahnya mencapai lima juta orang, bukan respon terhadap pemakaian tutup kepala Yahudi atau salib. Jelas sekali, yang terjadi sejak beberapa tahun terakhir adalah pelarangan jilbab di sekolah. Barulah pada tanggal 11 Desember 2003, Presiden Prancis Jacques Chirac menunjuk tim beranggotakan 20 orang untuk menyusun RUU dan pada tanggal 17 Desember 2003 menyatakan dukungannya secara terbuka terhadap RUU yang akhirnya disetujui oleh 93,2% anggota parlemen tersebut. Dalam pidatonya pada 17 Desember 2003 tersebut (dapat diakses pada situs kedubes Perancis), Presiden Perancis Jacques Chirac antara lain menegaskan bahwa Perancis harus terus menghidupkan prinsip sekularisme. Pembaca, inilah dia ujung-ujung praktek sekularisme.

***

Penuturan KH Abdul Kahar Mudzakkir kepada Firdaus AN: Jum'at petang, 17 Agustus 1945. Dering telepon memaksa Bung Hatta beranjak dari istirahatnya. Pembantu Laksamana Maeda memberitahukan, sebentar lagi seorang opsir Kaigun (angkatan laut Jepang) akan menemuinya. Bung Hatta mengangguk di telepon. "Ya, baik," ujarnya singkat. Benar saja. Tak sampai satu jam, tamunya datang. Kaigun itu, (Bung Hatta lupa namanya) menyampaikan pesan kepada Bung Hatta, bahwa jika ke-7 kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" dalam alinea ke-4 itu tidak dicoret, maka bagian timur Indonesia tidak akan ikut membela Republik Indonesia yang baru diproklamasikan itu dan akan memisahkan diri dari Republik Indonesia. --Bagian Timur Indonesia dikontrol oleh tentara pendudukan Kaigun sedangkan bagian barat oleh Rikugun (angkatan darat). Angkatan Perang Jepang tidak punya angkatan udara, masing-masing Kaigun dan Rikugun punya angkatan udara sendiri-sendiri.--

Esok harinya, 18 Agustus 1945, akan ada agenda penting bagi negara yang baru lahir ini. Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) akan mensahkan Undang-Undang Dasar (UUD) yang telah rampung disusun oleh BPUPKI dan disetujui semua anggotanya. Tanpa berkoordinasi dengan anggota-anggota BPUPKI yang telah bekerja mati-matian hingga rancangan UUD selesai, keesokan paginya sebelum sidang PPKI dimulai, Bung Hatta mengumpulkan beberapa tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Kasman Singodimejo, KH Wahid Hasyim, dan Mr. Teuku Hasan. Maka akhirnya, dicoretlah tujuh kata yang amat berarti bagi umat Islam Indonesia itu lewat sidang kecil yang berlangsung kurang dari limabelas menit tersebut. Rapat kecil itu sendiri ternyata tidak mengundang para penandatangan Piagam Jakarta seperti H. Agus Salim, Abikusno, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan Mr. M. Yamin. Ketua BPUPKI, KH. Masykur pun tidak diundang. Dalam sidang PPKI, Bung Hatta mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang dari kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh.

Banyak peneliti sejarah berpandangan, seandainya Bung Hatta seorang militer, maka sejarah akan berjalan lain. Ancaman separatisme sewajarnya ditumpas dengan tindakan represif. Itu sudah hukum besi sejarah. Namun Bung Hatta adalah seorang negarawan sipil, yang terlalu naif menghadapi situasi semacam itu, yang ternyata di belakang hari berwujud dalam dua hal kenyataan sejarah: Pertama, di bagian timur Indonesia, muncul Twaalfde Provintie (Provinsi ke-12 dari Nederland) di Sulawesi Utara serta Republik Maluku Selatan, dan kedua, pencoretan tujuh kata itu dibayar dengan harga mahal: Perlawanan DII/TII di Aceh, Jawa Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Apa yang belum selesai sampai sekarang yaitu perlawanan GAM, yang metamorphosis dari DII/TII di Aceh.

***

Firman Allah:
-- YAYHA ALDZYN AMNWA ATQWA ALLH WLTNZHR NFS MA QDMT LGHD WATQWA ALLH AN ALLH KHBYR BMA T'AMLWN (S. ALhSYR, 18), dibaca: Ya-aayyuhal ladzi-na a-manut taqu Lla-ha waltandzur nafsum ma- qaddamat ligadin, wattaqu Lla-ha, inna Lla-ha khabi-rum bima- ta'malu-n (s. alhasyr), artinya: Hai orang-orang beriman, taqwalah pada Allah dan mestilah setiap diri mengkaji masa lalu untuk orientasi masa depan, dan taqwalah pada Allah, sesungguhnya Allah meliput semua apa yang kamu kerjakan (59:18).

Dalam sidang PPKI, Bung Hatta mengumumkan pencoretan tujuh kata tersebut. Peserta sidang dari kaum nasionalis-sekuler bertepuk tangan riuh. Itulah ma- qaddamat (masa lalu). Kalau ummat Islam acuh tak acuh dalam hal memperjuangkan Piagam Jakarta melalui Pemilu, lalu memilih wakil-wakilnya dan Presidennya yang sekuler, dan lagi pula ada ulamanya menempatkan diri sebagai caleg dalam barisan penganut sekularisme, maka ujung-ujungnya Indonesia akan mengalami praktek sekularisme seperti di Perancis itu. Itulah lighadin (hari esok). WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 29 Februari 2004