22 Februari 2004

614. Masalah Lempar Jamrah di Mina Tidak Perlu Fiqh Baru

-- ALHJ ASYHR M'ALWMT (S. ALBQRt, 197), dibaca: alhajju asyhurun ma'lu-ma-tun, (s. albaqarah), artinya: Waktu haji adalah beberapa bulan yang sudah dimaklumi (2:197). Dalam pelaksanaan lempar Jamarat, disebabkan penumpukan jama'ah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi musibah yang fatal, yakni kematian jama'ah karena terinjak atau terjatuh. Dalam kenyataannya, sistem kuota yang telah diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak mampu mengurangi atau membatasi jumlah jama'ah haji sampai ke tingkat yang sepadan dengan daya tampung ruang dan waktu yang tersedia.

Bertitik tolak dari ayat (2:197) dan penumpukan jama'ah satu titik waktu dan tempat yang sama serta sistem kuota yang tidak efektif tersebut, maka Masdar F. Mas'udi mencoba mereka-yasa "fiqh baru" dalam wujud tulisan yang berjudul "Meninjau Ulang Waktu Pelaksanaan Haji", bertanggal 21/1/2004. Demikianlah saya pungut dari internet. Ia berkilah: "Waktu pelaksanaan ibadah haji sesungguhnya tidaklah sesempit yang kita pahami selama ini, seolah-olah hanya sekitar 6 hari saja, yakni hari-hari ke 8, 9, 10, 11, 12, 13 dari bulan Dzulhijjah. Berdasarkan ayat (2:197) tersebut, kita diberitahu bahwa seluruh prosesi (manasik) haji mulai dari pengenaan pakaian ihram, thawaf, sa-'iy, wuquf di Arafah, wuquf di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan potong rambut, sebagai satu paket peribadatan, dapat (baca: sah) dilaksanakan secara berurut (tertib) pada hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lu-ma-t tersebut, yaitu bulan-bulan Syawwal, Dzulqa'dah dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah."

Mas'udi mempergunakan pisau analisa teori Fiqh, berkaitan dengan dimensi waktu pelaksanaan ibadah yang dikelompokkan pada dua kategori. Pertama kewajiban ibadah yang mudhayyaq, yaitu tidak mempunyai tenggang waktu, karena waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah itu tepat-tepat sama dengan waktu yang disediakan oleh Nash, seperti puasa Ramadhan. Kedua yang muwassa', yaitu mempunyai tenggang waktu, karena waktu yang diperlukan untuk pelaksanaan ibadah itu lebih singkat dengan waktu yang disediakan oleh Nash, seperti shalat. Untuk menunaikan salat 'Isya misalnya, waktu yang dibutuhkan lebih kurang 10 s/d 20 menit saja, sementara waktu yang disediakan membentang selama kurang lebih 9 jam sejak katakanlah pukul 19.00 sampai pukul 04.00 WIB.

Mas'udi berqiyas (analogi) 6 hari (8 s/d 13) dalam 3 bulan dari ibadah haji dengan 10 menit dalam 9 jam shalat 'Isya. Maka titik sentral 9 Al-hajju 'arafah (Haji adalah Arafah), menurut Mas'udi dapat digeser dalam tenggang waktu Syawwal, Dzulqa'dah dan 10 hari pertama bulan Dzulhijjah, sebagaimana waktu shalat 'Isya yang 10 menit dapat digeser dalam tenggang waktu yang 9 jam itu.

Di samping metode qiyas, Mas'udi mempergunakan logika pula, seperti berikut: "Harus ditegaskan bahwa, tidak ada satu Nashpun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji."

***

Akan saya tebas yang "strategis" yaitu logika Mas'udi yang dijadikannya paradigma untuk menggeser titik sentral 9 Dzulhijjah. Dengan menebas yang strategis, maka hal yang "teknis" akan tertebas dengan sendirinya. Yang saya maksud dengan yang teknis itu ialah menggeser titik sentral 9 Dzulhijjah, sehingga ibadah haji dapat dilaksanakan beberapa gelombang agar dapat diperkecil penumpukan jamaah yang luar biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama.

Saya substitusi hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah dengan 4 raka'at, dan manasik haji saya substitusi dengan shalat 'Isya, maka kalimat Masdar F. Mas'udi yang berbunyi: "tidak ada satu Nashpun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak sah untuk menunaikan manasik haji," akan menjadi "tidak ada satu Nash pun, baik ayat Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dha'îf sekalipun, yang menyatakan dengan tegas bahwa di luar 4 raka'at tidak sah untuk menunaikan shalat 'Isya." OK, silakan Masdar F. Mas'udi shalat 'Isya 2 atau 5 raka'at. Masdar F. Mas'udi melecehkan qaidah: Perkara yang 'ubudiyyaat (ritual) berlaku qaidah "semua tidak boleh, kecuali yang ditetapkan oleh Nash."

Adapun titik tolak Mas'udi dari reka-yasa fiqhnya itu yang menyatakan bahwa dalam kenyataannya, sistem kuota yang telah diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak mampu mengurangi atau membatasi jumlah jemaah haji sampai ke tingkat yang sepadan dengan daya tampung ruang dan waktu yang tersedia, justru sebaliknya, sistem kuota inilah yang merupakan strategi pemecahan menumpuknya jama'ah. Pemecahannya bukan dengan pendekatan membuat fiqh baru, melainkan dari segi pendekatan yang sederhana dan rasional secara numerik yang berencana yang dimusyawarakan dalam skala internasional. Yaitu penentuan quota 1 : N, ditetapkan melalui kesepakatan negeri-negeri Islam. Setiap selesai ibadah haji secara rutin setiap tahun di Makkah supaya diselenggarakan Konfrensi Tingkat Tinggi (KTT) para anggota Organisasi Konfrensi Islam (OKI) untuk menetapkan N, yang sekarang ini sementara diberlakukan N = 1000. Di samping itu ada pula pemecahan secara individual. Berniat Ihram dari Miqat, bermalam di Muzdalifah, bermalam dan melempar jamrah di Mina, dan Thawaf Wada adalah wajib, setingkat di bawah rukun. Kalau rukun tidak dikerjakan ibadah Haji tidak sah, sedangkan kalau yang wajib tidak dikerjakan, ibadah haji tetap sah apabila membayar dam. Pemecahan secara individual yang dimaksud, ialah secara fiqh lama, yaitu tidak melempar jamrah di Mina melainkan membayar dam saja. Buat apa bikin fiqh baru yang dikira memecahkan masalah, padahal justru sebaliknya, yaitu menternakkan masalah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 22 Februari 2004