14 Agustus 1994

140. Sikap yang Normatif Harus Berbingkai Kelayakan Manusiawi

Allah SWT berfirman:
Innamaa Harrama 'Alaykumu lMaytata wa dDama wa Lahma lKhinziyri waMaa Uhilla bihi- li Ghayri Lla-hi, faMani Dhthurra Ghayra Baaghin waLaa 'Aadin faLaa Itsma 'alayhi, Inna Lla-ha Ghafuwrun Rahiymun (Al Baqarah 2:173). Hanyalah yang diharamkan bagimu adalah bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih bukan dengan nama Allah. Tetapi barang siapa yang terpaksa, sedang ia tidak atas dasar keinginan (untuk memakannya) dan tidak pula melampaui batas (memakannya), maka tidak ada dosa atasnya (karena memakannya). Sedikit catatan tentang haramnya daging babi (Lahmu lKhinziyri), itu tidak berarti bahwa tulang rawan dan sumsumnya tidak haram. Jelasnya Lahmu lKhinziyr dalam bahasa Inggerisnya pork, sedangkan al Khinziyr adalah pig. Jadi Lahmu lKhinziyr adalah potongan-potongan tubuh babi yang biasa dimakan orang, sedangkan al Khinziyr adalah babi seutuhnya.

Ya-ayyuha Lladziyna A-manuw Kutiba 'Alaykumu shShiyaamu kaMaa Kutiba 'Ala Lladziyna Min Qablikum La'allakum Tattaquwna. Ayyaaman Ma'duwdaatin faMan Kaana Minkum Mariydhan aw 'Alay Safarin fa'Iddatun Min Ayyaamin Ukhara, wa 'Ala Lladziyna Yuthiyquwnahu- Fidyatun Tha'aamu miskiynin, (Al Baqarah 2:183-184). Hai orang-orang beriman, diwajibkan atasmu berpuasa,
seperti telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, supaya kamu bertaqwa. Beberapa hari yang tertentu (29 atau 30), maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan, maka berpuasalah pada hari yang lain, dan atas mereka yang kepayahan berpuasa, maka berfidyahlah memberi makan orang-orang miskin (2:183-184).

Ayat-ayat yang di atas itu berhubungan dengan hukum, jadi sifatnya normatif. Ayat-ayat itu mengandung perintah larangan dan suruhan. Perintah larangan yang hukumnya haram tentang yang dimakan dan perintah suruhan yang hukumnya wajib tentang puasa. Dengan ayat-ayat itu Allah SWT mengajarkan kepada kita tentang hal yang normatif yang tidak kaku. Yang normatif bukan sekadar normatif belaka. Yang normatif yang berbingkai kelayakan manusiawi. Daging babi itu haram, namun kalau orang terpaksa, artinya tidak atas dasar keinginan untuk memakannya dan tidak pula melampaui batas memakannya, maka tidak ada dosa atasnya karena memakannya. Berpuasa itu wajib, tetapi kalau orang sakit atau dalam perjalanan, berpuasalah ia pada hari yang lain di luar bulan puasa, dan kalau orang yang kondisi fisiknya akan kepayahan jika berpuasa apakah ia orang tua, ataukah ibu yang sedang hamil, ataukah sedang menyusukan anak, ataukah buruh kasar pekerja berat, mendapatkan kelonggaran tidak berpuasa, ia hanya wajib berfidyah dengan memberi makan orang-orang miskin. Dan kalau ia sendiri miskin, memberi makan anak isterinya termsuklah dalam kategori berfidyah pengganti berpuasa.

***

Mereka datang dari kampung, mereka berurbanisasi ke kota Makassar ini. Mereka mendapatkan tanah kosong, mereka membangun rumah di atasnya mula-mula yang sangat sederhana. Mereka mencari nafkah di sektor yang informal, mereka beranak-pianak, berdikit-dikit memperbaiki rumah tempat tinggal. Secara normatif mereka bersalah, tidak minta izin membangun, tidak mendaftar sebagai warga kota secara resmi. Namun tidak ada dari birokrat yang menegur, menyuruh mereka mengurus surat izin membangun, memanggil mereka ke kantor kelurahan, menyodorkan kepada mereka kartu rumah tangga yang akan diisi, artinya memberikan mereka bimbingan agar tahu dan mengerti bagaimana seharusnya aturan main membangun rumah, menjadi warga. Mereka didiamkan saja demikian, dalam keadaan buta aturan main.

Arkian, maka terjadilah musibah, prahara kebakaran, dengan sejumlah rentetan kemalangan dan kesedihan pula. Sudah jatuh diimpit tangga pula. Muncul papan pengumuman Pemda yang melarang mendirikan bangunan di lokasi bekas kebakaran, hanya beberapa jam setelah api melahap habis rumah kediaman mereka. Disusul kemudian oleh Surat Edaran Pemda yang berisi perintah pengosongan lokasi kebakaran, lalu berikutnya pernyataan Walikota bahwa hanya 2 orang warga kota yang resmi ber-KTP, sedangkan selebihnya adalah penghuni liar, dan supaya penghuni liar ini lebih baik pulang saja ke kampung masing-masing. Ini terjadi di Jalan Kerung-Kerung, Kelurahan Persiapan Bara-Baraya Utara. (Terbetik rumor di msyarakat, bahwa itu sebenarnya bukan kebakaran, tetapi "terbakaran", imbuhan ter-an yang diciptakan oleh nn di masyarakat yang berarti "sengaja", sehingga terbakaran berarti sengaja dibakar. Konon kabarnya yang membakar itu adalah Pendekar Lima suruhan Datuk Maringgih, personofikasi dari pengembang alias developer).

Maka gayungpun bersambutlah: "Kalau kami penghuni liar mengapa kami didaftar dijadikan pemilih dalam Pemilu yang lalu." Mereka secara tersirat menggugat: "Bukankah suara kami itu berharga mensukseskan Pemilu, memenangkan kontestan yang menang sekarang, yang duduk dalam DPRD, yang selanjutnya memilih balon, yang kemudian menjadi calon yang kemudian menjadi yang terangkat menjadi Wali Kota. Mengapa kami yang masih bersedih kena musibah, kena prahara kebakaran ini disuguhi pernyataan yang arogan, kamu itu penduduk liar, pulang saja ke kampungmu. Kami ini adalah anak-anak ayam, engkaulah induk kami. Janganlah sampai terjadi, di waktu panas lupa kacang akan kulitnya."

***

Syahdan, itulah gunanya wahyu diturunkan kepada RasuluLlah SAW, yang disebar luaskan kepada seluruh ummat manusia di globa ini, untuk menuntun nalar manusia, untuk menuntun kebijakan para pembijak. Antara lain khususnya dalam hal yang normatif, yang berbingkai dengan kelayakan manusiawi. Memecahkan masalah dengan sikap normatif, namun dengan hasil akhir yang sebaik-baiknya. Dengan bersikap lembut, terjauh dari sikap arogan, memegang nilai luhur kita, sipakatau, yaitu tenggang rasa. Bukankah sikap tenggang rasa ini adalah salah satu Wujud Pengamalan Kemanusiaan yang adil dan beradab?

*** Makassar, 14 Agustus 1994