18 September 1994

145. Manuver Enterprise Tahap Kedua, Menembus Lorong Waktu Adalah Science Fiction

Abu alHasan 'Ali alAsy'ari (873 - 935) peletak dasar Ilmu Kalam (theology) golongan Ahlussunnah membangun metode pendekatan beralatkan mata pisau analisis yang mengerat substansi dan fenomena ke dalam tiga klasifikasi: wajib, mungkin, mustahil. Kita akan meminjam pisau analisis Asy'ari tersebut dalam pembahasan judul di atas, untuk memenuhi janji akan membahas manuver Enterprise tahap kedua pada hari ini.

Adapun tahap kedua manuver Enterprise adalah memanfaatkan medan gravitasi yang sangat kuat dari dawai (tali halus) kosmis. Menurut Teori Relativitas, rentang waktu tergantung pula pada medan gravitasi. Dengan demikian manuver kedua ini tujuannya memperlambat waktu untuk menghemat pemakaian bahan bakar. Dawai kosmis ini adalah suatu benda hipotesis yang diciptakan Allah pada saat dimulaiNya penciptaan alam syahadah. Menurut pakar fisika nuklir dan kosmologi George Gamow (1904 - ?) pada saat permulaan penciptaan itu terjadi "big bang", ledakan dahsyat. Maka terlemparlah jutaan gumpalan kabut plasma (dukhan) yang akan menjadi galaxy. Turut pula terlempar benda hipotesis dawai tersebut. Teori big bang dan dawai ini dalam klasifikasi menurut pisau analisis Asy'ari termasuk dalam kategori mungkin. Dengan demikian kita dapat melangkah setapak dengan asumsi. Yaitu diasumsikan jika dawai itu ada, maka itulah yang menjadi penyebab terjadinya black hole (lubang gelap) yang telah ditangkap oleh teleskop. Apa saja yang melintas dalam kawasan medan gravitasinya, termasuk cahaya, akan disedotnya, sehingga dalam kawasan medan gravitasinya menjadi gelap, yang dideteksi oleh teleskop sebagai lubang gelap.

Lubang gelap yang akan dituju oleh Enterprise itu letaknya nun jauh di sana, di luar galaxy Milky Way tempat tata-surya bermukim, di luar super galaxy Local Group tempat Milky Way bermukim. Lubang gelap itu jauhnya jutaan tahun cahaya. Maka Enterprise akan diperhadapkan pada dua pilihan: menghemat bahan bakar dengan kelajuan jauh di bawah laju cahaya, atau memperlambat waktu dengan kecepatan mendekati laju cahaya. Pilihan yang pertama membawa konsekwensi jutaan tahun baru sampai ke tujuan, yang berarti astronaut itu sudah mati semua. Pilihan yang kedua tidak lain adalah manuver tahap pertama seperti yang telah dibahas hari Ahad yang lalu, astronaut akan mengecil secara tidak proporsional yang akan membawa ajalnya, dan pula Enterprise akan kehabisan bahan bakar. Maka walaupun dari segi adanya dawai itu termasuk kategori mungkin, akan tetapi manuver tahap kedua Enterprise termasuk kategori mustahil.

Dalam kategori manakah lorong waktu itu berada menurut klasifikasi Asy'ari? Menurut spekulasi imajinatif, apabila orang melaju di atas laju cahaya ia akan menembus lorong waktu kembali ke masa silam. Secara experimental laju cahaya adalah limit laju benda di alam syahadah ini. Dalam pengertian matematis limit adalah batas yang didekati namun tak pernah menyentuh batas itu. Rumus E = mc2 yang telah dibuktikan secara experimental itu diturunkan Einstein dari pemekaran transformasi Lorentz terhadap massa, yaitu massa akan bertambah apabila lajunya bertambah. Artinya massa akan mendekati tak terhingga besarnya jika lajunya mendekati laju cahaya telah dibuktikan secara tidak langsung. Jadi menurut klasifikasi Asy'ari jenis materi di alam syhadah ini yang dapat melaju di atas kecepatan cahaya termasuk kategori mustahil.

Louis Finkelstein (1895 - ?) berteori pula tentang zarrah hipothesis yang disebutnya tachyon. Kalau laju tachyon di bawah laju cahaya (c) massanya dalam keadaan maya (imajiner), tidak berada dalam alam syahadah. Barulah tachyon itu hadir di alam syahadah apabila lajunya di atas laju cahaya. Jadi zarrah tachyon lain sekali sifatnya dari zarrah yang menyusun tubuh manusia dan materi lainnya di alam syahadah ini. Zarrah tachyon ini dalam klasifikasi Asy'ari tergolong dalam kategori mungkin. Namun hingga kini zarrah tachyon ini belumlah terdeteksi oleh instrumen.

Terdapat kesulitan dalam mendeteksi tachyon ini. Sebuah benda terdeteksi oleh mata ataupun instrumen karena sinyalnya yang berupa gelombang medan elektromagnet menyentuh mata ataupun instrumen. Sinyal medan itu tidak lain adalah cahaya. Karena benda itu semuanya bergerak di bawah laju cahaya, maka sinyal medan akan lebih dahulu menyentuh mata atau instrumen, barulah kemudian menyusul bendanya. Lain halnya tachyon. Zarrah ini lebih dahulu menyentuh instrumen baru sinyal medan. Karena kesulitan mendeteksi tachyon ini maka tetaplah ia dalam kategori mungkin menurut klasifikasi Asy'ari.

Mempercayai adanya lorong waktu dapat merusak aqidah. Coba bayangkan, Richard Gott yang sangat gandrung terhadap lorong waktu, dalam umur 50 tahun menembus lorong waktu mundur 40 tahun, maka ia akan bertemu dengan dirinya sendiri yang masih berumur 10 tahun. Pertanyaan sekarang ruh Gott ada di mana waktu ia berjabat tangan dengan dirinya sendiri. Pada tubuh yang berumur 50 tahun atau yang 10 tahun? Manusia akan mati jika ruhnya sudah dicabut dari tubuhnya oleh malakulmaut. Jadi kalau ruhnya pada 50 tahun, tubuh yang 10 tahun mesti mati, demikian pula sebaliknya. Mempercayai lorong waktu berarti mempercayai orang bertemu dengan dirinya sendiri dalam keadaan kedua-duanya hidup, berarti tidak mempercayai adanya ruh dalam diri manusia. Ini merusak aqidah. Jadi menurut klasifikasi Asy'ari, lorong waktu masuk dalam kategori mustahil.

Lalu bagaimana dengan membaca buku atau melihat film tentang science fiction, apa ada gunanya? Pertanyaan ini sama jawabannya dengan pertanyaan, adakah gunanya membaca dongeng? Tentu ada manfaatnya, karena dongeng tradisional dan dongeng modern (baca science fiction) dapat saja mengandung pesan-pesan nilai yang bermanfaat, seperti misalnya kritik sosial dalam bentuk dongeng tentang kerajaan binatang. Hanya harus ingat bahwa dalam membaca itu harus menyadari bahwa kejadian aneh-aneh, seperti binatang bercakap-cakap seperti manusia, Bramakumbara menunggang rajawali yang setengah dewa, to beam down from Enterprise dll tidak boleh mempercayainya bahwa itu benar-benar terjadi demikian, karena kalau percaya menjadilah tahyul dan itu merusak aqidah. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 18 September 1994