9 April 1995

172. Dari Agen Camiri-miri ke Kolektor ONH

Camiri-miri adalah sejenis mata-uang Tempo Doeloe, nilainya setengah sen. Bahasa Indonesianya remis, tetapi ini tidak ada hubungannya dengan istilah permainan catur remis(e) yang berarti tidak ada yang kalah tidak ada yang menang. Ada baiknya kita berikan informasi jenis mata uang Tempo Doeloe itu.

Remis paling kecil nilainya. Di atasnya ialah sen (cent), kemudian benggol nilainya dua setengah sen, lalu kelip (stuiver) nilainya lima sen, seterusnya ketip (dubbeltje) nilainya sepuluh sen, menyusul tali (kwartje) nilainya dua puluh lima sen, setelah itu suku (halve gulden) nilainya lima puluh sen, barulah rupiah (gulden) nilainya seratus sen dan terakhir ringgit (rijksdaalder) nilainya dua ratus lima puluh sen. Sesungguhnya suku berarti seperempat dari sesuatu, lalu mengapa sesuku bernilai setengah rupiah, ialah karena dahulu sesuku senilai seperempat riyal.

Pemimpin komunis di Indonesia dahulu disebut benggolan komunis. Ini ada hubungannya dengan nilai uang. Tokoh komunis di Rusia ada yang bernama Stalin, lalu diejek menjadi setali. Tokoh-tokoh komunis yang menjadi pengikutnya di Indonesia diejek dengan benggolan, dianggap nilainya lebih kecil sepuluh kali, sebab setali senilai sepuluh benggol.

Sekarang ini, walaupun sudah kurang populer lagi, masih dipakai ungkapan satu ton untuk jumlah seratus ribu rupiah. Mulai mata uang ketip ke atas terbuat dari perak. Satu ketip beratnya satu gram, sehingga satu kilogram terdiri atas sejumlah seribu biji mata uang ketip, yang nilainya seratus rupiah. Karena satu ton seribu kilogram, maka nilai satu ton adalah seratus ribu rupiah.

Dahulu agen camiri-miri adalah orang yang menjual jasa dengan mencari penumpang oto bis. Harga jasanya itu se're camiri (satu remis, setengah sen) untuk setiap calon penumpang. Sekarang disebut calo oto atau calo pete-pete. Dahulu hanya ada satu jenis agen camiri-miri, yaitu tangannya di bawah, tangan pemilik oto bis di atas, artinya pemilik oto bis membawahkan (bukan membawahi) agen camiri-miri. Kedudukan agen camiri-miri ada di bawah hirarki pemilik oto bis. Sekarang ini ada dua jenis calo oto. Jenis yang pertama sama dengan agen camiri-miri, tangan di bawah. Jenis kedua adalah calo yang tangannya di atas, artinya calo jenis ini lebih berkuasa dari sopir, yaitu memeras atau memungut upeti. Calo jenis ini masuk golongan preman yang ditakuti oleh para sopir pete-pete.

Tatkala saya bertandang ke rumah ipar saya beberapa tahun lalu, ia bercerita kepada saya sambil menunjuk ke suatu tempat yang jauhnya sekitar satu lontaran lembing, bahwa kemarin di tempat itu ada seorang yang dibantai oleh beberapa orang. Ternyata orang yang dibantai itu adalah seorang calo, yang pernah menempeleng seorang sopir pete-pete beberapa hari yang lalu. Rupanya calo yang dibantai itu ingin meningkatkan kualitas sumberdaya dirinya dari calo jenis tangan di bawah menjadi tangan di atas dengan memperlihatkan kebolehan kualitas dirinya itu dalam wujud keberanian menempeleng.

***

Pada mulanya kolektor ONH kualitasnya seperti agen camiri-miri, tangan di bawah. Mereka itu memberikan jasa dengan mengharapkan imbalan berupa keikhlasan dari jama'ah calon haji. Dari kedua belah pihak dapat saling memetik manfaat. Kolektor mendapat nafkah, dan jama'ah calon haji yang memberi lapangan kerja, tidak perlu bersusah payah melibatkan diri dalam pengurusan yang sifatnya administratif. Jadi seperti kata pepatah: ibarat aur dengan tebing.

Namun karena pengaruh arus globalisasi ada sejumlah para kolektor itu yang lupa akan Yawmu dDiyn (Hari Pengadilan). ONH yang telah dikumpulnya dari beberapa calon haji tidak segera disetor di bank, melainkan dijadikan modal, sayang-sayang jika tidak diputar dahulu. Terdapat tenggang waktu antara waktu ONH dipungut dari calon haji dengan batas terakhir penyetoran. Tenggang waktu itu harus dimanfaatkan. Inilah perangai entreprenurship yang negatif. Inilah kinerja produktivitas dan efektivitas yang tidak benar. Kolektor dari jenis kedua ini masuklah dalam kategori preman.

Calon haji yang masuk dalam daftar tunggu ada dua jenis. Adapun jenis yang pertama adalah karena mereka mendaftar dalam urutan dengan nomor urut yang lebih tinggi dari jumlah kuota yaitu 195 000. Jadi dari calon haji yang sejumlah 231 000 orang yang telah melunasi ONH dengan nomor urut 195 001 ke atas, masuklah ia dalam daftar tunggu. Jenis kedua adalah calon haji yang masuk daftar tunggu karena ulah sang kolektor jenis preman itu, yang memanfaatkan dahulu ONH yang telah dikoleksinya itu. Karena tidak segera disetor maka para calon haji yang sebenarnya jauh-jauh sebelumnya sudah membayar kepada para kolektor itu nomor urutnya di atas 195 000.

Calon haji yang masuk daftar tunggu jenis yang pertama bukan salah siapa-siapa, bukan juga salah ataupun dosa para kolektor yang begitu selesai memungut ONH dari calon haji yang lalu dengan segera disetornya ke bank. Akan tetapi masuknya calon haji dalam daftar tunggu karena ONH mereka diputar dahulu oleh sang kolektor yang preman itu, yang menyebabkan gagalnya bakal calon haji menjadi calon haji melaksanakan ibadah haji, tidaklah dapat dimaafkan begitu saja. Tidak dapat dibayangkan betapa besarnya dosa yang dipikul oleh para kolektor yang preman, yang berperangai entrepreneurship negatif itu. Jika tidak dapat dijaring oleh sistem hukum produk budaya manusia di dunia ini, akan diperhitungkan kelak dalam sidang Hari Pengadilan, yang Hakimnya adalah Allah SWT.

Semoga para preman, khususnya yang aktif dalam premanisasi ONH yang tentu terdiri dari orang-orang Islam juga bahkan mungkin ada di antaranya sudah ada yang haji pula, terketuk hatinya oleh ayat yang kami kutip berikut ini:

Wa tTaquw Yawman la Tajziy Nafsun 'an Nafsin Syayan wa la- Yuqbalu minha- Syafa-'atun wa la- Yu'khadzu minha- 'Adlun wa la- hum Yunsharuwna (S.AlBaqarah,48). Dan peliharalah dirimu akan Hari (Pengadilan) yang seseorang tidak akan dapat menggantikan orang lain sedikitpun; dan tiada diterima permohonan ampun baginya dan tiada pula tebusan dari padanya dan mereka tiada mendapat pertolongan (2:48).

*** Makassar, 9 April 1995