23 Agustus 1998

336. Krisis Energi Dalam Abad ke-21?

Perintah membaca: AQRA BASM RBK (S. AL'ALQ, 1), dibaca: iqra- bismi tabbika (s. al'alaq), artinya: bacalah atas nama Maha Pengaturmu (96:1), bermakna perintah untuk membaca ayat-ayat, yaitu ayat Qawliyah (Al Quran) dan ayat Kawniyah (alam syahadah), itu harus didahului dengan Basmalah. Dengan sistem pendidikan kita sekarang yang menempatkan kedua jenis ayat itu dalam posisi dua kutub yang terpisah, membawa akibat apabila orang Islam membaca Al Quran didahului dengan Basmalah, akan tetapi kalau membaca alam syahadah tidaklah didahului dengan Basmalah. Adalah suatu kenyataan, baik guru dan dosen di satu pihak, maupun anak didik di lain pihak pada umumnya tidaklah mengingat nama Allah selama dalam kelas perguruan non-agama yang mengkaji alam semesta. Ini adalah suatu kenyataan yang pahit dari segi pendidikan yang harus kita akui.

Bahkan dalam menterjemahkan Al Quran kecenderungan dikhotomi antara ayat Qawliyah dengan ayat Kawniyah dapat kita lihat dengan jelas. Kami berikan contoh:
-- WLA TSYTRWA BAYTY TSMN QLYL (S. AL BQRt, 41), dibaca: wala- tasytaru- bia-ya-ti- tsamanang qali-lan (s. albaqarah), diterjemahan dengan: Janganlah engkau menjual ayat-ayatKu dengan harga sedikit. Sedangkan
-- WMN AYTH KHLQ ALSMWT WALARDH WAKHTLAF ALSNTKM WALWANKM (S. ALRWM, 22), dibaca: wamin a-ya-tihi- khalqus sama-wa-ti wal ardhi wakhtila-fus sinatikum wa alwa-nikum (s. arru-m), diterjemahkan dengan: Dari tanda-tanda kebesaranNya ialah penciptaan langit dan bumi dan berbedanya lidah dan warna kamu (30:22).

Tentu saja terjemahan itu tidak salah, akan tetapi terlihat kecenderungan dikhotomi itu. Apakah ayat-ayat Qawliyah itu bukankah juga tanda-tanda kebesaranNya? Kalau mau diterjemahkan, maka terjemahkanlah ayat Qawliyah dan ayat Kawniyah dengan tanda-tanda kebesaranNya, atau kedua-duanya sama sekali tidak usah diterjemahkan, supaya kita tidak dijuruskan pada sikap dikhotomi di antara kedua jenis ayat itu.

***

-- WLA TBaDZR TBDZYR (S. BNY ISRAaYL, 17:26), dibaca: wa la- tubadzdzir tabdzi-ran (s. bani- isra-i-l), artinya: janganlah kamu berboros-borosan dengan seboros-borosnya (17:26).

Nilai Al Quran (17:26) akan dibumikan ke dalam pengembangan teknologi. Pembahasan tentang aktualisasi Nilai Al Quran dalam mengembangkan teknologi berarti salah satu upaya untuk mencoba mempertautkan kembali ayat-ayat Qawliyah dengan ayat-ayat Kawniyah menjadi satu kutub.

Untaian kata pengembangan teknologi mengandung muatan nilai, oleh karena mestilah dijawab pertanyaan untuk apa dan ke arah mana pengembangan itu? Bahkan pengertian teknologi itu sendiri tidak luput dari muatan nilai. Teknologi adalah suatu proses pengolahan barang atau komoditi. Diolah untuk apa? Jawaban pertanyaan untuk apa akan bermuatan nilai, yang dalam hal ini nilai ekonomis. Komoditi itu diolah untuk mendapatkan nilai tambah. Jadi teknologi adalah proses pengolahan komoditi untuk memperoleh nilai tambah.

Contohnya: Logam diolah menjadi kompor minyak tanah. Hasil pengolahan berupa kompor minyak tanah ini mempunyai nilai tambah ketimbang logam yang belum diolah. Dengan teknologi yang lebih maju (advanced) logam itu dapat diolah menjadi kompor gas. Kompor gas nilai tambahnya lebih tinggi dari kompor minyak tanah. Logam itu dapat diolah dengan teknologi canggih (sophisticated) menjadi pesawat terbang. Nilai tambah pesawat terbang jauh lebih tinggi dari kompor gas. Makin canggih teknologi dikembangkan, makin tinggi pula nilai tambah yang diperoleh.

Manusia dalam statusnya sebagai khalifah di atas bumi ini, khusus dalam konteks pengembangan teknologi, akan berurusan dengan ayat-ayat Kawniyah yang dapat distratifikasikan sebagai: alam sekitar (surronding), sumber-daya alam (natural resources) dan lingkungan hidup (biosphere).

Alam sekitar adalah ayat Kawniyah yang belum dijamah manusia, kecuali untuk sumber informasi bagi ilmu pengetahuan. Tetapi itu tidak berarti bebas nilai, oleh karena sudah menyentuh keinginan manusia, yaitu dipilih sebagai sumber informasi untuk ilmu pengetahuan alam. Seumpama awan di udara adalah alam sekitar, jika hanya sekadar menjadi obyek kajian bagaimana terjadinya
hujan. Tidak bebas nilai oleh karena dipilih untuk dikaji.

Sumber-daya alam adalah ayat Kawniyah yang sudah sarat dengan nilai, dengan keinginan manusia untuk memanfaatkannya. Hujan dapat diturunkan apabila awan yang bergumpal-gumpal di udara ditabur dengan es kering atau iodida perak ataupun garam. Awan yang ditabur itu adalah sumberdaya alam, karena hujan dimanfaatkan untuk kebutuhan air manusia.

Lingkungan hidup adalah ayat Kawniyah terkhusus pada lingkungan yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Pengertian hidup di sini jangan dikacaukan dengan makna hidup yang hakiki. Sangat sederhana pengertiannya, yaitu makhluk Allah yang dapat makan (termasuk minum dan bernafas), mengeluarkan kotoran, bertumbuh dan berkembang biak.

Makin canggih teknologi dalam proses pengolahan akan membutuhkan energi yang lebih banyak. Kebutuhan energi secara global makin meningkat. Sumber energi berupa bahan bakar fosil dan panas bumi ditambah dengan energi matahari, angin, arus laut, ombak, energi pasang-surut sudah mulai tidak memadai lagi untuk melayani pertumbuhan industri. Bahkan persediaan minyak bumi sudah semakin menipis, sehingga digalakkan sekarang pemakaian batu-bara.

Maka orang menoleh kepada bahan bakar nuklir, yakni sumber energi yang terkandung dalam mikro-kosmos, ke dalam inti atom, yang secara populer dikenal dengan ungkapan tenaga nuklir. Namun memenuhi kebutuhan energi oleh dunia industri dengan mempergunakan bahan bakar nuklir baru diterima orang dengan sikap enggan, tidak sepenuh hati. Trauma kebocoran di PLTN Chernobyl puluhan tahun lalu di Uni Sovyet sehingga terjadi pencemaran radiasi pada daerah yang luas sekelilingnya, masih dirasakan orang ibarat monyet di punggung. Dalam waktu-waktu yang akan datang jika PLTN ini makin mengglobal, maka globa kita ini makin terbebani oleh sampah nuklir.

Alhasil, apabila ummat manusia tidak pandai-pandai berhemat energi dalam mengelola sumberdaya alam, acuh tak acuh akan Nilai Al Quran (17:26) dalam konteks penghematan energi, niscaya peradaban kita akan tertumbuk pada krisis energi dalam abad ke-21 mendatang. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 23 Agustus 1998