21 Mei 2000

424. Hukum-Hukum Allah

Penganut buah pikiran kekafiran materialisme menepuk dada setelah buah pikiran ini merasuk masuk ke dalam dunia sains. Seperti telah dijelaskan dalam Seri 420 bahwa buah pikiran materialisme bertitik tolak dari kekafiran terhadap eksistensi di luar materi. Menurut Ludwig Andreas Feurbach (1804 - 1872), yang dijagokan sebagai orang yang mula-mula mengilmiyahkan kekafiran materialisme, bahwa Tuhan tidak lain dari refleksi kekuatan misterius di dalam alam yang mengontrol kehidupan manusia. Asal tahu saja Andreas ini adalah anak spesialist kriminolog Paul Johann Anselm von Feurbach (1775 - 1833) yang termasyhur dalam kalangan jurist seluruh dunia, yang tentu saja tidak terkecuali di Indonesia.

Adapun buah pikiran kekafiran materialisme, yang kafir terhadap semua eksistensi di luar materi, merasuk masuk ke dalam dunia sains seperti tersebut dalam kalimat pertama di atas tersebut, yaitu sekitar pengungkapan dalam sains mengenai hukum kekekalan materi, terkhusus yang dalam ilmu kimia dikatakan : massa sebelum dan sesudah reaksi sama kuantitasnya. Ini diungkap oleh seorang pakar khusus dalam hal eksperimen kimia kuantitatif yang bernama Antoine Laurent Lavoisier (1743 - 1794). Lavoisier ini adalah salah seorang korban yang tewas dipenggal kepalanya di bawah pisau guillotine, dalam rangka Revolusi Perancis yang beryargon: liberte', egalite', et fraternite', kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan.

Kebanggaan para penganut buah pikiran kekafiran materialisme digugurkan oleh fisika inti. Di matahari setiap saat terjadi reaksi inti, yaitu empat atom Hidrogen (H) berfusi menjadi satu atom Helium (He). Jika hukum kekekalan materi ini benar, maka empat atom H tentu sama kuantitas massanya dengan satu atom He. Ternyata satu atom He lebih ringan dari empat atom H. Selisih materi dari (4H-He) itu berubah wujud menjadi energi berupa sinar gamma, yang menyirami ruang angkasa sekeliling matahari, tak terkecuali menyirami permukaan bumi kita ini pada waktu siang hari. Sinar gamma tersebut bukan materi, karena ia tidak punya massa. Itu artinya ada eksistensi di luar materi. Alhasil pangkal tolak buah pikiran materialisme yang kafir terhadap eksistensi di luar materi sudah ketinggalan zaman, karena ditolak oleh ilmu fisika inti.

***

Ummat Islam sekurang-kurangnya 17 kali mengucapkan dan meyakinkan dalam hati kalimah: ALHMD LLH RB AL'ALMYN, dibaca: Alhamdu liLla-hi rabbil 'a-lami-n, artinya: Segala puji bagi Allah Maha Pengatur alam semesta. Allah SWT mengatur alam semesta dengan TaqdiruLlah (Hukum-Hukum Allah). Allah adalah Ahad, Maha Esa, Esa dalam Zat, Sifat dan PerbuatanNya. Karena Maha Esa dalam PerbuatanNya, maka Hukum-Hukum Allah di mana saja dan bilamana saja di alam semesta ini tidak berbeda. Sains yang dalam wujudnya dewasa ini bertumpu di atas landasan paradigma filsafat positivisme, anak dari kekafiran materialisme, tidak mempunyai alasan yang logis mengapa misalnya E = mc2 juga berlaku di galaxy Andromeda, yang jauhnya sekitar 800.000 tahun cahaya dari tata-surya. E = mc2 adalah logis berlaku juga di Galaxy Andromeda apabila diimani bahwa Allah Maha Esa dalam PerbuatanNya.

Masyarakat adalah bagian dari alam, sehingga SunnatuLlah dalam wujud hukum-hukum mekanika juga berlaku dalam masyarakat. Sir Isaac Newton (1642 - 1727) adalah seorang pakar yang banyak berjasa dalam mengungkapkan SunnatuLlah di bidang mekanika. Dikenallah misalnya TaqdiruLlah yang diungkapkan Newton, yaitu hukum pertama, kedua dan ketiga. Akan dikemukakan di bawah ini sekadar sebuah contoh untuk menunjukkan ke-Esaan TaqdiruLlah dalam hal hukum-hukum mekanika yang juga berlaku dalam masyarakat.

Hukum yang kedua mengatakan bahwa benda yang menderita gaya aksi akan memberikan perlawanan berupa gaya reaksi yang sama besar dan berlawanan arahnya dengan gaya aksi tersebut, dalam bentuk rumus, F = -R, (F adalah gaya aksi dan -R adalah gaya reaksi). Kemampuan sebuah benda memberikan gaya reaksi itu terbatas. Ibarat dinding yang didorong oleh alat berat akan rubuh jika dorongan itu melampaui batas kemampuan dinding itu bertahan. Selama dinding itu masih mampu bertahan, yaitu masih berlaku F = -R, sistem dorong-bertahan itu disebut dalam keadaan statis. Ilmu mekanika yang khusus berhubungan dengan hukum kedua ini disebut ilmu statika (tertentu dan tidak tertentu). Apabila gaya aksi itu melebihi dari kemampuan benda yang bertahan itu maka benda itu akan bergerak, dan itu meningkatlah ke hukum ketiga. Benda yang menderita oleh gaya akan bergerak dengan percepatan yang tertentu. Perbandingan antara gaya yang bekerja dengan percepatan yang timbul olehnya untuk setiap benda mempunyai harga spesifik tertentu. Harga spesifik ini disebut massa. Dalam bentuk rumus, F/a = m, atau F = ma (F adalah gaya yang bekerja, a adalah percepatan dan m adalah massa benda yang menderita gaya). Jika ini yang terjadi, maka sudah bukan lagi dalam bidang statika, melainkan sudah masuk ke dalam dinamika. Statika dan dinamika itu berlaku pula dalam masyarakat. Ambillah contoh Jawa Pos versus Banser. Rupanya gaya aksi berupa tulisan Jawa Pos sudah melampaui batas daya tahan Banser sehingga terjadilah dinamika F = ma. Timbul percepatan dari massa Banser sehingga menduduki Jawa Pos. Kita baru belajar berdemokrasi, sehingga belumlah semua dapat mempunyai daya tahan yang menyebabkan terlampauinya statika menjadi dinamika. Das Sollen (dibaca: zollen), keinginan kita supaya anggota ataupun kelompok masyarakat mampu berdemokrasi secara perfek, mempunyai daya tahan berupa gaya rekasi yang tinggi sehingga tetap dalam kondisi statika, namun das Sein (dibaca: zain), kenyataan belum mampu berdemokrasi secara perfek, sehingga terjadi kondisi dinamika. Lalu kesalahannya di mana? Kesalahannya terletak dalam hal, kita masih dalam tahap awal belajar berdemokrasi, jadi bertangga naik. Pengalaman adalah guru yang baik! WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 21 Mei 2000