4 Maret 2001

465. Qurban

Kata korban dan kurban diadopsi dari qurban. Setelah diadopsi, maka rasa bahasa korban dan kurban telah berbeda jauh dari rasa bahasa asalnya, bahasa Al Quran.

Kita mulai dahulu dengan kata korban, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut victim. Menurut guru saya Allahu yarham DR S.Majidi, penjelasan yang paling efektif adalah memberikan contoh. Maka saya tempuhlah metode Majidi dalam perbincangan ini. Dalam peperangan tentara yang mati dan cedera di kedua belah pihak tidak biasa, bahkan tidak pernah disebut korban. Yang tidak dibidik tetapi kena, artinya kena pelor kesasar, ataupun penduduk sipil yang dijadikan tameng instalasi militer seperti taktik Saddam Husein, apakah mereka mati ataupun cedera, itulah yang disebut korban. Dalam konflik sosial seperti di Ambon, Maluku Utara, Poso, Sambas dll, yang terakhir Sampit dan Palangkaraya, yang mati, cedera, yang mengungsi, yang berpisah karena isterinya ataupun suaminya etnik Madura, yang berpisah cerai-berai anak beranak, itu semuanya disebut korban. Demikian pula konflik antara demonstran versus petugas keamanan yang mati dan luka di kedua pihak, seperti petugas yang mati karena ditabrak dengan sengaja oleh mahasiswa, disusul oleh mahasiswa Trisakti yang tewas ditembaki petugas, itupun disebut korban. Namun perlu dicatat dalam perjuangan kemerdekaan yang proaktif menyongsong maut, yang dalam ungkapan etnik Makassar "kayu pappallu", kayu bakar, seperti Korban 40.000, sesungguhnya nilainya lebih tinggi dari sekadar sebagai korban, melainkan masuk kategori pahlawan. Alhasil kata korban hanya diperuntukkan bagi manusia, dan tidak hanya terbatas untuk orang mati saja, melainkan termasuk pula yang cedera dll. seperti telah disebutkan di atas itu.

Kita tiba pada giliran perbincangan kata kurban. Pada waktu mulai dibangun Kampus Unhas Tamalanrea diadakan upacara "accera'" (mengucurkan darah). Yaitu darah yang mengalir dari leher kerbau dan kepalanya yang telah dipenggal dimasukkan ke dalam sebuah lubang kemudian ditimbun, yang seiring dengan itu mulut sanro (dukun klenik, medicine man) komat-kamit mengucapkan mantera sayup-sayup sampai. Menurut mandor yang tidak setuju dengan upacara khurafat itu rumus-rumus sihir (istilah yang dipakai mandur itu untuk mantera) boleh jadi sastra kuno dalam bahasa bissu. Saya waktu itu menyesalkan kepala proyek mengapa upacara khurafat itu jadi dilakukan, padahal sebelumnya telah disepakati tidak boleh dilakukan penanaman kepala kerbau. Saya sendiri tidak menyaksikan upacara itu, melainkan dituturkan kepada saya oleh mandur seperti yang telah saya sebutkan di atas. Kepala proyek membela diri dengan mengatakan bahwa ia terpaksa melakukan itu karena katanya para kuli tidak mau bekerja, mereka takut kepada patanna butta (hantu penguasa) yang menunggui "wilayah" itu akan marah jika tidak disuguhi darah dan kepala kerbau. Membuka hutan, membangun jalan, bangunan dan jembatan berarti mengusik patanna butta, jadi harus minta izin kepada hantu-hantu penguasa itu dengan melakukan upacara "persembahan", berupa binatang sembelihan. Inilah dia upacara kurban, yang dalam bahasa Inggrisnya disebut offering.

Ada pula upacara kurban yang sifatnya persembahan yang sakral (offering + sacrifice). Bangsa Viking dahulu kala mendiami jazirah Skandinavia, bangsa pelaut dan perompak yang telah menemukan benua Amerika berabad-abad sebelum Columbus dilahirkan. Orang Inggris menyebut mereka dengan orang-orang utara (Northmen). Bangsa Viking menyembah Odin, dewa perang. Sambil memegang pedang dalam keadaan sekarat prajurit Viking menyebut nama Odin, supaya dapat masuk ke dalam Valhalla yang disediakan Odin, demikian keyakinan mereka. Bangsa ini mengadakan upacara persembahan yang sakral dengan mengucurkan darah manusia, yaitu seorang pendeta yang dianggap penjelmaan Odin. (Bandingkan penjelmaan Odin dalam bentuk manusia ini dengan Krishna sebagai penjelmaan Wishnu yaitu yang kedua dari Trimurti Brahma-Wishnu-Shiwa, atau Fir'aun sebagai penjelmaan Ra, yaitu yang kedua dari Amun-Ra-Osiris). Upacara mencuci dosa itu digambarkan oleh puisi di bawah ini:

I know that I hung
on the windy tree
For nine whole nights
Wounded with the spear
dedicated to Odin
Myself to myself

Kutahu aku digantung
pada pohon bermandi angin
Dilukai tikaman lembing
Selama sembilan malam suntuk
dipersembahkan kepada Odin
Diriku untuk diriku

Terjadi hal yang unik dalam upacara ini. Penjelmaan Odin dipersembah-kan kepada Odin, myself to myself. Inti upacara kurban bangsa Viking ialah persembahan yang sakral, offering + sacrifice.

Dari kedua contoh upacara kurban di atas itu mengantar kita kepada rasa bahasa bahwa kurban itu adalah sebagai persembahan yang sakral, dengan membunuh manusia ataupun binatang.

***
Menurut Syari'at Islam Allah tidak berhajat akan daging dan darah binatang sembelihan itu. SubhanaLlah, Allah Maha Suci dari sifat yang demikian itu. Firman Allah SWT (transliterasi huruf demi huruf demi keotentikan):

-- LN YNAL ALLH LHWHMA WLA DMA^WHA WLKN YNALH ALTQWY MNKM (ALHJ, 18). FADZA WJBT JNWBHA FKLWA MNHA WATH'AMWA ALQAN'A WALM'ATR (ALHJ, 36), dibaca: Lay yana-lal la-ha luhu-muha wala- dima-uha- wala-kiy yana-lut taqwa- minkum. Faidza- wajabat junu-buha- fakulu- minha- wa ath'imul qa-ni'a walmu'tar (alhaj), artinya: Tidak sampai kepada Allah daging-dagingnya dan tidak darah-darahnya, melainkan yang sampai kepada-Nya ketaqwaan kamu (22:18). Apabila rebah tubuhnya, maka makanlah daripadanya dan beri makanlah orang-orang miskin yang tidak meminta dan yang meminta (22:36).

Jadi Syari'at Islam menolak pemahaman qurban sebagai persembahan yang sakral sifatnya (kurban). Qurban harus diresapkan maknanya dalam rasa bahasa asalnya, yang dibentuk oleh akar: Qaf, Ra, Ba, artinya dekat. Menyembelih binatang qurban dagingnya untuk dimakan sendiri dan untuk diberikan kepada orang miskin sebagai fungsi sosial, sedangkan darahnya dibuang, karena haram hukumnya untuk dimakan. Maknanya secara metaforis menyembelih nafsun ammarah, binatang dalam diri manusia, sehingga dapat taqarrub, mendekatkan diri kepada Allah SWT. WaLla-hu a'lamu bishshawa-b.

*** Makassar, 4 Maret 2001