1 Juli 2001

481. Sesuai Dengan Prosedur? dan Sudah Dianggarkan dalam APBN?

Sikap panglima TNI, Widodo, dan Kapuspen TNI, Graito, yang dalam pernyataan keduanya melalui media elektronika, yang bernuansa menutup-nutupi kebengisan Yon Gab terhadap pasien dan perawat di poliklinik Laskar Jihad Kebun Cengkeh Ambon dalam Tragedi Berdarah 14 Juni 2001, menunjukkan bahwa Widodo dan Graito berupaya menegakkan benang basah. Di manapun di dalam dunia beradab sikap "tegas" (seperti yang diucapkan oleh petinggi TNI tersebut) sama sekali tidak berarti menyiksa serta membunuh pasien dan perawat medis, bahkan terhadap negara lawan sekalipun. Dalam kondisi perang, apa pula kalau hanya dalam daerah Tertib Sipil belaka, sarana dan tenaga medis tidak boleh diserang. Itu bukan "ketegasan" melainkan kejahatan perang, artinya pelanggaran HAM. Sudah menjadi kesepakatan internasional dalam dunia beradab bahwa sarana serta tenaga medis dan paramedis wajib dihormati dan dilindungi.

Lagi pula dalam Tragedi Berdarah 14 Juni 2001, Yon Gab yang dikomandoi Mayor Ricky Samuel ini, diketahui juga telah menggunakan senjata pemusnah berat dalam operasinya. Mortir M-81 yang seharusnya digunakan dalam perang antar negara dan antar zona militer telah diluncurkan Yon Gab dari Karang Panjang ke arah komunitas Muslim Ahuru, Kamis 14 Juni 2991 yang lalu. Tercatat 5 buah peluru mortir yang diluncurkan, 3 buah yang meledak, namun ketiganya tidak mengenai sasaran, yang 2 buah lainnya tidak meledak. Seorang anggota Yon Gab yang saat itu mengoperasikan mortir, wajahnya mengalami luka bakar akibat kena semburan mesiu pelontar saat diluncurkan. Sampai kini, oknum TNI tersebut tengah dirawat di Rumah Sakit Tentara (RST) Kota Ambon. Penggunaan M-81 ini jelas merupakan pelanggaran besar dalam operasi Yon Gab di Maluku.

Alhasil pernyataan bahwa Yon Gab telah "bertindak sesuai prosedur", jelas merupakan kebohongan besar, kecuali jika menyiksa serta membunuh pasien dan perawat medis, beserta penggunaan M-81 termasuk dalam protap Yon Gab.

***
Konon, Prof Selo Soemardjan pernah bertanya kepada salah seorang anggota DPR apa pendapat anggota yang terhormat itu tentang perihal pembagian mesin cuci yang berharga enam juta rupiah itu. "Tidak ada masalah, karena itu sudah dianggarkan dalam APBN". Mudah-mudahan tidak semua anggota DPR berpikir seperti itu, menerima mesin cuci itu dengan alasan klise: "Pembagian mesin cuci itu sudah sesuai dengan prosedur." Ada bahayanya membiasakan diri berpikir segi prosedur saja, terutama bagi lapisan petinggi (elit). Mengapa? Karena dapat menjerumuskan menjadi "malas" berpikir substansial. Contohnya mesin cuci itu. Kalau anggota DPR yang ditanyai Pak Selo itu mau berpikir substansial tentang kepedulian sosial, kepedulian terhadap rakyat miskin yang diwakilinya, maka ia tidak akan menjawab seperti kalimat klise: "sudah sesuai dengan prosedur". Ia akan bersikap sebagai sikapnya 'Umar ibn al-Khaththab RA yang berpikir substansial, seperti yang ditimba dari "Târîkh ath-Thabarî” yang di bawah ini.

***
Tatkala 'Umar ibn al-Khaththab RA diangkat menjadi Khalifah, ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada Khalifah Abû Bakar RA. Pada suatu saat, harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin seperti 'Utsman ibn Affan, 'Alî ibn Abi Thalib, Thalhah, dan Zubair R. 'Anhum bersepakat bahwa: "Alangkah baiknya jika diusulkan kepada Khalifah agar tunjangan hidup untuk beliau dinaikkan. Jika Khalifah menerima usulan ini, maka tunjangan hidup beliau akan dinaikkan."

Setelah itu, mereka berangkat menuju rumah 'Umar. Namun, 'Utsman menyela seraya berkata, "Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada 'Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau, Hafshah. Sebab, saya khawatir, 'Umar akan murka kepada kita." Ketika Hafshah menanyakan hal itu kepada 'Umar, beliau murka seraya berkata, "Man 'allamaki hadzal fiqh, ya Hafsah, siapa yang mengajari engkau aturan ini hai Hafsah?" Setelah berdialog, Khalifah menyampaikan kata akhir: "Hafshah, katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah SAW selalu hidup sederhana. Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh karena itu, akupun akan mengikuti jejak beliau."

***
Kita tidak akan menuntut kepada para petinggi politik itu "kualitas" kepedulian atas rakyat seperti Khalifah 'Umar itu, melainkan cukup dengan mengalihkan anggaran mesin cuci dan tunjangan komunikasi intensif itu untuk menambah jumlah subsidi kepada rakyat yang membutuhkannya. Boleh jadi di mata para anggota DPR yang terhormat itu jumlah 500 x harga mesin cuci ditambah tunjangan komunikasi intensif tidak seberapa, namun di mata rakyat miskin yang membutuhkannya jumlah itu cukup banyak. Lagi pula nilai immaterialnya, itulah yang terpenting. Sebab salah-salah akan masuk dalam golongan pendusta agama, seperti Firman Allah SWT (demi keotentikan transliterasi huruf demi huruf):
-- AR^YT ALDZY YKDZB BALDYN. FDZLK ALDZY YD'A ALYTYM. WLA YHDH 'ALY T'AAM ALMSKYN (S. ALMA'AWN, 1-3), dibaca: Ara.aytal ladzi- yukadzdzibu bid di-ni. Fadza-likal ladzi- yadu''ul yati-ma. Wala- yahudhdhu 'ala- tha'a-mil miski-ni (s. alma-'u-n), artinya: Apakah engkau tahu orang yang mendustakan agama? Yaitu orang yang mengusir anak yatim. Dan tiada perduli memberi makan orang miskin (107:1-3). Walla-hu a'lamu bisshawa-b

*** Makassar, 1 Juli 2001