1 September 2002

539. Mengapa Sekularisme Bertentangan dengan Syari'at Islam?

Manusia adalah makhluk individu. Manusia mempunyai naluri mempertahankan diri, ia didorong oleh nalurinya itu untuk menonjolkan keakuannya, menonjolkan identitas dirinya.

Syari'at Islam mengatur tatacara peribadatan yang ubudiyya-t untuk manusia sebagai makhluk pribadi, yakni hubungan langsung antara manusia dengan Allah. Peribadatan yang ubudiyya-t ini sangat pribadi sifatnya. Pelaksanaanya tidak boleh mewakili atau diwakilkan kepada orang lain. Peribadatan yang ubudiyya-t inilah yang identik dengan pengertian religion, religie, godsdienst dalam bahasa-bahasa barat. Peribadatan yang ubudiyya-t ini qaidahnya sangat ketat: semua tidak boleh, kecuali yang diperintahkan dan dicontohkan oleh Nash (Al Quran dan Hadits Shahih). Contoh: Shalat Maghrib sudah ditetapkan tiga rakaat.(*) Akal tidak boleh berpikir liberal semacam ini: Empat lebih besar dari tiga. Jadi empat rakaat pahalanya lebih banyak dari tiga rakaat. Maka lebih baik shalat Maghrib empat rakaat supaya pahalanya lebih banyak. Dalam Syariat yang ketat ini, akal dibatasi kebebasannya, tidak boleh liberal. Akal hanya dapat digunakan secara deskriptif, yaitu hanya boleh dipakai untuk menjawab pertanyan: bagaimana, bilamana, di mana, tidak boleh dipakai untuk melayani pertanyaan: mengapa.

Manusia adalah makhluk sosial. Walaupun manusia itu makhluk pribadi, namun manusia itu tidak dapat hidup nafsi-nafsi. Cerita tentang Si Buta dan Si Lumpuh, Si Buta memikul Si Lumpuh di atas bahunya, menunjukkan ibarat kerjasama yang baik. Saling mengisi di antara keduanya, memakai kaki Si Buta untuk berjalan dan mempergunakan mata Si Lumpuh untuk melihat. Manusia itu masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, jadi tidak dapat hidup sendiri-sendiri, manusia itu saling membutuhkan di antara sesamanya manusia.

Syari'at Islam mengatur pokok-pokok peribadatan yang mu'amala-t untuk manusia sebagai makhluk bermasyarakat. (Ibadah adalah segenap aktivitas kita untuk mewujudkan nilai-nilai kebenaran utama yang mutlak menurut Al Quran dalam kehidupan kita sehari-hari, berlandaskan aqiedah yang benar, dikerjakan dengan ikhlas, mengharapkan ridha Allah SWT semata, lebih luas pengertiannya dari bahasa-bahasa barat: religion, religie, godsdienst). Peribadatan yang mu'amala-t ini adalah Syari'at yang tidak ketat sifatnya, terbuka, namun tidak liberal, mempunyai qaidah: semua boleh, kecuali yang dilarang serta tidak bertentangan dengan Nash. Sebagai contoh adalah pemakaian bedug di mesjid. Kalau pemakaian bedug itu diniatkan sebagai persyaratan untuk azan, maka ia menjadi sub sistem dari peribadatan ubudiyyah yang ketat. Jadi tidak boleh, karena Rasulullah tidak pernah menyuruh pukul bedug di mesjid. Akan tetapi jika pemukulan bedug itu hanya diniatkan sebagai sarana untuk interaksi sosial, yang fungsinya seperti loud speaker, maka ini masuk dalam Syariat muamalah yang tidak ketat, semua boleh kecuali yang dilarang. Nabi hanya pernah melarang pemakain lonceng di mesjid, sedangkan bedug tidak pernah dilarang, jadi bedug boleh dipakai.

Karena Syariat yang muamalah ini hanya diberikan pokok-pokoknya saja, maka hal-hal yang mendetail dipikirkan oleh akal manusia. Tentu saja hal yang mendetail ini sifatnya situasional, akibat hasil pekerjaan akal yang relatif. Namun hasil akal yang situasional itu merupakan rahmat Allah, jika akal itu berkecimpung dalam bingkai Nash, dibatasi oleh rambu-rambu berupa aturan-aturan pokok Syariat Islam yang mu'amalaat. Jadi dalam Syariat yang mu'amala-t ini akal bebas terkendali. Kebebasan terkendali ini tidak identik dengan liberal, karena akal yang liberal itu mendobrak rambu-rambu Nash, menjangkau melampaui aturan-aturan pokok Syari'at.

Contohnya: Sikap berpikir yang tidak kaffah, bahwa yang menyangkut urusan duniawi (masyarakat dan negara) diserahkan seluruhnya kepada akal manusia, padahal Nash menentukan rambu-pokok:
-- YAYHA ALLDZYN AMNWA ADKHLWA FY ALSLM KAFT WLA TTB'AWA KHTHWT ALSYY.THAN ANH LKM 'ADW MBYN (S. AL BQRT, 208), dibaca: Ya-ayyuhal ladzi-na a-manud khulu- fis silmi ka-ffataw wa la- tattabi'u- khuthuwa-tisy syayta-ni innahu- lakum 'aduwwum mubiyn (S. Al Baqarah, 208), artinya: Hai orang-orang beriman masuklah kamu ke dalam Islam secara total, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan, sesungguhnya iaitu musuhmu yang nyata (2:208).

Jadi sikap berpikir yang mendikhotomikan antara urusan ukhrawi dengan urusan duniawi telah mendobrak bingkai Nash (2:208) tersebut. Sikap berpikir yang mendikhotomikan antara urusan ukhirawi dengan urusan duniawi itulah yang kita kenal dengan sekularisme. [Secularism (Lt, saeculum = world): a system of political philosophy that reject all forms of religious faith]. Kelompok yang menamakan diri sebagai "Islam Liberal" yang membuat network yang disebut Jaringan Islam Liberal (JIL) mempunyai sikap berpikir berlandaskan paradigma sekularisme yang mendobrak bingkai Nash, sudah keluar dari ruang lingkup Kaffah, sehingga tidak layak menyandang predikat "Islam" Liberal, melainkan cukup dengan predikat Aliran Kepercayaan Liberal, sub-sistem dari Aliran Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 1 September 2002
--------------------------------
(*) Akan dijelaskan nanti insya-Allah "harga mati" jumlah raka'at setiap waktu Shalat Wajib: 2 raka'at Subuh, 4 raka'at Zhuhur, 4 raka'at 'Ashar, 3 raka't Maghrib, 4 raka'at 'Isya dan 2 raka'at Shalat Jum'at