11 Mei 2003

574. Cerita Ibu Guru

Pelajaran baru akan dimulai, seorang murid mengacungkan tangannya: "Bu Guru, mengapa orang Yahudi diusir keluar Madinah setelah perang Khandaq?" "Anak-anakku sekalian sekarang bukan pelajaran tarikh (sejarah), melainkan pendidikan akhlaq", jawab Ibu Guru berjilbab yang rapi itu (lihat Seri 573 ybl). "Tetapi Bu Guru, tolong dijawab barang beberapa menit pertanyaan teman kami itu tadi, dan apakah itu perang Khandaq?", murid-murid lain menyokong temannya yang bertanya itu. "Bailkah anak-anak. Kamu sekalian telah menerima pelajaran tarikh mengenai perang Badar dan perang Uhud, bukan?" "Betul Bu Guru, kami masih sangat ingat itu", murid-murid mengiakan. "Nah, setelah kedua perang itu ummat Islam di Madinah, yang jumlah laki-laki Muslim sebermula sekitar 700 orang telah menyusut menjadi sekitar 400 orang. Padahal menurut laporan "intel" kaum kafir Quraisy dibantu oleh qabilah-qabilah telah bersiap-siap untuk menyerang Madinah. Kota Madinah tidak terlindung seluruhnya untuk menghadapi serangan frontal. Memang ada benteng Yahudi dan jajaran pohon-pohon kurma sebagai benteng alam terhadap pasukan berkuda, akan tetapi ada pula bagian/lini yang terbuka. Seorang sahabat yang berasal dari Parsi, yaitu Salman Al Farisi mengusulkan agar menggali parit sepanjang lini terbuka. Itulah sebabnya perang itu disebut pernag Khandaq, artinya perang parit. Kaum kafir Quraisy yang dibantu qabilah-qabilah Arab itu yang jumlahnya mendekati 10 000 orang, yang belum pernah mengalami perang parit, tertegun didepan parit. Mereka lalu memasang kemah sambil mempelajari situasi. Lalu mereka memutuskan untuk mendekati orang Yahudi, membujuk mereka supaya melanggar perjanjian dengan kaum Muslimin yang tertera dalam Piagam Madinah, yaitu akan bersama-sama mempertahankan Madinah apabila diserang musuh. Orang Yahudi setuju dengan itu dengan minta beberapa petinggi qabilah Arab tinggal di benteng sebagai jaminan. Pada malam hari, yang esoknya telah ditetapkan hari penyerbuan bersama itu, cuaca sangat dingin disertai angin keras yang membalikkan periuk-periuk mereka yang sedang terjerang. Bagi orang Arab, itu pertanda buruk, sehingga mereka pada malam itu mundur dari Madinah, tidak jadi menyerang. Sedangkan konspirasi Yahudi akan menohok ummat Islam dari belakang itu telah bocor. Maka benteng Yahudi dikepung, dan karena kelaparan lalu menyerah. Itulah sebabnya mereka diusir dari Madinah." Ibu Guru mengakhiri ceritanya. "Memang orang Yahudi itu jahat, ya Bu Guru, pantaslah dibinasakan saja semuanya", sela beberapa orang murid. "Anak-anakku sekalian, mari kita mulai dengan pendidikan akhlaq, kata Ibu Guru seolah-olah tidak mengacuhkan ucapan murid-muridnya.

***

"Anak-anakku sekalian, kita patut bersikap keras kepada orang-orang Yahudi, atau kelompok siapa saja yang membahayakan kita. Tetapi siapa saja, kaum siapa saja yang tidak membahayakan kita apakah itu Yahudi atau bukan Yahudi, sikap kita harus sebaliknya. Orang-orang Yahudi yang tidak tinggal di benteng dan tidak membahayakan tidak diusir keluar Madinah. Ada sebuah contoh yang patut diteladani dari sikap RasuluLlah SAW. Firman Allah:

-- LQD KAN LKM FY RSWL ALLH ASWt hSNt LMN KAN YRJWA ALLH W ALYW ALAKHR W DZKR ALLH KTSYRA (S. S. AL AHZAB, 21), dibaca: laqad ka-na lakum fi- rasu-liLla-hi uswatun hasanatul limang ka-na yarjuLla-ha wal yawmal a-khira dzakaraLla-ha katsiyran (s. al ahza-b), artinya: Sesungguhnya telah ada dalam (diri) Rasulullah itu teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan menyebut Allah banyak-banyak (33:21).

Di sudut pasar Madinah seorang pengemis Yahudi buta hari demi hari apabila ada orang yang mendekatinya ia selalu berkata "Wahai saudaraku jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya kalian akan dipengaruhinya". Namun setiap pagi Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawa makanan, dan tanpa berkata sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapi makanan yang dibawanya kepada pengemis itu walaupun pengemis itu selalu berpesan agar tidak mendekati orang yang bernama Muhammad. Rasulullah SAW melakukannya hingga menjelang Rasulullah SAW wafat.

Setelah kewafatan Rasulullah tidak ada lagi orang yang membawakan makanan setiap pagi kepada pengemis Yahudi buta itu. Suatu hari Abu Bakar R.A. berkunjung ke rumah anaknya St 'Aisyah R.ha. Beliau bertanya kepada anaknya, "Anakku adakah sunnah kekasihku (Muhammad) yang belum aku kerjakan?". St 'Aisyah R.ha menjawab pertanyaan ayahnya, "Wahai Ayah, engkau adalah seorang ahli sunnah hampir tidak ada satu sunnah pun yang belum ayah lakukan kecuali satu sunnah saja". "Apakah Itu?", tanya Abu Bakar R.A. "Setiap pagi Rasulullah SAW selalu pergi ke ujung pasar dengan membawakan makanan untuk seorang pengemis Yahudi buta yang berada di sana", kata St 'Aisyah R.H.

Keesokan harinya Abu Bakar R.A. pergi ke pasar dengan membawa makanan untuk diberikannya kepada pengemis itu. Abu Bakar R.A. mendatangi pengemis itu dan memberikan makanan itu kepadanya. Ketika Abu Bakar R.A. mulai menyuapinya, si pengemis marah sambil berteriak, "siapakah kamu?". Abu Bakar R.A menjawab, "Aku orang yang biasa". "Bukan!, engkau bukan orang yang biasa mendatangiku", jawab si pengemis buta itu, "Apabila ia datang kepadaku tidak susah tangan ini memegang dan tidak susah mulut ini mengunyah. Orang yang biasa mendatangiku itu selalu menyuapiku dengan lembut", pengemis itu melanjutkan perkataannya. Abu Bakar R.A. tidak dapat menahan air matanya, ia menangis sambil berkata kepada pengemis itu, "Aku memang bukan orang yang biasa datang padamu, aku adalah salah seorang dari sahabatnya, orang yang mulia itu telah tiada. Ia adalah Muhammad Rasulullah SAW." Setelah pengemis itu mendengar cerita Abu Bakar R.A. ia pun ikut menangis, kemudian berkata, "Benarkah demikian?, selama ini aku selalu menghinanya, memfitnahnya, ia tidak pernah memarahiku sedikitpun, ia mendatangiku dengan membawa makanan setiap pagi, ia begitu mulia..." Pengemis Yahudi buta tersebut akhirnya bersyahadat dihadapan Abu Bakar R.A. WaLlahu a'lamu bishshawab.

*** Makassar, 11 Mei 2003