13 Maret 2005

667. Dari Mana Asalnya Aturan Jilbab Ini?

Ini ada saya pungut dari internet:
Nenek-nenek saya tidak mengenal jilbab. Mereka hanya mengenal kain kerudung yg dipakai oleh orang-orang tua. Kerudung bukan pakaian anak muda. Kain yg disampirkan (bukan dibungkuskan) di kepala itu hanya dipakai oleh orang-orang tua, atau orang-orang yang pergi ke pengajian. Mereka mengenal mukena untuk shalat saja. Begitu sudah bertahun-tahun, berpuluh-puluh tahun kehidupan mereka, sampai tahun 1990-an mereka mulai melihat anak-anak muda membungkus kepalanya rapat-rapat. Dari mana asalnya aturan aurat ini?

***
Allah SWT adalah Maha Pengatur dan Maha Pemelihara. DiturunkanNyalah wahyu kepada manusia pilihan yaitu para Nabi dan Rasul untuk menunjuki manusia mana yang baik dalam berbudaya. Nabi Muhammad RasuluLlah SAW adalah Nabi dan Rasul Allah yang terakhir, yang membina masyarakat madani dan mendirikan Negara Islam Madinah. Oleh sebab itu Syari'at yang dibawakan beliau yang kita kenal dengan Syari'at Islam adalah untuk menuntun ummat manusia dalam berbudaya sampai kepada akhir zaman.

Syahdan, terlalu banyak ta'rif (definisi) mengenai kebudayaan. Akan dikemukakan ta'rif yang sederhana saja. Kebudayaan adalah buah dari semua perbuatan dan usaha yang berpangkal dari kesadaran manusia. Manusia sadar perlu berlindung dari teriknya matahari, dari siraman hujan, dari terpaan angin. Maka tebing-tebing batu dilubangi, gubuk-gubuk, rumah-rumah, gedung-gedung dibangun. Itulah kebudayaan bangun-membangun bangunan. Manusia sadar perlu mengisi perut dan berpakaian dalam kehidupan sehari-hari. Maka ditempuhlah cara-cara untuk memperoleh rezeki. Itulah kebudayaan yang disebut ekonomi. Manusia sadar akan perlunya hiburan untuk konsumsi jiwanya. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut kesenian. Manusia sadar akan perlunya tata-tertib dalam pergaulan hidup sehari-hari, maka lahirlah kesopanan (etika) dan adat pergaulan, norma-norma dan aturan-aturan yang mengikat anggota masyarakat. Itulah kebudayaan hukum. Manusia sadar akan perlunya lembaga yang mempunyai kekuasaan yang harus ditaati untuk mengatur masyarakat, yang disebut pemerintah. Timbullah kelompok-kelompok yang membentuk kekuasaan (macht vorming) dan mengerahkan kekuasaan (macht aanwending), untuk dapat mebentuk pemerintahan. Maka lahirlah kebudayaan yang disebut siyasah (politik).

Maka demikianlah, ada dua jenis nilai kebenaran. Jenis yang pertama nilai itu benar karena bersumber dari Allah SWT. Nilai jenis yang pertama ini sifatnya mutlak, karena berasal dari Yang Maha Mutlak. Nilai ini tidak bergeser, tidak tergantung pada waktu dan tempat. Mesti tetap benar di mana saja, baik pada waktu yang lalu, baik pada waktu kini, maupun pada waktu yang akan datang. Tidak lekang karena panas, tidak lapuk karena hujan. Nilai jenis pertama ini disebut al Furqan (2:185). Nilai jenis yang kedua adalah nilai budaya. Kebenaran nilai budaya ini berdasar atas kesepakatan komunitas, sehingga relatif sifatnya. Apa yang disepakati benar oleh suatu bangsa belum tentu benar pula menurut kesepakatan bangsa lain. Apa yang disepakati benar pada waktu yang lalu, belum tentu benar menurut kesepakatan sekarang dan dapat pula berubah kesepakatan itu pada waktu yang akan datang.

Arkian, demikianlah juga halnya nilai budaya yang disebut kesopanan yang berdasar atas kesepakatan komunitas, sehingga relatif sifatnya. Apa yang disepakati sopan oleh suatu bangsa belum tentu sopan pula menurut kesepakatan bangsa lain. Apa yang disepakati sopan pada waktu yang lalu, belum tentu sopan menurut kesepakatan sekarang dan dapat pula berubah kesepakatan itu pada waktu yang akan datang. Karena relatifnya nilai budaya yang dalam hal ini kesopanan, maka perlu sekali kita merujuk kepada nilai kesopanan menurut Al Furqan. Firman Allah:
-- DZLK ALKTB LA RYB FYH HDY LLMTQYN (S.ALBQRt, 2:2), dibaca: dza-likal kita-bu la- rayba fiyhi hudal lilmuttqi-n (s. albaqarah), artinya: Itulah Al Kitab tak ada keraguan di dalamnya petunjuk bagi orang-orang taqwa.

Orang-orang taqwa yang sadar akan relatifnya nilai budaya terkhusus kesopanan niscaya membumikan atau mengaktualisasikan atau merujuk kepada nilai kesopanan mutlak Al Furqan dalam Al Quran, yaitu:
-- WLYDHRBN BKHMRHN 'ALY JYWBHN (S.ALNWR, 24:31), dibaca: walyadhribna bikhumurihinna 'ala- juyu-bihinna (s. annu-r), arrinya: Dan wajib mereka tutupkan dengan kudung mereka atas dada mereka.

Dalam kata WLYDHRBN ada Lam al amr, Lam yang menyatakan perintah, jadi WLYDHRBN bermakna perintah menutup. Apa yang dipakai menutup? Yaitu kudung (KHMR), yang sudah ada sejak zaman pra-Islam, jadi KHMR itu bukan barang baru. Lalu apa yang baru? Yang baru ialah wajib mereka tutupkan (WLYDHRBN) dengan kudung mereka (BKHMRHN) atas dada mereka ('ALY JYWBHN), kudung yang dipanjangkan sampai menutup dada. Kesopanan menurut budaya Arab yang bermuatan "lokal" sebelum ayat (24:31) itu diturunkan adalah menutup kepala dengan kudung (KHMR). Oleh ayat tersebut diperintahkan kepada orang-orang taqwa untuk memanjangkan kudungnya ke dadanya. Ini bukan lagi muatan "lokal" tetapi menurut nilai kesopanan "mutlak" bagi orang-orang taqwa. Kudung panjang yang diperintahkan menutup dada atas orang-orang taqwa di Indonesia ini dikenal dengan istilah jilbab, yang sesungguhnya jilbab(*) itu berarti baju kurung yang longgar yang menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh.

Ummu lMu'minin Sitti Aisyah RA istri Nabi SAW menceritakan bahwa sesaat setelah turunnya ayat (24:31) perempuan-perempuan Islam segera mengambil kain selubung mereka, kemudian merobek sisinya dan memakainya sebagai kudung panjang yang menutup dada . Riwayat ini menggambarkan bahwa perempuan Arab yang beragama Islam belum berjilbab saat ayat (24:31) belum diturunkan, dan belum biasa mengenakannya. Sebab jika mereka sudah biasa memakainya tentunya jilbab itu telah tersedia dan tak perlu lagi menyulap kain selubung menjadi jilbab "darurat". Jelaslah, jilbab bukan tradisi dan budaya Arab, yang bermuatan "lokal", tetapi bermuatan "mutlak" dari ajaran yang disyariatkan Islam.

Alhasil, orang-orang taqwa yang sadar akan relatifnya nilai budaya terkhusus kesopanan niscaya membumikan atau mengaktualisasikan nilai kesopanan mutlak Al Furqan, yaitu memakai jilbab baik dalam arti kudung panjang yang menutup dada dan pun dalam arti baju kurung yang longgar yang menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh. WaLlahu a'lamu bisshawab.

*** Makassar, 13 Maret 2005
---------------------------
(*) YDNYN 'ALYHN MN JLABHN (S. ALAhZAB, 33:59), dibaca: yusni-na 'alayhinna min jala-bihinna (a. al ahza-b), artinya: menutup tubuhnya dengan jilbabnya.
Jalabib adalah bentuk jama' dari jilbab, yaitu pakaian longgar untuk menutup seluruh tubuh. Dipakai sebagai pakaian luar. Di Arab Saudi dikenal sebagai abaya dan jalabiyyah, di Mesir galabiyyah (huruf jim di Mesir dibaca gim, jadi menulisnya sama, hanya berbeda kalau ditulis pakai huruf Latin), di Marokko jellabah, orang Tuareg menyebutnya tegelmoust, di Afghanistan dikenal sebagai burqa, di Pakistan disebut gamis dikombinasi dengan celana panjang di kawasan Asia tenggara dikenal sebagai jubbah. Seperti diketahui, di beberapa negeri jilbab ini dipakai oleh laki-laki maupun perempauan (pakaian unisex).

Jadi pada pokoknya jilbab itu adalah pakaian luar yang longgar, sehingga menutup lekuk-lekuk tubuh perempuan. Demikianlah pakaian menurut syari'at Islam adalah pakaian luar yang longgar (jilbab) dan dikombinasi dengan kerudung panjang, atau telekung yaitu khimar-panjang. Demikianlah model jilbab itu bervariasi di negeri-negeri Islam, namun dengan kriteria yang sama, yaitu baju luar yang longgar, yang menyembunyikan lekuk-lekuk tubuh.

Demikianlah, apa yang disebut jilbab di Indonesia, sebenarnya adalah khimar-panjang, sehingga dalam perbincangan tentang jilbab menjadi rancu, karena baju luar yang longgar dirancukan dengan kerudung, atau tutup kepala.